PENDAHULUAN
Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa dalam dunia materi, terdapat tanda-tanda yang dapat membimbing manusia kepada Allah SWT dalam membuka misteri kegaiban dan sifat-sifat keagungan-Nya. Semesta raya yang sedemikian luas ini adalah ciptaan Allah SWT dan Al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan rahasianya, serta memerintahkan manusia untuk memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahteraan hidupnya.[1]
Allah yang maha kuasa, pencipta segala apa yang ada di
langit dan bumi dengan semua keagunggan-Nya. Allah telah menciptakan manusia
dengan berpasang-pasangan guna untuk melestarikan keberadaan jenisnya sampai
saat yang dikehendaki-Nya, agar menjadikan ketentraman jiwa dan kasih sayang
diantara mereka yang dihalalkan dengan sebuah akad dalam perkawinan.[2]
Allah SWT mengajak manusia memikirkan semua ciptaan-Nya dan
mengajarkan kepada manusia tentang kesempurnaan penciptaan itu. Dalam hal ini
Allah SWT menantang manusia untuk mengamati dengan seksama langit yang begitu
kokoh dan meyakinkan kepada manusia bahwa mereka tidak akan menemukan kecacatan
sedikitpun dalam ciptaan Allah SWT semuanya teratur dengan seimbang dan rapi.
Dalam Q.S. An-Naba’ ayat 6-13 Allah SWT menjelaskan dengan
gamblang bagaimana Dia mampu membuat hal-hal yang lebih hebat dari “hanya”
sekedar membangkitkan manusia dari kematian. Dalam surat ini, disajikan
sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah SWT seperti bumi yang dibentangkan,
gunung-gunung yang kokoh terpancang, makhluk yang diciptakan berpasangan, tidur
yang dijadikan pelepas lelah, malam yang dijadikan pakaian, siang yang bisa
dijadikan lahan kehidupan, tujuh langit yang dikokohkan, matahari yang terang
benderang.
Allah
SWT menyebutkan bukti-bukti kekuasaan-Nya dalam
surat An-Naba’, untuk meyakinkan orang-orang kafir Makkah agar beriman kepada
hari kiamat, bukti bukti yang Allah sebutkan dalam surat An-Naba’ adalah bukti
yang mereka rasakan secara langsung, seakan-akan Allah berkata: “Wahai manusia!
Bukankah aku telah menciptakan ini untukmu? Masihkah kamu ragu akan
kekuasaanku?”. Bukti-bukti yang Allah berikan 14 abad yang lalu ternyata
masih sangat relevan di zaman sekarang dan memiliki fakta-fakta yang dapat
dibuktikan secara ilmiah, didalam tulisan ini akan membahas tentang kekuasaan
Allah yang terdapat di dalam surat An-Naba’ ayat 6-13 dan dikaitkan dengan
fakta dan teori sains yang ada di zaman ini.
PEMBAHASAN Tinjauan Umum Surat An-Naba’
Ayat-ayat dalam surah ini disepakati
turun sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Namanya adalah surah An-Naba’. Ada juga yang menambahkan kata
Al-‘Azhim. Surat ini juga dinamai
surah ‘Amma Yatasaaalun dan ada yang
mempersingkatnya dengan menamainya surah ‘Amma.
Nama-nama yang lain adalah surah At-Tasa’ul,
juga AI-Mu‘shirat. Nama-nama tersebut
diangkat dari ayat pertama dan kedua surah ini.[3] Dalam bahasa Arab, An-
Naba’ artinya berita besar. Dalam
hal ini, berita besar yang dimaksud adalah hari kiamat yang merupakan salah
satu rukun iman dalam Islam.
Surah An-Naba’ memuat uraian mengenai
hari kiamat dan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT dalam mewujudkannya.
Bukti-bukti utama yang dipaparkan pada surat ini adalah penciptaan alam raya
yang demikian hebat serta sistem yang mengaturnya, yang kesemuanya menunjukkan
adanya pembalasan pada hari tertentu yang ditetapkan-Nya (hari kebangkitan).
Tujuan utama surah ini menurut Al-Biqa‘i
adalah pembuktian tentang keniscayaan hari kiamat, yang merupakan suatu hal
yang tidak dapat diragukan sedikit pun.
Surah ini menurut beberapa pakar, merupakan surah ke-80 dari
segi perurutan
turunnya surah-surah Al-Qur’an. Surat ini
turun sesudah surah Al-Ma‘arij dan sebelum surah An-Nazi‘at. Jumlah
ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Madinah, Syam dan Bashrah sebanyak
40 ayat, sedangkan menurut cara perhitungan Ulama Mekah dan Kufah sebanyak 41
ayat. Adapun 40 ayat tersebut dibagi dalam beberapa tema, diantaranya:
1.
Ayat 1-5 : Pengantar
tentang keadaan manusia yang bertanya-tanya tentang berita besar;
2.
Ayat 6-16: Kekuasaan Allah
menciptakan alam dan nikmat-nikmat yang diberikan-Nya adalah bukti bagi
kekuasaannya membangkitkan manusia;
3.
Ayat 17-20: Kedahsyatan
hari pembangkit;
4.
Ayat 21-30: Balasan bagi
orang yang durhaka;
5.
Ayat 31-37: Balasan bagi
orang yang bertakwa;
6.
Ayat 38-40: Perintah agar
manusia memilih jalan yang benar kepada
Tuhannya.[4]
Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul turunya surat An-Naba’ adalah dimulai saat
kaum musyrikin saling bertanya dan berselesih tentang keniscayaan hari kiamat.
Ada yang membenarkannya tanpa ragu, ada yang menilainya mustahil lalu
menolaknya, ada yang hanya ragu tetapi akhirnya menolaknya berdasarkan
keragaunnya, ada lagi yang bisa menerima tetapi menolak dan mengingkarinya
karena keras kepala. Para pengingkar hari kiamat (kebangkitan) tetap menolak
keniscayaan hari kiamat dengan dalih bahwa Allah tidak kuasa membangkitkan manusia
yang telah menjadi tulang-belulang. Bagian-bagian jasad manusia telah bercampur
dengan tanah atau hal-hal lain,
tidak lagi diketahui oleh-Nya. Masalah-masalah itu menjadi bahan diskusi dan perdebatan mereka. Untuk menampik dalih-dalih
tersebut ayat-ayat di atas (QS.
An-Naba’ ayat 6-13) diturunkan untuk menunjukkan sekelumit dari kuasa Allah SWT
baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.
QS. An-Naba’ Ayat 6-13
المَْ نجَْعَلِ الْْرَْضَ
مِهَادًا )6( وَالْجِباَلَ أوَْتاَدًا )7( وَخَلقَْناَكُمْ أزَْوَاجًا )8(
وَجَعَلْناَ نوَْمَكُمْ سُباَتاً )9( وَجَعَلْناَ الليَّْلَ لبِاَسًا )01(
وَجَعَلْناَ النهََّارَ مَعَاشًا )00(
وَبنَيَْنَا فوَْقكَُمْ سَبْعًا شِدَادًا )01( وَجَعَلْناَ سِرَاجًا
وَهَّاجًا )01(
Artinya:
6) Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan. 7) Dan
gununggunung sebagai pasak. 8) Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan. 9) Dan
kami jadikan tidurmu untuk istirahat. 10) Dan kami jadikan malam sebagai
pakaian. 11) Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. 12) Dan kami
bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh. 13) Dan kami jadikan pelita
yang amat terang (matahari).
Telaah Kebahasaan
Pada ayat 6, terdapat lafadz “ ألَمَْ نجَْعَلِ”
hamzah yang berharakat fathah yang berarti menunjukkan sebuah pertanyaan. Dalam
ilmu balaghah, pertanyaan dengan hamzah berfungsi menuntut tasdiq (menganalisa bukti) dan tasawwur
(memberi pengertian). Kata “ نجَْعَلِ” berasal dari ja’ala yang berarti menjadikan. Kata ini termasuk af’al al-tahwil (kata kerja yang
menjelaskan perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain.[5] Penggunaan
ja’ala ini
menunjukkan penekanan dari segi manfaat
ciptaan Allah. Kata “ ٱلْْرَْضَ” berasal dari kata kerja aradha yang artinya tumbuh rumput atau
pohon. Planet yang kita diami disebut “ ٱلْْرَْضَ” sebab terdapat pepohonan yang tumbuh.
Kata “مِهََٰدًا” adalah masdar tsulasi dari kata mahada yang berarti menghamparkan. Dari
sisi bentuk kata, kata mihadan
mengandung dua kemungkinan. Pertama,
dari kata mahada-yumahidu-mihadan
yang artinya saling berhamparan. Kedua,
kata “مِهََٰدًا” merupakan bentuk jamak dari mahdan yang artinya hamparan-hamparan.
Kata dasarnya dari mahd, yak berarti
sesuatu yang disiapka dan dihamparkan secara halus dan nyaman. M. Quraish
Shihab mengemukakan bahwa bangsa Arab menggunakan kata mahd untuk ayunan atau hamparan tempat menidurkan anak kecil.
Karena itu, beliau menerjemahkan bumi sebagai ayunan.
Pada ayat 7, kata “ ٱلْجِباَلَ” adalah bentuk jamak taksir kasrah, yang mufradnya dari kata
jabal
yang bermakna gunung. Kata “أوَْتاَدًا” adalah bentuk jamak taksir qillah, yang mufradnya berasal dari kata watadun yang bermakna sesuatu yang
dihujamkan ke dalam bumi (paku besar atau pasak). Di kalangan bangsa Arab, kata
ini digunakan untuk pasak pengikat tali kemah di padang pasir agar tidak
terbang terbawa angin. Sedangkan menurut tafsir Ibnu Katsir ayat ke7 ini,
bermakna Dia menjadikan pada bumi pasak-pasak untuk menstabilkan dan
mengokohkannya serta memantapkannya sehingga bumi menjadi tenang dan tidak
mengguncangkan orang-orang dan makhluk yang ada di atasnya.
Pada ayat 8, kata “أزَْوََٰجًا” adalah bentuk jamak dari kata zawj, yang berarti suatu hal yang
disertai hal lain yang sejenis. Zawj juga
berarti perkara yang ada bandingan atau lawannya (pasangannya).[6]
Pada ayat 9, kata “ نوَْمَ” berasal dari kata nama-yanumu yang artinya berbaring,
mengantuk, diam tak bergerak, terputus suaranya, tenang, merendah dan
melupakan. Kata “سُباَتاً” berasal dari kata sabata yang berarti tidur, istirahat dan
tenang.
Pada ayat 10, kata “لبِاَسًا” berasal dari kata labisa yang berarti menutupi sesuatu.
Setalah dibentuk menjadi kata “لبِاَسًا” artinya berubah menjadi sesuatu yang
bisa menutupi badan.
Pada ayat 11, kata “مَعَاشًا” berasal dari kata asya yang berarti hidup atau tahan lama.
Ditinjau dari ilmu sharaf (morfologi kata), kata “مَعَاشًا”
ini mengandung dua kemungkinan. Pertama,
berbentuk mashdar (menunjukkan aktivitas yang tidak disertai keterangan waktu).
Kedua, bentuk isim zaman (menerangkan
waktu beraktivitas).
Pada ayat 12, kata “
بنَيَْ”
berasal dari kata bana-yabni-binaan,
yang berarti mendirikan dinding. Selanjutnya, kata ini sering diartikan secara
majazi, diantaranya: berputar, berubah, dasar, bertambah besar. Kata “سَبْعًا” diambil dari kata sab’atun yang berarti tujuh. Namun,
dalam ayat ini, kata “سَبْعًا” lebih tepat diartikan sangat banyak
sekali. Kata “شِدَادً ا” berasal dari kata syadda yang artinya kuat atau berat.7
Secara verbal asal kata tersebut adalah شد - يشد yang berarti
menguatkan, mengokohkan (kekuatan dari yang sulit diurai).[7]
Pada ayat 13, kata “سِرَاجًا” dalam arti leksikon (kamus) adalah al-misbah az-zahir (lampu yang terang).
Yang berarti pelita yang bersinar dengan sumbu dan minyak dan diumpamakan
darinya muncullah segala cahaya. Kata “وَهَّاجًا” adalah bentuk mubalaghah
(superlatif), yang berarti membara atau amat panas. Yang berarti api yang
menyala yang menghasilkan cahaya dan panas. Dapat juga berarti bercahaya atau
berkelap-kelip atau menyala.
Penjelasan Ayat Ilmiah
Pada ayat 6-7, Syaikh Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi
mengemukakan bahwa dua ayat ini berusaha menggiring pembacanya kepada
pembenaran terhadap berita penting yang dipermasalahkan (hari kebangkitan)
dengan mengajak pembacanya untuk menganalisis sebagian fenomena alam yang bisa
mereka saksikan sehingga dapat menjadi peringatan dan bukti bahwa segala hal
menunjukkan kekuasaan Allah SWT dan semua makhluk yang diciptakan-Nya tidak ada
yang sia-sia.
Pada ayat 6, Syaikh Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi menerangkan
bahwa bumi dihamparkan itu menunjukkan awal penciptaan bumi atau setelahnya.
Yang mana pemaknaan ini, menurut kelompok ahl
al-hay’ah yaitu bumi diratakan dari kedua kutubnya karena ketika itu bumi
sangat lunak.[8]
Pendapat lain dikemukakan oleh Syikh Nawawi Al-Bantani dalam tafsir
Munir nya, bahwa makna yang terkandung
dalam ayat 6 ialah “Telah kami hamparkan bumi itu untukmu, supaya kamu bisa
tenang menempatinya.”[9]
Pada ayat 7, Syaikh Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi menerangkan
bahwa Allah telah mengikat bumi dengan gunung-gunung sebagaimana rumah diikat
atau dikuatkan dengan pasak. Fungsi dan peran gunung sebagai pasak bumi
dikabarkan melalui sebuah hadis shahih, yaitu menjaga bumi agar tidak bergetar
atau menguatkan bumi. Sebagai pasak bumi, gunung menancapkan tubuhnya ke dalam
perut bumi secara kukuh. Hal ini diasumsikan oleh teori tektonik lempeng bahwa
gunung memiliki akar dalam yang berperan memperkukuh keberadaan dan gerakan
horizontal lempeng-lempeng litosfer bumi (lapisan terluar bumi yang terdiri
dari kerak bumi dan mantel bumi).
Adapun tujuan dibuatnya gunung adalah untuk menjaga
keseimbangan antara bumi dan langit agar keduanya tetap tegak. Jika gunung
tidak ada, bumi tidak akan bertahan dan tidak akan terbentang dengan baik.
Karena angin selalu bertiup kencang. Dengan adanya gunung maka kehidupan
manusia menjadi kokoh. Hal ini juga telah dibuktikan oleh para ahli geologi
yang mengatakan bahwa gunung-gunung tersebut merupakan hasil dari pergerakan
dan tumbukan lempeng-lempeng raksasa yang menyusun kerak bumi.[10]
Selain itu, dalam tafsir Al-Jawahir karya Syaikh Thantawi
Jauhari dijelaskan juga fungsi gunung ialah memelihara air, menarik angin yang
mengandung awan kemudian menurunkan hujan. Dalam buku Tuhan dan Sains, Ahmad
Mahmud Sulaiman berpendapat bahwa tempat-tempat yang tinggi (gunung) menjamin
kestabilan atau keseimbangan struktur bumi, terutama pada titik-titik terlemah
dari kerak bumi, yaitu di dekat perbatasan benua.[11] Hal ini
bisa dianalogikan gunung sebagai paku yang mematok untuk menyatukan kayu-kayu.
Fungsi mematok dari gunung ini digambarkan dalam literatur ilmiah dengan
istilah isostasi, yaitu keseimbangan
umum pada kerak bumi yang dipertahankan oleh aliran bahan-bahan batuan dibawah
permukaan dalam tekanan gravitasi.
Pada ayat 8, Allah menjadikan manusia terdiri atas
laki-laki dan wanita supaya tercipta kasih sayang yang sempurna, dan manusia
berkembang biak. Orang tua diganti oleh anakanaknya sehingga keturunan umat
manusia lestari. Penjelasan lain yang terdapat pada tafsir Mafatih Al-Ghaib
bahwa segala hal diciptakan Allah secara berlawanan (baik-buruk, panjangpendek,
jantan-betina, dsb) sebagai dalil dari kekuasaan dan kesempurnaan-Nya. Yang
suatu ketika dapat menguji manusia. Maka, manusia yang berkelebihan dapat bersyukur,
dan yang berkekurangan dapat bersabar (QS. Az-Zariyat: 49).
Pada ayat 9, maksudnya ialah Allah SWT menjadikan tidur
kita sebagai peristirahatan dan kenyamanan dari berbagai macam kesibukan
pekerjaan pada siang hari, agar menghasilkan berbagai mata pencaharian. Dengan
istirahat waktu tidur itu, manusia dapat mengembalikan daya dan kekuatan untuk
melangsungkan pekerjaan pada keesokan harinya sehingga kita merasa tenang dan
tentram, seolah-olah kita itu mati tanpa disadari padahal sejatinya kita masih
hidup karena roh-roh kita tidak meninggalkan jasad. Penjelasan ini diungkapkan
oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya.
Pada ayat 10, Allah menjadikan malam yang hitam dan gelap
sebagai penutup bagi makhluknya agar bisa merasa tentram setelah melakukan
berbagai aktivitas pada siang harinya. Hal ini dapat dianalogikan sebagai
pakaian menutupi pemakainya.[12]
Pada ayat 11, Allah menjadikan siang sebagai penerang bagi
makhluknya agar dapat bertebaran untuk mencari penghidupan atau karunia Allah
dan melakukan aktivitas untuk kemaslahatan urusan duniawi.14
Pada ayat 12, Kata “
وَبنَيَْناَ فوَْقكَُمْ”
yang berarti “Dan kami bangun di atas kamu sebagai atap bagimu”. Allah
menetapkan atap sebagai bangunan, karena orang Arab menyebut atapatap rumah
sebagai bangunan. Oleh karena itu, langit pun sebagai atap bagi bumi. Kata “سَبْعًا” dapat berarti banyak, bukan dalam
arti angka yang di bawah delapan dan di atas enam. Bisa juga angka ini menunjuk
kepada tujuh planet yang pada masa lampau diduga ketujuhnya
mengitari matahari. Allah juga berfirman, “سَبْعًا شِدَادًا” yang berarti “Tujuh buah (langit)
yang kokoh.” Langit sangat kuat dan kokoh, tidak ada retak padanya dan tidak
pula celah, serta tidak terpengaruh oleh silih bergantinya malam dan siang.
Pada ayat 13, “وَجَعَلْناَ
سِرَاجًا وَهَّاجًا”
yang berarti “Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari)”, maksudnya
adalah matahari. Karena matahari adalah pelita yang menerangkan dan mempunyai
panas yang amat tinggi. Kata “وَهَّاجًا” sangat terang,
derajat panasnya saat musim panas sangatlah tinggi walau pun jaraknya amat jauh
dari bumi. Bagaimana dengan yang dekat dengannya? Panas matahari saat sedang
terik pun adalah uap neraka Jahannam. Meski demikian, matahari mempunyai
manfaat yang sangat besar bagi kehidupan, ia dapat mengganti harta yang banyak
bagi manusia sehingga mereka tidak perlu lagi menyalakan cahaya lampu. Matahari
mengandung tenaga surya yang mempunyai banyak manfaat. Selain itu, matahari
dapat mematangkan buah-buahan dan masih banyak manfaat lainnya yang ada pada
pelita ini yang telah Allah ciptakan untuk para hamba-Nya.
Tafsir Sains & Fakta Ilmiah
Pada ayat 6, secara global membahas tentang penghamparan atau
pengayunan bumi baik secara geologis maupun biologis. Secara geologis,
ditafsirkan sebagai kemunculan dan pertumbuhan geosfer, yaitu litosfer.
Sedangkan secara biologis, ditafsirkan sebagai kemunculan dan perkembangan
kehidupan di muka bumi. Penghamparan disini menunjukkan proses yang
terus-menerus terjadi sampai sekarang. Dengan ilmu geologi dan geofisika, kita
bisa mengartikan bahwa selama proses penghamparan litosfer, bumi memang
bergerak seperti diayun perlahan. Walaupun perlahan, bergeraknya litosfer
menghasilkan energi yang tidak sedikit. Energi ini terkadang muncul dalam
bentuk gempa bumi.[13]
Bumi sebagai hamparan yang
mudah didiami oleh manusia dan hewan ternak yang berguna bagi manusia. Dari
sinilah, ada beberapa kelompok yang mengatakan bahwa bumi itu datar. Mereka
mengatakan demikian dengan menggunakan argumen ayat ini, sebagaimana AlQur’an
mengatakan sebuah hamparan. Para penganut flat
earth menggunakan ayat ini untuk menguatkan argumen nya, sehingga mereka
berkata bahwa bumi itu datar. Banyak orang yang masih berpendapat bahwa
bumi itu datar. Hal ini terjadi karena mereka belum dapat membayangkan bahwa
bumi itu bulat. Mereka mengira bahwa bentuknya seperti talam. Pada tanggal 20
September 1519, seorang pelaut Portugal yang bernama Ferdinand Magelian
mengarungi lautan dengan maksud mengelilingi dunia. Ia berlayar bersama
teman-temannya dengan menggunakan lima kapal. Pada tahun 1522, satu dari kelima
kapal itu kembali sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa bumi itu bulat.
Sedangkan Ilmuwan di masa sekarang telah banyak melakukan penelitian tentang
bumi, para astronot telah dapat memotret bumi dari antariksa dengan menggunakan
pesawat ruang angkasa, kemudian mendapatkan bumi berbentuk bulat.
Lalu bagaimana pandangan sains tentang bumi sebagai
hamparan di dalam AlQur’an? Kata Al-Ardh (bumi) disebut sebanyak 361 kali dan
sekitar 461 ayat kauniyah yang membicarakan tentang bumi, salah satunya dalam
surat An-Naba’. Menurut Sayyid Quthb mengartikan kata “مِهََٰدًا”
yaitu dihamparkan untuk tempat berjalan di atasnya, dan hamparan yang lunak
bagai buaian. Quraish Shihab juga mengartikan kata “مِهََٰدًا”
dalam ayat ini, yakni sesuatu yang disiapkan dan dihamparkan dengan halus dan
nyaman. Allah telah mengatur dan menentukan kadar-kadar yang berkaitan dengan
bumi sehingga nyaman dihuni manusia.
Menurut Dr. Zakir Naik, bumi merupakan hamparan luas,
karena meski bentuknya mendakati bundar seperti bola, tetapi karena sangat
besar dibanding ukuran manusia, maka permukaannya tampak datar dan luas
terhampar. Seperti diketahui manusia pada umunya menempati wilayah wilayah
dataran, baik tinggi maupun rendah.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT tidak langsung menunjukkan
bentuk bumi secara gamblang. Allah SWT menggunakan kata-kata yang dibuatnya
tersirat dalam menjelaskan bentuk bumi. Sehingga para mufasir masih beragam
anggapan saat menafsirkannya karena dahulu belum ada ilmu sains yang
membuktikan tentang hal itu. Ini akan menjadi hal
yang menarik karena Islam dan sains tidak akan bertentangan. Pada kenyataanya
banyak persoalan di agama Islam membangun sains. Sains adalah
pengetahuan yang sistematis. Sains adalah suatu eksplorasi ke alam materi
berdasarkan observasi dan mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratur
mengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu menguji diri sendiri.
Pembahasan terkait ilmu pengetahuan yang dinyatakan dalam Al-Qur’an terkadang
sulit dipahami ketika seseorang kurang memiliki pengetahuan yang cukup tentang
ilmu pengetahuan. Sedangkan Al-Qur’an sendiri sebagai gudang ilmu dapat digali
untuk mengembangkan pengetahuan manusia tentang alam semesta.
Pada ayat 7, gunung-gunung sebagai bagian geosfer berfungsi
sebagai pasak. Atau paku raksasa. Paku ini menahan atau mengeram laju sebagian
energi pergerakan litosfer agar tidak terlalu cepat berjalan, sehingga
peradaban manusia tidak hancur berantakan. Selain itu, gunung juga memberikan
kesuburan kepada tanah dan melimpahkan aneka mineral atau bahan tambang.[14]
Para ilmuwan banyak berbeda pendapat dalam memahami peran
gunung-gunung dalam mengokohkan bumi. Sebab kendati total keseluruhan massa
gunung diatas permukaan bumi sangat besar, ia tetap tidak sebanding dengan
massa bumi secara keseluruhan yang bobotnya mencapai kira-kira 1 miliar triliun
ton. Begitu dengan ketinggian gunung meski menjulang tinggi tetap tidak
sebanding dengan panjang jari-jari (lingkaran bumi).
Pada pertengahan tahun 60-an abad ke-20, ketika hasil
penelitian berhasil menemukan bahwa kerak bebatuan bumi terpecah oleh jaring
letak yang membentang puluhan ribu kilometer dan yang mengelilingi bumi ini
secara keseluruhan dengan kedalaman yang berkisar antara 65 km sampai 150 km.
Gunung sebagai pasak raksasa yang akarnya menghujam. Artinya, kepala pasak yang
tampak di permukaan jauh lebih pendek daripada panjang batang yang menghujam
perut bumi. Ternyata kedalaman akar gunung mencapai 10-15 kali lipat dari
ketinggiannya itulah yang lebih dahsyat. Hal ini mengakibatkan
terpecah-pecahnya bebatuan bumi menjadi sejumlah lempengan bebatuan yang
terpisah satu sama lain dengan tingkat perpecahan masing-masing. Pasak
pegunungan juga mengokohkan penopang-penopang yang terpancang di bumi
sebagaimana yang terjadi dengan pergeseran ke arah benua Asia, sehingga kedua
benua (India dan Asia) pun bertabrakan dan menghasilkan terbentuknya pegunungan
Himalaya sebagai rangkaian pegunungan yang terbaru di muka bumi sekaligus yang
paling tinggi. Proses di atas merupakan proses pengokohan massa benua-benua di
atas permukaan bumi.
Gerakan yang cenderung liar ini diperkecil oleh keberadaan
gunung-gunung yang memiliki akar yang menancap di kerak bebatuan bumi yang
bentangan kedalamannya mencapai 10 hingga 15 kali lipat ketinggiannya di atas
permukaan bumi. Keberadaan gununggunung ini meminimalisir keliaran gerakan atau
goyangan poros putar bumi dan menjadikannya lebih stabil dan lebih teratur
dalam proses rotasinya mengelilingi porosnya, juga menjadikan goyangan dan
pembuktian sains yang terdapat pada surat An-Naba’ ayat 7 yang mengatakan bahwa
Allah menjadikan gunung-gunung sebagai pasak dibumi. Dan hal ini juga sesuai
dengan hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa begitu usai menciptakan bumi dan
bumi tersebut bergerak-gerak dan bergoyang-goyang, maka Allah pun
mengokohkannya dengan menciptakan gunung-gunung. Hal ini merupakan fakta yang
mencengangkan bagaiamana tidak 14 abad yang lalu Allah mewahyukan hal semacam
ini dimana ilmu pengetahuan saat itu belum bisa membuktikan fakta ini, dan di
abad ke-20 setelah pengetahauan manusia sudah menjangkaunya fakta ini baru
terbukti.
Pada ayat 8, menunjukkan bahwa segala yang Allah ciptakan
senantiasa menghadirkan sistem yang saling berpasangan atau berlawanan,
diantaranya: baik-buruk, panjang-pendek, jantan-betina, gunung-lembah dan
lain-lain hingga wujud subatomik (mikroskopik) yang saling melengkapi wujud
makroskopik yang tak tampak oleh mata telanjang.[15]
Dalam dunia ilmu pengetahuan, setiap makhluk yang
diciptakan berpasangan ini baru terbongkar pada abad ke-19. Seorang ilmuwan
asal Inggris, Paul Dirac, dalam penelitiannya berhasil menemukan materi yang
diciptakan secara berpasangan. Penemuannya yang dinamakan “Parite” ini menyebutkan bahwa seluruh benda yang ada di alam
semesta sampai partikel terkecil yang tak terlihat oleh kasat mata, ternyata
mempunyai pasangannya. Dengan hasil dari studinya ini, ia memperoleh nobel di
bidang fisika pada 1933. Padahal, ketika diturunkannya Al-Qur’an pada 14 abad
yang lalu, Al-Qur’an secara jelas sudah menyebutkan tentang teori ini. Konsep
semua makhluk diciptakan berpasangan juga terdapat pada QS. Yasin ayat 36 yang
berbunyi:
سُبۡحَٰنَ الذَِّىۡ خَلقََ الۡۡزَۡوَاجَ
كُلهََّا مِمَّا تنُۡۡۢبتُِ الۡۡرَۡضُ وَمِنۡ انَۡفسُِهِمۡ وَمِمَّا لَۡ
يعَۡلمَُوۡنَ
Artinya:
Maha suci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasangan-pasangan
,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari
apa-apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa-apa yang
mereka tidak ketahui.”
Al-Qur’an menjelaskan bahwa segala sesuatu di ciptakan
dengan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan secara naluri
disamping mempunyai keinginan terhadap keturunan juga Islam menetapkan jalan
atau suatu ketentuan yaitu perkawinan dimana Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan, agar timbul kecintaan dan kesayangan di antara suamiistri untuk
menempuh hidup bahagia dan memelihara keturunan yang baik, mempertahankan
kelangsungan jenis manusia sehingga tidak punah.
Pada ayat 9, dalam tafsir Al-Muntakhab yang disusun oleh
sejumlah pakar Mesir Kontemporer berkomentar bahwa, tidur adalah berhentinya
atau berkurangnya kegiatan saraf otak manusia. Karena inilah ketika tidur,
energi dan panas badan manusia menurun. Pada waktu tidur, tubuh merasa tenang
dan rileks setelah otot atau saraf atau dua-duanya letih bekerja. Ketika tidur,
semua kegiatan tubuh menurun, kecuali proses metabolisme, aliran air seni dari
ginjal dan keringat. Proses-proses tersebut jika berhenti, justru akan
membahayakan manusia. Sedangkan pernapasan sedikit berkurang intensitasnya,
tapi lebih panjang dan lebih banyak keluar dari dada ketimbang dari perut.
Jantung pun akan berdetak lebih lambat sehingga aliran darah menjadi lebih
sedikit. Otot-otot yang kejang akan mengendur sehingga mengakibatkan kesulitan
bagi seseorang yang sedang tidur untuk melakukan perlawanan. Semua hal itu
menyebabkan tidur sebagai waktu istirahat yang paling baik bagi manusia,
sebagaimana dikatakan dalam ayat ini.[16]
Pada ayat 10, dalam tafsir Al-Kabir, malam sebagai pakaian
disebut “kenikmatan”, karena malam membuat manusia tidak kelihatan sehingga
dapat menghindari diri dari bahaya atau musuh. Malam juga membuat manusia mampu
merasakan nikmatnya beristirahat dan menyamarkan hal-hal yang ingin kita
ekspresikan namun tidak ingin diketahui orang lain.
Tafsir Al-Qurthubi menerangkan bahwa malam
bisa memberikan ketenangan. Sementara Imam Nawawi Al-Bantani mengatakan bahwa
orang sakit apabila tidur di waktu malam akan merasa diringankan dari
penyakitnya.
Pada ayat 11, dalam tafsir Al-Kabir menerangkan bahwa
hampir semua makhluk hidup bergiat memenuhi kebutuhan hidupnya di waktu siang,
bukan malam hari. Dan kegiatan yang dilakukan saat siang hari pun akan lebih
efektif. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang tidak mendapatkan jumlah jam
tidur yang cukup akan meninggal lebih cepat. Orang yang sering begadang dan
sulit tidur memiliki risiko kematian dini lebih tinggi dibandingkan dengan
orang yang memenuhi kebutuhan tidur mereka, sehingga dalam ayat ini dijelaskan
bahwa siang hari digunakan untuk mencari penghidupan sementara malam hari untuk
beristirahat.[17]
Para ulama menyebutkan sunnatullah (aturan Allah SWT) bahwa
malam adalah waktu istirahat dan siang adalah waktu mencari nafkah dan mencari
kehidupan, barang siapa yang merubah tatanan ini maka dia akan ditimpa dengan
berbagai macam gangguan. Seseorang yang harusnya menjadikan malamnya sebagai
waktu istirahat dan siang sebagai waktu bekerja, namun dia balik menjadi siang
untuk tidur dan malam untuk kelayapan maka dia akan terganggu, tubuhnya tidak
akan segar meskipun waktu tidurnya di siang hari lebih banyak. Tetap saja dia
tidak akan merasakan kelezatan sebagaimana yang dia rasakan ketika dia tidur
pada malam hari selama 8 jam, meskipun pada siang hari tidurnya lebih panjang.
Hal ini terjadi karena dia mengubah tatanan, yang seharusnya malam menjadi
tempat istirahat, namun dia ubah malamnya menjadi tempat untuk mencari
penghidupan dan siangnya menjadi tempat untuk istirahat. Orang seperti ini
kehidupan yang dia jalani tidak akan berjalan dengan normal, dia akan merasakan
gangguan kesehatan, gangguan dalam pikirannya, dan berbagai hal lainnya.
Pada ayat 12,
Allah membangun di atas manusia tujuh langit yang kokoh tanpa memiliki tiang
dan tunduk kepada hukum Allah. Secara ilmiah, tujuh langit yang kokoh
kemungkinan dapat diartikan dengan lapisan-lapisan atmosfer yang dekat dengan
bumi ini, seperti: troposfer, tropopaus, stratosfer, stratopaus,
mesosfer, mesopaus, dan etmosfer. Pembagian ini
berdasarkan temperatur (suhu) dari lapisan-lapisan atmosfer dan jaraknya dari
permukaan bumi. Kekokohan lapisan-lapisan yang menyelimuti bola bumi
dikarenakan adanya gaya gravitasi bumi. Namun, jika pengertian tujuh langit ini
dikaitkan dengan mi’raj Rasulullah, tampak kurang tepat. Tujuh langit dalam
surah ini mungkin dapat diartikan sebagai “tujuh dimensi ruang-waktu”.
Dalam
Kaluza-Klein Theory (KKT), dinyatakan dalam fisika bahwa terdapat empat gaya
fundamental yang ada di jagad raya ini, yaitu gaya elektromagnetik, gaya nuklir
lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi. Jika ke-4 gaya ini terbentuk dari
ledakan besar Big Bang dari suatu singularity, maka mestinya ke-4 gaya ini
dahulunya menyatu sebagai satu gaya tunggal Grand
Unified Force, ini yang dikenal dalam Grand
Unified Theory (GUT: Teori Ketersatuan Agung). KKT menjelaskan bahwa untuk
dapat menerangkan ketersatuan gayagaya yang empat itu, maka adanya geometri
ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini tidaklah cukup. Geometri
ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini hanya mampu menjelaskan
sedikit tentang gaya-gaya Elektromagnetik dan dalam beberapa hal gaya
gravitasi. Untuk bisa menjelaskan ke-4 gaya tersebut, maka KKT menyatakan harus
ada tujuh dimensi ruang-waktu (time-space
dimensions) yang lain. Dengan demikian bersama empat dimensi yang sudah
dikenal, yaitu: garis, bidang, ruang dan waktu; maka total dimensi ada 11
dimensi. Pernyataan ini berbasiskan pada perhitungan matematika-fisika.
Pada ayat 13, berkaitan dengan matahari, penemuan ilmiah
telah membuktikan bahwa panas permukaan matahari mencapai 6000 derajat.
Sedangkan panas pusat matahari mencapai 30 juta derajat yang disebabkan oleh
materi-materi bertekanan tinggi yang ada pada matahari. Sinar matahari
menghasilkan energi berupa ultraviolet 9%, cahaya 46%, dan inframerah 45%.
Karena itulah ayat suci di atas menamai matahari sebagai pelita karena
mengandung cahaya dan panas secara bersamaan. Matahari memiliki energi cahaya
yang begitu besar sehingga selain dapat menerangi bumi ini dengan pancaran
cahayanya matahari dapat menampakkan warna dalam kehidupan. Jika tidak ada
cahaya matahari manusia hanya mampu melihat warna gelap. Namun, dengan adanya
cahaya matahari ini menjadikan benda-benda mampu memantulkan cahayanya sehingga
dapat menampakkan warna yang dapat dilihat oleh mata. Matahari adalah sumber
cahaya yang paling penting. Tanpa cahayanya makhluk hidup tidak dapat hidup
dengan lama. Panas matahari memiliki pengaruh besar atas terjadinya angin,
cuaca dan kejadian-kejadian alam lainnya.[18]
KESIMPULAN
Allah SWT telah memberikan banyak bukti tentang kekuasanya
salah satunya yang terdapat pada surat An-Naba’, yang mana pada surat ini
memliki salah satu arti berita besar. Surat ini turun saat kaum musyrikin
saling bertanya dan berselesih tentang keniscayaan hari kiamat, dan mereka
meragukan kekuasaan Allah, lalu turunlah surah ini.
Surat An-Naba’ menjelaskan tentang kekuasaan Allah seperti
bumi yang dibentangkan, gunung-gunung yang kokoh terpancang, makhluk yang
diciptakan berpasangan, tidur yang dijadikan pelepas lelah, malam yang
dijadikan pakaian, siang yang bisa dijadikan lahan kehidupan, tujuh langit yang
dikokohkan, matahari yang terang benderang, Semua yang terdapat di dalam surat
ini memiliki korelasi dengan fakta dan teori ilmiah yang ada di zaman sekarang
yang mana dulu saat Al-Qur’an diturunkan 14 Abad yang lalu hal-hal ini belum
bisa dibuktikan, karena keterbatasan pengetahuan manusia. Hal ini menunjukan
bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang mencakup pengetahuan mendalam tentang
alam semesta, dan kekuasaan Allah bahkan sebelum penemuan ilmiah di zaman
modern. Semoga dengan adanya tulisan ini membuat kita semakin yakin akan
kekuasan Allah SWT.
REFERENSI
Al-Baghdadi, Syihabuddin
Sayyid Mahmud Al-Alusi. (1853). Ruh
Al-Ma’ani fi Tafsir Al-
Qur’an Al-‘Adzim wa Sab’i Al-Matsani (Tafsir Al-Alusi). Juz. 30.
Beirut: Dra Ihay Turats Al-Arabi.
Al-Bantani, Nawawi. (1887). Al-Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil. Kairo:
Al-Mathba’ah Ustmaniyah.
Ali, Zainudin. (2007). Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
LIPI, Tim Badan Litbang & Diklat
Kementerian Agama RI. (2010). Penciptaan
Bumi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir. (2007). Tafsir Ath-Thabari.
Terj. Ahsan Askan, Jilid 26. Jakarta: Pustaka Azzam.
Aziz, Moh. Abd., & Farhan Maulana.
(2019). Fakta Ilmiah yang Terkandung dalam Surat AnNaba’ Ayat 12-16. Jurnal Ushunluddin Adab dan Dakwah.
(Vol. 2, No. 1).
Hakim, Lukman., dan Pipin Armita.
(2017). Munasabah Ayat dalam Surat An-Naba’ (Analisis Metodologi Penafsiran
Abdullah Darraz dalam Kitab An-Naba’ Al-‘Azim Nazharatun Jadidatun Fi
Al-Qur’an). An-Nida’: Jurnal Pemikiran
Islam. (Vol. 41, No. 2).
Huda, Ade Naelul.
(2022). Tafsir Ilmi (Telaah Tafsir
Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Qur'an.
Yogyakarta: Wahana
Revolusi.
ITB, Tim Tafsir Salman.
(2014). Tafsir Salman (Tafsir Ilmiah Atas
juz ‘Amma). Cet. 1. Jakarta:
Mizan Pustaka.
Mardlatillah, Sandy Diana, &
Nurjannah. (2023). Konsep Tidur dalam Perspektif Psikologi dan Islam. Happiness. (Vol. 7, No. 1).
Nur Afida, Anisa. (2018). Matahari dalam Perspektif Sains dan
Al-Qur’an. Skripsi. Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan.
Rahman, Fazlur. (2007). Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Qur’an.
Cet. I. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Shihab, M. Quraish.
(2007). Ensiklopedi Al-Qur’an. Cet.
1. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish.
(2017). Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an). Jilid.
15. Tangerang: Lentera
Hati.
Sulaiman, Ahmad Mahmud. (2001). Tuhan dan Sains (Mengungkap berita-berita
Ilmiah AlQur’an). Terj. Satrio Wahono. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
[1] Fazlur Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Qur’an,
Cet. I, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 21.
[2] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 7
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an), Jilid. 15, (Tangerang: Lentera Hati, 2017), hlm. 3.
[4] Lukman Hakim dan Pipin
Armita, Munasabah Ayat dalam Surat An-Naba’ (Analisis Metodologi Penafsiran
Abdullah Darraz dalam Kitab An-Naba’ Al-‘Azim Nazharatun Jadidatun Fi
Al-Qur’an), An-Nida’: Jurnal Pemikiran
Islam, (Vol. 41, No. 2, 2017), hlm. 121.
[5] Tim Tafsir Salman ITB, Tafsir Salman (Tafsir Ilmiah Atas juz ‘Amma),
Cet. 1, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2014), hlm. 33-34.
[6] Ibid., hlm. 34 7
Ibid., hlm. 56-59.
[7] M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), hlm. 931
[8] Syihabuddin Sayyid Mahmud
Al-Alusi Al-Baghdadi, Ruh Al-Ma’ani fi
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim wa Sab’i Al-Matsani (Tafsir Al-Alusi), Juz. 30,
(Beirut: Dra Ihay Turats Al-Arabi, 1853), hlm. 5-6.
[9] Nawawi Al-Bantani, Al-Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil,
(Kairo: Al-Mathba’ah Ustmaniyah, 1887), hlm. 423.
[10] Ade Naelul Huda, Tafsir Ilmi (Telaah Tafsir Ayat-Ayat
Kauniyah dalam Al-Qur'an), (Yogyakarta: Wahana Revolusi, 2022), hlm. 42-43.
[11]
Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains
(Mengungkap berita-berita Ilmiah Al-Qur’an), Terj. Satrio Wahono, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 50-51
[12] Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
Terj. Ahsan Askan, Jilid 26, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 9 14 Ibid.,
hlm. 10.
[13]
Tim Tafsir Salman ITB, Op.Cit., hlm.
55.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.
[16]
Tafsir Al-Misbah, Op.Cit., hlm. 9.
[17] Sandy Diana Mardlatillah
& Nurjannah, Konsep Tidur dalam Perspektif Psikologi dan Islam, Happiness, (Vol. 7, No. 1, 2023), hlm.
67.
[18]
Anisa Nur Afida, Matahari dalam
Perspektif Sains dan Al-Qur’an, Skripsi, (Lampung: Universitas Islam Negeri
Raden Intan, 2018), hlm. 4-8.
0 Komentar