A. Latar
Belakang
Al-Qur`an merupakan sumber hukum Islam yang pertama. Para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum yang berada dalam al-Qur`an. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan karena berbedanya qira`at dalam membaca al-Qur`an. Seperti halnya di dalam ilmu hadist yang menaungi ilmu Rijalul Hadist, ilmu Jarh wa ta’dil dan masih banyak lainnya, maka dalam ilmu al-Qur‟an pun memiliki ranting yang beragam, seperti ilmu tafsir, ilmu rasm utsmani, ilmu I’jazul qur’an, ilmu Qira’at juga ragam lainnya.
Dalam pembahasan kali ini penulis ingin mengkaji tentang macam-macam dan tingkatan-tingkatan ilmu qiraat bila ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas, serta pengaruhnya terhadap istimbath hukum. Perbedaan qira`at dari segi substansi lafadh atau kalimat adakalanya mempengaruhi perbedaan makna pada lafadh atau kalimat tersebut dan adakalanya tidak mempengaruhi makna. Sehingga perbedaan qira`at al-Qur`an dapat berpengaruh terhadap istimbath hukum, namun kadang tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum.
B. Rumusan
Masalah
1. Apasaja macam-macam qiraat berdasarkan kuantitas?
2. Apasaja macam-macam qiraat berdasarkan kualitas?
3. Bagaimana pengaruh qiraat terhadap istimbath hukum?
C. Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui macam-macam qiraat berdasarkan kuantitas
2. Untuk mengetahui macam-macam qiraat berdasarkan kualitas
3. Untuk memahami pengaruh qiraat terhadap istimbath hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-Macam
Qiraat dari Segi Kuantitas
1. Qira’at Sab’ah
Qira’at Sab’ah adalah
ilmu qira’at yang diriwayatkan oleh tujuh imam qira’at. Masing-masing dari imam
qira’at tersebut memiliki dua perawi. Mereka adalah:
1. Ibnu ‘Amir yang memiliki nama asli Abdullah al-Yashubi, seorang
qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abd Malik. Beliau adalah
seorang tabi’in dan mengambil ilmu qira’at dari al-Mughirah Abi Syihab
alMakhzumi, dari Usman bin Affan, dan dari Rasulullah SAW. Beliau wafat di
Damaskus pada 118 H.
Dua perawinya adalah Hisyam dan Ibn Zakwan.
2. Ibnu Katsir. Dia adalah Abu Muhammad. Nama aslinya adalah
Abdullah bin Katsir al-Dari al-Makki. Dia juga seorang tabi’in dan bertemu
dengan Abdullah bin Zubair, Abû Ayyub al-Anshari dan Anas in Malik. Beliau
wafat di Mekkah tahun 120 H.
Dua orang perawinya adalah al-Bazi dan Qunbul.
3. Ashim al Kufî. Dia adalah Ashim bin Abi al-Najud al-Asadi dan
dinamakan pula dengan Ibnu Bahdalah, Abu Bakr. Beliau adalah seorang tabi’in
dan wafat di Kufah tahun 128 H.
Dua orang perawinya adalah Syu’bah dan Hafsh.
4. Abu Amr. Dia adalah Abu Amr Zabban bin al-Ala bin Ammar
al-Bashari. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya dan dikatakan bahwa
namanya adalah kunyahnya. Beliau wafat di Kufah tahun 154 H.
Dua orang perawinya adalah al-Dauri dan al-Susi.
5. Hamzah al-Kufî. Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah al-Zayyat
al-Fardhi alTaimi. Ia diberi gelar dengan Abu Imarah. Beliau wafat di Halwan
tahun 156 H pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur.
Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khalad.
6. Nafi’. Dia adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu
Nu’aim al-Laitsi.
Beliau berasal dari Isfahan dan wafat di Madinah tahun 169
H.
Dua orang Perawinya adalah Qalun dan Warasy.
7. Al-Kisai. Beliau adalah Ali bin Hamzah,seorang imam ilmu Nahwu
di Kufah. Beliau di beri gelar dengan Abu al-Hasan. Dinamakan al-Kisai karena
beliau memakai “kisa’” ketika ihram. Dia wafat di Barnabawaih, sebuah desa di
Ray ketika menuju ke Khurasan bersama dengan Rasyid tahun 189 H.[1]
Qira’at sab’ah ini
dipopulerkan dan dihimpun oleh salah seorang qadhi Baghdad yaitu Abu Bakar Ibnu
Mujahid dengan tujuan menyelaraskan bacaan Al-Qur’an oleh pemerintah dinasti
Abbasiyah. Abu Bakar Ibnu Mujahid mengatakan bahwa mereka adalah ulama yang terkenal
hafalan, ketelitian, dan cukup lama menekuni dunia qira’at. Ketika ia
menentukan tujuh imam qira’at tersebut, ia berpijak pada ketokohan seseorang
dalam bidang ilmu qira’at dan kesesuaian bacaan mereka dengan mushaf Usmani
yang ada di negeri mereka dan bacaan mereka betul-betul masyhur dikalangan
ulama di negerinya masing-masing.
Sebenarnya para penulis
kitab qira`at sebelum Mujahid sudah banyak yang menyebutkan imam tujuh
tersebut. Namun Mujahidlah yang akhirnya memilih mereka sebagai imam yang
mewakili setiap negeri tersebut, dan muncullah istilah al-Qira'at al-
Sab'ah yang
merupakan istilah yang pertama kali ada dalam sejarah ilmu qira`at.[2]
2. Qira’at ‘Asyarah
Selain qira’at sab’ah
masih ada juga qira’at yang masyhur yaitu qira’at asyrah (qira’at sepuluh).
Mereka adalah imam tujuh ditambah lagi tiga imam sehingga menjadi sepuluh imam
yaitu:
1. Abu Ja’far. Dia adalah Yazid bin al-Qa’qa’ al-Qari`i. Ia
mengambil qira`at dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, dari Ubai bin Ka’ab, dan
dari Nabi SAW. Beliau wafat di Madinah tahun 130 H.
Dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jimaz.
2. Ya’qub. Dia adalah Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami. Beliau wafat
tahun 205 H. Dua orang perawinya adalah
Rauh bin Abd. Al-Mu`min dan Muhammad bin alMutawakkil al-Lu`lu`.
3. Khalaf. Dia adalah Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab bin Khalaf bin
Tsa’lab. Dia wafat tahun 229 H.
Dua orang perawinya adalah Ishaq dan Idris.
Bacaan mereka dari segi
kualitas dapat disamakan dengan qira`at tujuh, dan memenuhi tiga persyaratan
diterimanya sebuah qira`at. Merekalah yang akhirnya dipilih sebagai ahli
qira`at yang bacaan mereka terabadikan hingga saat ini melalui apa yang disebut
dengan qira`at sab’ah dan qira’at asyrah. Bacaan imam sepuluh dihimpun sangat
baik dan sangat teliti oleh imam Ibnu al-Jazari, seorang yang digelar dengan
penuntas masalah qira`at pada abad ke-9 H dalam kitabnya al-Nasyr fi al-
Qira`at al-Asyrah.[3]
3. Qira’at Arba’ah ‘Asyarah
Para ulama qira`at
masih terus berupaya menghimpun qira`at imam lainnya. Lalu muncul lagi empat
imam lainnya. Bacaan empat imam tersebut di bawah kualitas bacaan imam sepuluh,
sehingga qira`at mereka syadz artinya tidak boleh dibaca sebagai alQur`an
karena tidak memenuhi kriteria yang telah disebutkan. Keempat imam tersebut
adalah:
1. Ibn Muhaisin. Dia adalah Muhammad bin Abdurrahman. Beliau wafat
tahun 123
H. Dua orang perawinya adalah al-Bazzi dan Ibnu Syannabuz.
2. Al-Yazidi. Dia adalah Yahya bin Mubarak al-Yazidi al-Nahwi.
Beliau wafat tahun 202 H.
Dua orang perawinya adalah Sulaiman bin al-Hakam dan Ahmad
bin Farah.
3. Al-Hasan al-Basri. Dia adalah maula kaum Anshar dan salah
seorang tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Beliau wafat tahun 110
H.
Dua orang perawinya adalah Syuja’ al-Balkhi dan al-Duri.
4. Al-A’masy. Dia adalah Abul Faraj Muhammad bin Ahmad al-Syanbuzi.
Beliau wafat tahun 388 H.[4]
Qira`at tujuh atau
qira`at sepuluh walaupun mutawatir, tidak semuanya masih beredar di kalangan
masyarakat. Qira`at yang masih banyak dibaca di kalangan kaum muslimin
hingga saat ini hanya sekitar empat
qira`at yaitu qira`at Nafi’ riwayat Warasy, qira`at Nafi’ riwayat
Qalun, qira`at Abu Amr riwayat al-Duri, dan qira`at Ashim
riwayat Hafsh.
B. Macam-Macam
Qiraat dari Segi Kualitas
Pada saat mendalami
ilmu qiraat, khususnya bila kita memfokuskan pada kualitas periwayatan suatu
qiraat, maka kita juga mengenal ada tiga macam, mutawatir, ahad, dan syadz.
Sebagian kalangan menyebutkan bahwa yang mutawarit adalah qiraat tujuh,
kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat adalah ahad. Namun, sebagian
lain berpendapat bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan selain qiraat
tersebut, menurut pandangan ulama adalah syadz.
Menurut Al-Jazari
seperti yang dikutip A-Suyuti dan juga Zarqani, qiraat itu kalau ditinjau dari
segi sanad ada yang mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj.[5] 1. Qiraat
Mutawatir
Qiraat mutawatir yaitu qiraat yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin mereka bersepakat
untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung
hingga penghabisannya yaitu Nabi Saw. Para ulama maupun para ahi hukum Islam
sepakat bahwa qiraat yang berkedudukan mutawatir adalah qiraat yang sah dan
resmi sebagai qiraat Al-Qur’an. Qiraat tersebut sah dibaca di dalam maupun di
luar shalat. Adapun qiraat yang tergolong kepada qiraat mutawatir antara lain,
qiraat sab’ah yang terdiri atas tujuh imam qiraat yaitu: Nafi’, Ibnu Kasir, Abu
‘Amr, Ibnu Amir, ‘Ashim, Hamzah dan Al-Kisa’i.
2. Qiraat Masyhur
Qiraat masyhur adalah qiraat yang
diriwayatkan oleh sanad dalam jumlah yang banyak, akan tetapi sanadnya tidak
mencapai derajat mutawatir. Di samping itu, sanadnya shahih, sesuai dengan
kaidah bahasa Arab dan sesuai pula dengan Rasm Utsmani serta terkenal pula di
kalangan para ahli qiraat dan tidak terdapat cacat. Para ulama menyebutkan
bahwa qiraat semacam ini boleh dipakai atau digunakan. Adapun qiraat yang
tergolong kepada
qiraat masyhur ini adalah, qiraat yang dinisbatkan kepada
tiga imam terkenal, yaitu Abu
Ja’far bin Qa’qa al Madani, Ya’qub al Hadrami dan Khalaf al
Bazzar
3. Qiraat Ahad
Qiraat Ahad adalah qiraat yang tidak
mencapai derajat masyhur, sanadnya shahih, akan tetapi menyalahi rasm utsmani
ataupun kaidah bahasa arab. Qiraat pada tingkatan ini tidak populer dan hanya
diketahui oleh orang-orang yang benar-benar mendalami Al-Quran. Oleh karena
itu, tidak layak untuk diyakini sebagai bacaan Al-Quran yang sah dan tidak pula
termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya, seperti bacaan Abi Bakrah:[6]
مُتكِئيَْْ عَليٍ رفار فٍ
خُضْ ر وَعَباقر يٍٍحِسَا نٍ
Qiraat tersebut menambahkan huruf “Alif” pada dua kata yang digarisbawahi,
bacaan tersebut merupakan versi lain dari qiraat yang terdapat dalam firman
Allah SWT dalam QS. Ar-Rahman ayat 76 berikut:
مُتكِ
ـيَْ عَلىٰ رفـرَ ف خُضْ ر وَعَبـقَر ى
حِسَا نٍ
4. Qiraat Syadz
Syadz yaitu qiraat yang sanadnya tidak
shahih atau qiraat yang tidak memenuhi tiga syarat sah untuk diterimanya
qiraat. Qiraat pada tingkatan ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan
yang sah, seperti: مَلكَ يـوْم ال دِينٍ
Qiraat di atas merupakan qiraat syadz dan
versi lain dari qiraat yang berdapat di dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
مَٰلكِ
يـوْمٍٱل دِينٍِ
5. Qiraat Maudhu’
Maudhu’ yaitu qiraat buatan dan tidak bersumber dari Nabi
Saw, seperti:
وكَلمٍ الٍلِ مُوْسَي تكْلِيمَا
Qiraat di atas membaca lafadz اللّهٰ dengan kasrah “ه”, bacaan tersebut
tidak bersumber dari Nabi Saw dan qiraat versi lain dari qiraat yang terdapat
dari firman Allah SWT sebagai berikut: وكَلمٍَ ٱلَّلٍَُّ مُوسَىٰ
تكْلِيمًا
6. Qiraat Mudroj
Mudroj adalah qiraat yang disisipkan ke
dalam ayat Al-Quran sebagai tambahan yang biasanya dipakai untuk memperjelas
makna atau penafsiran dan qiraat tersebut tidak dianggap sebagai bacaan yang
sah, seperti: وَلتَكُن
مِنكُمٍْأمَّةٌٍ يدْعونَ إلٍََ ٱلْْيِْْ وَيََمُرونَ بٱلمَعْروفِ وَيـنـهَوْنَ
عَنِ ٱلمُنكَرٍٍِۚويسْتعِيْنوْنٍَبِِاللِ
عَليٍمَا اصَابََمٍٍْأو۟لَٰئكٍَ
هُمٍُٱلمُفْلِحُونٍَ
Qiraat di atas adalah qiraat Zubair, ia menambahkan lafadz ٍٍويسْتعِيْنوْنٍَ بِِاللٍِ عَليٍ
مَاٍ اصَابََمٍْ
sebagai penjelas atau sebagai tafsir.[7]
Keempat macam yang
terakhir ini tidak dapat diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat
tujuh itu mutawatir. Sedangkan qiraat yang syadz
tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan
Al-Qurn, sedangkan AlQur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir,
sedangkan qiraat yang syadz tidak
mutawatir.[8]
C. Pengaruh
Qiraat terhadap Istimbath Hukum
Istimbath hukum dapat
diartikan sebagai upaya untuk melahirkan ketentuanketentuan hukum baik yang ada
dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal ini tidak terlepas dari ayat-ayat hukum yang
ada dalam al-Qur`an. Ayat-ayat hukum ialah ayat-ayat Al-Qur’an
yang mengatur dan berkaitan dengan tingkah
laku dan perbuatan manusia secara lahir. Ada ayat-ayat hukum yang termasuk
ibadah yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan ada ayat hukum
yang termasuk muamalah yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
secara horizontal.
Perbedaan antara satu
qira'at dengan qira at yang lain bisa saja terjadi pada perbedaan huruf, bentuk
kata, susunan kalimat, i'rab, penambahan, dan pengurangan kata. Perbedaan qira
at al-Qur'an yang berkaitan dengan subtansi lafadh atau kalimat, adakalanya
mem-- pengaruhi makna dari lafadh tersebut dan adakalanya tidak. Perbedaan-
perbedaan ini sedikit banyaknya tentu membawa kepada perbedaan makna yang
selanjutnya berpengaruh terhadap hukum yang diistimbath kan darinya. Karena itu
para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu' orang yang disentuh (lawan
jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qiraat pada لمَسْتمٍْ
dan لََمَسْتمٍْ dalam ayat 43 QS. An-Nisa yang
berbunyi:
يَََٰٰٓيـهَاٍٱلذِينٍَ ءامَنوا۟
لََ تـقْرَبواٍ۟ٱلصَّلوٰةٍَوَأنتمْ سُكَٰرىٰ حَتٍََّّٰتـعْلمُوا۟ مَا تـقُولونَ
وَلََ جُنـباٍإلََّ عَابرى سَبي ل حَتٍََّّٰتـغتسِلواٍٍ۟ۚوَإنكُنتمٍ مَّرْضَىٍَٰٰٓ
أوْ عَلىٰ سَفَ ر أوْ جَاءٍَأحَدٌ مِنكُمٍ مِنٍَٱلغائطٍِ أوْ لَٰمَسْتمٍُٱلن
سَاءٍَفـلمٍْتََِدُواٍ۟ مَاءًٍٍفـتـيمَّمُوا۟ صَعِيدًا طي باٍ
فٱمْسَحُواٍ۟ بوجُوهِكُمْ
وَأيدِيكُمٍٍٍْۗإنٍَّ ٱلَّلََّكَانَ عَفُوًّا غفُورا
Ada perbedaan cara
membaca pada lafadz لََمَسْتمٍْ. Ibnu Katsir, Nafi’, Ashim, Abu Amr dan
Ibnu Amir membaca لََمَسْتمٍْ, sedangkan Hamzah dan Kisa’i membaca لمَسْتمٍْ.
Perbedaan antara لََمَسْتمٍْ
dan لمَسْتمٍْ
akan mempengaruhi dalam istimbath hukum. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki,
semata-mata bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
Sebab, menurut Hanafi, Ibnu Abbas, Al-Hasan dan Qatada kata الَ امسْتمُْ di sini nerarti jima (bersetubuh) dan
menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu.
Sedangkan menurut Syafi’i, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas
Al-Nakha’i bersentuhan kulit semata yang juga akan
membatalkan wudhu.[9]
Perbedaan qiraat dalam
ayat ini jelas menimbulkan perbedaan pengertian. Qiraat pertama mengandung
interaksi antara pihak yang menyentuh dengan yang disentuh, baik interaksinya
sampai kepada jima’ sebagaimana yang dipahami oleh madzhab Hanafi maupun hanya
sampai batas perasaan syahwat sebagaimana yang dipahami oleh madzhab Maliki.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Macam-macam qiraat dari segi kuantitasnya terbagi menjadi 3
yaitu
1. Qiraat sab’ah
2. Qiraat asyarah
3. Qiraat arba’ah asyarah
Sedangkan macam-macam qiraat berdasarkan kualitasnya
terbagi menjadi 6 yaitu:
1. Qiraat mutawatir
2. Qiraat masyhur
3. Qiraat ahad
4. Qiraat syadz
5. Qiraat maudhu’
6. Qiraat mudroj
Perbedaan antara satu qira'at dengan qira at yang lain bisa
saja terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i'rab,
penambahan, dan pengurangan kata. Perbedaan qira at al-Qur'an yang berkaitan
dengan subtansi lafadh atau kalimat, adakalanya mem-- pengaruhi makna dari
lafadh tersebut dan adakalanya tidak. Perbedaan- perbedaan ini sedikit
banyaknya tentu membawa kepada perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh
terhadap hukum yang diistimbath kan darinya.
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Namun
penulis tetap berharap apa yang telah ditulis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dansaran dari pembaca
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Jamal, K. (2020). Pengantar
Ilmu Qira'at. Yogyakarta: Klaimedia.
Misnawati. (2014). Qiraat Al-Quran dan
Pengararuhnya terhadap Istimbath Hukum. Jurnal
Mudarissuna, 78-104.
Qurthubi. (1993). Al
Jami' Li Ahkam Al Quran. Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah.
Sarwat, A. (t.thn.). Ilmu
Qiraat. Jkarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing.
Suheli, A. (2019). Qiraat Al-Quran. Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, 1-6.
Umar, R. (2019). Qiraat Al-Quran. Jurnal Al Asas, 35-41.
[1] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Al-Tibyan. Hlm 228-239.
[2] Misnawati, Qira’at
Al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Mudarrisuna, Vol. 4,
No. 1, 2014. Hlm. 93-94.
[3] Ibid..., Hlm. 94-95
[4]
Departemen Agama RI, Mukadimah...,
Hlm. 321
[5] Khairunnas Jamal, Pengantar Ilmu Qira'at, (Yogyakarta:
Klaimedia) hlm. 16
[6]
Ibid..., Hlm. 17
[7] Khairunnas Jamal, Pengantar Ilmu Qira'at, (Yogyakarta:
Klaimedia) hlm. 18
[8] Misnawati, Qira’at
Al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Mudarrisuna, Vol. 4,
No. 1, 2014. Hlm. 98
[9] Misnawati, Qira’at
Al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Mudarrisuna, Vol. 4,
No. 1, 2014. Hlm. 99
0 Komentar