KRITERIA DAN SYARAT-SYARAT QIRA’AT YANG DITERIMA SESUAI MUSHAF UTSMANI DAN KAIDAH BAHASA ARAB

A. Latar Belakang

Sebagaimana yang telah diketahui, Al-Qur’an merupakan salah satu sumber hukum Islam yang keorisinalitasnya dapat dipertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun makna. Selain itu seluruh ayat dalam AlQur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir baik hafalan maupun tulisan.

Al-Qur’an tidak terlepas dari aspek qira’at, karena pengertian Al-Qur’an itu sendiri secara lughat (bahasa) berarti ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’. Qira’at Al-Qur’an disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada para tabi’in. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi. 

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa proses kodifikasi Al-Qur’an pada masa khalifah Utsman berada pada titik kritis kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira’at yang satu dengan aliran qira’at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Usman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi intelektual diantara mereka. Adanya pengklaiman qiraatnya paling benar dan qira’at orang lain salah merambah dimanamana.

 Hal ini menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Situasi demikian sangat mencemaskan Khalifah Usman. Untuk itu ia mengundang para sahabat terkemuka untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang disimpan di rumah Hafsah disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke berbagai kota, untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu terjadi perselisihan sistem qira’at. Sementara itu, Khalifah Usman memerintahkan untuk membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi pada masanya yang dikenal dengan nama Mushaf Imam. Kebijakan khalifah Usman ini di satu sisi merugikan karena menyeragamkan qiraat yakni dengan lisan Quraish (dialek orang-orang Quraish), namun disisi lain lebih menguntungkan yakni umat Islam bersatu kembali setelah terjadi saling menyerang dan menyalahkan antara satu dengan yang lain.[1]

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana definisi dari Mushaf Rasm Utsmani?

2.      Bagaimana karakteristik umum Mushaf Utsmani?

3.      Bagaimana kaidah-kaidah Rasm Utsmani?

4.      Bagaimana kriteria dan ketentuan qira’at Al-Qur’an?

C. Tujuan 

1.      Untuk mengetahui definisi dari Rasm Utsmani.

2.      Untuk mengetahui karakteristik umum Mushaf Rasm Utsmani.

3.      Untuk mengetahui kaidah-kaidah Rasm Utsmani.

4.      Untuk mengetahui kriteria dan ketentuan qira’at Al-Qur’an.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Rasm Utsmani  

Rasm secara etimologi merupakan mashdar dari رسم-يرسم-رسما .Pada kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam, rasm diartikan dengan kata كتب dan خطyang mempunyai arti tulisan. Kata Utsmani, dengan ya’ nisbah dalam disiplin gramatikal bahasa Arab adalah penisbatan terhadap nama Khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Jadi menurut bahasa, Rasm Utsmani dapat dimaknai sebagai bekas penulisan Al-Qur’an yang pernah dibakukan pola penulisannya di masa Khalifah Utsman. Secara terminologi, rasm al-Mushaf adalah pola yang digunakan Usman bin Affan dalam penulisan huruf dan kalimat Al-Qur’an. Menurut Manna’ al-Qattan, Rasm Utsmani merupakan pola penulisan Al-Qur’an yang lebih menitik beratkan pada metode tertentu yang dipergunakan pada waktu kodifikasi mushaf Al-Qur’an di zaman Khalifah Utsman yang dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy (Al-Qattan, 1995: 146). Pada dasarnya bahasa Arab ditulis sesuai dengan bentuk pengucapannya, tanpa terjadi pengurangan, penambahan, pergantian maupun perubahan. Akan tetapi terdapat beberapa penyimpangan pola penulisan dalam mushaf-mushaf Usmani yang berbeda dengan tulisan Arab pada umumnya sehingga terdapat huruf yang ditulis kurang sesuai dengan pengucapannya, hal itu dilakukan untuk tujuan yang mulia pada masa setelahnya (al-Zarqani, 1995: 300). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa rasm al-Mushaf merupakan pola penulisan Al-Qur’an spesifik yang ditetapkan Usman bin Affan pada masanya, beliau menetapkan pola penulisan Al-Qur’an yang kemudian penulisannya dipecayakan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdullah bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.[2]

B. Karakteristik Umum Mushaf Utsmani 

Karakteristik mushaf Utsmani ditulis dan disalin dengan menggunakan tartib Mushafi, dalam hal ini perbedaan pendapat tentang tartib as-suwar dalam mushaf Ustmani apakah Tauqifi ataukah Ijtihadi, masih menjadi perdebatan panjang para ilmuan. Jumhur Ulama berpendapat bahwa Tartib Suwar dalam mushaf Ustmani adalah Tauqifi, karena hal ini sesuai dengan perintah rasul kepada Zaid ibn Tsabi ketika turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.  

 

 Pendapat kedua yaitu dari sahabat, bahwa tartib quran adalah ijtihad, dengan dalil perbedaan urutan surat dari mushaf yang dimiliki sahabat, seperti mushaf ibn Ma’sud mushaf ali ibn abu Thalib Mushaf Ubay ibn ka’ab, mushaf ibn Abbas dan beberapa mushaf yang sahabat yang lain.

Pendapat ketiga menurut Az-Zarqani, bahwa tartib Al-Qur’an sebagiannya tauqifi dan sebagian yang lain adalah Ijtihadi. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling baik karena merangkum dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sebagian tertib surah memang bersifat tauqifi dan atsar dari Ibn ‘Abbas yang menunjukkan tertib sebagian surah yang lain bersifat ijtihadi. Dengan prinsip penyusunannya dimulai dari surah-surat yang panjang ke arah surah yang pendek.

Karakteristik yang kedua adalah Jumlah surah dalam mushaf Utsmani sebanyak 114 surah, jumlah pertengahan antara jumlah surah yang ada dalam mushaf Ubay Ibn Ka’ab yang menghitung jumlah surah sebanyak 116 surat, dan mushaf ibn Mas’ud sebanyak 111/ 112 surat.

 Karakteristik yang ketiga adalah ditulis dengan dialeg Quraisy, ini berdasarkan perintah khalifah Ustman saat penulisan mushaf Ustmani jika terjadi perbedaan pendapat antar penulis wahyu saat penyalinan mushaf, maka mereka harus menulisnya dalam dialeg quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.

C. Kaidah-Kaidah Rasm Utsmani

 Adapun pola penulisan mushaf yang ditentukan dalam mushaf Utsmani, seperti dikukuhkan Ahmad Adil Kamal dalam ‘Ulum Al-Qur’an yang kadang menyimpang dari kaidah bahasa Arab, berikut pola tulisan tersebut : 

a. Al-khadfu, yaitu  membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf. Contohnya, menghilangkan huruf alif setelah ya`nida. Contohnya:

يايها الناس menjadi  يا أ يها الناس b.  Az-ziyadah, yaitu seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama` Contohnya:

ملاقواربهم menjadi ملاقوربهم c. Al-Badlu, yaitu berupa penggantian suatu huruf dengan huruf lain. Seperti mengganti alif dengan wawu. Contohnya:

 الصلاة menjadi  الصلوة الحياة menjadi  الحيوة

d. Al-washlu dan al-fashlu yaitu meenggabungkan suatu lafal lain yang lazimnya dipisahkan dan sebaliknya. Contohnya: Menyambung kata an dan la 

الا menjadi ان  لا

Kata an dan ma ditulis sambung

 وان ماmenjadi  واما[3]

e. Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulis kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Misalnya dalam surah Al-Fatihah ayat 4 bisa dibaca dengan menetapkan alif ( مالك ) atau juga bisa dibaca dengan menghilangkan alif (ملك).[4]

D. Kriteria dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an

Untuk menghindari penyimpangan qira’at yang sudah muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qira’at yang aneh,  para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar, yaitu:

a)      Kesesuaiannya dengan Satu Ragam Dari Beberapa Macam Ragam Bahasa Arab.

Sama saja apakah ia ragam bahasa Arab yang fasih atau afshah (lebih fasih). Karena qira’at adalah sunnah yang diikuti, wajib untuk diterima, dan jalan untuk mengarah kepadanya adalah dengan menggunakan sanad, bukan dengan ra’yu (akal/rasio).

b)     Qira’at Tersebut Sesuai dengan Salah Satu Mushaf ‘Utsmani.

Para Shahabat di dalam penulisan mushaf Utsmani mereka berijtihad dalam membuat rasm (bentuk tulisan/khat) berdasarkan apa yang mereka ketahui dari bahasa-bahasa

               Qira’at. Maka mereka menulis الصراط misalnya dalam firman Allah  اھْدِناَ ال صِ  رَاطَ  الْمُسْتقَِيمَ 

 Dengan menggunakan huruf ص sebagai ganti dari huruf س  mereka tidak menggunakan huruf ( السراط  . Dan meskipun ia menyelisihi rasm dari satu ragam, namun ia telah datang sesuai dengan asal mula kata tersebut secara bahasa yang telah dikenal,

 

sehingga keduanya seimbang dan jadilah bacaan dengan isymam mungkin untuk dilakukan. (Isymam adalah memonyongkan kedua bibir seperti orang yang hendak mengucapkan dhommah namun dampak dari pemonyongan bibir tidak tampak dalam ucapan) 

c)      Qira’at tersebut harus shahih sanadnya.

 Karena Qira’at adalah sunnah yang diikuti, yang didasarkan pada kebenaran penukilan dan keshahihan riwayat. Para ahli bahasa Arab sering mengingkari suatu Qira’at di antara macam-macam Qira’at yang ada dengan alasan keluarnya Qira’at tersebut dari kaidah bahasa Arab, atau karena lemahnya ia dari sisi bahasa. Namun para imam ahli Qira’at tidak mengindahkan dan memeperhatikan pengingkaran tersebut (karena mereka lebih mengedepankan keshahihan sanad).

Itulah patokan untuk sebuah Qira’at yang shahih. Maka jika terpenuhi ketiga rukun; pertama, kecocokannya dengan bahasa Arab, kedua adalah kecocokannya dengan mushaf, dan ketiga adalah shahihnya sanad qira’at tersebut, maka ia adalah Qira’at yang shahih. Dan kapan saja hilang salah satu rukun atau lebih dari rukun-rukun tersebut, maka Qira’at tersebut dinamakan dengan Qira’at Dha’if, atau Syadz, atau Batil. 

Sebagian ahli Nahwu menyalahkan Qira’at shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah di atas, hanya dikarenakan Qira’at tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka susun yang dengannya mereka menghukumi keshahihan sebuah bahasa. Padahal seharusnya kita menjadikan Qira’at Shahih sebagai hakim yang menghukumi benar dan tidaknya sebuah kaidah dalam ilmu Nahwu dan bahasa, bukan dengan menjadikan kaidah bahasa sebagai hakim dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an adalah sumber pertama dan pokok untuk pengambilan kaidah-kaidah bahasa. Dan al-Qur’an bersandarkan kepada keabsahahan penukilan dan periwayatan yang menjadi sandaran para imam Qurra’, dalam sisi bahasa apapun. 

Abu ‘Amr ad-Dani rahimahullah berkata: ”Para imam Qurra’ tidak menetapkan sedikitpun dari huruf-huruf Al-Qur’an berdasarkan apa yang paling populer dalam bahasa Arab dan apa yang paling sesuai dengan Qiyas dalam bahasa Arab, akan tetapi berdasarkan yang paling valid dalam periwayatan dan paling shahih dalam penukilan. Dan jika sebuah

Qira’at telah valid maka qiyas bahasa Arab dan kepopuleran dialek tidak bisa menolaknya.

Karena Qira’at adalah sunah yang diikuti, wajib diterima dan dijadikan rujukan.” 

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu berkata: ”Qira’at adalah sunah yang diikuti.”

Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:”Maksud beliau adalah mengikuti orang- orang sebelum kita dalam masalah huruf-huruf Al-Qur’an adalah sunnah yang harus diikuti, tidak boleh menyelisihi mushaf yang ia adalah pedoman, dan tidak boleh pula menyelisihi Qira’at yang masyhur sekalipun yang selain itu boleh di dalam kaidah bahasa Arab.”[5]

Dalam hal ini Ibnu al-Jazary berkata dalam kitab شسٌال طيبت yang dikutip oleh Ahmad al-Baily sebagai berikut:

Setiap Qira’at yang sesuai dengan kaidah bahasa 

Dan tersirat dalam bentuk tulisan, (Utsmani) 

Serta sanadnya shahih, itulah al-Qur'an

Ketiga-tiganya menjadi rukun 

Sekiranya kurang rukunnya tetaplah menjadi 

Qira`at Syadz walau dalam Qira`at Sa’bah

 Dari keterangan-keterangan di atas, ada dua syarat yang disepakati yaitu:

1.  Bacaan yang sesuai dengan struktur bahasa Arab 

2.  Bacaan yang sesuai dengan rasam Utsmani 

Sedangkan mengenai kesepakatan dalam periwayatan (mutawatir), tidak semua Ulama ahli qurra' sepakat. Di antara mereka ada yang mencukupkan dengan sanadnya yang shahih, dan ada pula yang menetapkan bahwa yang menetapkan harus mutawatir yaitu pendapat yang utama.

Dalam hal ini Al-Shafaqashi berkata: “pendapat ini, yang mencukupkan sanadnya shahih mengakibatkan samanya Al-Qur'an dengan selain Al-Qur'an. Benar menurut Sya'ban Muhammad Ismail, lbnu al-Jazari berpendapat bahwa untuk mensyaratkan harus mutawatir, yaitu dapat diterima sebagai Qira`at yang shahih. Hal ini diungkapkan dalam kitab Munjid al-Muqriin wa al- Mursyid al-Thalibin. Dengan demikian, ini berarti pendapat Ibnu al-Jazary berbeda dengan syarat yang disebutkannya dalam kitab terdahulu yaitu "AlThayyibah".

 

Dan yang dimaksud dengan "sanad shahih" adalah periwayatan yang diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit, serta untaian sanadnya bersambung sampai Rasulullah saw. Sanad yang shahih belum tentu mutawatir, sedangkan mutawatir sudah dapat dipastikan keshahihannya, karena hukum mutawatir adalah sebagai berikut.

Adapun mengenai syarat yang telah disepakati, yaitu bacaan yang sesuai dengan struktur bahasa Arab, maka maksudnya adalah bacaan yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab walaupun dalam satu segi, baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab Qira`at adalah sunnah yang mesti diikuti dan diterima apa adanya serta menjadi acuan, dengan berdasarkan kepada sanad, bukan kepada ra’yu.

Sedangkan yang dimaksud "sesuai dengan Rasam Utsmani" yang menurut Ibnu alJazary ditambah dengan istilah احخواال adalah sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani sekalipun hanya sekedar mendekati saja. Seperti penulisan الصساط dalam surat al-Fatihah ayat 6 ditulis dengan ص sebagai ganti dari  ض .Para sahabat tidak menulis dengan  ض yang merupakan asal, dengan maksud agar lafadz tersebut bisa juga dibaca dengan ض .Di sini terlihat adanya perbedaan segi rasam akan tetapi Qira`at dengan ض pun diperkenankan, sebagaimana pula diperkenankan membaca الصساط dengan lsymam. Demikian pula pada lafadz يي الد يىم ھله (surah al-Fatihah ayat 4) yang ditulis oleh semua mushaf dengan tanpa alif; yaitu ھله .Penulisan ھله tanpa alif merupakan rasa ححميك(jelas) yang dapat dibaca juga dengan memakai alif (dipanjangkan), hal ini sesuai dengan rasam احخواال (kemungkinan).[6]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qira'ah Al-Qur'an adalah mazhab pembacaan Al-Qur’an dari para imam qura' yang masing-masing mempunyai perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an al-karim dan disandarkan pada sanad-sanadnya sampai kepada Rasullullah Saw. Perbedaan-perbedaan bacaan umat Muslim sesuai mazhab Qira'ah yang diikutinya, ini menunjukkan seberapa islam sangat menghargai perbedaan. Untuk membedakan antara yang benar dan qiraat yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qiraat yang benar, yaitu: 

1)  Kesesuaiannya dengan Satu Ragam Dari Beberapa Macam Ragam Bahasa Arab

2)  Qira'at Tersebut Sesuai dengan Mushaf Utsmani 

3)  Qira'at tersebut harus shahih sanadnya (sambung sanadnya)

Jika terpenuhi tiga syarat di atas, maka ia adalah Qira’at yang shahih. Dan kapan saja hilang salah satu rukun atau lebih dari rukun-rukun tersebut, maka Qira’at tersebut dinamakan dengan Qira’at Dha’if, atau Syadz, atau Batil.  

B. Saran

Dari penjelasan di atas, diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca. Sehingga alangkah baiknya untuk membaca dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Karena dengan adanya ilmu qira’at ini dapat mencegah sikap menyalahkan orang lain ketika membaca Al-Qur’an dengan qira’at yang berbeda. Selain itu, ilmu ini juga diperlukan dalam meneliti keabsahan Al-Qur’an baik dari segi bacaan atau pengucapannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Fathul. (2020). Kaidah Rasm Utsmani dalam Mushaf Al-Qur’an Indonesia Sebagai Sumber Belajar Baca Tulis Al-Qur’an. Jurnal Tadris. Vol. 14, No. 01. hlm. 75.

Effendi, Sofian. (2021). Mushaf Utsmani. Jurnal Nida’ Al-Qur’an. Vol. 19, No. 2. hlm. 86.

Ridha, M. (2014). Kriteria dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an. Vol.12. hlm. 79. 

Sunarsa, Sasa. (2014). Qira’at Al-Qur’an dalam Sekilas Pandangan Ekonomi Islam. Jurnal Conomica. Vol. 5, No. 2. hlm. 59.

 



[1] M. Ridha, “Kriteria dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an”, (Vol.12, 2014), hlm. 79. 

 

[2] Fathul Amin, “ Kaidah Rasm Utsmani dalam Mushaf Al-Qur’an Indonesia Sebagai Sumber Belajar Baca Tulis Al-Qur’an”,  Jurnal Tadris, (Vol. 14 No. 1, 2020), hlm. 75.

[3] Ibid., hlm. 85.

[4] Sofian Effendi, “Mushaf Utsmani”, Jurnal Nida’ Al-Qur’an. (Vol. 19, No. 2021), hlm. 86.

 

[5] Ridha, Op.Cit., hlm. 84. 

[6] Sasa Sunarsa, “Qira’at Al-Qur’an dalam Sekilas Pandangan Ekonomi Islam”, Jurnal Conomica, (Vol. 5, No. 2, 2014), hlm. 59.

Posting Komentar

0 Komentar