AKAR KEMUNCULAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

 

Pendahuluan 

Kehadiran era kontemporer tidak hanya terjadi di dunia global tetapi juga di dunia Islam. Hal ini secara umum ditandai oleh semangat baru sebagai bentuk dialektika historis. Meskipun terdapat sejumlah referensi yang menyatakan bahwa era kontemporer terjadi pasca Perang Dunia II sebagaimana kajian Brian Brivati1 dan kajian Seyyed Hossein Nasr, tetapi perspektif lain semisal kajian Peter N. Stearns3 juga layak dipertimbangkan.

Pada era kontemporer ini, realitas historis dunia global dan dunia Islam sendiri berusaha untuk membangun citra baru sebagai respons terhadap era sebelumnya dan untuk mewujudkan kondisi kehidupan yang diinginkan oleh keduanya. Untuk keperluan ini, era kontemporer melengkapi dirinya dengan perangkat-perangkat yang diperlukan semisal landasan filosofis, konsep pemikiran sampai gerakan-gerakan praksis [1] 

Pembahasan 

Era kontemporer dunia Islam ditandai oleh realitas politis, dialektika budaya, dan spirit untuk melestarikan identitas dan karakter budaya. Era kontemporer dunia Islam juga ditandai oleh keinginan untuk membangun kehidupannya sendiri yang terlepas dari hegemoni pihak lain yang dikenal kolonialis, sehingga muncul istilah era poskolonialisme sebagai identitas periodik era kontemporer. Pada kenyataannya, ketika berbagai belahan dunia Islam bangkit dengan caranya masing-masing, mereka menghadapi sejumlah problem baru pada level internal maupun dalam relasinya dengan dunia global. Oleh karena itulah kemudian muncul gerakangerakan progresif dunia Islam yang bermaksud untuk memberikan solusi terhadap problemproblem tersebut secara intelektual maupun praksis. Secara umum, era kontemporer dunia Islam bersamaan dengan semangat antikolonialisme yang melanda dunia pasca Perang Dunia II, dan secara historis dapat ditelusuri narasinya dari periode runtuhnya Kerajaan

Ottoman pasca Perang Dunia I. Dalam narasi ini dapat dipertimbangkan studi kritis Seyyed

 

Hossein Nasr tentang peta dunia Islam  di bawah ini sampai munculnya respons para pemikir dan aktivis progresif kontemporer di kalangan muslim.  

Realitas dunia Islam pada era kontemporer merupakan bagian dari realitas kontemporer di dunia global. Seiring dengan adanya kecenderungan baru era kontemporer sebagaimana penjelasan Nasr di atas, nyatanya, ada sejumlah implikasi yang dialami oleh dunia Islam sendiri pada era kontemporer ini. Sejumlah implikasi ini adalah sebagai berikut:

  

1.      Lemahnya keberdayaan untuk melestarikan identitas dan karakter dunia Islam karena berhadapan dengan invasi nilai-nilai budaya Barat yang masih berlanjut sampai sekarang. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah produk dunia Barat di bidang-bidang politik (contoh: demokrasi), budaya, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi mengisi ruang-ruang kebutuhan umat Islam. Invasi nilai-nilai budaya Barat terhadap dunia Islam ini dapat berimplikasi munculnya sejumlah paradoks versi pandangan Ahmed di atas, yaitu paradoks behavioristik, paradoks politis, paradoks blok-blok ideologi politik, dan paradoks perspektif religius.  

2.      Munculnya ketegangan-ketegangan internal maupun eksternal dunia Islam. Ketegangan internal ini dapat dilihat pada kasus-kasus pergolakan dan kerusuhan semisal Perang Teluk dan radikalisme ISIS terhadap kelompok-kelompok lain sesama muslim. Sedang ketegangan eksternalnya secara utama dapat dilihat pada kasus 9/11 (tragedi WTC Burn, 11 September 2001), di samping perlawanan Muslim Palestina, perlawanan Muslim Afghanistan, bombing dan suicide attack di sejumlah negara termasuk di Indonesia, dan lain-lain.  

3.      Sejumlah problem sosial umat Islam yang terjadi di beberapa belahan dunia semisal problem-problem disharmoni relasi sosial internal dan eksternal, minoritas muslim di negara-negara Barat, diskriminasi gender di dunia Islam, hegemoni ekonomi oleh dunia Barat, ketertinggalan kualitas pendidikan di dunia Islam, hak asasi manusia, ambiguitas politik di sebagian negara-negara Islam, dan fundamentalisme. Sejumlah problem ini terkait dengan ketegangan internal dan ketegangan eksternal tersebut di atas. [2] 

Sejumlah implikasi tersebut niscaya memerlukan pendekatan-pendekatan yang progresif untuk memenuhi keinginan mandiri dunia Islam yang terlepas dari hegemoni

 

kekuasaan negara-negara Barat yang bermisi ekplorasi kekayaan, kristenisasi, dan westernisasi. Pendekatan-pendekatan progresif ini lahir dari para tokoh dan sarjana muslim yang hidup di belahan Timur dan belahan Barat. Sebagian dari mereka mengungkapkan 

  

pendekatan-pendekatan dalam bentuk pemikiran saja dan sebagian lainnya mengungkapkannya ke dalam bentuk pemikiran sekaligus gerakan praksis. Menurut Saeed, tugas utama kelompok progresif adalah memikirkan kembali, menafsirkan kembali, dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal Islam. Untuk tujuan ini, beberapa istilah yang digunakan oleh mereka untuk menggambarkan “Islam progresif” adalah keadilan, kesetaraan gender, reklamasi Islam sebagai proyek peradaban, keterlibatan kritis dengan tradisi Islam, dan pluralisme dan dialog antariman.  

Alasan yang mendasari kelompok progresif adalah dengan mengadaptasi cara-cara umat Islam melihat al-Qur’an, mereka juga dapat mengakomodasi pesan al-Qur’an untuk mengatasi kebutuhan dunia modern. Dengan demikian, kelompok progresif harus memainkan bagian dari intelektual akademik dan aktivis sosial secara bersama-sama, melancarkan perjuangan untuk dunia yang lebih baik. Saeed selanjutnya menyarankan bahwa satu jalur yang mungkin dapat diambil oleh perjuangan ini adalah komitmen untuk ijtihad atau pemikiran kritis. Atas dasar alasan pendisiplinan dan independen, ijtihad secara tradisional dilakukan dengan tujuan memberikan solusi Islam untuk masalah-masalah yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Hal ini memerlukan pembacaan yang segar terhadap teks sambil juga tetap memperhatikan nilai-nilai tradisional Islam [3] 

Muslim progresif dibedakan oleh Saeed ke dalam sepuluh kriteria utama: 

1)       Menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang relatif pada saat menafsirkan kembali atau menerapkan kembali hukum dan prinsip-prinsip Islam. 

2)       berpandangan bahwa semua manusia juga sama. 

3)       mengklaim bahwa keindahan merupakan bagian inheren dari tradisi Islam, apakah ditemukan dalam seni, arsitektur, puisi, atau musik. 

4)       berdebat untuk kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan berserikat. 

5)       menunjukkan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup. 

6)       mengakui hak “orang lain” untuk eksis dan Makmur. 

 

7)       memilih moderasi dan non-kekerasan untuk memecahkan masalah sosial mereka sendiri. 

8)       memanifestasikan kemudahan dan semangat ketika membahas isu-isu yang berkaitan dengan peran agama dalam ruang publik [4] 

  

 

Pada paparan tersebut dapat dipahami bahwa Saeed mengartikulasikan model baru untuk cara muslim progresif mampu menafsirkan Alquran. Dia menekankan bahwa mereka harus terlebih dahulu meneliti peran Alquran sebagai teks suci untuk penerima pertama. Selanjutnya, mereka harus mempertimbangkan pandangan dunia, adat istiadat, dan kepercayaan orang-orang yang dituju. Dengan pertimbangan ini, ada kemungkinan untuk menjelaskan makna Alquran menjadi kontekstual untuk realitas sosial tertentu. Selanjutnya, paralel dapat ditarik antara bentuk ijhtihad yang dipraktikkan oleh komunitas pertama dan penerima Alquran saat ini. Selanjutnya kebenaran universal dari teks suci akan bersinar, didasarkan pada dunia kontemporer. 

Penutup 

Era kontemporer dunia Islam bersamaan dengan semangat antikolonialisme pasca

Perang Dunia II dan secara historis dapat ditelusuri narasinya dari periode runtuhnya Kerajaan Ottoman pasca Perang Dunia I. Era kontemporer dunia Islam ditandai oleh keinginan untuk membangun kehidupannya sendiri, terlepas dari hegemoni pihak lain yang kolonialis, sehingga muncul istilah era poskolonialisme sebagai identitas periodik era kontemporer. Ketika berbagai belahan dunia Islam bangkit dengan caranya masing-masing, mereka menghadapi sejumlah problem baru pada level internal maupun dalam relasinya dengan dunia global. Oleh karena itulah muncul pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan progresif dunia Islam yang berusaha untuk memberikan solusi terhadap problem-problem tersebut secara intelektual maupun praksis.  

Variasi pemikiran dan gerakan Islam kontemporer dari para tokohnya memperlihatkan karakter khasnya masing-masing. Variasi ini dapat dibentuk ke pola umum struktur pemikiran dan gerakan Islam kontemporer yang tersusun atas lima aspek dan empat belas komponen dengan tiga kategori wilayah. Aspek pertama (basis ideoteologis) terdiri atas dua komponen:

 

sumber dan sendi pokok Islam dan kenabian. Aspek kedua (spektrum metodologi) terdiri atas tiga komponen: warisan tradisi Islam, hukum, dan metodologi. Aspek ketiga (konsep idealitas) terdiri atas dua komponen: konsep-konsep tentang Islam dan muslim dan konsep-konsep perbandingan tentang Islam dan khazanahnya. Aspek keempat (zona aksi) terdiri atas dua komponen: keperilakuan, sains dan teknologi, politik, dan interaksi sosial. Aspek kelima (realitas dan solusi) terdiri atas tiga komponen: realitas Islam dan muslim, problem-problem umat Islam, dan solusi progresi. 

  

Daftar Pustaka 

Desker Barry, “islam progresif dan Negara dalam Masyarakat Muslim Kontemporer”, 2006. 

Huda Sokhi, Struktur Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer (Surabaya : UIN Sunan Amal). 

Nasr Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006)

  



[1] Nasr Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam:

Amsterdam University Press, 2006)

[2] Sokhi Huda, Struktur Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer (Surabaya : UIN Sunan Amal) hlm, 159-160  

[3] Barry Desker, “islam progresif dan Negara dalam Masyarakat Muslim Kontemporer”, 2006, 4–6  

[4] Barry Desker, “islam progresif dan Negara dalam Masyarakat Muslim Kontemporer”, 2006, 4–6  

Posting Komentar

0 Komentar