A. Latar Belakang
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasannya bangsa arab mempunyai keberagaman lahjah (dialek) antara satu kabilah dengan kabilah yang lain. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih unggul dari bahasa Arab lainnya, antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jama’ah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, seluruh suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bagi bahasa-bahasa mereka karena berbagai karakteristik tersebut.
Dengan demikian, wajarlah jika
al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula,
untuk menyatukan bangsa Arab, dan mewujudkan kemukjizatan al-Qur’an sekaligus
kelemahan ketika meteka diminta untuk mendatangkan satu surat seperti al-Qur’an.
Apabila orang Arab berbeda dialek dalam
pengungkapkan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka al-Qur’an
yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, menyempurnakan makna kemukjizatannya
karena ia mencakup semua huruf dan ragam qira’ah di antar lahjah-lahjah tersebut.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hadis Nabi tentang Sab‟atu
Ahruf?
2. Apa Pengertian Sab‟atu
Ahruf?
3. Apa Hikmah dari Keberagaman Qira‟ah?
C. Tujuan
1. Mengetahui Hadis-hadis Nabi tentang Sab‟atu Ahruf.
2. Memahami pengertian Sab‟atu
Ahruf.
3. Mengetahui hikmah keberagaman Qira‟ah.
BAB II PEMBAHASAN
A. Hadis Nabi tentang Sab’atu Ahruf
Sebelum kita bicara tentang pengertian sab‟atu ahruf, ada baiknya kita
bicarakan terlebih dahulu dari mana kita menemukan istilah itu dan mengapa
menjadi sebuah kajian yang penting. Awalnya istilah sab‟atu ahruf ini kita temukan dalam hadis-hadis nabawi, terkait
dengan Allah SWT menurunkan al-Quran dengan sab‟atu
ahruf.[2] Secara
garis besar hadis-hadis yang menginformasikan tentang turunnya al-Qur’an dengan
sab‟atu ahruf diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok:3
Pertama,
Hadis-hadis yang menggambarkan perbedaan para sahabat dalam membaca
suatu ayat, kemudian mereka mengklarifikasikan kepada Nabi, yang kemudian
dibenarkan semuanya oleh Nabi karena al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf;
Diriwayatkan
dari Umar bin Khatab radhiyallahuanhu, ia
berkata:
سَ ِعْجُ ِشَب ًَ بْ َِ حَنِٞ
ْ ٌِ بْ ِِ حِصَاٍ ً َٝقْسَ أُ سُ٘ ْ زَةَ اىْفسُْقَب ُِ عَيَٚ غَٞ ْسِ ٍَب أقَْسَؤُٕ
َ ب َمَب َُ زَسُ٘ ْ هُ اللهِ اللهُ عَيَٞ ْ ِٔ َسَيَّ ٌَ أقَْسَأَّ ِ ْٞ َٖب
َمِدثُْ أَ ُْ أعَْجَوَ عَيَٞ ْ ِٔ ثُ ٌَّ أٍَ ْ َٖيْخُُٔ حَخَّٚ اّ ْصَسَفَ ثُ
ٌَّ ىبَبَّْخُٔ ُ صَيَّٚبِسِداَئِ ِٔ
فَجِئجُْ بِ ِٔ زَسُ٘ ْ هَ اللهِ صَ يَّٚ اللهُ عَيَٞ ْ ِٔ َسَيَّ ٌَ فقَيُْجُ إِّ
ِّ ْٜ سَ ِعْجُ َٕراَ قَْسَأُ عَيَٚ غَٞ ْسِ ٍَب أقَْسَأحَْْ ِ ْٞ َٖب فقََبهَ ىِ ْٜ
أزَْسِئُْ ثُ ٌَّ قبَهَ ىَٔ ُ اِقْسَأْ فقََسَأَ قَبهَ َنَراَ أُّ ْصِىجَْ ثُ ٌَّ
قَبهَ ىِ ْٜ اِقْسَ أْ فقََسَأثُْ فقََبهَ
َنَراَ أُّْ صِىجَْ إِ َّ
ُ اىْقسُْآ َُ أُّ ْصِهَ عَيَٚ سَبْعَتِ أحَْسُفٍ فَبقْسَءُٗ ْ ا ٍِ ُْْٔ ٍَب حَٞ
َسَّسَ
“Aku
mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surah AlFurqan dengan cara yang
berbeda dari yang aku baca sebagaimana Rasulullah saw. membacakannya kepadaku
dan hampir saja aku mau bertindak terhadapnya, namun aku biarkan sejenak hingga
dia selesai membaca. Setelah itu aku ikat dia dengan kainku lalu aku giring dia
menghadap Rasulullah saw. dan aku katakan: “Aku mendengar dia membaca Al-Qur‟an
tidak sama dengan aku sebagaimana engkau membacakannya kepadaku”.
Maka,
beliau berkata kepadaku: “Bawalah dia kemari”. Kemudian beliau berkata,
kepadanya: “Bacalah”. Maka dia pun membaca. Beliau kemudian bersabda:
“Begitulah memang yang diturunkan”. Kemudian beliau berkata kepadaku:
“Bacalah”. Maka, aku membaca. Beliau bersabda: “Begitulah memang yang
diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur‟an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah
mana yang kalian anggap mudah”. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai,
At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu
Jarir)[3]
Kedua,
hadis-hadis yang menggambarkan usaha negoisasi nabi Muhammad, agar umat
Islam diberikan keringanan dalam bacaan al-Qur’an.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah bersabda:
أقَْسَأَّ ِٜ جِبْسِٝ وُ
عَيَٚ حَسْفٍ فَسَاجَعْخُُٔ فَيَ ٌْ أشََهْ أسَْخصَِٝ دُٓ ُ َٗ َٝصِٝ دُّ ِٜ
حَخَّٚ ا ْخَٖ َٚ إِىَٚ سَبْعَتِ أحَْسُفٍ
“Jibril membacakan (al-Qur‟an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian
berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf ditambah, dan ia pun
menambahnya kepadaku sampai dengan sab‟atu ahruf”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)5
Diriwayatkan
dari Ubay bin Ka’ab:
عَ ِْ أبَُ ِّٜ بْ ِِ مَعْبٍ
أَ َُّ اى بَِّ َّٜ صَيَّٚ اللََُّّ عَيَٞ ْ ِٔ َسَيَّ ٌَ مَب َُ عِْ ْدَ أضََبةِ
بَْ ِٜ غِفَبزٍ فَأحَبَٓ ُ جِ بْسِٝ وُ صَيَّٚ اللََُّّ عَيَْٞ ِٔ َسَيَّ ٌَ فقََبهَ إِ َُّ اللَََّّ عَصَّ
َجَوَّ َٝأٍْ ُسُكَ أَ ُْ حقُْسِئَ أُ َّخلََ عَيَٚ حَسْفٍ
قَبهَ أسَْأهَُ اللَََّّ
ُعَبفَبحَُٔ ََٗ غْفِسَحَُٔ
إِ َُّ أُ َّخِٜ لََ حطُِ
قُ ذىَِلَ ثُ ٌَّ أحَبَٓ ُ ثبَّ ِ َٞتً فَرمََسَ حْ َ٘ َٕراَ حَخَّٚ بَيَغَ
سَبْعَتَ أحَْسُفٍ قَبهَ إِ َُّ اللَََّّ
َٝأٍْ ُسُكَ أَ ُْ
حقُْسِئَ أُ َّخلََ عَيَٚ سَبْعَتِ أحَْسُفٍ فَأَُّٝ ََب حَسْفٍ قسََءُٗ ا عَيَٞ ْ ِٔ فقََدْ أصََ
ببُ٘ ا
Dari
Ubay bin Kaab: Bahwa Nabi Saw berada di Oase Bani Ghifar, Jibril mendatangi
beliau dan berkata: “Allah memerintahkan Engkau, untuk membacakan al-Qur'an
kepada umatmu dengan satu huruf,” Rasul menjawab “Aku memohon perlindungan dan
ampunan Allah, sesungguhnya umatku tidak mampu melakukannya." Kemudian
Jibril mendatanginya lagi dan berkata: "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu
membaca Al Quran kepada umatmu dalam dua huruf." Nabi memberikan jawaban
yang sama, sampai tujuh ahruf. Jibril berkata : Sesungguhnya Allah
memerintahkan membacakan al-Qur'an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Huruf apa
saja yang mereka gunakan dalam pembacaan Al Quran, maka mereka mendapatkan
pahala." (HR. Abu Daud No. 1478)[4]
Ketiga, hadis-hadis yang merupakan
informasi dari Nabi bahwa al-Qur’/an diturunkan dalam sab‟atu ahruf.
عَ ِْ أبَُ ِّٚ بْ ِِ مَعْبٍ، قَبهَ ىقَِ َٜ زَسُ هُ اللََِّّ صلى الله عليه وسلم جِبْسِٝ وَ
فقََبهَ " َٝب جِبْسِٝ وُ إِّ ِّٜ بعُِثجُْ إِىَٚ أٍُ
َّتٍ أٍُ ِّ ِّٞ َِٞ
ٍِ ْْ ُٖ ٌُ اىْعَجُ٘ شُ
َٗاىشَّٞ ْخُ اىْنَبِٞ سُ َٗاىْغلُاَ ًُ َٗاىْجَبزِٝ َتُ َٗاىسَّجُوُ اىرَِّٛ ىَ
ٌْ قَْسَأْ مِخبَبًب
قطَُّ " قَبهَ َٝب ُحََ َّدُ إِ َُّ اىْق سُْآ َُ أُّ ْصِهَ عَيَٚ سَبْعَتِ
أحَْسُفٍ
Dari Ubay bin Ka‟ab berkata: “Rasulullah SAW bertemu Jibril beliau
berkata: “Sesungguhnya aku di utus kepada umat buta huruf, diantara mereka
adalah nenek-nenek, kakek-kakek, anak laki-laki, anak perempuan, dan
orang-orang yang tidak pernah sama sekali membaca buku”Jibril menjawab: “Wahai
Muhammad, sesungguhnya al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh huruf.” (HR.
Tirmidzi)[5]
B. Pengertian Sab’atu Ahruf
Sab‟ah
Secara etimologis atau secara bahasa, sab’atu (سبعت)
bermakna tujuh. Ada yang mengartikannya secara harfiah, yakni sebagai sebuah
bilangan dengan batasan yang jelas. Ada juga yang mengartikannya secara makna,
bahwa bilangan “tujuh” bukanlah bilangan dalam arti sebenarnya, melainkan untuk
maksud memudahkan, tidak mempersulit, dan memberi keleluasaan. Kata
“tujuh” hanya menunjukkan
pengertian jumlah yang banyak di dalam bilangan satuan.[6]
Ahruf
Secara etimologi, harf
berarti tepi atau ujung terakhir dari sesuatu. Terkadang harf juga bermakna sisi, arah atau segi dari sesuatu. Arti lain
adalah aksara (abjad), karena ia merupakan batas terputusnya suara atau
ujung/akhir surat. Kata ahruf ( أحسف)
adalah bentuk jama‟ dari harf (حسف) Dan makna harf dalam
bahasa Arab juga berarti huruf atau komponen yang membentuk suatu kata.[7]
Sedangkan makna sab‟atu ahruf atau tujuh huruf ini para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan huruf ini dengan
perbedaan yang bermacammacam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, "Ahli ilmu
berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima
pendapat." Namun kebanyakan pendapat-pendapat tersebut bertumpang
tindih. Berikut beberapa pendapat yang
dianggap paling mendekati kebenaran:[8]
Pertama,
sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab‟atu ahruf adalah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna, dengan pengertian jika bahasa
mereka berbeda dalam mengungkapkan suatu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan
dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang suatu makna
tersebut. Apabila tidak ada perbedaan, maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu
lafadz atau lebih saja.
Mereka berbeda pendapat pula dalam
menentukan ketujuh bahasa tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa tersebut
adalah Quraisy, Hudzail, Saqif,
Hawazin,
Kinanah, Tmim, dan Yaman. Menurut Abu Hatim as-Sijistani, al-
Qur’an diturunkan dalam bahasa
Quraisy, Hudzail, Hawazin, Tamim, Azad, Rabiah dan Sa’ad bin Abi Bakar.
Kedua, yang dimaksud dengan sab‟atu ahruf adalah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah al-Qur’an diturunkan.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan
tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai
surat al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tapi sama dalam
maknanya.
Ketiga, sebagian ulama menyebutkan
yang di maksud dengan sab‟atu ahruf
adalah tujuh segi, yaitu; amr (perintah),
nahyu (larangan), wa‟d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita)
dan matsal (perumpamaan). Dikatakan
juha tujuh segi tersebut adalah amr,
nahyu,halal,haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.[9]
Keempat, segolongan ulama
berpendapat, bahwa yang di maksud sab‟atu
ahruf adalah tujuh macam hal yang di
dalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan),
yaitu:
1. Ikhtilaful asma‟ (perbedaan
kata). Maksudnya adalah perbedaan kata benda dalam bentuk jama‟ atau mufrad. Misalnya
dalam QS.
Al-Mukminun ayat 8:
َ ٗٱىَّرِٝ َ ِٝ ُٕ ٌْ َََٰلٍَِِٰ ِخَِٖ ٌْ َٗعَٖ ْدِٕ ِ
ٌْ زََٰعُ٘ َُ٘
Dalam kata لٍَََِِٰ ََْٰخِٖ
ِ ٌْ, ketika semua imam membacanya dengan memanjangkan huruf nun, Ibnu Katsir satu-satunya yang
membacanya pendek لٍَََِِٰ
خَِٖ ِ ٌْ. Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam tersebut sama.[10]
2. Ikhtilaf Wujuhul I‟rab (perbedaan
dalam segi i‟rab). Perbedaannya bisa
dilihat dari perbedaan harakat pada huruf terakhir dari suatu kata, yang mana
erbedaan i‟rab itu akan
mengindikasikan posisi kata itu dalam sebuah kalimat. Misalnya dalam QS. Yusuf
ayat 31:
ٍَب ََٰٕراَ بشََسًا
Jumhur ulama membaca nashab
menjadi بَشَسًا, Namun ibnu mas’ud
membacanya dengan rafa‟ menjadi بَشَ س.[11]
3.
Perbedaan tashriful af‟al (perbedaan dalam
tashrif). Misalnya dalam QS. Saba’ ayat 19:
فقََبىُ٘ ا۟ زَبَّْ َب
بََٰعِدْ بَٞ ْ َِ أسَْفَبزِّ َب
Dibaca dengan menashabkan زَبَّْ َب
karena menjadi mudhaf. Dan بَٰعَِدْ dibaca dengan bentuk (fi‟il amr). Disini, lafadz زبْ ب dibaca pula
dengan rafa‟ زَ بُّْ
َب sebagai mubtada‟ dan بَٰعََ دْ dibaca dengan fathah pada hutuf „ain sebagai fi‟il madhi. Juga dibaca dengan بعََّ د َ
dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf „ain dan merafa‟kan
[12].زَ بُّ َبkata
4. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta‟khir
(mengakhirkan). Yaitu, suatu ayat yang dibaca berbeda
antar dua qiraat. Misalnya suatu kata pada qira’at pertama terletak didepan
namun pada qira’at lain terletak di belakang seperti dalam QS.Qaf ayat 19:
َجَبءَٓثْ سَنْسَةُ ٱىَْ َ
ْ ثِ بِٱىْحَقِّ
Namun qira’at Ibnu Mas’ud dan Ibnu Imran membacanya
terbalik menjadi:
َٗجَبءَٓثْ سَنْسَةُ بِٱىْحَ قِّ ٱىَْ َ ْ٘ثِ
5. Perbedaan dalam segi ibdal
(penggantian). Yaitu, penggantian suatu huruf menjadi huruf yang lain, sehingga
berubah maknanya. Contohnya adalah perubahan huruf zain (ش) menjadi huruf ra‟ (ز) pada QS. Al-Baqarah ayat 259:
َ ٗٱ ظُسْ
إِىَٚ ٱىْعِظَب ًِ مَٞ ْفَ ُّ شِ َصُٕب
Dibaca dengan huruf zain
dan mendhammahkan nun, tetapi ada
juga yang membaca dengan huruf ra‟.
6. Perbedaan sebab adanya penambahan dan pengurangan. Dalam
penambahan misalnya QS. At-Taubah ayat 100:
َٗأعََدَّ ىَٖ ُ ٌْ جََٰجٍَّ حجَْسِٙ
ححَْخَٖ َب ٱلَِّْْ ََٰٖسُ
Dibaca dengan
tambahan ٍِ ِْ yaitu; ٍِ ْ ِ ححَْخَٖ َب ٱلَِّْْ ََٰٖسُ keduanya merupakan
qira’at mutawatir.
7. Perbedaan lahjah. Yang
di maksud adalh perbedaan dialek di kalangan bangsa Arab. Misalnya adanya
imalah.[13]
Kelima, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan
tujuh ini tidak dapat diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh tersebut
hanya simbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian maka
angka tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas
dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak
kesempurnaan tertingi.
Keenam, ada juga ulama yang
berpendapat bahwa yang di maksud dengan sab‟atu
ahruf atau tujuh huruf ini adalah qira‟at
sab‟ah.[14]
Pendapat terkuat dari semua pendapat diatas adalah pendapat
pertama, yang mengatakan tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab dalamh mengungkapkan satu makna yang sama. Pendapat ini
dipilih oleh Sufyan bin Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab, dan lainnya.
C. Hikmah Perbedaan
Qira’ah
Diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh
huruf, yang kemudian berimplikasi kepada timbulnya varian cara baca (qira’ah),
memiliki beberapa hikmah sebagai berikut:[15]
1)
Meringankan umat islam dan
memudahkan mereka dalam membaca al-Qur’an, khususnya penduduk arab yang terdiri
berbagai kabilah dan suku, yang di antara mereka terdapat perbedaan logat,
tekanan suara,da sebagainya.
2) Menunjukan bahwah Allah SWT benar-benar menjaga al-Qur’an dari
perubahan dan peyimpangan, walaupun al-Qur’an banyak segi bacaan yang
berbeda-beda.
3)
Sebagai penjelas bagi
hal-hal mungkin masih global atau samar dalam Qira’ah yang lainya.
4)
Bukti kemukjizatan
al-Qur’an dari segi keringkasan maknanya karena setiap Qira’ah menunjukan hukum
syara. tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafadz.
5) Sebagai keutamaan dan kemulian umat Muhammad SAW atas umat-uamat
terdahulunya karna kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu qira’ah.[16]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat
teks-teks hadis mutawatir yang mengemukakan mengenai turunnya al-Qur’an dengan sab‟atu Ahruf.
Sab‟atu Ahruf adalah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna, dengan pengertian jika bahasa
mereka berbeda dalam mengungkapkan suatu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan
dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang suatu makna
tersebut.
Hikmah
keberagaman qira’ah adalah memudahkan umat Islam untuk membacanya, menunjukkan
terjaganya al-Qur’an, Sebagai penjelas hal-hal yg masih global atau samar,
membuktikan kemukjizatan al-Qur’an, dan menunjukkan kemuliaan al-Qur’an.
B. Saran
Kami sangat menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih sangat banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah
selanjutnya akan lebih baik lagi. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua serta menambah pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud, https://mohaddis.com/View/Abu-Daud/T2/1478
Adiah, Halimatus, dkk, 2022, Sab’atu
Ahruf dan Kontribusinya dalam Pengembangan Ilmu al-Qur’an, Jurnal Cerdas
Hukum, Vol. 1, No.1
al-Qaththan, Manna, 2005, Pengantar Studi
Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar)
Rahmi, Yulia, PemahamanHadis-hadis
Sab‟ah Ahruf, http://wahanaislamika.ac.id/index.php/WahanaIslamika/arti cle/download/8/ (diakses
pada 23 Maret 2023)
Sarwat, Ahmad, Sab‟atu Ahruf, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publising)
Sukmana, Rahayu, Mengenal
Qiro‟at Sab‟ah dalam Belajar alQur‟an, https://al-adzkar.sch.id/qiraat-sabah-cara-membacaal-quran-oleh-rahayu-sukmana/, (diakses pada 25 Maret 2023)
Tirmidzi, https://sunnah.com/tirmidhi:2944
Yaqin, Ainal, Qiro‟atul
Qur‟an, https://osf.io/jz569/download#:~:text=Hikmah%20Perbedaa n%20Qira'at&text=Meringankan%20umat%20islam%20da n%20memudahkan,%2C%20tekanan%20suara%2Cda%20s
ebagainya,
(diaksees pada 25 Maret 2023)
[1] Syaikh Manna al-Qaththan, Prngantar Studi Ilmu al-Qyr‟an, (Jakarta
Timur: Pustaka al-Kautsar, 2005) , hal.194
[2] Ahmad Sarwat Lc, Sab‟atu Ahruf, (Jakarta Selatan: Rumah
Fiqih Publising) hal.5 3 Yulia Rahmi, Pemahaman hadis-hadis sab‟ah ahruf, diakses pada 23 Maret 2023 http://wahanaislamika.ac.id/index.php/WahanaIslamika/article/download/8/7
[3] Rahayu Sukmana, Mengenal Qira‟at Sab‟ah dalam Belajar
al-Qur‟an, diakses pada 25 Maret 2023, https://al-adzkar.sch.id/qiraat-sabah-cara-membaca-al-quran-oleh-rahayu-sukmana/ 5 Ahmad Sarwat Lc, Sab‟atu Ahruf, (Jakarta Selatan: Rumah
Fiqih Publising) hal.6
[4] Sunan Abu Daud, No.1478, https://mohaddis.com/View/Abu-Daud/T2/1478
[5] Sunan Tirmidzi, No.2944, https://sunnah.com/tirmidhi:2944
[6]
Ahmad Sarwat, Op.Cit, hal. 15
[7] Ibid,.
[8]
Syaikh Manna al-Qaththan, Op.Cit, hal.196
[9] Ibid,. Hal.198
[10] Ahmad Sarwat Lc, Op.Cit hal.21
[11]
Ibid,. Hal.23
[12]
Syaikh Manna al-Qaththan, Op.cit, hal.
199
[13] Ahmad Sarwat, Op.Cit, hal.25
[14] Syaikh Manna al-Qaththan,
Op.cit, hal. 200
[15]
Ainal Yaqin, Qiro‟atul Qur‟an, diakses
pada 25 Maret 2023,
https://osf.io/jz569/download#:~:text=Hikmah%20Perbedaan%20Qira'at&text=Meringankan%20umat%20
islam%20dan%20memudahkan,%2C%20tekanan%20suara%2Cda%20sebagainya
[16]
Ibid,.
0 Komentar