HADIS NABI TENTANG SAB'ATU AHRUF DAN HIKMAH PERBEDAAN QIRA'AH

 

A. Latar Belakang

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasannya bangsa arab mempunyai keberagaman lahjah (dialek) antara satu kabilah dengan kabilah yang lain. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih unggul dari bahasa Arab lainnya, antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jama’ah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, seluruh suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bagi bahasa-bahasa mereka karena berbagai karakteristik tersebut.

Dengan demikian, wajarlah jika al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula, untuk menyatukan bangsa Arab, dan mewujudkan kemukjizatan al-Qur’an sekaligus kelemahan ketika meteka diminta untuk mendatangkan satu surat seperti al-Qur’an.

Apabila orang Arab berbeda dialek dalam pengungkapkan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan ragam qira’ah di antar lahjah-lahjah tersebut.[1]

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Hadis Nabi tentang Sab‟atu Ahruf?

2.      Apa Pengertian Sab‟atu Ahruf?

3.      Apa Hikmah dari Keberagaman Qira‟ah?

C. Tujuan

1.      Mengetahui Hadis-hadis Nabi tentang Sab‟atu Ahruf.

2.      Memahami pengertian Sab‟atu Ahruf.

3.      Mengetahui hikmah keberagaman Qira‟ah.

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

A. Hadis Nabi tentang Sab’atu Ahruf

Sebelum kita bicara tentang pengertian sab‟atu ahruf, ada baiknya kita bicarakan terlebih dahulu dari mana kita menemukan istilah itu dan mengapa menjadi sebuah kajian yang penting. Awalnya istilah sab‟atu ahruf ini kita temukan dalam hadis-hadis nabawi, terkait dengan Allah SWT menurunkan al-Quran dengan sab‟atu ahruf.[2] Secara garis besar hadis-hadis yang menginformasikan tentang turunnya al-Qur’an dengan sab‟atu ahruf diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:3

Pertama, Hadis-hadis yang menggambarkan perbedaan para sahabat dalam membaca suatu ayat, kemudian mereka mengklarifikasikan kepada Nabi, yang kemudian dibenarkan semuanya oleh Nabi karena al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf;

 Diriwayatkan dari Umar bin Khatab radhiyallahuanhu, ia berkata:

سَ ِعْجُ ِشَب ًَ بْ َِ حَنِٞ ْ ٌِ بْ ِِ حِصَاٍ ً َٝقْسَ أُ سُ٘ ْ زَةَ اىْفسُْقَب ُِ عَيَٚ غَٞ ْسِ ٍَب أقَْسَؤُٕ َ ب َمَب َُ زَسُ٘ ْ هُ اللهِ اللهُ عَيَٞ ْ ِٔ َسَيَّ ٌَ أقَْسَأَّ ِ ْٞ َٖب َمِدثُْ أَ ُْ أعَْجَوَ عَيَٞ ْ ِٔ ثُ ٌَّ أٍَ ْ َٖيْخُُٔ حَخَّٚ اّ ْصَسَفَ ثُ ٌَّ ىبَبَّْخُٔ ُ  صَيَّٚبِسِداَئِ ِٔ فَجِئجُْ بِ ِٔ زَسُ٘ ْ هَ اللهِ صَ يَّٚ اللهُ عَيَٞ ْ ِٔ َسَيَّ ٌَ فقَيُْجُ إِّ ِّ ْٜ سَ ِعْجُ َٕراَ قَْسَأُ عَيَٚ غَٞ ْسِ ٍَب أقَْسَأحَْْ ِ ْٞ َٖب فقََبهَ ىِ ْٜ أزَْسِئُْ ثُ ٌَّ قبَهَ ىَٔ ُ اِقْسَأْ فقََسَأَ قَبهَ َنَراَ أُّ ْصِىجَْ ثُ ٌَّ قَبهَ ىِ ْٜ اِقْسَ أْ فقََسَأثُْ فقََبهَ

 َنَراَ أُّْ صِىجَْ إِ َّ ُ اىْقسُْآ َُ أُّ ْصِهَ عَيَٚ سَبْعَتِ أحَْسُفٍ فَبقْسَءُٗ ْ ا ٍِ ُْْٔ ٍَب حَٞ َسَّسَ

“Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surah AlFurqan dengan cara yang berbeda dari yang aku baca sebagaimana Rasulullah saw. membacakannya kepadaku dan hampir saja aku mau bertindak terhadapnya, namun aku biarkan sejenak hingga dia selesai membaca. Setelah itu aku ikat dia dengan kainku lalu aku giring dia menghadap Rasulullah saw. dan aku katakan: “Aku mendengar dia membaca Al-Qur‟an tidak sama dengan aku sebagaimana engkau membacakannya kepadaku”.

Maka, beliau berkata kepadaku: “Bawalah dia kemari”. Kemudian beliau berkata, kepadanya: “Bacalah”. Maka dia pun membaca. Beliau kemudian bersabda: “Begitulah memang yang diturunkan”. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Bacalah”. Maka, aku membaca. Beliau bersabda: “Begitulah memang yang diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur‟an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah mana yang kalian anggap mudah”. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu

Jarir)[3]

Kedua, hadis-hadis yang menggambarkan usaha negoisasi nabi Muhammad, agar umat Islam diberikan keringanan dalam bacaan al-Qur’an.

 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwa

Rasulullah bersabda:

أقَْسَأَّ ِٜ جِبْسِٝ وُ عَيَٚ حَسْفٍ فَسَاجَعْخُُٔ فَيَ ٌْ أشََهْ أسَْخصَِٝ دُٓ ُ َٗ َٝصِٝ دُّ ِٜ حَخَّٚ ا ْخَٖ َٚ إِىَٚ سَبْعَتِ  أحَْسُفٍ

“Jibril membacakan (al-Qur‟an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan sab‟atu ahruf”. (H.R. Bukhari dan Muslim)5

 Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab:

عَ ِْ أبَُ ِّٜ بْ ِِ مَعْبٍ أَ َُّ اى بَِّ َّٜ صَيَّٚ اللََُّّ عَيَٞ ْ ِٔ َسَيَّ ٌَ مَب َُ عِْ ْدَ أضََبةِ بَْ ِٜ غِفَبزٍ فَأحَبَٓ ُ جِ بْسِٝ وُ صَيَّٚ اللََُّّ عَيَْٞ  ِٔ َسَيَّ ٌَ فقََبهَ إِ َُّ اللَََّّ عَصَّ َجَوَّ َٝأٍْ ُسُكَ أَ ُْ حقُْسِئَ أُ َّخلََ عَيَٚ حَسْفٍ قَبهَ  أسَْأهَُ اللَََّّ

ُعَبفَبحَُٔ ََٗ غْفِسَحَُٔ إِ َُّ أُ َّخِٜ لََ حطُِ قُ ذىَِلَ ثُ ٌَّ أحَبَٓ ُ ثبَّ ِ َٞتً فَرمََسَ حْ َ٘ َٕراَ حَخَّٚ بَيَغَ سَبْعَتَ أحَْسُفٍ  قَبهَ إِ َُّ اللَََّّ َٝأٍْ ُسُكَ أَ ُْ حقُْسِئَ أُ َّخلََ عَيَٚ سَبْعَتِ أحَْسُفٍ فَأَُّٝ  ََب حَسْفٍ قسََءُٗ ا عَيَٞ ْ ِٔ فقََدْ أصََ ببُ٘ ا

Dari Ubay bin Kaab: Bahwa Nabi Saw berada di Oase Bani Ghifar, Jibril mendatangi beliau dan berkata: “Allah memerintahkan Engkau, untuk membacakan al-Qur'an kepada umatmu dengan satu huruf,” Rasul menjawab “Aku memohon perlindungan dan ampunan Allah, sesungguhnya umatku tidak mampu melakukannya." Kemudian Jibril mendatanginya lagi dan berkata: "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu membaca Al Quran kepada umatmu dalam dua huruf." Nabi memberikan jawaban yang sama, sampai tujuh ahruf. Jibril berkata : Sesungguhnya Allah memerintahkan membacakan al-Qur'an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Huruf apa saja yang mereka gunakan dalam pembacaan Al Quran, maka mereka mendapatkan pahala." (HR. Abu Daud No. 1478)[4]

Ketiga, hadis-hadis yang merupakan informasi dari Nabi bahwa al-Qur’/an diturunkan dalam sab‟atu ahruf.

عَ ِْ أبَُ ِّٚ بْ ِِ مَعْبٍ، قَبهَ ىقَِ َٜ زَسُ هُ  اللََِّّ صلى الله عليه وسلم جِبْسِٝ وَ فقََبهَ  "  َٝب جِبْسِٝ وُ إِّ ِّٜ بعُِثجُْ إِىَٚ أٍُ َّتٍ أٍُ ِّ ِّٞ َِٞ  

ٍِ ْْ ُٖ ٌُ اىْعَجُ٘ شُ َٗاىشَّٞ ْخُ اىْنَبِٞ سُ َٗاىْغلُاَ ًُ َٗاىْجَبزِٝ َتُ َٗاىسَّجُوُ اىرَِّٛ ىَ ٌْ قَْسَأْ مِخبَبًب قطَُّ  " قَبهَ َٝب ُحََ َّدُ  إِ َُّ اىْق سُْآ َُ أُّ ْصِهَ عَيَٚ سَبْعَتِ أحَْسُفٍ

Dari Ubay bin Ka‟ab berkata: “Rasulullah SAW bertemu Jibril beliau berkata: “Sesungguhnya aku di utus kepada umat buta huruf, diantara mereka adalah nenek-nenek, kakek-kakek, anak laki-laki, anak perempuan, dan orang-orang yang tidak pernah sama sekali membaca buku”Jibril menjawab: “Wahai Muhammad, sesungguhnya al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh huruf.” (HR. Tirmidzi)[5]

B. Pengertian Sab’atu Ahruf

 Sab‟ah

Secara etimologis atau secara bahasa, sab’atu (سبعت) bermakna tujuh. Ada yang mengartikannya secara harfiah, yakni sebagai sebuah bilangan dengan batasan yang jelas. Ada juga yang mengartikannya secara makna, bahwa bilangan “tujuh” bukanlah bilangan dalam arti sebenarnya, melainkan untuk maksud memudahkan, tidak mempersulit, dan memberi keleluasaan. Kata

“tujuh” hanya menunjukkan pengertian jumlah yang banyak di dalam bilangan satuan.[6]

 Ahruf

Secara etimologi, harf berarti tepi atau ujung terakhir dari sesuatu. Terkadang harf juga bermakna sisi, arah atau segi dari sesuatu. Arti lain adalah aksara (abjad), karena ia merupakan batas terputusnya suara atau ujung/akhir surat. Kata ahruf ( أحسف) adalah bentuk jama‟ dari harf (حسف) Dan makna harf dalam bahasa Arab juga berarti huruf atau komponen yang membentuk suatu kata.[7]

Sedangkan makna sab‟atu ahruf atau tujuh huruf ini para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan huruf ini dengan perbedaan yang bermacammacam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, "Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat." Namun kebanyakan pendapat-pendapat tersebut bertumpang tindih.  Berikut beberapa pendapat yang dianggap paling mendekati kebenaran:[8]

Pertama, sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab‟atu ahruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna, dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan suatu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang suatu makna tersebut. Apabila tidak ada perbedaan, maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja.

Mereka berbeda pendapat pula dalam menentukan ketujuh bahasa tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa tersebut adalah Quraisy, Hudzail, Saqif,

Hawazin, Kinanah, Tmim, dan Yaman. Menurut Abu Hatim as-Sijistani, al-

Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Hawazin, Tamim, Azad, Rabiah dan Sa’ad bin Abi Bakar.

Kedua, yang dimaksud dengan sab‟atu ahruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah al-Qur’an diturunkan. Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tapi sama dalam maknanya.

Ketiga, sebagian ulama menyebutkan yang di maksud dengan sab‟atu ahruf adalah tujuh segi, yaitu; amr (perintah), nahyu (larangan), wa‟d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita) dan matsal (perumpamaan). Dikatakan juha tujuh segi tersebut adalah amr, nahyu,halal,haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.[9]

Keempat, segolongan ulama berpendapat, bahwa yang di maksud sab‟atu ahruf  adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu:

1.      Ikhtilaful asma‟ (perbedaan kata). Maksudnya adalah perbedaan kata benda dalam bentuk jama‟ atau mufrad. Misalnya dalam QS.

Al-Mukminun ayat 8:

 َ ٗٱىَّرِٝ َ ِٝ ُٕ ٌْ َََٰلٍَِِٰ ِخَِٖ ٌْ َٗعَٖ ْدِٕ ِ ٌْ زََٰعُ٘ َُ٘

Dalam kata  لٍَََِِٰ ََْٰخِٖ ِ ٌْ, ketika semua imam membacanya dengan memanjangkan huruf nun, Ibnu Katsir satu-satunya yang

membacanya pendek  لٍَََِِٰ خَِٖ ِ ٌْ. Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam tersebut sama.[10]

2.      Ikhtilaf Wujuhul I‟rab (perbedaan dalam segi i‟rab). Perbedaannya bisa dilihat dari perbedaan harakat pada huruf terakhir dari suatu kata, yang mana erbedaan i‟rab itu akan mengindikasikan posisi kata itu dalam sebuah kalimat. Misalnya dalam QS. Yusuf ayat 31:

 ٍَب ََٰٕراَ بشََسًا

Jumhur ulama membaca nashab menjadi بَشَسًا, Namun ibnu mas’ud membacanya dengan rafa‟ menjadi  بَشَ س.[11]

3.      Perbedaan tashriful af‟al (perbedaan dalam tashrif). Misalnya dalam QS. Saba’ ayat 19:

 فقََبىُ٘ ا۟ زَبَّْ َب بََٰعِدْ بَٞ ْ َِ أسَْفَبزِّ َب

Dibaca dengan menashabkan زَبَّْ َب karena menjadi mudhaf. Dan  بَٰعَِدْ dibaca dengan bentuk (fi‟il amr). Disini, lafadz زبْ ب dibaca pula

dengan rafa‟ زَ بُّْ َب sebagai mubtada‟ dan  بَٰعََ دْ dibaca dengan fathah pada hutuf „ain sebagai fi‟il madhi. Juga dibaca dengan بعََّ د َ dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf „ain dan merafa‟kan

 [12].زَ بُّ َبkata

4.      Perbedaan        dalam taqdim             (mendahulukan)          dan      ta‟khir

(mengakhirkan). Yaitu, suatu ayat yang dibaca berbeda antar dua qiraat. Misalnya suatu kata pada qira’at pertama terletak didepan namun pada qira’at lain terletak di belakang seperti dalam QS.Qaf ayat 19:

 َجَبءَٓثْ سَنْسَةُ ٱىَْ َ ْ ثِ   بِٱىْحَقِّ

Namun qira’at Ibnu Mas’ud dan Ibnu Imran membacanya terbalik menjadi:

 َٗجَبءَٓثْ سَنْسَةُ  بِٱىْحَ قِّ ٱىَْ َ ْ٘ثِ

5.      Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian). Yaitu, penggantian suatu huruf menjadi huruf yang lain, sehingga berubah maknanya. Contohnya adalah perubahan huruf zain (ش) menjadi huruf ra‟ (ز) pada QS. Al-Baqarah ayat 259:

 َ ٗٱ ظُسْ  إِىَٚ ٱىْعِظَب ًِ  مَٞ ْفَ  ُّ شِ   َصُٕب

Dibaca dengan huruf zain dan mendhammahkan nun, tetapi ada juga yang membaca dengan huruf ra‟.

6.      Perbedaan sebab adanya penambahan dan pengurangan. Dalam penambahan misalnya QS. At-Taubah ayat 100:

 َٗأعََدَّ ىَٖ ُ ٌْ جََٰجٍَّ حجَْسِٙ ححَْخَٖ َب ٱلَِّْْ ََٰٖسُ

Dibaca dengan tambahan  ٍِ ِْ yaitu;  ٍِ ْ ِ ححَْخَٖ َب ٱلَِّْْ ََٰٖسُ keduanya merupakan qira’at mutawatir.

7.      Perbedaan lahjah. Yang di maksud adalh perbedaan dialek di kalangan bangsa Arab. Misalnya adanya imalah.[13]

Kelima, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh ini tidak dapat diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh tersebut hanya simbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian maka angka tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertingi.

Keenam, ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang di maksud dengan sab‟atu ahruf atau tujuh huruf ini adalah qira‟at sab‟ah.[14]

Pendapat terkuat dari semua pendapat diatas adalah pendapat pertama, yang mengatakan tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalamh mengungkapkan satu makna yang sama. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab, dan lainnya.

 

C. Hikmah Perbedaan Qira’ah

Diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh huruf, yang kemudian berimplikasi kepada timbulnya varian cara baca (qira’ah), memiliki beberapa hikmah sebagai berikut:[15]

1)      Meringankan umat islam dan memudahkan mereka dalam membaca al-Qur’an, khususnya penduduk arab yang terdiri berbagai kabilah dan suku, yang di antara mereka terdapat perbedaan logat, tekanan suara,da sebagainya.

2)      Menunjukan bahwah Allah SWT benar-benar menjaga al-Qur’an dari perubahan dan peyimpangan, walaupun al-Qur’an banyak segi bacaan yang berbeda-beda.

3)      Sebagai penjelas bagi hal-hal mungkin masih global atau samar dalam Qira’ah yang lainya.

4)      Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi keringkasan maknanya karena setiap Qira’ah menunjukan hukum syara. tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafadz.

5)      Sebagai keutamaan dan kemulian umat Muhammad SAW atas umat-uamat terdahulunya karna kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu qira’ah.[16]

 

 

PENUTUP

 

 

 

A. Kesimpulan

 Terdapat teks-teks hadis mutawatir yang mengemukakan mengenai turunnya al-Qur’an dengan sab‟atu Ahruf.

 Sab‟atu Ahruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna, dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan suatu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang suatu makna tersebut.

 Hikmah keberagaman qira’ah adalah memudahkan umat Islam untuk membacanya, menunjukkan terjaganya al-Qur’an, Sebagai penjelas hal-hal yg masih global atau samar, membuktikan kemukjizatan al-Qur’an, dan menunjukkan kemuliaan al-Qur’an.

B. Saran

Kami sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini masih sangat banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah selanjutnya akan lebih baik lagi. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta menambah pengetahuan kita.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Abu Daud, https://mohaddis.com/View/Abu-Daud/T2/1478

Adiah, Halimatus, dkk, 2022, Sab’atu Ahruf dan Kontribusinya dalam Pengembangan Ilmu al-Qur’an, Jurnal Cerdas

Hukum, Vol. 1, No.1 al-Qaththan, Manna, 2005, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar)

Rahmi, Yulia, PemahamanHadis-hadis Sab‟ah Ahruf, http://wahanaislamika.ac.id/index.php/WahanaIslamika/arti cle/download/8/ (diakses pada 23 Maret 2023)

Sarwat, Ahmad, Sab‟atu Ahruf, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publising)

Sukmana, Rahayu, Mengenal Qiro‟at Sab‟ah dalam Belajar alQur‟an, https://al-adzkar.sch.id/qiraat-sabah-cara-membacaal-quran-oleh-rahayu-sukmana/, (diakses pada 25 Maret 2023)

Tirmidzi, https://sunnah.com/tirmidhi:2944

Yaqin, Ainal, Qiro‟atul Qur‟an, https://osf.io/jz569/download#:~:text=Hikmah%20Perbedaa n%20Qira'at&text=Meringankan%20umat%20islam%20da n%20memudahkan,%2C%20tekanan%20suara%2Cda%20s

ebagainya, (diaksees pada 25 Maret 2023)

 

 

 



[1] Syaikh Manna al-Qaththan, Prngantar Studi Ilmu al-Qyr‟an, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2005) , hal.194

[2] Ahmad Sarwat Lc, Sab‟atu Ahruf, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publising) hal.5 3 Yulia Rahmi, Pemahaman hadis-hadis sab‟ah ahruf, diakses pada 23 Maret 2023 http://wahanaislamika.ac.id/index.php/WahanaIslamika/article/download/8/7  

[3] Rahayu Sukmana, Mengenal Qira‟at Sab‟ah dalam Belajar al-Qur‟an, diakses pada 25 Maret 2023, https://al-adzkar.sch.id/qiraat-sabah-cara-membaca-al-quran-oleh-rahayu-sukmana/  5 Ahmad Sarwat Lc, Sab‟atu Ahruf, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publising) hal.6

[5] Sunan Tirmidzi, No.2944, https://sunnah.com/tirmidhi:2944  

[6] Ahmad Sarwat, Op.Cit, hal. 15

[7] Ibid,.

[8] Syaikh Manna al-Qaththan, Op.Cit, hal.196

[9] Ibid,. Hal.198

[10] Ahmad Sarwat Lc, Op.Cit hal.21

[11] Ibid,. Hal.23

[12] Syaikh Manna al-Qaththan, Op.cit, hal. 199

[13] Ahmad Sarwat, Op.Cit, hal.25

[14] Syaikh Manna al-Qaththan, Op.cit, hal. 200

[16] Ibid,.

Posting Komentar

0 Komentar