Pendahuluan
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan generasi baru setelah tafsir Al-Manar.[1]Tafsir Fi Zhilalil Qur'an merupakan karya monumental dari Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an adalah salah satu tafsir Al-Qur'an yang terkenal dan berpengaruh dalam dunia Islam kontemporer. Sayyid Qutb adalah seorang pemikir, penulis, dan aktivis Islam asal Mesir yang hidup pada abad ke-20.
Karyanya ini tidak hanya menjadi referensi utama dalam pemahaman Al-Qur'an tetapi juga mencerminkan pandangan dan pemikirannya yang kuat tentang Islam, masyarakat, dan perubahan sosial.Tafsir Fi Zhilalil Qur'an secara harfiah berarti "Tafsir
dalam Bayangan Al-Qur'an".
Tafsir ini terkenal karena pendekatan Sayyid Qutb dalam
menjelaskan pesan-pesan AlQur'an. Ia menghubungkan pesan-pesan Al-Qur'an dengan
realitas sosial dan politik dunia kontemporer. Dengan demikian, tafsir ini
tidak hanya merupakan penafsiran teks suci, tetapi juga merupakan sebuah
pandangan pemikiran Islam yang aktif dalam menggali maknamakna Al-Qur'an dalam
konteks zaman.
Tafsir ini membahas berbagai aspek
kehidupan, mulai dari masalah akidah (kepercayaan), hukum Islam, politik,
masyarakat, hingga etika. Sayyid Qutb berusaha untuk menjadikan Al-Qur'an
sebagai panduan utama dalam semua aspek kehidupan manusia. Dengan berfokus pada
konsep tauhid (keesaan Allah) dan persatuan dalam kehidupan sosial dan politik,
Sayyid Qutb berusaha untuk merumuskan sebuah pemahaman Islam yang mendorong
perubahan positif dalam masyarakat.
Namun, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an juga
kontroversial dan menjadi subyek perdebatan di dunia Islam. Beberapa kritikus
menyatakan bahwa pendekatan Sayyid Qutb terlalu radikal dan cenderung untuk
merestrukturisasi masyarakat dengan cara yang keras. Terlepas dari kontroversi
ini, karya Sayyid Qutb tetap memainkan peran penting dalam pemahaman Islam
kontemporer. Akan tetapi, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an adalah sebuah karya yang
patut dipelajari dan dianalisis secara mendalam, karena memberikan wawasan yang
mendalam tentang pemikiran seorang cendekiawan Islam yang berpengaruh, serta
bagaimana ia memahami AlQur'an dalam konteksnya.
Biografi dan Karir Sayyid Quthb
Sayyid Ibrahim Husain Syadzili Qutb atau
biasa dikenal Sayyid Qutb, beliau lahir pada tahun 1906 di Kampung Musyah, Kota
Asyut, Mesir. Ia dibesarkan di dalam sebuah keluarga yang menitikberatkan
ajaran Islam dan mencintai Al-Qur'an. Ia telah bergelar hafizh sebelum berumur
sepuluh tahun. Ia memperoleh kesempatan masuk Tajhiziah Darul 'Ulum.
Pada tahun 1929, ia kuliah di Darul 'Ulum (nama lama
Universitas Kairo). Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun
1933.
Sejak dari lulus kuliahnya hingga tahun
1951, kehidupannya tampak biasa-biasa saja, sedangkan karya tulisnya
menampakkan nilai sastra yang begitu tinggi dan bersih, tidak bergelimang dalam
kebejatan moral seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu. Pada akhirnya,
tulisan-tulisannya lebih condong kepada Islam. Pada tahun yang sama, sewaktu
bekerja sebagai pengawas sekolah di Departemen Pendidikan, ia mendapat tugas
belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang
pendidikan selama dua tahun. Ia membagi waktu studinya antara Wilson's
Teacher's College di Washington, Greeley College di Colorado, dan Stanford
University di California. la juga mengunjungi banyak kota besar di Amerika
Serikat serta berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia.
Kemudian Sayyid Quthb juga bergabung
dengan gerakan Islam Ikhwanul Muslimin dan menjadi salah satu seorang tokohnya
yang berpengaruh, di samping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Sewaktu
larangan terhadap Ikhwanul Muslimin dicabut pada tahun 1951, ia terpilih
sebagai anggota panitia pelaksana dan memimpin bagian dakwah. Selama tahun
1953, ia menghadiri konferensi di Suriah dan Yordania, dan sering memberikan
ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat. Pada Juli
1954, ia dijadikan sebagai pimpinan redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Akan
tetapi, baru dua bulan usia nya, harian itu ditutup atas perintah Presiden
Mesir Kolonel Gamal Abdul Nasser karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7
Juli 1954.
Pada masa hidupnya Sayyid Quthb juga
termasuk salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin yang ditahan setelah
organisasi itu dilarang oleh Presiden Nasser dengan tuduhan berkomplot untuk
menjatuhkan pemerintah, hal ini terjadi sekitar Mei 1955. Pada 13 Juli 1955,
Pengadilan Rakyat menjatuhkan hukuman lima belas tahun kerja berat. Ia ditahan
di beberapa penjara di Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Ia dibebaskan pada
tahun itu atas permintaan Presiden Irak Abdul Salam Arif yang mengadakan
kunjungan muhibah ke Mesir. Baru setahun ia menikmati kebebasan, ia kembali
ditangkap bersama tiga orang saudaranya: Muhammad Quthb, Hamidah, dan Aminah.
Juga ikut ditahan kira- kira 20.000 orang lainnya, di antaranya 700 orang
wanita. Pada hari Senin, 13 Jumadil Awwal 1386 atau 29 Agustus 1966, ia dan dua
orang temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy) menyambut
panggilan Rabbnya dan syahid di tali tiang gantungan.[2]
Karya-karya Sayyid Quthb
Sayyid Quthb menulis lebih dari dua
puluh buah buku. Ia mulai mengembangkan bakat menulisnya dengan membuat buku
untuk anak-anak yang me riwayatkan pengalaman Nabi Muhammad saw. dan
cerita-cerita lainnya dari sejarah Islam. Perhatiannya kemudian meluas dengan
menulis cerita-cerita pendek, sajak-sajak, kritik sastra, serta artikel untuk
majalah
Di awal karier penulisannya, ia menulis
dua buku mengenai keindahan dalam AlQur'an: at-Tashwir al- Fanni fil-Qur an',
Cerita Keindahan dalam Al-Qur'an', dan Musyaahidat al-Qiyaamah fil-Qur'an (Hari
Kebangkitan dalam Al-Qur'an). Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya
monumentalnya: al-'Adaalah al-Ijtimaa'iyah fil-Islam (Keadilan Sosial dalam
Islam), kemudian disusul Fi Zhilaalil-Qur'aan 'Di Bawah-bawah Naungan
Al-Qur'an' yang diselesaikannya di dalam penjara.
Beliau juga memiliki karya-karya lainnya:
1. As-Salaam al-'Alami
wal-Islam (Perdamaian Internasional dan Islam) (1951),
2. An Nagd al-Adabii Usuluhuu
wa Maanaahijuhuu (Kritik Sastra, Prinsip Dasar, dan Metode-Metode),
3. Marakah al-Islaam
war-Ra'sumaaliyah (Perbenturan Islam dan Kapitalisme) (1951),
4. Fit-Tariikh, Fikrah wa
Manaahij (Teori dan Metode dalam Sejarah),
5. Al-Mustaqbal li
Haadzad-Diin (Masa Depan Berada di Tangan Agama Ini),
6. Nahu Mujtama' Islaami (Per
wujudan Masyarakat Islam),
7. Marakatuna ma'al-Yaahuud (Perbenturan
Kita dengan Yahudi),
8. Al-Islam wa Musykilah
al-Hadharah (Islam dan Problem-Problem Kebudayaan)
(1960),
9. Hadza ad-Diin (Inilah
Agama) (1955),
10. Khashais at- Tashawwur
al-Islaami wa Muqawwamatuhu (Ciri dan Nilai Visi Islam) (1960).
Sewaktu di dalam tahanan, ia menulis
karya terakhirnya yaitu Ma'aalim
fith-Thariq (Petunjuk Jalan) (1964). Dalam buku ini, ia mengemukakan
gagasannya tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap
individu, namun juga pada struktur negara. Selama periode inilah, logika
konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Quthb mengemuka. Buku ini pula yang
dijadikan bukti utama dalam sidang yang menuduhnya bersekongkol hendak
menumbangkan rezim Nasser.
Latar Belakang Penulisan Kitab
Pada tahun 1948 beliau pergi ke Amerika
untuk mempelajari sistem pengajian dan pembelajaran di negeri tersebut dan
selama hampir dua tahun berada di sana beliau telah membuat kajian yang lebih
mendalam dalam bidang yang menyangkut pendidikan dan pelajaran di negeri itu,
yaitu beliau telah melakukan pengamatan-pengamatan yang luas mengenai kehidupan
Amerika yang banyak mengecewakannya. Kini beliau telah melihat dan mengenal
peradaban Amerika dari dekat. Kemudian dalam suratnya kepada pujangga Taufiq
al_Hakim beliau menulis: “Amerika mempunyai segala sesuatu kecuali roh.”
Sekembalinya dari Amerika beliau
memutuskan untuk menumpukan seluruh hayatnya kepada pengajian lslamiyah dan
harakat Islamiyah. Pada masa peralihan ini ia menulis: “Orang yang menulis
kajian ini ialah seorang yang hidup membaca selama empat puluh tahun genap”.
Kegiatannya di peringkat pertama ialah membaca dan menelaah kebanyakan
hasil-hasil pengajian dalam berbagai bidang pengetahuan manusia termasuk kajian
yang menjadi spesialisasinya dan kajian-kajian yang menjadi bidang
kegemarannya.
Dan pada akhirnya Ia pulang kepada
sumber ‘aqidah (al-Qur’an), pandangan dan kefahamannya. Dan di sana Ia dapati
bahawa seluruh apa yang dibacanya itu amat kerdil jika dibanding_kan dengan
potensi-potensi ‘aqidah Islam yang agung itu dan akan terus dengan sifat
agungnya. Walau bagaimanapun ia tidak menyesal atas kehabisan umurnya selama
empat puluh tahun itu kerana dengan usianya yang selama itu Ia berjaya mengenal
hakikat jahiliyah, penyeleweng_nya, kekerdilannya, kekosongannya,
ke_songsangannya, kesesiaannya dan dakwaan-dakwaannya yang karut. Sejak itu Ia
sedar dengan penuh keyakinan bahwa seorang Muslim tidak boleh menyatukan dua
sumber ilmu pengetahuan yang berlainan itu untuk diterima olehnya.
Tahun 1951 - 1964 merupakan masa
peralihan beliau kepada penulisan-penulisan Islamiyah yang serius dan cemerlang
di samping merupakan tahun-tahun yang amat produktif di mana lahirnya
karya-karya agung yang menjadi buku-buku warisan Islamiyah yang penting di
zaman ini dan di zaman-zaman mendatang. Karya yang menjadi tanda daya
penghasilan intelektualnya ialah tafsir “Fi Zilalil-Qur’an” dan juz pertama
tafsir ini muncul pada tahun 1952 dan beliau telah menyelesaikan penulisan
tafsir ini sebanyak tiga puluh juzu’ pada akhir tahun lima puluhan, yaitu
mengambil masa kita-kira hampir delapan tahun.
Di samping itu, tafsir Fi Zilalil-Qur’an
adalah ditulis pada masa penindasan dan permainan politik yang tidak menentu di
zaman itu. Beliau telah menjalani penyiksaan fisik yang kejam. Hal inilah yang
kemudian ia mencurahkan perhatiannya kepada Allah dan kepada penghayatan
al_Qur’an, di mana beliau hidup di bawah bayangan al-Qur’an dengan seluruh jiwa
dan perasaannya dan hidup sebagai seorang penda’wah yang sabar, gigih, ridha,
tenang, tenteram, berserah bulat kepada Allah, tidak mengenal kalah dan putus
asa. Semuanya itu merupakan faktor-faktor penting yang melahirkan tafsir “Fi
Zilalil-Qur’an” di dalam bentuknya yang unik yang mengatasi tafsir-tafsir yang
lain.[3]
Sistematika Penafsiran
Menyusun suatu kitab tafsir akan
dipengaruhi oleh latas belakang seorang mufassir. Hal tersebut diketahui dari
cara mufassir menentukam pola dan konsep yang dituangkan dalam karya kitab
tafsirnya. Sayyid Qutb didalam karyanya Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an menggunakan beberapa sistematika diantaranya :
a. Menjelaskan ayat secara terperinci.
b. Menyajikan munasabah ayat.
c. Memaparkan muqadimah diawal
surah, latar belakang, pokok pembicaraan dan asbab nuzul jika ada.
d. Meletakkan ayat atau hadis yang selaras, menegaskan hal-hal
penting yang berhubungan dengan manusia, dan memaparkan bentukaplikasi ayat
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Kemudian, metode penafsiran yang digunakan Sayyid Qutb
dalam menafsirkan Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an yaitu
menggunakan metode tahlili. Seperti salah satu cirinya yaitu diawali
dengan surah Al- Fatihah dan di akhiri dengan surat An –
Nas atau Tartib Al – Mushafi.
Kemudian diuraikan dari berbagai segi keilmuan (Firdaus et al,2023). Tafsir Fi Zhilalil Qur’an juga
menggunakan metpde Tashwir (Chirzin,
2001). Istilah tersebut dimaknai sebagai penggambaran yang menggambarkan pesan
Al Qur’an sebagai symbol atau gambaran fisik yang hidup dari pesan saat ini
(Firdaus,2023). Sehingga dapat membawa pembaca pada pemahaman yang nyata.[4]
Sumber Tafsir
Dilihat
dari penafsirannya, tafsir Fi Zhilalil
Qur’an ini sumber utamanya adalah qur’an bil qur’an. Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an ditulis dengan bersandarkan kajian-kajian beliau yang
mendalam, yang ditimba secara langsung dari al Qur’an dan as Sunah, disamping
itu beliau juga bersumberkan kepada kitab-kitab tafsir yang Mu’tabar. Hal ini
dapat dilihat ketila mufassir menafsirkan ayat
بسم الله الرحمن الرحيم , beliau mengutip QS. Al - Hijr ayat 87.
Selain itu tafsir ini juga bersumber dari Nabi , hal ini juga dapat dilihat
dari berbagai penafsirannya, beliau sering menggunakan hadis-hadis Rasulullah.
Namun yang menjadi perbedaan dalam tafsir ini dengan tafsir-tafsir yang lain ,
yang lahir pada masa itu adalah Sayyid Qutb tidak menggunakan sanad-sanad hadis
yang beliau kutip. Contoh ketika Sayyid Qutb menafsirkan ayat ٱلذَِّى يُوَسْوِسُ فىِ صدُُورِ ٱلنَّاسِ
beliau menafsirkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, bahwa
Rasulullah bersabda :
الشيطان جانم على ابن آدم
، فإٕذا ذكر الله تعالى خنس، وإذا غفل وسوس
“ Setan itu tetap berada di hati anak adam. Apabila dia
mengingat Allah Ta’ala, setan itu bersembunyi. Dan apabila lalai setan itu
membisikinya” ( Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq / tanpa menyebutkan
rentetan sanadnya). Selain menggunakan
hadis nabi dalam penafsirannya Sayyid Qutb juga menggunakan perkataan sahabat
dan pendapat para mufasir . contohnya :
قال ابن كثير في التفسير :
قال القائلون من السلف والخلف إٕن المراد بهذا الأٔشهاد إنما هو فطر هم على
التوحيد الخ[5]
Pandangan Ulama Lain
Karena dengan keimanan beliau yang
tulen, pembacaan yang luas, pengalaman yang mendalam serta bakat-bakat yang
gemilang sehingga menjadikan Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an sebuah tafsir yang unik dan secara objektif dapat
diletakkan sebagai pemuncak ttafsir-tafsir yang lama dan yang baru, dimana
terkumpul penjelasan dan uraian yang memuaskan. Sementara, Dr. Saleh Abdul
Fatah al- Khalidi pengkaji karya-karya Sayyid Qutb berkata : “ Sayyid Qutb
dalam tafsir “Fi Zhilalil Qur’an” adalah
dianggap sebagai mujaddid didalam dunia tafsir, karena beliau telah menambahkan
berbagaipengertian dan pemikiran, dan berbagai pandangan yang melebihi
tafsir-tafsir sebelumnya, juga dianggap sebagai penggagas kajian baru dalam
ilmu tafsir, dimana beliau telah memperkenalkan aliran tafsir haraki”.
Namun, dengan demikian ada juga yang
menyatakan bahwa tafsir Fi Zhilalil
Qur’an tidaklah layak dianggap sebagai tafsir, karena ini hanya merupakan
refleksi dari Sayyid Qutb. Beliau hampir tidak mempunyai referensi yang akurat
dan menyeluruh karena keterbatasan buku sewaktu dipenjara. Sayyid Qutb juga
tidak menyebutkan Fi Zhilalil Qur’an sebagai
tafsir, beliau hanya menyebutnya dengan nama “ Di Bawah naungan Al- Qur’an”,
yang maknanya perkataan-perkataan tentang makna Al- Qur’an yang Nampak bagi
diri beliau berdasarkan apa yang Nampak bagi beliau. Karena keterbatasaan
bacaan hingga membuat buku yang beliau tulis sangat kental dengan pendapat
pribadi. Hal ini sangat terasa di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang berbeda dengan tafsir klasik dan modern
yang dipenuhi kutipan-kutipan perkataan Nabi dan ulama masa lalu untuk
mendukung pendapat mufassirnya. Sayyid Qutb hamper tidak memakai referensi,
beliau benar-benar hanya mengandalkan ingatan tentang beberapa potongan hadis
nabi. Sisanya adalah hasil perenungan dirinya sendiri, plus tinjauan sastrawi
disiplin ilmu yang amat dikuasainya terhadap pilihan kata dan susunan kalimat
ayat-ayat al- Qur’an.
Ada juga yang beranggapan bahwa
pemikiran Sayyid Qutb, baik dalam tafsir Fi
Zhilalil Qur,an dan beberapa buku lainnya yang perlu ditanggapi secara
serius. Menurut Rabi’ bin Hadi yang menulis buku berupa kritikan yang ditujukan
terhadap Sayyid Qutb secara pribadi atau terhadap Al Ikhwanul Muslimin secara jamaah, sebagai tanggapan atau
sanggahan dari berbagai tulisannya yang juga mendapat sugesti dari Syaikh Al-
Albany.[6]
Metode Penafsiran Tafsir Fii Zilalil Qur’an
Metode tafsir adalah suatu cara atau
jalan yang ditempuh mufassir dalam menyajikan penafsirannya. Sayyid Quthb
memiliki suatu metode yang unik dalam menafsirkan Al-Qur’ān dibandingkan dengan
mufassir yang ada. Sayyid Quthb tidak menyibukan diri dengan menelaah secara
langsung di hadapannya berupa kitab-kitab tafsir terdahulu yang berisi berbagai
perbedaan pendapat dan adu argumentasi dalam berbagai tema keislaman. Kemudian
metode pemaparan yang digunakan Sayyid Qutb ialah menjelaskan secara umum
tentang Surah yang akan ditafsirkannya
seperti penafsiran pada Q.S Al-Fatihah, setelah menulis ayat beserta artinya,
Sayyid Qutb menjelaskan bahwa secara
global Al-Fatihah mengandung konsep Akidah islamiyah, konsep arahan atau
hidayah yang mengisyaratkan hikmah
dipilihnya surah ini untuk dibaca berulang-ulang setiap hari oleh umat
Islam[7].
Selain itu Sayyid Qutb ingin
memperlihatkan bahwa Al-Qur’an itu sebagai satu kesatuan firman Allah
yang tak terpisahkan hal ini diwujudkan Sayyid Qutb menggunakan teori korelasi (munasabah) ayat dan surat, sehingga
tampak di beberapa ayat Sayyid Qutb menafsirkan sampai dengan 10 ayat bahkan lebih. Kemudian, Sayyid
Qutb menggunakan metode Tahlili dalam
Tafsir Fi Zhilalil Qur'an,
yakni metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran
dari seluruh aspeknya secara runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf.
Dalam tafsirnya, diuraikan korelasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud
ayatayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang
turunnya ayat, dan dalildalil yang berasal dari al-Quran, Rasul, atau sahabat,
dan para tabi’in, yang disertai dengan
pemikiran rasional[8]. Hal ini
ditunjukkan dengan salah satu cirinya yaitu melakukan penafsiran mulai dari Surah al-Fatihah dan diakhiri
dengan Surah an-Nas (tartib al-Mushaf)
bukan berdasarkan kronologi turunnya ayat
(tartib al-Nuzul) seperti yang
ditunjukkan oleh salah satu cirinya, yaitu diawali dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Nas atau Tartib
al-Mushafi, kemudian diuraikan dari
berbagai segi keilmuan[9]. Tafsir Fi Zhilalil Qur'an pun menggunakan teknik Tashwir. Istilah tersebut dimaknai sebagai penggambaran yang menggambarkan pesan
Al-Qur’an sebagai simbol atau gambaran
fisik yang hidup dari pesan saat ini[10]. Sehingga
dapat membawa pembaca pada pemahaman
yang nyata.
Namun analisis interpretatif yang paling menonjol digunakan Sayyid Qutub dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah aspek kesusastaraan Al-Qur’an, karena
sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Sayyid Qutub adalah seorang pakar ilmu
kesusastraan. Sayyid Quthb tidak mengambil semua informasi-informasi pemikiran
darinya, tidak mau masuk ke alam AlQur’ān berdasarkan ketentuan-ketentuan
sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh selainnya[11].
Corak Penafsiran Tafsir Fii Zilalil Qur’an
Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an yang dikarang oleh Sayyid Qutb merupakan salah satu kitab
tafsir yang memiliki terobosan baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Hal ini dapat
dilihat dari bagaimana beliau mempunyai metodologi sendiri dalam penafsirannya.
Dalam penafsirannya Sayyid Qutb melakukan pembaruan dan mengesampingkan
pembahasan yang dirasa tidak begitu
penting, salah satu yang menonjol pada corak tafsirnya adalah mengetengahkan
segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sisi sastra
yang beliau paparkan diusung untuk menunjukkan sisi hidayah Al-Qur’an dan
pokok-pokok ajaran kepada jiwa pembacanys khusunya dan orang-orang Islam pada
umumnya [12].
Menurut Issa Boullata, yang dikutip oleh Antony H. Jhons, pendekatan yang
dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu pendekatan tashwir
(penggambaran) penafsiran yang menampilkan pesan Al-Qur’an sebagai gambaran
pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga penafsirannya dapat
menimbulkan pemahaman yang “aktual” bagi pembacanya.[13] Corak
sosial kemasyarakatan berarti menunjukkan ruang dominan penafsir hadir pada
kajian sosial kemasyarakatan. Sedangkan corak sastra menunjukkan adanya ruang
dominan penafsir dalam penyisipan
keindahan sastra. Sehingga, dalam konteks ini pun dapat disimpulkan bahwa Tafsir Fi Zhilalil Qur'an adalah bercorak Adab al-Ijtima'i [14].
Dalam tafsirnya, Sayyid Quthb menawarkan pembaharuan dan menyisihkan pembahasan
yang menurutnya tidak begitu penting. Aspek sastra yang dipaparkannya dilakukan untuk menunjukkan
arah Al-Qur’an dan ajaran utamanya kepada jiwa pembaca khususnya dan umat
Islam pada umumnya [15]. Terkait
dengan itu, al-Khalidi secara tegas menyatakan bahwa Sayid
Qutub dalam karya-nya Fī
Zhilāl al-Qur’ān memilki sastra yang tinggi, serta gaya sastra yang indah.
Sayid Qutub menggunakan hal itu sebagai sebuah sarana dalam tafsirnya, sehingga
Zhilal datang sebagai bentuk
(bingkai) umum yang di dalamnya terpaparkan. Zhilal seutuhnya dapat dikatakan sebagai contoh mengenai sastra,
dan merupakan bagian dari sebab-sebab bisa diterimya Zhilal di kalangan kaum
muslimin dewasa ini. Bakat sastra Sayid Qutub serta gaya sastranya yang sedemikian berpengaruh
merupakan dasar baginya untuk memasuki alam Al-Quran yang luas, mengeluarkan
perbendaharaan-perbendaharaannya yang disukai ini. Apabila karya-karya tafsir
klasik dan kontemporer dibaca yang terbangun dalam metodologis sastra, fikih,
filosof, atau ahli hukum, sungguh akan dipilih dan diutamakan yang pertama,
yakni sastra karena lebih terkesan
olehnya dan membuat orang terpesona. Inilah yang didapati oleh pembaca Fī Zhilal Tafsīr al-Qur’ān.[16]
Kelebihan
dan Kekurangan Tafsir Fii Zilalil Qur’an
Sebagai
salah satu karya intelektual, tentu mempunyai kadar keunggulan dan kekurangan
tersendiri. Adapun keunggulan dan kekurangan dari tafsir Fi Zhilalil Qur‟an
adalah sebagai berikut :
A. Keistimewaan kitab Tafsir Fii Zilal Qur’an adalah:
1. Bahwa kitab ini disusun
dengan sebisa mungkin dijauhkan dari
pembahasanpembahasan yang menurut
Sayyid Quthub hanya mengkaburkan
pesanpesan Al-Qur’an, seperit penafsiran
secara bahasa yang bertele-tele.
2. Adalah bahwa kitab ini sangat
tercorak dengan ilmu sastra yang memang
dikuasai betul oleh penulisnya.
3. Adalah usaha keras Sayyid
Quthub untuk menjauhkan karyanya ini
dari kisah-kisah Israi’liyyat.
4. Adalah kebanggaannya yang
murni terhadap Al-Qur’an hingga beliau
tidak mau membawa-bawa penafsiran sains di dalamnya, layaknya yang banyak dikerjakan oleh para mufassir pada zaman modern.
5. Adalah bahasanya yang lugas
dan radikal, yang merefleksikan sebuah
keinginan besar demi kemajuan ummat
hal ini mungkin merupakan akibat dari
penyiksaan fisik yang beliau alami selama di penjara.[17]
6. Adalah bahwa karyanya ini
dianggap telah menggagas sebuah pemikiran dan corak baru dalam
penafsiran Al-Qur’an.
7. Dari sistem penulisannya yang menggunakan metode urut, menurut
mushaf utsmani memudahkan pembaca untuk mencari informasi yang di kehendaki.
8. Banyak menggunakan riwayat hadis dan asbabun nuzul ayat sebagai
rujukan Pengelompokan ayat yang dijelaskan dalam bagian-bagian tertentu
merupakan hal baru dari sisi penulisan tafsirnya.
B. Beberapa kelemahan kitab Tafsir
Fii Zilal Qur’an adalah:
1. terbatasnya referensi Sayyid Quthub dalam menyusun karyanya ini. Faktor ini kemudian berakibat banyaknya
pendapat-pendapat pribadi yang sangat kental
dengan nuansa pada saat itu.
2. Kurangnya referensi sayyid quthb dalam mengutip pendapat ulama
lain pada penulisan tafsirnya dan lebih banyak menggunakan pemikiran yang
dikaitkan aspek sosio kultural. Hal ini disebabkan penulisannya dilakukan
dibalik jeruji besi.
3. Munculnya dikotomi Jahiliyah-Islam dalam masyarakat kontemporer.[18]
Kesimpulan
Tafsir Fi
Zhilalil Qur'an merupakan karya monumental dari Sayyid Qutb, Tafsir Fi
Zhilalil Qur'an adalah salah satu tafsir Al-Qur'an yang
terkenal dan berpengaruh dalam dunia
Islam kontemporer. Sayyid Qutb adalah seorang pemikir,
penulis, dan aktivis Islam asal Mesir yang hidup pada abad ke-20. Karyanya ini
tidak hanya menjadi referensi utama dalam pemahaman Al-Qur'an tetapi juga
mencerminkan pandangan dan pemikirannya yang kuat tentang Islam, masyarakat,
dan perubahan sosial. Tafsir ini membahas berbagai aspek kehidupan, mulai dari
masalah akidah (kepercayaan), hukum Islam, politik, masyarakat, hingga etika.
Sayyid Qutb berusaha untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan utama dalam
semua aspek kehidupan manusia. tafsir Fi Zilalil-Qur’an adalah ditulis pada
masa penindasan dan permainan politik yang tidak menentu di zaman itu. Beliau
telah menjalani penyiksaan fisik yang kejam. Hal inilah yang kemudian ia
mencurahkan perhatiannya kepada Allah dan kepada penghayatan al_Qur’an, di mana
beliau hidup di bawah bayangan alQur’an dengan seluruh jiwa dan perasaannya.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini sumber
utamanya adalah qur’an bil qur’an.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ditulis
dengan bersandarkan kajian-kajian beliau yang mendalam, yang ditimba secara
langsung dari al Qur’an dan as Sunah, disamping itu beliau juga bersumberkan
kepada kitab-kitab tafsir yang Mu’tabar. Sayyid Qutb menggunakan metode Tahlili dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur'an, yakni metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya secara
runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. Aspek sastra yang dipaparkannya dilakukan untuk menunjukkan arah
Al-Qur’an dan ajaran utamanya kepada jiwa pembaca khususnya dan umat Islam pada
umumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur'an adalah bercorak Adab al-Ijtima'i.
Daftar Pustaka
Al-Khalidi, S. A. F. (2001). Pengantar Memahami Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Saudi Arabia.
Al-Khalidi, Shalāh Abd. al-Fatāh.
(2001). Madhal Ilā Zhilāl al-Qur’ān, Diterjemahkan
oleh Salafuddin Abu Sayyid, Pengantar
Memahami tafsir Fi Zhilalil Quran Sayid Qutub. Cet. I; Solo-Surakarta:
Intermedia.
Ayub, M. (1992). Qur’an
dan Para Penafsirnya. Pustaka Firdaus.
Firdaus, M. Y., Malik, N. H. A.,
Salsabila, H., Zulaiha, E., & Yunus, B. M. (2023). Diskursus Tafsir bi
al-Ma’tsur. Jurnal Dirosah Islamiyah.
Muhammad Yoga Firdaus & Eni
Zulaeha, Kajian Metodologis Kitab Tafsir
Fi Zhilalil al- Qur’an Karya Sayyid Qutb, (Reslaj: Religion Education
Social La Roina Journal), Vol. 5, No. 6, 2023.
Muhsin
Mahfudz, “Fi Zhilalil Qur’an Tafsir
Gerakan Sayyid Quthub”, Tafsere, Vol.1,
No.1.
Mutia Lestari & Susanti Vera, Metodologi Tafsir Fi Zhilal al- Qur’an
Sayyid Qutb, Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol 1, No 1, Februari 2021.
Qutb,
Sayyid. (2006). Tafsir Fi Zilalil Qur’an:
Dibawah Naungan Al-Qur’an. Robbani Press.
Saragih, M. S. (2015). Memaknai
Jihad:(Antara Sayyid Quthb & Quraish Shihab). Deepublish.
Siregar, A. B. A. (2017). Analisis
Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid Qutb. ITTIHAD.
Wulandari, W., Rostandi, U. D., &
Kosasih, E. (2017). Penafsiran Sayyid Quthb Tentang Ayat-Ayat Ishlāh (Studi
Tafsir Fī Zhilāl Alquran). Al-Bayan:
Jurnal Studi Ilmu AlQur’an. Jurnal
Dirosah Islamiyah.
[1] Muhsin Mahfudz, “Fi Zhilalil Qur’an Tafsir Gerakan Sayyid
Quthub”, Tafsere, Vol.1, No.1,
h.117
[2] Sayyid Qutb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an”,
(al-islah:2012), hal.406
[3] Abu Bakar Adanan Siregar,
“Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid Qutb”, ITTIHAD, Vol. I, No.2, 2017, h. 257
[4] Muhammad Yoga Firdaus
& Eni Zulaeha, Kajian Metodologis
Kitab Tafsir Fi Zhilalil al- Qur’an Karya Sayyid Qutb, (Reslaj: Religion
Education Social La Roina Journal), Vol. 5, No. 6, 2023, hal. 2722-2726.
[5] Mutia Lestari &
Susanti Vera, Metodologi Tafsir Fi Zhilal
al- Qur’an Sayyid Qutb, Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol 1, No 1,
Februari 2021, hal.50.
[6] Abu Bakar Adanan Siregar,
Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zhilal
Al – Qur’an Karya Sayyid Qutb, Ittihad, Vol. 1, No. 2, Desember 2017,
hal.258-259.
[7] S,Qutb. (2006). Tafsir Fi Zilalil Qur’an: Dibawah Naungan
Al-Qur’an. Robbani Press.
[8] Sayyid Quthb, terj. Bahrun
Abu Bakar, loc. Cit.
[9] Firdaus, M. Y., Malik, N.
H. A., Salsabila, H., Zulaiha, E., & Yunus, B. M. (2023). Diskursus Tafsir bi al-Ma’tsur. Jurnal Dirosah Islamiyah, 5(1),
71–77.
[10] Ibid.
[11] Shalah Abdul Fattah
al-Khalidi, op. cit., h. 175.
[12] Al-Khalidi, S. A. F.
(2001). Pengantar Memahami Tafsir Fi
Zilalil Qur’an. Saudi Arabia.
[13] Ayub, M. (1992). Qur’an dan Para Penafsirnya. Pustaka
Firdaus.
[14] Saragih, M. S. (2015). Memaknai Jihad:(Antara Sayyid Quthb &
Quraish Shihab).
[15] Al-Khalidi, S. A. F.
(2001). Pengantar Memahami Tafsir Fi
Zilalil Qur’an. Saudi Arabia
[16] Shalāh Abd. al-Fattāh
al-Khalidi, h. 283
[17]
Siregar, A. B. A. (2017). Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an
Karya Sayyid Qutb. ITTIHAD, hal.2
[18]
Wulandari, W., Rostandi, U. D., & Kosasih, E. (2017). Penafsiran Sayyid
Quthb Tentang
Ayat-Ayat Ishlāh (Studi Tafsir
Fī Zhilāl Alquran). Al-Bayan: Jurnal
Studi Ilmu Al-Qur’an. Jurnal Dirosah
Islamiyah, hal. 64–70
0 Komentar