Pendahuluan
Perkembangan penafsiran Al-Qur'an dari hari ke hari terus mengalami pembaharuan. Hal tersebut tidak terlepas dari berkembangnya pula persoalan di masyarakat. Walaupun mengalami perkembangan, kitab tafsir dari para mufasir zaman pertengahan modern masih tetap menjadi rujukan yang sangat dibutuhkan oleh mufasir zaman ini.
Hal tersebut dikarenakan isi dari penafsiran kitab tafsir tersebut memuat berbagai disiplin ilmu dan kedalaman berfikir para mufasir zaman itu. Diantara kitab tafsir zaman pertengahan modern tersebut disini akan dijelaskan salah satunya yakni Ruhul MaaniImam al-Alusi dikenal sebagai penulis kitab tafsir Ruhul
Maani karena salah satu karya terbesarnya. Sang penulis kitab juga mahir di
berbagai disiplin ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, seperti ilmu ushul dan furu', ahli hadis dan mahir
dalam sastra Arab. Ilmu- ilmu itu sangat berpengaruh bagi sang mufassir untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Al-Alusi yang sejak kecil hidup di dunia
tasawuf. Banyak peneliti yang menganggap dia seorang sufi sehingga tafsirnya
pun ikut bernuansa sufistik. Selian itu, pandangannya mengenai makna dari
Al-Qur’an, tafsir, dan ta’wîl pun turut
mempengaruhi pemikirannya dalam
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an.
Untuk itu, dengan menggunakan metode deskriptif analitis, tulisan
ini akan mencoba
melacak tentang pemikiran
Al-Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma’ani.
Untuk membuktikan hal
itu, terlebih dahulu
akan diungkap untuk
mendeskripsikan terkait setting historis biografi al-Alûsî selaku pengarang tafsir Ruhul Ma’ani sebagai
langkah awal untuk mengetahui
pemikirannya. Kemudian dilanjutkan
dengan melihat pendapat Al-Alusi
tentang Al-Qur’an, tafsir, dan ta’wîl.
Ini dilakukan untuk mengetahui Al-Alusi
memaknai ketiga istilah tersebut, yang nantinya sangat berpengaruh
terhadap penafsirannya. Setelah itu, dibahas mengenai metodologi dan aplikasi
penafsiran Al-Alusi dalam tafsir Ruhul Ma’ani, untuk kemudian dianalisis
terkait pemikirannya tersebut. Dengan begitu diharapkan tulisan ini mampu
memberikan gambaran yang jelas tentang pemikiran Al-Alusi dalam tafsirnya Ruhul
Ma’ani.[1]
Kitab tafsir Ruhul Maani juga sudah
banyak tersebar di kalangan orang-orang berilmu. Kitab ini juga dipakai oleh
para pelajar Al-Qur'an, karena di dalamnya banyak membahas tentang
masalah-masalah keilmuan yang sangat beragam. Menurut mufassir ilmu tentang
Al-Qur'an ialah ilmu yang paling penting, karena menurutnya juga metode
Al-Qur'an dan sunnah merupakan petunjuk untuk menuju sebuah kebahagiaan.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah
lebih lanjut tentang kitab tafsir Ruhul Maani yang nantinya juga akan
menjelaskan terkait biografi mufassir, karakteristik kitab, sistematika, serta
kelebihan dan kekurangan kitab.
Biografi Imam Al-Alusi
Abu Sana Syihab
al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi adalah nama lengkap
mufassir kondang asal Irak. Sebutan ini merujuk kepada suatu daerah di dekat
sungai Eufrat yang terletak di antara Baghdad dan Syam (Syiria), di mana keluarganya
bertempat tinggal. Al-Alusi
dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 14 Sya’ban 1217 H di daerah dekat Kurkh,
Irak. Ayahnya merupakan ulama Irak yang sangat terkenal dengan kedalaman
ilmunya. Sejak kecil Al-Alusi belajar agama langsung dari ayahnya. Selain itu,
dia juga belajar tasawuf dari seorang sufi bernama Shaikh Khalid
al-Naqshabandi.[2]
Terlahir di
tengah-tengah keluarga yang
berpendidikan, al-Alusi tumbuh
menjadi anak yang cerdas. Dia mempunyai ingatan yang kuat, dan berpengetahuan
luas baik dalam berbagai bidang keilmuan. Menginjak usia 13 tahun, al-Alusi
menjadi salah satu pengajar di universitas yang didirikan oleh Shaikh Abdullah
Shalah al-Aqulani di daerah Rasafah. Dalam bidang aqidah, al-Alusi mengikuti
aliran Sunni-Maturidiah. Sedangkan dalam bidang fiqh, pada mulanya al-Alusi
bermadzhab
Syafi’i.[3]
Selanjutnya pada
tahun 1263 H, saat usianya mencapai 31 tahun, al-Alusi diangkat sebagai mufti
Baghdad. Namun, karena sudah sejak usianya masih 20 tahun al-Alusi memang ingin sekali menyusun sebuah kitab
tafsir yang dapat memecahkan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat waktu
itu, dia kemudian melepaskan jabatannya tersebut dan lebih memilih untuk mulai
menyusun kitab tafsir.
Meskipun sudah
mempunyai banyak waktu, Al-Alusi masih merasa
belum mampu untuk merealisasikan ide tersebut, sehingga
keinginannya belum dapat terwujud. Keinginannya menulis tafsir ini pun
baru terwujud, ketika
al-Alusi bermimpi diperintah
melipat langit dan
bumi dengan mengangkat satu tangan ke arah langit dan satu tangan ke
tempat mata air. Mimpi yang terjadi pada malam Jum’at di bulan Rajab tahun 1252
H tersebut merupakan isyarat bahwa dia diperintahkan untuk menulis sebuah kitab
tafsir. Dia pun mulai menulisnya pada tanggal 16 Sya’ban 1252 H, pada waktu dia
berusia 34 tahun, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sulthan Abdul
Hamid Khan.Kitab ini kemudian diberi judul, Ruhul Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an
al-Aẓim wa al-Sab’alMasani oleh Perdana Menteri Ali Ridho Pasha. Karena nama
tersebut dirasa sesuai dengan tujuan awal penulisannya, yaitu “semangat makna
dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab’ul mastani, maka, al-Alusi pun
menyetujuinya.
Setelah tafsirnya
selesai ditulis, tepatnya pada tahun 1266 H, al-Alusi melakukan perjalanan ke
Konstatinopel, di mana menurut sebagian riwayat
dia sempat tinggal
selama dua tahun
di sana. Dia pun
lantas menunjukkan tafsirnya itu kepada Sultan yang berkuasa saat itu,
yaitu Abdul Majid Khan untuk mendapatkan pengakuan dan kritik. Dan sebagai
bentuk apresiasi yang luar biasa dari Sultan, dia kemudian dihadiahi emas
seberat timbangan kitab tersebut.[4]
Karya dan Wafatnya Al-Alusi
Selain menulis
tafsir, al-Alusi juga banyak menghasilkan karya dalam bidang ilmu
logika, seperti: Hashiyyah ala
al-Qatr dan Sharh
al-Salim. Selain itu, karyakaryanya yang lain adalah: al-Ajwibah
al-Iraqiyyah an-As’ilah al-Lahariyyah, al-
Ajwibah al-Iraqiyyah ‘ala As’ilah al-Iraniyyah, Durrah
al-Gawâs fi Awhâm alKhawass, dan masih
banyak lagi. al-Alusi wafat diusianya yang ke-53 tahun
pada hari Jum’at tanggal 25 Zulhijjah 1270 H/1854 M. Jasadnya dimakamkan di
dekat
makam Syaikh Ma’ruf al-Karakhi, salah seorang tokoh sufi
yang sangat terkenal di kota Kurkh.[5]
Analisis Terhadap Pemikiran Al-Alusi dalam Kitab Tafsir Ruhul Ma’ani
Pemaknaan al-Alûsî
tentang konsep al-Qur’an, tafsir, dan ta’wîl, ternyata memang sangat
mempengaruhi cara kerjanya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Pandangannya
bahwa Al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu pengetahuan dan merupakan kitab
yang sangat sempurna menjadikan
dia memilih metode
tahlîlî dalam tafsirnya. Sedangkan pendapatnya bahwa tafsir
diartikan dengan “kasyf”
(menyingkapkan makna yang
tersembunyi) dan “bayan” (penjelas) terhadap makna
Al-Qur’an, menuntutnya untuk mencari setiap makna yang tersembunyi
dari setiap ayat.
Karena itulah kemudian Al-Alusi merupakan salah seorang mufassir
yang membolehkan Al-Qur’an tidak hanya ditafsirkan, tetapi juga dita’wilkan.
Bagi Al-Alusi, dengan menta’wilkan al-Qur’an, seseorang dapat mengembalikan
makna yang benar-benar dikehendaki oleh Allah.
Atas dasar tersebut
al-Alûsî memilih bentuk
bil ra’yi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ini
tentu saja tidak lepas dari cenderungannya mengikuti pola berpikir Imam Abu
Hanifah yang rasionalistis. Selain itu, al-Alûsî juga pernah menghasilkan karya
dibidang logika. Tidak mengherankan jika tafsirnya ini kemudian dikategorikan
sebagai tafsir bil ra’yi. al-Alusi menggunakan metode tahlîlî agar tafsirnya
dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci dan konprehensip.
Dukungan
keluarga yang sangat
besar memberikan pengaruh
positif dan membantu perkembangan kepribadian al-Alusi terhadap bakat-bakat alamiah yang
dimilikinya, khususnya dalam bidang tasawuf. Ditambah lagi, dia juga telah
belajar tasawuf sejak masih muda kepada para mursyid yang ternama ketika itu.
Maka, kecintaannya terhadap ilmu tasawuf ini memberikan pengaruh yang sangat
positif dan besar pada corak penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Ditambah lagi sejarah penulisan tafsirnya yang bermula dari sebuah mimpi yang
dia alami untuk melipat langit dan bumi, dan mengangkatnya dengan satu tangan
ke arah langit dan satu tangan ke tempat mata air, menjadikan tafsirnya
bernuansa sufistik. Karena itu, wajar saja jika dalam sebagian uraian
tafsirnya, dia memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna
batin (esoteric).
Metode tafsir al-Alûsî dengan terlebih
dahulu mengungkap makna yang tersirat (esoteris) baru kemudian mengungkap makna
yang tersurat(eksotoris), menandakan bahwa dia membawa tafsirnya tersebut ke
dalam Tafsir sufi-isyârî.
Adapun syarat-syarat tentang bolehnya menafsirkan Al-Qur’an
secara isyârî adalah: penafsiran isyârî tidak boleh menafikan apa yang
dimaksudkan makna zhahir, harus ada nas lain yang menguatkannya, tidak
bertentangan dengan syara’ dan akal, serta harus diawali dengan penafsiran
terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain yang selain makna
zhahir.[6] Dari
syarat-syarat tersebut, jelas bahwa afsir
Rûh al-Ma’ânî karya Al-Alûsî
ini telah memenuhi
syarat untuk dikategorikan sebagai tafsir yang bernuansa shufi-isyari.
Meskipun dalam hal
ini, al-Zahabi menyatakan bahwa tafsir Ruhul Ma’ani ini tidak dapat
dikategorikan sebagai tafsir isyârî. Dia memasukkan tafsir Rûh al-Ma’ânî ini ke
dalam tafsir bi al-ra’yal-mahmûd (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji). Sebab
maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan apa
yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang shahih.
Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa Al-Alusi juga memberikan penafsiran
secara isyârî, tetapi porsinya relatif sedikit dibanding yang bukan isyari.[7]
Terlepas dari apakah tafsir Rûh
al-Ma’ânî ini bernuansa shufi-isyari atau bukan, yang pasti, pemikiran
Al-Alûsî dalam tafsirnya ini dapat
dijadikan rujukan bagi
umat Islam, yang
ingin lebih memahami
Al-Qur’an secara lebih dalam, baik dari kalangan masyarakat awwam yang
tidak berasal dari golongan sufi, maupun dari kalangan para sufi itu sendiri.
Bahkan, menurut hemat penulis, tafsirnya ini layak dibaca oleh mereka yang
kerap kali mengesampingkan syari’at untuk sampai kepada hakikat. Bahkan,
kebiasaannya menyisipkan ungkapan qudrah Allah setelah menjelaskan maksud
ayat secara rinci
dan rasional, menunjukkan
sisi sufisme al-Alusi.
Latar Belakang Penyusunan Tafsir Ruh al-Ma’ani
Latar belakang penulisan kitab tafsir
Rûh al-Ma’anî terkesan agak mistik. Beliau menulis terdorong oleh suatu mimpi,
meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Al-Alusi
memang ingin sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup
persoalan-persoalan yang dianggap urgent
bagi masyarakat waktu itu. Namun rupanya beliau senantiasa dihinggapi
keragu-raguan untuk merealisasikan ide tersebut.
Akhirnya,
pada suatu malam, tepatnya pada malam jum'at bulan Rajab tahun
1252 H, beliau bermimpi disuruh Allah Swt untuk melipat
langit dan bumi, kemudian
disuruh untuk memperbaiki kerusakan- kerusakan yang ada
padanya. Dalam mimpinya, beliau seolah-olah mengangkat salah satu tangannya ke
langit dan yang tangan lainnya ke tempat air. Namun kemudian beliau terbangun
dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan ternyata beliau menemukan
jawabannya dalam sebuah kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun
kitab tafsir. [8]
Sistematika Penulisan Penafsiran
Kitab ini dikatakan sebagai karya
al-Alusi yang terbesar karena kitab ini berisi pandangan dari kalangan ulama
salaf maupun khalaf dan juga mengandung kesimpulan kitab-kitab tafsir
sebelumnya seperti tafsir Ibnu Athiah, Abu Hayyan, al-Kasyaf, Abu al-Sa`ud,
al-Baidlawi dan al-Razi. Al-Alusi berusaha bersikap netral dan adil ketika
menukilkan tafsir-tafsir tersebut dan selanjutnya mengemukakan komentar dan
pendapatnya sendiri secara merdeka tanpa terpengaruh pada salah satu tafsir
tersebut [9].
Ketika menukilkan tafsir-tafsir
terdahulu, al-Alusi menggunakan beberapa istilah antara lain “qala syaikh
al-Islam” bila menukilkan dari tafsir Abu al-Sa`ud, “qala al-qadli” bila dari
tafsir al-Baidlawi, dan “qala al-imam” bila menukilkan dari tafsir al-Razi.[10]
Tafsir Ruh al Ma'ani memberikan penjelasan terhadap alQur'an secara berurutan
sesuai dengan tertib mushaf. Dimulai dari Surat al Fatihah di akhiri dengan
Surat Annas. Sehingga tafsir ini masuk dalam golongan Tafsir Tahlili.
Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam kitab
ini al-Alusi menempuh langkah sebagai berikut [11]
Menyebutkan ayat yang ditafsirkan sesuai dengan urutannya
di dalam surat-surat Al-Qur'an. Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat
yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu).
• Menafsirkan dengan ayat-ayat lain
• Memberikan keterangan dari hadis nabawi bila ada -Mengumpulkan
pendapat para penafsir terdahulu.
• Memperjelas makna lafal dengan syair-syair.
• Menyimpulkan berbagai pendapat yang ada dengan memberikan
keterangan segi balaqhah, i’jaz, munasabahnya serta asbabun nuzul bila dijumpai.
Langkah-langkah tersebut merupakan langkah yang digunakan
dalam menafsikan ayat-ayat Al-Qur'an dengan mengacu pada suasana ayat, juga
susunan surat yang ada dalam Al-Qur'an.
Sumber Penafsiran Tafsir Ruh al-Ma’ani
Adapun sumber-sumber penafsiran yang
dipakai, al-Alusi berusaha memadukan sumber bi al-ma’tsur (riwayat) dan bi
al-ra’yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari nabi atau sahabat bahkan tabi’in
tentang penafsiran Al-Quur’an dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara
bersama-sama. Sepanjang hal itu dapat dipertanggung jawabkan akurasinya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat
dan meneliti langsung pada penafsiran al-Alusi dalam kitab tafsirnya, Ruh
al-Ma’ani dapat diambil kesimpulan bahwa tafsir al-Alusi ini menggunakan
pendekatan al-Ra’yi dalam proses penafsirannya karena memang nuasa al-Ra’yu
sangan mendominasi di dalamnya. [12]
Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam
menafsirkan adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan
pendekatan bahasa, seperti nahwu, saraf maupun balaghah dan sebagainya. [13]
Metode Penafsiran Tafsir Ruh al-Ma’ani
Kitab tafsir ini sempat mengundang
takjub dan senang Sultan Abdul Majid Khan, ketika beliau mengunjungi kota
Qistintiniyyah (sekarang Kostantinopel atau Istanbul, Turki) pada tahun 1267 H.
al-Alusi sendiri menetap di kota ini selama dua tahun (1267 H-1269 H).
Metode yang dipakai oleh al-Alusi dalam
menafsirkan Al-Qur'an adalah metode tahlili [14]. Salah
satu yang menonjol dalam tahliliy (analisis) adalah bahwa seorang mufasir akan
berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang
ditafsirkan. Maka biasanya mufasir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab
al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain.
Corak Penafsiran Kitab Tafsir Ruhul Maani
Al-Alūsī merupakan salah satu mufassir
yang cukup unik dalam penafsirannya disebabkan oleh corak penafsirannya yang
beragam bagi sebagian orang, sehingga beberapa ulama memberikan pandangan yang
berbeda-beda. Oleh Komaruddin Hidayat, tafsir Ruh al-Ma’ani dikategorikan juga
sebagai bil-ra’yi. Menurut
pandangannya, tafsir al-Alusi memiliki kekuatan nalar tinggi dan adaptasi besar
terhadap beragam keilmuan yang berkembang di dunia Islam saat itu, ketika
berkaitan penafsiran teks-teks zahir dan isyarat-isyarat (tersembunyi-ilmiah)
dalam al-Quran itu sendiri. Menurutnya, hal ini mirip dengan yang dilakukan
aliran Mu’tazilah.
Yaitu menangkap pemahaman tidak hanya secara tekstual,
melainkan dengan terus menggali subtansi pesan al-Quran yang bersifat rasional
dan universal ke lumbung ayat yang paling dalam.[15]
Namun, dalam sejumlah kajian dikatakan
bahwa corak yang paling menonjol pada tafsir Rūh al-Ma’ānī ini adalah isyārī.[17]
AlŻahabi berpandangan bahwa pada
dasarnya corak ini hanya terdapat pada sejumlah kecil
ayat-ayat yang ditafsirkannya dan tidak
bertujuan isyārī.[18]
Berikut adalah beberapa aplikasi corak
penafsiran isyārī yang terdapat dalam
tafsir Rūh al-Ma’ānī; 1. QS Luqman/31: 20 :
الََمْ ترََوْا انََّ اللَّٰ سَخَّرَ لكَُمْ مَّا فِى السَّ م و تِ وَمَا فِى الَْْرْضِ وَاسَْبَغَ
عَليَْكُمْ نعَِمَ ه ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يُّجَادِلُ فِى اللِّٰ بغِيَْرِ عِلْمٍ وَّلَْ هُدىً وَّلَْ كِ ت بٍ
مُّنِيْرٍ
Terjemahnya:
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan
nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah
tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi
penerangan.[19]
Untuk menafsirkan ayat di atas, al-Alūsī
menjelaskan adanya qiraah di dalam ayat tersebut. Qiraah yang dimaksudkan oleh
al-Alūsī adalah qiraah dengan bentuk
tunggal () dan ada qiraah dengan bentuk
jamak ( diartikannya sebagai nikmat yang nampak, yaitu
nikmat yang mengikuti penampakan ilmu.
Sedangkan dimaknainnya sebagai nikmat yang mencari
hakikat ilmu. Ia juga mengutip sebuah pendapat bahwa adalah jiwa yang tak pernah tergelincir,
sedangkan adalah hati yang tak pernah
lupa.[20]
Namun, al-Alūsī mengutip pendapat
al-Junaid pada saat menafsirkan kata Al-Junaid memaknai al-ni’am al-ẓāhirah adalah perangai yang baik, sedangkan al-ni’am al-bāṭinah adalah mengenal
Allah (makrifah).
2. QS Lukman/31: 4
الَّذِيْنَ يقُِيْمُوْنَ الصَّ لوةَ وَيؤُْتوُْنَ الزَّ ك وةَ وَهُمْ بِا لْْ
خِرَةِ هُمْ يوُْقنِوُْ نَۗ
Terjemahnya:
(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka
yakin akan adanya negeri akhirat.[21]
Dari
ayat di atas, al-Alūsī tampak menonjolkan corak isyārīnya dengan
menafsirkan frase dengan makna menghadirkan hati secara
totalitas serta berpaling dari perkara lain yang berbau fana, itulah salat orang istimewa khawāṣu al-Khawāṣ. Salat orang istimewa (khawāṣ) mengenyampingkan semua resiko yang buruk,
keinginan-keinginan dunia, dan tidak berkeberatan untuk mencari surga,
sedangkan salat orang biasa (‘awwwām)
adalah sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang.
Sedangkan, frase bermakna mengorbankan atau mewariskan benda
yang ada (al-wujūd) untuk
dipersembahkan kepada sang penguasa; tuhan yang patut disembah untuk menggapai
tujuan pengabdian kepada Allah, itulah zakat orang khusus (alakhaṣṣ), sedangkan zakat orang istimewa (al-khāṣṣ) mereka mengorbankan harta seluruhnya untuk mensucikan
hati dari sandungan cinta dunia. Adapun zakat orang biasa (‘āmmah) mereka mengeluarkan harta sesuai dengan kadar yang telah
ditentukan syariah dengan tujuan mensucikan diri dari najis kekikiran.
Pandangan Ulama Tentang Tafsir Ruh al-Ma’ani
Tafsir Rûh al-Ma’anî dinilai oleh
sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak
dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana
tafsir al-Nisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh alDzahabi dengan
menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka
tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir
al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang
terpuji). Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabi, sebab memang maksud utama
dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Qur'an berdasarkan
isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Qur'an berdasarkan apa yang dimaksud
oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih. [22]
Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa
beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih
sedikit dibanding yang bukan isyari.
Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan
kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan. Imam Ali
al-Shabuni sendiri juga menyatakan bahwa Imam al-Alusi memang memberi perhatian
kepada tafsir isyari, segi-segi balaghah dan bayan dengan apresiasi yang baik
dan beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat dianggap sebagai tafsir
yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi
al-dirayah dan isyarah. [23]
Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah,
tafsir Rûh al-Ma’anî merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian
besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih
terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana
dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid Ridha juga menilai bahwa Imam al-Alusi
sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta'akhkhirin karena keluasan
pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin.
Namun, Imam al-Alusi tidak luput dari kritikan. Seperti tuduhan sebagai
penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya, karena tidak merubah redaksi-redaksi
yang dikutipnya. [24] Kelebihan dan Kekurangan tafsir Ruh
al-Ma’ani
beberapa kelebihan yang terdapat dalam kitab tafsir ini
diantaranya : 25
a Imam
al-Alusi dalam menafsirkan ayat-ayat sangat memperihatikan ilmu-ilmu tafsir
atau ulum al-Quran seperti ilmu nahwu, balaghah,qira’at, asbab al-nuzul,
munasabah dan sebagainya. b Al-Alusi
bersikap tegas terhadap riwayat-riwayat isra’iliiyat. Sebagaimana ketika
menafsirkan surat Hud ayat 38, dalam menjelaskan lafal “al-fulk” meriwatkan
khabar israiliyat dengan menyebutkan jenis kayu untuk membuat kapal,
panjangnya, lebarnya,tingginya dan juga tempat pembuatan kapal dan seterusnya
kemudian berkomentar, “keadaan sebenarnya dari kapal yang dikabarkan, aku rasa
tidak dapat berlayar dengannya karena tidak bebas dari aib dan kekurangan, maka
lebih afdhal mengimaninya bahwa Nabi Nuh membuat kapal sebagaimana yang telah
dikisahkan oleh Allah dalam al-Qur’an, tanpa mengetahui jenis
kayunya, pangjangnya, lebarnya,tingginya, dan lama
pekerjaannya dan lain sebagainya, karena itu tidak diterangkan oleh al-Qur’an
dan hadis yang shahih.
c
Menurut al-Shabuni tafsir
al-Alusi adalah bahan rujukan yang terbaik dalam bidang ilmu tafsir riwayah,
dirayah dan isyarah, serta meliputi ulama salaf maupun khalaf dan ahli-ahli
ilmu.
d
Dalam menjelaskan ayat-ayat
hukum tidak ada kecenderungan untuk memihak kepada suatu mazhab tertentu
setelah menyebutkan beberapa pendapat mazhab fiqih yang ada.
Disamping mempunyai beberapa kelebihan tafsir al-Alusi juga
mempunyai kekurangan antara lain : [25]
a
Dalam membahas masalah
ketata bahasaan, terkadang al-Alusi memberikan penjelasan secara luas. Sehingga
melampaui kapasitasnya sebagai seorang mufassir.
b
Dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Quran, al-Alusi banyak menggunakan pendapat dari para ulama lainnya.
c
Dalam pencantuman hadits,
terkadang al-Alusi tidak menjelaskan tentang kualitas hadis.
Kesimpulan
Perkembangan penafsiran Al-Qur'an dari
hari ke hari terus mengalami pembaharuan. Hal tersebut tidak terlepas dari
berkembangnya pula persoalan di masyarakat. Imam al-Alusi dikenal sebagai
penulis kitab tafsir Ruhul Maani karena salah satu karya terbesarnya. Sang
penulis kitab juga mahir di berbagai disiplin ilmu, baik itu ilmu umum maupun
ilmu agama, seperti ilmu ushul dan furu', ahli hadis dan mahir dalam sastra
Arab. Al-Alusi yang sejak kecil hidup di dunia tasawuf. Banyak peneliti yang
menganggap dia seorang sufi sehingga tafsirnya pun ikut bernuansa sufistik.
Selain itu, pandangannya mengenai makna dari Al-Qur’an, tafsir, dan ta’wîl pun
turut mempengaruhi pemikirannya dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk
itu, dengan menggunakan metode deskriptif analitis, tulisan ini akan mencoba
melacak tentang pemikiran Al-Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma’ani. Untuk
membuktikan hal itu, terlebih dahulu akan diungkap untuk mendeskripsikan
terkait
setting historis biografi al-Alûsî selaku pengarang tafsir
Ruhul Ma’ani sebagai langkah awal untuk mengetahui pemikirannya.
Kemudian dilanjutkan dengan melihat
pendapat Al-Alusi tentang Al-Qur’an, tafsir, dan ta’wîl. Ini dilakukan untuk
mengetahui Al-Alusi memaknai ketiga istilah tersebut, yang nantinya sangat
berpengaruh terhadap penafsirannya. Setelah itu, dibahas mengenai metodologi
dan aplikasi penafsiran Al-Alusi dalam tafsir Ruhul Ma’ani, untuk kemudian
dianalisis terkait pemikirannya tersebut.
Latar belakang penulisan kitab tafsir
Rûh al-Ma’anî terkesan agak mistik. Beliau menulis terdorong oleh suatu mimpi,
meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Pada suatu
malam, tepatnya pada malam jum'at bulan Rajab tahun 1252 H, beliau bermimpi
disuruh Allah Swt untuk melipat langit dan bumi, kemudian disuruh untuk
memperbaiki kerusakan- kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya, beliau
seolah-olah mengangkat salah satu tangannya ke langit dan yang tangan lainnya
ke tempat air. Namun kemudian beliau terbangun dari tidurnya.
Referensi
Kasman, “Pemetaan Tafsir Abad Pertengahan” dalam
Jurnal Ilmu Ushuluddin vol. 8, no. 2, Juli 2009
Mahmud al-Alusi Abu
al-Fadhl Syihab al-Din al-Sayyid, Ma’ani
Ruhul, vol. 1 (Bairut, Dar al-Fikr, 1983)
Megarestri Eva Amalia, “Study Tematik Terhadap Penafsiran Al-Qur’an
Tentang
Ayat
Sajadah dan Munasabahnya Dalam Tafsir Ruhl Ma’ani (Skripsi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta,2003
Mustaqim Abdul, Ruhul Ma’ani karya al-Alusi dalam
Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks Yang Bisu
(Yogyakarta: Teras, 2004),
Al-Dzahabi Muhammad
Huseyn al-Dzahabi, Tafsîr wa
al-Mufassirûn, juz II, cet. II, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabiyyah,
1976
Hati Aminah Rahmi,
Skripsi : “Metode Dan Corak Penafsiran
Imam Al-Alusi Terhadap Al-Qur’an”, (Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau
2013)
Baghdadi Ismail
Basya, Mushannafiin Hidayah Arifin Asma Muaalafin Wa Atsarul. (Istambul ) Jilid
6
Al-Alusi Abu al-Sana Syihabuddin al-Sayyid Mahmud, Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al
Qur’an
al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1 (Beirut: Dar al Kutub al „Ilmiyah,
1994)
Husna
Maisaroti, “Aplikasi Metode Tafsir al
Alusi Ruhul Ma’ani fi tafsir Al-Qur’an al Azhim”
Hidayat Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Al-Zahabi Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wal Mufassirūn, Juz I
Al-Dīn Syihab, Ruḥ al-Ma’ani fī Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓum wa al-Sab’ al-Masani, Juz
XXI
Elrosyadi, “Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi” https://draft.blogger.com/#, diakses pada tanggal 20, September 2023
pada pukul 20:57
[1] Kasman, “Pemetaan Tafsir Abad Pertengahan” dalam
Jurnal Ilmu Ushuluddin vol. 8, no. 2, Juli 2009, h. 167.
[2] Abu al-Fadhl Syihab al-Din
al-Sayyid Mahmud al-Alusî , Ruhul Ma’ani,
vol. 1 (Bairut, Dar al-Fikr, 1983), 3. Lihat juga dalam Abdul Mustaqim, Studi Tafsir Ruhul Ma’ani Karya Al-Alusi;
Sebuah Eksposisi Metodologi dan Aplikasi Penafsiran dalam Jurnal Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 5,
no. 1, Januari 2004, h. 17.
[3] Eva Amalia Megarestri, “Study Tematik Terhadap Penafsiran Al-Qur’an
Tentang Ayat
Sajadah dan Munasabahnya Dalam Tafsir Ruhl
Ma’ani (Skripsi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta,2003), h. 44-46.
[4] Abdul Mustaqim, Ruhul Ma’ani karya al-Alusi dalam
Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks Yang Bisu
(Yogyakarta: Teras, 2004), h. 154.
[5] Ibid., h. 155.
[6] Muhammad Huseyn
al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn,
juz II, cet. II, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabiyyah, 1976), h. 263.
[7] Lebih jelasnya lihat dalam
Abdul Mustaqim, Rûh al-Ma’ânî karya
al-Alûsî, h. 158-159.
[8] Aminah Rahmi Hati, Skripsi
: “Metode Dan Corak Penafsiran Imam
Al-Alusi Terhadap AlQur’an”, (Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau 2013), h. 41
[9] Ismail Basya Baghdadi,
Hidayah Arifin Asma Muaalafin Wa Atsarul Mushannafiin.
(Istambul ) Jilid 6, h. 9
[10] Ismail Basya Baghdadi, Hidayah Arifin Asma Muaalafin Wa Atsarul
Mushannafiin. (Istambul 1955) Jilid 6
h.17
[11] Abu al-Sana Syihabuddin
al-Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruh al Ma’ani
Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1 (Beirut: Dar al
Kutub al „Ilmiyah, 1994), h. 142
[12] Maisaroti Husna, “Aplikasi Metode Tafsir al Alusi Ruhul
Ma’ani fi tafsir Al-Qur’an al
Azhim”,
h. 121
[13]
Ibid
[14] Dosen UIN Sunan Kalijaga,
Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta:
Teras, 2004) , h.156
[15] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 191.
[16] al-Ma’ṡūr adalah hadis atau riwayat yang diwarisi ulama kontemporer
dari ulama klasik.
Menurut ‘Alī Ḥusainī al-Jurjānī, asal kata tersebut dari ,
yang berarti hasil dari sesuatu, tandatanda, dan bagian. ‘Alī Ḥusainī
al-Jurjānī, alTa’rīfāt, (Cet. IV;
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2013), h. 13.
[17] Tafsir isyārī adalah penafsiran Al-Qur’an yang
mengabaikan makna dhahirnya. Penafsiran ini mengacu kepada penafsiran lain
selain makna eksternal dan yang tampak dari teks. Lihat Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Cet I;
Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 24.
Menurut Khalid ‘Abd al-Rahman
al-Akh, tafsir isyārī adalah corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mainstream penakwilan ayat-ayat terhadap
makna yang tidak kelihatan secara transparan karena adanya isyarat yang
tersembunyi dibalik ayat. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan
tafsir ini adalah al-Qur’an mencakup yang lahir dan batin. Makna lahirnya adalah
teks ayat, sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna
teks tersebut. Lihat Khalid ‘Abd al-Rahman al-Akh, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā‘iduhū (Beirut: Dar al-Nafa’is, 1986), h.
205.
[18]
Muḥammad Ḥusain al-Zahabi, al-Tafsīr wal
Mufassirūn, Juz I, h. 257.
[19]
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemah,
h. 816.
[20] Syihāb al-Dīn al-Alūsī, Rūḥ al-Ma’āni fī Tafsīr al-Qur’an al-Azim wa
al-Sab’ al-Masani, Juz XXI, h. 125.
[21] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemah, h. 812.
[22] Aminah Rahmi Hati, “Penafsiran Imam Al-Alusi Terhadap Al-Qur’an”,
h. 59
[23]
Ibid
[24]
Ibid
25
Elrosyadi, “Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya
Al-Alusi” https://draft.blogger.com/#, diakses pada tanggal 20, September 2023
pada pukul 20:57
[25] ibid
0 Komentar