KEKUASAAN ALLAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN SAINS (STUDI TERHADAP QS. AN-NABA’ AYAT 6-13)

 


PENDAHULUAN

Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa dalam dunia materi, terdapat tanda-tanda yang dapat membimbing manusia kepada Allah SWT dalam membuka misteri kegaiban dan sifat-sifat keagungan-Nya. Semesta raya yang sedemikian luas ini adalah ciptaan Allah SWT dan Al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan rahasianya, serta memerintahkan manusia untuk memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahteraan hidupnya.[1]

Allah yang maha kuasa, pencipta segala apa yang ada di langit dan bumi dengan semua keagunggan-Nya. Allah telah menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan guna untuk melestarikan keberadaan jenisnya sampai saat yang dikehendaki-Nya, agar menjadikan ketentraman jiwa dan kasih sayang diantara mereka yang dihalalkan dengan sebuah akad dalam perkawinan.[2] 

Allah SWT mengajak manusia memikirkan semua ciptaan-Nya dan mengajarkan kepada manusia tentang kesempurnaan penciptaan itu. Dalam hal ini Allah SWT menantang manusia untuk mengamati dengan seksama langit yang begitu kokoh dan meyakinkan kepada manusia bahwa mereka tidak akan menemukan kecacatan sedikitpun dalam ciptaan Allah SWT semuanya teratur dengan seimbang dan rapi.

Dalam Q.S. An-Naba’ ayat 6-13 Allah SWT menjelaskan dengan gamblang bagaimana Dia mampu membuat hal-hal yang lebih hebat dari “hanya” sekedar membangkitkan manusia dari kematian. Dalam surat ini, disajikan sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah SWT seperti bumi yang dibentangkan, gunung-gunung yang kokoh terpancang, makhluk yang diciptakan berpasangan, tidur yang dijadikan pelepas lelah, malam yang dijadikan pakaian, siang yang bisa dijadikan lahan kehidupan, tujuh langit yang dikokohkan, matahari yang terang benderang.

Allah SWT menyebutkan bukti-bukti kekuasaan-Nya dalam surat An-Naba’, untuk meyakinkan orang-orang kafir Makkah agar beriman kepada hari kiamat, bukti bukti yang Allah sebutkan dalam surat An-Naba’ adalah bukti yang mereka rasakan secara langsung, seakan-akan Allah berkata: “Wahai manusia! Bukankah aku telah menciptakan ini untukmu? Masihkah kamu ragu akan kekuasaanku?”. Bukti-bukti yang Allah berikan 14 abad yang lalu ternyata masih sangat relevan di zaman sekarang dan memiliki fakta-fakta yang dapat dibuktikan secara ilmiah, didalam tulisan ini akan membahas tentang kekuasaan Allah yang terdapat di dalam surat An-Naba’ ayat 6-13 dan dikaitkan dengan fakta dan teori sains yang ada di zaman ini.

 

PEMBAHASAN Tinjauan Umum Surat An-Naba’

Ayat-ayat dalam surah ini disepakati turun sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Namanya adalah surah An-Naba’. Ada juga yang menambahkan kata Al-‘Azhim. Surat ini juga dinamai surah ‘Amma Yatasaaalun dan ada yang mempersingkatnya dengan menamainya surah ‘Amma. Nama-nama yang lain adalah surah At-Tasa’ul, juga AI-Mu‘shirat. Nama-nama tersebut diangkat dari ayat pertama dan kedua surah ini.[3] Dalam bahasa Arab, An-

Naba’ artinya berita besar. Dalam hal ini, berita besar yang dimaksud adalah hari kiamat yang merupakan salah satu rukun iman dalam Islam.

Surah An-Naba’ memuat uraian mengenai hari kiamat dan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT dalam mewujudkannya. Bukti-bukti utama yang dipaparkan pada surat ini adalah penciptaan alam raya yang demikian hebat serta sistem yang mengaturnya, yang kesemuanya menunjukkan adanya pembalasan pada hari tertentu yang ditetapkan-Nya (hari kebangkitan).

Tujuan utama surah ini menurut Al-Biqa‘i adalah pembuktian tentang keniscayaan hari kiamat, yang merupakan suatu hal yang tidak dapat diragukan sedikit pun. 

Surah ini menurut beberapa pakar, merupakan surah ke-80 dari segi perurutan

turunnya surah-surah Al-Qur’an. Surat ini turun sesudah surah Al-Ma‘arij dan sebelum surah An-Nazi‘at. Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Madinah, Syam dan Bashrah sebanyak 40 ayat, sedangkan menurut cara perhitungan Ulama Mekah dan Kufah sebanyak 41 ayat. Adapun 40 ayat tersebut dibagi dalam beberapa tema, diantaranya:

1.            Ayat 1-5 : Pengantar tentang keadaan manusia yang bertanya-tanya tentang berita besar;

2.            Ayat 6-16: Kekuasaan Allah menciptakan alam dan nikmat-nikmat yang diberikan-Nya adalah bukti bagi kekuasaannya membangkitkan manusia;

3.            Ayat 17-20: Kedahsyatan hari pembangkit;

4.            Ayat 21-30: Balasan bagi orang yang durhaka;

5.            Ayat 31-37: Balasan bagi orang yang bertakwa;

6.            Ayat 38-40: Perintah agar manusia memilih jalan yang benar kepada

Tuhannya.[4]

Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul turunya surat An-Naba’ adalah dimulai saat kaum musyrikin saling bertanya dan berselesih tentang keniscayaan hari kiamat. Ada yang membenarkannya tanpa ragu, ada yang menilainya mustahil lalu menolaknya, ada yang hanya ragu tetapi akhirnya menolaknya berdasarkan keragaunnya, ada lagi yang bisa menerima tetapi menolak dan mengingkarinya karena keras kepala. Para pengingkar hari kiamat (kebangkitan) tetap menolak keniscayaan hari kiamat dengan dalih bahwa Allah tidak kuasa membangkitkan manusia yang telah menjadi tulang-belulang. Bagian-bagian jasad manusia telah bercampur dengan tanah atau hal-hal lain, tidak lagi diketahui oleh-Nya. Masalah-masalah itu menjadi bahan diskusi dan perdebatan mereka. Untuk menampik dalih-dalih tersebut ayat-ayat di atas (QS. An-Naba’ ayat 6-13) diturunkan untuk menunjukkan sekelumit dari kuasa Allah SWT baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

QS. An-Naba’ Ayat 6-13

المَْ نجَْعَلِ الْْرَْضَ مِهَادًا )6( وَالْجِباَلَ أوَْتاَدًا )7( وَخَلقَْناَكُمْ أزَْوَاجًا )8( وَجَعَلْناَ نوَْمَكُمْ سُباَتاً )9( وَجَعَلْناَ الليَّْلَ لبِاَسًا )01(

 وَجَعَلْناَ النهََّارَ مَعَاشًا )00( وَبنَيَْنَا فوَْقكَُمْ سَبْعًا شِدَادًا )01( وَجَعَلْناَ سِرَاجًا وَهَّاجًا )01(

Artinya:                                                                                                                 

6) Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan. 7) Dan gununggunung sebagai pasak. 8) Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan. 9) Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat. 10) Dan kami jadikan malam sebagai pakaian. 11) Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. 12) Dan kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh. 13) Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari).

Telaah Kebahasaan

Pada ayat 6, terdapat lafadz ألَمَْ نجَْعَلِ hamzah yang berharakat fathah yang berarti menunjukkan sebuah pertanyaan. Dalam ilmu balaghah, pertanyaan dengan hamzah berfungsi menuntut tasdiq (menganalisa bukti) dan tasawwur (memberi pengertian). Kata نجَْعَلِberasal dari ja’ala yang berarti menjadikan. Kata ini termasuk af’al al-tahwil (kata kerja yang menjelaskan perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain.[5] Penggunaan ja’ala ini

menunjukkan penekanan dari segi manfaat ciptaan Allah. Kata ٱلْْرَْضَ berasal dari kata kerja aradha yang artinya tumbuh rumput atau pohon. Planet yang kita diami disebut ٱلْْرَْضَ sebab terdapat pepohonan yang tumbuh. Kata مِهََٰدًا adalah masdar tsulasi dari kata mahada yang berarti menghamparkan. Dari sisi bentuk kata, kata mihadan mengandung dua kemungkinan. Pertama, dari kata mahada-yumahidu-mihadan yang artinya saling berhamparan. Kedua, kata مِهََٰدًا merupakan bentuk jamak dari mahdan yang artinya hamparan-hamparan. Kata dasarnya dari mahd, yak berarti sesuatu yang disiapka dan dihamparkan secara halus dan nyaman. M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa bangsa Arab menggunakan kata mahd untuk ayunan atau hamparan tempat menidurkan anak kecil. Karena itu, beliau menerjemahkan bumi sebagai ayunan.

Pada ayat 7, kata ٱلْجِباَلَ adalah bentuk jamak taksir kasrah, yang mufradnya dari kata

jabal yang bermakna gunung. Kata أوَْتاَدًا adalah bentuk jamak taksir qillah, yang mufradnya berasal dari kata watadun yang bermakna sesuatu yang dihujamkan ke dalam bumi (paku besar atau pasak). Di kalangan bangsa Arab, kata ini digunakan untuk pasak pengikat tali kemah di padang pasir agar tidak terbang terbawa angin. Sedangkan menurut tafsir Ibnu Katsir ayat ke7 ini, bermakna Dia menjadikan pada bumi pasak-pasak untuk menstabilkan dan mengokohkannya serta memantapkannya sehingga bumi menjadi tenang dan tidak mengguncangkan orang-orang dan makhluk yang ada di atasnya. 

Pada ayat 8, kata أزَْوََٰجًا adalah bentuk jamak dari kata zawj, yang berarti suatu hal yang disertai hal lain yang sejenis. Zawj juga berarti perkara yang ada bandingan atau lawannya (pasangannya).[6]

Pada ayat 9, kata نوَْمَ berasal dari kata nama-yanumu yang artinya berbaring, mengantuk, diam tak bergerak, terputus suaranya, tenang, merendah dan melupakan. Kata سُباَتاً berasal dari kata sabata yang berarti tidur, istirahat dan tenang.

Pada ayat 10, kata لبِاَسًا berasal dari kata labisa yang berarti menutupi sesuatu. Setalah dibentuk menjadi kata لبِاَسًا artinya berubah menjadi sesuatu yang bisa menutupi badan.

Pada ayat 11, kata مَعَاشًا berasal dari kata asya yang berarti hidup atau tahan lama. Ditinjau dari ilmu sharaf (morfologi kata), kata مَعَاشًا ini mengandung dua kemungkinan. Pertama, berbentuk mashdar (menunjukkan aktivitas yang tidak disertai keterangan waktu). Kedua, bentuk isim zaman (menerangkan waktu beraktivitas).

Pada ayat 12, kata بنَيَْ berasal dari kata bana-yabni-binaan, yang berarti mendirikan dinding. Selanjutnya, kata ini sering diartikan secara majazi, diantaranya: berputar, berubah, dasar, bertambah besar. Kata سَبْعًا diambil dari kata sab’atun yang berarti tujuh. Namun,

dalam ayat ini, kata سَبْعًا lebih tepat diartikan sangat banyak sekali. Kata شِدَادً ا berasal dari kata syadda yang artinya kuat atau berat.7 Secara verbal asal kata tersebut adalah شد - يشد yang berarti menguatkan, mengokohkan (kekuatan dari yang sulit diurai).[7]

Pada ayat 13, kata سِرَاجًا dalam arti leksikon (kamus) adalah al-misbah az-zahir (lampu yang terang). Yang berarti pelita yang bersinar dengan sumbu dan minyak dan diumpamakan darinya muncullah segala cahaya. Kata وَهَّاجًا adalah bentuk mubalaghah (superlatif), yang berarti membara atau amat panas. Yang berarti api yang menyala yang menghasilkan cahaya dan panas. Dapat juga berarti bercahaya atau berkelap-kelip atau menyala.

Penjelasan Ayat Ilmiah

Pada ayat 6-7, Syaikh Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi mengemukakan bahwa dua ayat ini berusaha menggiring pembacanya kepada pembenaran terhadap berita penting yang dipermasalahkan (hari kebangkitan) dengan mengajak pembacanya untuk menganalisis sebagian fenomena alam yang bisa mereka saksikan sehingga dapat menjadi peringatan dan bukti bahwa segala hal menunjukkan kekuasaan Allah SWT dan semua makhluk yang diciptakan-Nya tidak ada yang sia-sia.

Pada ayat 6, Syaikh Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi menerangkan bahwa bumi dihamparkan itu menunjukkan awal penciptaan bumi atau setelahnya. Yang mana pemaknaan ini, menurut kelompok ahl al-hay’ah yaitu bumi diratakan dari kedua kutubnya karena ketika itu bumi sangat lunak.[8] Pendapat lain dikemukakan oleh Syikh Nawawi Al-Bantani dalam tafsir

Munir nya, bahwa makna yang terkandung dalam ayat 6 ialah “Telah kami hamparkan bumi itu untukmu, supaya kamu bisa tenang menempatinya.”[9]

Pada ayat 7, Syaikh Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi menerangkan bahwa Allah telah mengikat bumi dengan gunung-gunung sebagaimana rumah diikat atau dikuatkan dengan pasak. Fungsi dan peran gunung sebagai pasak bumi dikabarkan melalui sebuah hadis shahih, yaitu menjaga bumi agar tidak bergetar atau menguatkan bumi. Sebagai pasak bumi, gunung menancapkan tubuhnya ke dalam perut bumi secara kukuh. Hal ini diasumsikan oleh teori tektonik lempeng bahwa gunung memiliki akar dalam yang berperan memperkukuh keberadaan dan gerakan horizontal lempeng-lempeng litosfer bumi (lapisan terluar bumi yang terdiri dari kerak bumi dan mantel bumi). 

Adapun tujuan dibuatnya gunung adalah untuk menjaga keseimbangan antara bumi dan langit agar keduanya tetap tegak. Jika gunung tidak ada, bumi tidak akan bertahan dan tidak akan terbentang dengan baik. Karena angin selalu bertiup kencang. Dengan adanya gunung maka kehidupan manusia menjadi kokoh. Hal ini juga telah dibuktikan oleh para ahli geologi yang mengatakan bahwa gunung-gunung tersebut merupakan hasil dari pergerakan dan tumbukan lempeng-lempeng raksasa yang menyusun kerak bumi.[10] 

Selain itu, dalam tafsir Al-Jawahir karya Syaikh Thantawi Jauhari dijelaskan juga fungsi gunung ialah memelihara air, menarik angin yang mengandung awan kemudian menurunkan hujan. Dalam buku Tuhan dan Sains, Ahmad Mahmud Sulaiman berpendapat bahwa tempat-tempat yang tinggi (gunung) menjamin kestabilan atau keseimbangan struktur bumi, terutama pada titik-titik terlemah dari kerak bumi, yaitu di dekat perbatasan benua.[11] Hal ini bisa dianalogikan gunung sebagai paku yang mematok untuk menyatukan kayu-kayu. Fungsi mematok dari gunung ini digambarkan dalam literatur ilmiah dengan istilah isostasi, yaitu keseimbangan umum pada kerak bumi yang dipertahankan oleh aliran bahan-bahan batuan dibawah permukaan dalam tekanan gravitasi.

Pada ayat 8, Allah menjadikan manusia terdiri atas laki-laki dan wanita supaya tercipta kasih sayang yang sempurna, dan manusia berkembang biak. Orang tua diganti oleh anakanaknya sehingga keturunan umat manusia lestari. Penjelasan lain yang terdapat pada tafsir Mafatih Al-Ghaib bahwa segala hal diciptakan Allah secara berlawanan (baik-buruk, panjangpendek, jantan-betina, dsb) sebagai dalil dari kekuasaan dan kesempurnaan-Nya. Yang suatu ketika dapat menguji manusia. Maka, manusia yang berkelebihan dapat bersyukur, dan yang berkekurangan dapat bersabar (QS. Az-Zariyat: 49).

Pada ayat 9, maksudnya ialah Allah SWT menjadikan tidur kita sebagai peristirahatan dan kenyamanan dari berbagai macam kesibukan pekerjaan pada siang hari, agar menghasilkan berbagai mata pencaharian. Dengan istirahat waktu tidur itu, manusia dapat mengembalikan daya dan kekuatan untuk melangsungkan pekerjaan pada keesokan harinya sehingga kita merasa tenang dan tentram, seolah-olah kita itu mati tanpa disadari padahal sejatinya kita masih hidup karena roh-roh kita tidak meninggalkan jasad. Penjelasan ini diungkapkan oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya.

Pada ayat 10, Allah menjadikan malam yang hitam dan gelap sebagai penutup bagi makhluknya agar bisa merasa tentram setelah melakukan berbagai aktivitas pada siang harinya. Hal ini dapat dianalogikan sebagai pakaian menutupi pemakainya.[12] 

Pada ayat 11, Allah menjadikan siang sebagai penerang bagi makhluknya agar dapat bertebaran untuk mencari penghidupan atau karunia Allah dan melakukan aktivitas untuk kemaslahatan urusan duniawi.14

Pada ayat 12, Kata وَبنَيَْناَ فوَْقكَُمْ yang berarti “Dan kami bangun di atas kamu sebagai atap bagimu”. Allah menetapkan atap sebagai bangunan, karena orang Arab menyebut atapatap rumah sebagai bangunan. Oleh karena itu, langit pun sebagai atap bagi bumi. Kata سَبْعًا dapat berarti banyak, bukan dalam arti angka yang di bawah delapan dan di atas enam. Bisa juga angka ini menunjuk kepada tujuh planet yang pada masa lampau diduga ketujuhnya

mengitari matahari. Allah juga berfirman, سَبْعًا شِدَادًا yang berarti “Tujuh buah (langit) yang kokoh.” Langit sangat kuat dan kokoh, tidak ada retak padanya dan tidak pula celah, serta tidak terpengaruh oleh silih bergantinya malam dan siang.

Pada ayat 13, وَجَعَلْناَ سِرَاجًا وَهَّاجًا yang berarti “Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari)”, maksudnya adalah matahari. Karena matahari adalah pelita yang menerangkan dan mempunyai panas yang amat tinggi. Kata “وَهَّاجًا” sangat terang, derajat panasnya saat musim panas sangatlah tinggi walau pun jaraknya amat jauh dari bumi. Bagaimana dengan yang dekat dengannya? Panas matahari saat sedang terik pun adalah uap neraka Jahannam. Meski demikian, matahari mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan, ia dapat mengganti harta yang banyak bagi manusia sehingga mereka tidak perlu lagi menyalakan cahaya lampu. Matahari mengandung tenaga surya yang mempunyai banyak manfaat. Selain itu, matahari dapat mematangkan buah-buahan dan masih banyak manfaat lainnya yang ada pada pelita ini yang telah Allah ciptakan untuk para hamba-Nya.

Tafsir Sains & Fakta Ilmiah 

Pada ayat 6, secara global membahas tentang penghamparan atau pengayunan bumi baik secara geologis maupun biologis. Secara geologis, ditafsirkan sebagai kemunculan dan pertumbuhan geosfer, yaitu litosfer. Sedangkan secara biologis, ditafsirkan sebagai kemunculan dan perkembangan kehidupan di muka bumi. Penghamparan disini menunjukkan proses yang terus-menerus terjadi sampai sekarang. Dengan ilmu geologi dan geofisika, kita bisa mengartikan bahwa selama proses penghamparan litosfer, bumi memang bergerak seperti diayun perlahan. Walaupun perlahan, bergeraknya litosfer menghasilkan energi yang tidak sedikit. Energi ini terkadang muncul dalam bentuk gempa bumi.[13]

Bumi sebagai hamparan yang mudah didiami oleh manusia dan hewan ternak yang berguna bagi manusia. Dari sinilah, ada beberapa kelompok yang mengatakan bahwa bumi itu datar. Mereka mengatakan demikian dengan menggunakan argumen ayat ini, sebagaimana AlQur’an mengatakan sebuah hamparan. Para penganut flat earth menggunakan ayat ini untuk menguatkan argumen nya, sehingga mereka berkata bahwa bumi itu datar. Banyak orang yang masih berpendapat bahwa bumi itu datar. Hal ini terjadi karena mereka belum dapat membayangkan bahwa bumi itu bulat. Mereka mengira bahwa bentuknya seperti talam. Pada tanggal 20 September 1519, seorang pelaut Portugal yang bernama Ferdinand Magelian mengarungi lautan dengan maksud mengelilingi dunia. Ia berlayar bersama teman-temannya dengan menggunakan lima kapal. Pada tahun 1522, satu dari kelima kapal itu kembali sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa bumi itu bulat. Sedangkan Ilmuwan di masa sekarang telah banyak melakukan penelitian tentang bumi, para astronot telah dapat memotret bumi dari antariksa dengan menggunakan pesawat ruang angkasa, kemudian mendapatkan bumi berbentuk bulat.

Lalu bagaimana pandangan sains tentang bumi sebagai hamparan di dalam AlQur’an? Kata Al-Ardh (bumi) disebut sebanyak 361 kali dan sekitar 461 ayat kauniyah yang membicarakan tentang bumi, salah satunya dalam surat An-Naba’. Menurut Sayyid Quthb mengartikan kata مِهََٰدًا yaitu dihamparkan untuk tempat berjalan di atasnya, dan hamparan yang lunak bagai buaian. Quraish Shihab juga mengartikan kata مِهََٰدًا dalam ayat ini, yakni sesuatu yang disiapkan dan dihamparkan dengan halus dan nyaman. Allah telah mengatur dan menentukan kadar-kadar yang berkaitan dengan bumi sehingga nyaman dihuni manusia.

Menurut Dr. Zakir Naik, bumi merupakan hamparan luas, karena meski bentuknya mendakati bundar seperti bola, tetapi karena sangat besar dibanding ukuran manusia, maka permukaannya tampak datar dan luas terhampar. Seperti diketahui manusia pada umunya menempati wilayah wilayah dataran, baik tinggi maupun rendah.

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT tidak langsung menunjukkan bentuk bumi secara gamblang. Allah SWT menggunakan kata-kata yang dibuatnya tersirat dalam menjelaskan bentuk bumi. Sehingga para mufasir masih beragam anggapan saat menafsirkannya karena dahulu belum ada ilmu sains yang membuktikan tentang hal itu. Ini akan menjadi hal yang menarik karena Islam dan sains tidak akan bertentangan. Pada kenyataanya banyak persoalan di agama Islam membangun sains. Sains adalah pengetahuan yang sistematis. Sains adalah suatu eksplorasi ke alam materi berdasarkan observasi dan mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratur mengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu menguji diri sendiri. Pembahasan terkait ilmu pengetahuan yang dinyatakan dalam Al-Qur’an terkadang sulit dipahami ketika seseorang kurang memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu pengetahuan. Sedangkan Al-Qur’an sendiri sebagai gudang ilmu dapat digali untuk mengembangkan pengetahuan manusia tentang alam semesta. 

Pada ayat 7, gunung-gunung sebagai bagian geosfer berfungsi sebagai pasak. Atau paku raksasa. Paku ini menahan atau mengeram laju sebagian energi pergerakan litosfer agar tidak terlalu cepat berjalan, sehingga peradaban manusia tidak hancur berantakan. Selain itu, gunung juga memberikan kesuburan kepada tanah dan melimpahkan aneka mineral atau bahan tambang.[14] 

Para ilmuwan banyak berbeda pendapat dalam memahami peran gunung-gunung dalam mengokohkan bumi. Sebab kendati total keseluruhan massa gunung diatas permukaan bumi sangat besar, ia tetap tidak sebanding dengan massa bumi secara keseluruhan yang bobotnya mencapai kira-kira 1 miliar triliun ton. Begitu dengan ketinggian gunung meski menjulang tinggi tetap tidak sebanding dengan panjang jari-jari (lingkaran bumi). 

Pada pertengahan tahun 60-an abad ke-20, ketika hasil penelitian berhasil menemukan bahwa kerak bebatuan bumi terpecah oleh jaring letak yang membentang puluhan ribu kilometer dan yang mengelilingi bumi ini secara keseluruhan dengan kedalaman yang berkisar antara 65 km sampai 150 km. Gunung sebagai pasak raksasa yang akarnya menghujam. Artinya, kepala pasak yang tampak di permukaan jauh lebih pendek daripada panjang batang yang menghujam perut bumi. Ternyata kedalaman akar gunung mencapai 10-15 kali lipat dari ketinggiannya itulah yang lebih dahsyat. Hal ini mengakibatkan terpecah-pecahnya bebatuan bumi menjadi sejumlah lempengan bebatuan yang terpisah satu sama lain dengan tingkat perpecahan masing-masing. Pasak pegunungan juga mengokohkan penopang-penopang yang terpancang di bumi sebagaimana yang terjadi dengan pergeseran ke arah benua Asia, sehingga kedua benua (India dan Asia) pun bertabrakan dan menghasilkan terbentuknya pegunungan Himalaya sebagai rangkaian pegunungan yang terbaru di muka bumi sekaligus yang paling tinggi. Proses di atas merupakan proses pengokohan massa benua-benua di atas permukaan bumi.

Gerakan yang cenderung liar ini diperkecil oleh keberadaan gunung-gunung yang memiliki akar yang menancap di kerak bebatuan bumi yang bentangan kedalamannya mencapai 10 hingga 15 kali lipat ketinggiannya di atas permukaan bumi. Keberadaan gununggunung ini meminimalisir keliaran gerakan atau goyangan poros putar bumi dan menjadikannya lebih stabil dan lebih teratur dalam proses rotasinya mengelilingi porosnya, juga menjadikan goyangan dan pembuktian sains yang terdapat pada surat An-Naba’ ayat 7 yang mengatakan bahwa Allah menjadikan gunung-gunung sebagai pasak dibumi. Dan hal ini juga sesuai dengan hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa begitu usai menciptakan bumi dan bumi tersebut bergerak-gerak dan bergoyang-goyang, maka Allah pun mengokohkannya dengan menciptakan gunung-gunung. Hal ini merupakan fakta yang mencengangkan bagaiamana tidak 14 abad yang lalu Allah mewahyukan hal semacam ini dimana ilmu pengetahuan saat itu belum bisa membuktikan fakta ini, dan di abad ke-20 setelah pengetahauan manusia sudah menjangkaunya fakta ini baru terbukti.

Pada ayat 8, menunjukkan bahwa segala yang Allah ciptakan senantiasa menghadirkan sistem yang saling berpasangan atau berlawanan, diantaranya: baik-buruk, panjang-pendek, jantan-betina, gunung-lembah dan lain-lain hingga wujud subatomik (mikroskopik) yang saling melengkapi wujud makroskopik yang tak tampak oleh mata telanjang.[15]

Dalam dunia ilmu pengetahuan, setiap makhluk yang diciptakan berpasangan ini baru terbongkar pada abad ke-19. Seorang ilmuwan asal Inggris, Paul Dirac, dalam penelitiannya berhasil menemukan materi yang diciptakan secara berpasangan. Penemuannya yang dinamakan “Parite” ini menyebutkan bahwa seluruh benda yang ada di alam semesta sampai partikel terkecil yang tak terlihat oleh kasat mata, ternyata mempunyai pasangannya. Dengan hasil dari studinya ini, ia memperoleh nobel di bidang fisika pada 1933. Padahal, ketika diturunkannya Al-Qur’an pada 14 abad yang lalu, Al-Qur’an secara jelas sudah menyebutkan tentang teori ini. Konsep semua makhluk diciptakan berpasangan juga terdapat pada QS. Yasin ayat 36 yang berbunyi:

 سُبۡحَٰنَ الذَِّىۡ خَلقََ الۡۡزَۡوَاجَ كُلهََّا مِمَّا تنُۡۡۢبتُِ الۡۡرَۡضُ وَمِنۡ انَۡفسُِهِمۡ وَمِمَّا لَۡ يعَۡلمَُوۡنَ

Artinya: 

Maha suci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasangan-pasangan ,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa-apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa-apa yang mereka tidak ketahui.”

Al-Qur’an menjelaskan bahwa segala sesuatu di ciptakan dengan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan secara naluri disamping mempunyai keinginan terhadap keturunan juga Islam menetapkan jalan atau suatu ketentuan yaitu perkawinan dimana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, agar timbul kecintaan dan kesayangan di antara suamiistri untuk menempuh hidup bahagia dan memelihara keturunan yang baik, mempertahankan kelangsungan jenis manusia sehingga tidak punah.

Pada ayat 9, dalam tafsir Al-Muntakhab yang disusun oleh sejumlah pakar Mesir Kontemporer berkomentar bahwa, tidur adalah berhentinya atau berkurangnya kegiatan saraf otak manusia. Karena inilah ketika tidur, energi dan panas badan manusia menurun. Pada waktu tidur, tubuh merasa tenang dan rileks setelah otot atau saraf atau dua-duanya letih bekerja. Ketika tidur, semua kegiatan tubuh menurun, kecuali proses metabolisme, aliran air seni dari ginjal dan keringat. Proses-proses tersebut jika berhenti, justru akan membahayakan manusia. Sedangkan pernapasan sedikit berkurang intensitasnya, tapi lebih panjang dan lebih banyak keluar dari dada ketimbang dari perut. Jantung pun akan berdetak lebih lambat sehingga aliran darah menjadi lebih sedikit. Otot-otot yang kejang akan mengendur sehingga mengakibatkan kesulitan bagi seseorang yang sedang tidur untuk melakukan perlawanan. Semua hal itu menyebabkan tidur sebagai waktu istirahat yang paling baik bagi manusia, sebagaimana dikatakan dalam ayat ini.[16]

Pada ayat 10, dalam tafsir Al-Kabir, malam sebagai pakaian disebut “kenikmatan”, karena malam membuat manusia tidak kelihatan sehingga dapat menghindari diri dari bahaya atau musuh. Malam juga membuat manusia mampu merasakan nikmatnya beristirahat dan menyamarkan hal-hal yang ingin kita ekspresikan namun tidak ingin diketahui orang lain.

Tafsir Al-Qurthubi menerangkan bahwa malam bisa memberikan ketenangan. Sementara Imam Nawawi Al-Bantani mengatakan bahwa orang sakit apabila tidur di waktu malam akan merasa diringankan dari penyakitnya.

Pada ayat 11, dalam tafsir Al-Kabir menerangkan bahwa hampir semua makhluk hidup bergiat memenuhi kebutuhan hidupnya di waktu siang, bukan malam hari. Dan kegiatan yang dilakukan saat siang hari pun akan lebih efektif. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang tidak mendapatkan jumlah jam tidur yang cukup akan meninggal lebih cepat. Orang yang sering begadang dan sulit tidur memiliki risiko kematian dini lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang memenuhi kebutuhan tidur mereka, sehingga dalam ayat ini dijelaskan bahwa siang hari digunakan untuk mencari penghidupan sementara malam hari untuk beristirahat.[17]

Para ulama menyebutkan sunnatullah (aturan Allah SWT) bahwa malam adalah waktu istirahat dan siang adalah waktu mencari nafkah dan mencari kehidupan, barang siapa yang merubah tatanan ini maka dia akan ditimpa dengan berbagai macam gangguan. Seseorang yang harusnya menjadikan malamnya sebagai waktu istirahat dan siang sebagai waktu bekerja, namun dia balik menjadi siang untuk tidur dan malam untuk kelayapan maka dia akan terganggu, tubuhnya tidak akan segar meskipun waktu tidurnya di siang hari lebih banyak. Tetap saja dia tidak akan merasakan kelezatan sebagaimana yang dia rasakan ketika dia tidur pada malam hari selama 8 jam, meskipun pada siang hari tidurnya lebih panjang. Hal ini terjadi karena dia mengubah tatanan, yang seharusnya malam menjadi tempat istirahat, namun dia ubah malamnya menjadi tempat untuk mencari penghidupan dan siangnya menjadi tempat untuk istirahat. Orang seperti ini kehidupan yang dia jalani tidak akan berjalan dengan normal, dia akan merasakan gangguan kesehatan, gangguan dalam pikirannya, dan berbagai hal lainnya.

Pada ayat 12, Allah membangun di atas manusia tujuh langit yang kokoh tanpa memiliki tiang dan tunduk kepada hukum Allah. Secara ilmiah, tujuh langit yang kokoh kemungkinan dapat diartikan dengan lapisan-lapisan atmosfer yang dekat dengan bumi ini, seperti: troposfer, tropopaus, stratosfer, stratopaus, mesosfer, mesopaus, dan etmosfer. Pembagian ini berdasarkan temperatur (suhu) dari lapisan-lapisan atmosfer dan jaraknya dari permukaan bumi. Kekokohan lapisan-lapisan yang menyelimuti bola bumi dikarenakan adanya gaya gravitasi bumi. Namun, jika pengertian tujuh langit ini dikaitkan dengan mi’raj Rasulullah, tampak kurang tepat. Tujuh langit dalam surah ini mungkin dapat diartikan sebagai “tujuh dimensi ruang-waktu”.

Dalam Kaluza-Klein Theory (KKT), dinyatakan dalam fisika bahwa terdapat empat gaya fundamental yang ada di jagad raya ini, yaitu gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi. Jika ke-4 gaya ini terbentuk dari ledakan besar Big Bang dari suatu singularity, maka mestinya ke-4 gaya ini dahulunya menyatu sebagai satu gaya tunggal Grand Unified Force, ini yang dikenal dalam Grand Unified Theory (GUT: Teori Ketersatuan Agung). KKT menjelaskan bahwa untuk dapat menerangkan ketersatuan gayagaya yang empat itu, maka adanya geometri ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini tidaklah cukup. Geometri ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini hanya mampu menjelaskan sedikit tentang gaya-gaya Elektromagnetik dan dalam beberapa hal gaya gravitasi. Untuk bisa menjelaskan ke-4 gaya tersebut, maka KKT menyatakan harus ada tujuh dimensi ruang-waktu (time-space dimensions) yang lain. Dengan demikian bersama empat dimensi yang sudah dikenal, yaitu: garis, bidang, ruang dan waktu; maka total dimensi ada 11 dimensi. Pernyataan ini berbasiskan pada perhitungan matematika-fisika.

Pada ayat 13, berkaitan dengan matahari, penemuan ilmiah telah membuktikan bahwa panas permukaan matahari mencapai 6000 derajat. Sedangkan panas pusat matahari mencapai 30 juta derajat yang disebabkan oleh materi-materi bertekanan tinggi yang ada pada matahari. Sinar matahari menghasilkan energi berupa ultraviolet 9%, cahaya 46%, dan inframerah 45%. Karena itulah ayat suci di atas menamai matahari sebagai pelita karena mengandung cahaya dan panas secara bersamaan. Matahari memiliki energi cahaya yang begitu besar sehingga selain dapat menerangi bumi ini dengan pancaran cahayanya matahari dapat menampakkan warna dalam kehidupan. Jika tidak ada cahaya matahari manusia hanya mampu melihat warna gelap. Namun, dengan adanya cahaya matahari ini menjadikan benda-benda mampu memantulkan cahayanya sehingga dapat menampakkan warna yang dapat dilihat oleh mata. Matahari adalah sumber cahaya yang paling penting. Tanpa cahayanya makhluk hidup tidak dapat hidup dengan lama. Panas matahari memiliki pengaruh besar atas terjadinya angin, cuaca dan kejadian-kejadian alam lainnya.[18]

 

 

KESIMPULAN

Allah SWT telah memberikan banyak bukti tentang kekuasanya salah satunya yang terdapat pada surat An-Naba’, yang mana pada surat ini memliki salah satu arti berita besar. Surat ini turun saat kaum musyrikin saling bertanya dan berselesih tentang keniscayaan hari kiamat, dan mereka meragukan kekuasaan Allah, lalu turunlah surah ini.

Surat An-Naba’ menjelaskan tentang kekuasaan Allah seperti bumi yang dibentangkan, gunung-gunung yang kokoh terpancang, makhluk yang diciptakan berpasangan, tidur yang dijadikan pelepas lelah, malam yang dijadikan pakaian, siang yang bisa dijadikan lahan kehidupan, tujuh langit yang dikokohkan, matahari yang terang benderang, Semua yang terdapat di dalam surat ini memiliki korelasi dengan fakta dan teori ilmiah yang ada di zaman sekarang yang mana dulu saat Al-Qur’an diturunkan 14 Abad yang lalu hal-hal ini belum bisa dibuktikan, karena keterbatasan pengetahuan manusia. Hal ini menunjukan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang mencakup pengetahuan mendalam tentang alam semesta, dan kekuasaan Allah bahkan sebelum penemuan ilmiah di zaman modern. Semoga dengan adanya tulisan ini membuat kita semakin yakin akan kekuasan Allah SWT.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

Al-Baghdadi, Syihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi. (1853). Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-

Qur’an Al-‘Adzim wa Sab’i Al-Matsani (Tafsir Al-Alusi). Juz. 30. Beirut: Dra Ihay Turats Al-Arabi.

Al-Bantani, Nawawi. (1887). Al-Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil. Kairo: Al-Mathba’ah Ustmaniyah.

Ali, Zainudin. (2007). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

LIPI, Tim Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI. (2010). Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. (2007). Tafsir Ath-Thabari. Terj. Ahsan Askan, Jilid 26. Jakarta: Pustaka Azzam.

Aziz, Moh. Abd., & Farhan Maulana. (2019). Fakta Ilmiah yang Terkandung dalam Surat AnNaba’ Ayat 12-16. Jurnal Ushunluddin Adab dan Dakwah. (Vol. 2, No. 1).

Hakim, Lukman., dan Pipin Armita. (2017). Munasabah Ayat dalam Surat An-Naba’ (Analisis Metodologi Penafsiran Abdullah Darraz dalam Kitab An-Naba’ Al-‘Azim Nazharatun Jadidatun Fi Al-Qur’an). An-Nida’: Jurnal Pemikiran Islam. (Vol. 41, No. 2).

Huda, Ade Naelul. (2022). Tafsir Ilmi (Telaah Tafsir Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Qur'an.

Yogyakarta: Wahana Revolusi.

ITB, Tim Tafsir Salman. (2014). Tafsir Salman (Tafsir Ilmiah Atas juz ‘Amma). Cet. 1. Jakarta:

Mizan Pustaka.

Mardlatillah, Sandy Diana, & Nurjannah. (2023). Konsep Tidur dalam Perspektif Psikologi dan Islam. Happiness. (Vol. 7, No. 1).

Nur Afida, Anisa. (2018). Matahari dalam Perspektif Sains dan Al-Qur’an. Skripsi. Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan.

Rahman, Fazlur. (2007). Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Qur’an. Cet. I. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Shihab, M. Quraish. (2007). Ensiklopedi Al-Qur’an. Cet. 1. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Quraish. (2017). Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an). Jilid.

15. Tangerang: Lentera Hati.

Sulaiman, Ahmad Mahmud. (2001). Tuhan dan Sains (Mengungkap berita-berita Ilmiah AlQur’an). Terj. Satrio Wahono. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

 



[1] Fazlur Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Qur’an, Cet. I, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 21.

[2] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 7

[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an), Jilid. 15, (Tangerang: Lentera Hati, 2017), hlm. 3.

[4] Lukman Hakim dan Pipin Armita, Munasabah Ayat dalam Surat An-Naba’ (Analisis Metodologi Penafsiran Abdullah Darraz dalam Kitab An-Naba’ Al-‘Azim Nazharatun Jadidatun Fi Al-Qur’an), An-Nida’: Jurnal Pemikiran Islam, (Vol. 41, No. 2, 2017), hlm. 121.

[5] Tim Tafsir Salman ITB, Tafsir Salman (Tafsir Ilmiah Atas juz ‘Amma), Cet. 1, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2014), hlm. 33-34.

[6] Ibid., hlm. 34 7 Ibid., hlm. 56-59.

[7] M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 931  

[8] Syihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi, Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim wa Sab’i Al-Matsani (Tafsir Al-Alusi), Juz. 30, (Beirut: Dra Ihay Turats Al-Arabi, 1853), hlm. 5-6.

[9] Nawawi Al-Bantani, Al-Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil, (Kairo: Al-Mathba’ah Ustmaniyah, 1887), hlm. 423.

[10] Ade Naelul Huda, Tafsir Ilmi (Telaah Tafsir Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Qur'an), (Yogyakarta: Wahana Revolusi, 2022), hlm. 42-43.

[11] Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains (Mengungkap berita-berita Ilmiah Al-Qur’an), Terj. Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 50-51

[12] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, Jilid 26, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 9 14 Ibid., hlm. 10.

[13] Tim Tafsir Salman ITB, Op.Cit., hlm. 55.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Tafsir Al-Misbah, Op.Cit., hlm. 9.

[17] Sandy Diana Mardlatillah & Nurjannah, Konsep Tidur dalam Perspektif Psikologi dan Islam, Happiness, (Vol. 7, No. 1, 2023), hlm. 67.

[18] Anisa Nur Afida, Matahari dalam Perspektif Sains dan Al-Qur’an, Skripsi, (Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2018), hlm. 4-8.

Posting Komentar

0 Komentar