A. Latar
Belakang
Qira’at adalah tata cara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menisbahkan kepada penukilnya. para sahabat dalam menyampaikan kepada murid-muridnya. Untuk mengetahui apakah qira’at itu benar atau tidak, harus memenuhi syarat sebagai berikut: pertama, sesuai kaidah bahasa Arab kedua, sesuai dengan mushaf usmani dan ketiga, sanadnya shahih.
Perlu kita ketahui
bahwa qira’at itu ada sanad-sanadnya terhubung hingga kepada Rasulullah Saw.
Awal mula cara membaca Al-Qur’an dimulai pada masa sahabat, diantara kalangan
sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi
Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, dan lainnya. Dari
mereka inilah banyak dari kalangan sahabat maupun kalangan tabi’in menyebar
luaskan qira’ah-qira’ah ke berbagai penjuru kota dan negara, serta dari
masing-masing mereka menyandarkan qira’atnya bersumber dari yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw.[1]
Qira’at merupakan salah
satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik
kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus
diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan
al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar
dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini;
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga
merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam
qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini.
Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu itu tidak begitu populer.
B. Rumusan
masalah
1. Apa itu nisbat?
2. Bagaimana nisbat qiraat kepada imam tujuh, sepuluh dan empat
belas?
3. Apa saja faedah dari perbedaan qira’ah?
C. Tujuan
Masalah
1. Mengetahui apa itu nisbat.
2. Mengetahui bagaimana penisbatan qiraat kepada imam tujuh,
sepuluh dan empat belas.
3. Mengetahui mengenai faedah dari perbedaan qira’ah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nisbat
Nisbat merupakan sebuah
istilah onomastika dalam islam, budaya arab yang telah diserap kedalam bahasa
indonesia. Nisbah digunakan kedalam nama seseorang. Sistem penisbahan ini juga
terkenal dalam budaya barat. Penggunaan sistem ini dalam prakteknya sendiri
memberikan penambahan dalam nama seseorang yang mana penambahan tersebut
menunjukkan asal, suku, atau keturunan karena asal kata nisbah sendiri ialah
istilah tata bahasa untuk membuat kata benda menjadi kata sifat, contoh: Dalam penisbatan kepada tempat seperti
Al-Baghdadi berhubungan dengan kota baghdad, An Nawawi berhubungan dengan kota
Nawa dan Al Bukhari berhubungan dengan kota Bukhara.[2]
Adapun penisbatan
kesukuan seperti Al-Qurasyi yang berasal dari suku Quraisy. Selain kesukuan ada
pula nisbat kepada seseorang maupun kepada keadaan tertentu seperti Maliki
nisbat kepada imam malik (berhubungan dengan imam Malik), dalam keadaan
tertentu seperti Al-Hizbi artinya orang yang fanatik terhadap kelompok,
As-Sunnii yang artinya orang yang mengikuti ideologi ahlus sunnah wal jama’ah.
Sedangkan dalam tema
yang membahas nisbat qiraat kepada imam tujuh, sepuluh dan empat belas
menjelaskan tentang penggolongan terhadap imam yang membawa periwayatan
Al-Qur’an yang berbeda sesuai dengan kadar keshohihannya.
B. Nisbat
Qiraat kepada imam tujuh, sepuluh dan empat belas
Pada penggolongannya
sendiri para ulama menggolongkan imam-imam yang membawa periwayatan mereka
berdasarkan sanad atau jalan periwayatannya, sesuai dengan rasm usmani (pola
penulisan Al-Qur’an yang digunakan usman bin affan dan para sahabat) dan sesuai
dengan kaidah bahasa arab. Ketiga syarat ini harus dipenuhi apabila tidak
dipenuhi maka akan dianggap syadz atau tidak bisa diterima.
Dalam penggolongan Imam qiraat ada 3 yaitu:
1.
Qiraat Sab’ah, adalah
qiraat yang dinisbahkan kepada imam Qurra’ tujuh yang termasyhur serta dalam
kualitas atau pembagian qiraat. Diantara imam tuhjuh tersebut antara lain
yaitu,
a) Abdullah bin Katsir Al-Dariy dari makkah dengan perawi al Bazz
dan Qunbul.
b) Nafi bin Abd al Rahman ibn Nu’aim dari madinah dengan perawi
Qalun dan Warsy.
c) Abdullah al Yashibiyin atau Amir dari Damaskus dengan perawi
Hisyam dan Zakwan.
d) Zabban ibn al Ala bin Ammar atau atau Abu Amr dari Bashrah
dengan perawi Ad Duri dan As susi.
e) Al Kissa’i,’Ali bin Hamzah dari Kuffah dengan perawi Abul Haris
dan aAd Duri Al Kisa’i.
f) Ibnu Habib al Zayyat atau Hamzah dari Kuffah dengan perawi
Khallaf dan Khallad.
g) Ibnu Abi al Najud al Asady atau Ashim dari kuffah dengan perawi
Syu’bah dan Hafs.
Ketujuh
imam qira’at itulah yang masyhur dan
disebutkan secara khusus oleh Imam
Abu Bakar bin Mujahid al-Bagdadi yang
merupakan pencetus munculnya al-Qira’at
al-Sab’ah (qira’at tujuh), (245-324 H/ 859-935 M).[3]
Beliau mengatakan bahwa mereka merupakan ulama yang terkenal dengan hafalan,
ketelitian, dan cukup lama menekuni dunia qira’at.
Beliau menentukan tujuh imam qira’at tersebut
dengan berpijak pada keahlian seseorang dalam bidang ilmu qira’at dan kesesuaian bacaan mereka dengan mushaf Usmani yang ada
di negeri mereka dan bacaan mereka yang terkenal masyhur di kalangan ulama
negerinya masingmasing. Sebelum Mujahid menetapkan ketujuh imam tersebut,
sebetulnya sudah banyak yang menetapkan ketujuh imam tersebut sebagai rujukan
ilmu qira’at. Namun, Mujahidah yang
pertama memilih mereka sebagai imam yang mewakili setiap negerinya
masingmasing, dan lahirlah istilah al-Qira’at
al-Sab’ah yang merupakan istilah pertama sekali ada dalam sejarah ilmu qira’at.
2.
Qira’at ‘Asyarah, adalah
qira’at sab’ah diatas ditambah dengan tiga imam qira’at lagi yang disandarkan
kepada:
a) Abu Ja’far Yazid bin al Qa’qa’ dari Madinah dengan perawi ibn
Wardan dan Ibn Jamaz.
b) Abu Ya’kub al Hadrami dari Basrah dengan perawi Ruwais dan
Rauhl.
c) Khalaf bin Hisyam al Bazzar dari Kuffah dengan perawi Ishaq dan
Idris.
3.
Qira’at Arba’ ‘Asyarah,
adalah qira’at ‘Asyarah ditambah dengan empat qira’at lagi yang disandarkan
kepada:
a) Muhammad Ibn Abdul Rahman yang dikenal dengan Ibnu Muhaisin dari
Mekah dengan perawi al Bazzi dan Ibn Syannabuz.
b) Yahya Ibn Al-Mubarak Al Yazidi dari Basrah dengan perawi Sulaim
bin Al Hakam dan Ahmad bin Al Farah.
c) Hasan Al Bashri dari Basrah dengan perawi Al Balkhi dan ad Duri.
d) Al A’masy dari Kuffah dengan perawi al mutawwi’ dan as
Syanabuzi.[4]
Dalam catatan yang
dicatat oleh Zarqani banyak pandangan ulama yang berbeda dengan kemutawatiran
qira’at tersebut. Pendapat tersebut antara lain: pendapat yang pertama adalah terdapat ulama yang berlebihan
dalam menjunjung qiraat sab’ah, mereka mengatakan siapa yang menganggap qiraat
sab’ah tidak mutawatir maka anggapan tersebut mendatangkan kekafiran karena
telah meragukan kemutawatiran Al-Qur’an. Pendukung pendapat ini adalah Abu
Sa’id Faraj ibn Lubb. Pendapat yang kedua
menganggap bahwa qiraat sab’ah dan qiraat lainnya adalah dari riwayat-riwayat
yang ahad (bacaan yang sanadnya shahih namun menyalahi bahasa arab atau Rasm
Usmani Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas), menganggap qiraat sab’ah
sebagai mutawatir adalah kemungkaran dan dapat menyebabkan pengkafiran.
Pendapat yang ketiga datang dari Ibnu Subki
yang berpendapat bahwa seluruh qiraat sab’ah adalah mutawatir yang diriwayatkan
langsung dari Nabi oleh orang-orang yang tidak mungkin sepakat berdusta.
Sedangkan untuk qiraat
‘Asyarah (qira’at sepuluh) terdapat (ikhtilaf) perbedaan pendapat para ulama.
Mayoritas Ulama’ lebih memilih dan pendapat ini jug populer bahwa qira’at
sepuluh memiliki nilai sanad yang mutawatir tanpa ada keraguan. Ibnu Subki juga
berpendapat qiraat tersebut Mutawatir demikian juga para muhaqqiq seperti Al
Jazari, al Nuwairi, dan ‘Abd al-fattah al-Qadi.5 tetapi sebagian
ulama menganggap qira’at ‘asyarah sebagai qira’at syaz karena dalam pandangan
mereka qira’at yang mutawatir hanyalah qira’at sab’ah.6
Berkenaan dengan
qira’at arba’a ‘asyara (qira’at empat belas), menurut jumhur ulama, qira’at
empat Imam terakhir (Ibn Muhaisīn, al-Yazidi, Hasan al-Basri, dan al-A’mash)
merupakan kategori qira’at syazzah, tidak diakui sebagai bacaan al-Qur’an yang
sah, dan tidak boleh dibaca baik di dalam shalat maupun di luar shalat.[5]
C. Faedah
Perbedaan Qira’at
Ada beberapa faedah dari adanya perbedaan qira’at-qira’at,
diantaranya:
1. Bukti bahwa Kitab Allah Swt (Al-Qur’an) terjaga dan perlindungan
dari penggantian dan penyelewengan, meski dengan adanya perbedaan qira’at.
2. Untuk meringankan dan mempermudah umat manusia dalam membaca
Al-Qur’an.
3. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dibalik kata-katanya yang singkat,
karena setiap qira’ah menunjukkan hukum tanpa pengulangan lafal.
4. Menjelaskan lafal mujmal (global) yang terdapat di dalam
qira’ah.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Nisbat adalah suatu
istilah dengan menambahkan sebuah ciri kepada nama seseorang yang digunakan
untuk memberikan penjelasan mengenai suku, asal atau keturunan. Sedangkan untuk
nisbat qiraat kepada para imam tujuh, sepuluh dan empat belas merupakan penggolongan
kepada imam yang membawa riwayat Al-Quran yang berbeda sesuai dengan sanad
serta keshohihannya. Dalam penggolongannya sendiri ada 3 antara lain qiraat
sab’ah, qiraat ‘asyarah dan arba’ ‘asyarah.
Dicatat oleh Zarqani
ada perbedaan pendapat tentang qira’at-qira’at tersebut, pertama yang
menjunjung tinggi qira’at sab’ahlah yang mutawatir dan apabila tidak menganggap
sebagai mutawatir maka akan mendatangkan kekafiran. Kedua menganggap qiraat
sab’ah dan yang lainnya adalah riwayat-riwayat ahad. Ketiga dari Ibnu Subki
yang beranggapan bahwa qiraat sab’ah itu qiraat yang mutawatir yang
diriwayatkan langsung dari Nabi oleh orang-orang yang tidak mungkin sepakat
berdusta.
Untuk qira’at ‘asyroh
terdapat (ikhtilaf) perbedaan pendapat para ulama. Mayoritas Ulama’ lebih
memilih dan pendapat ini juga populer bahwa qira’at sepuluh memiliki nilai
sanad yang mutawatir tanpa ada keraguan. Tapi Sebagian ada juga yang menganggap
syadz.
Menurut jumhur ulama,
qira’at empat Imam terakhir (qira’at empat belas), merupakan kategori qira’at
syazzah, tidak diakui sebagai bacaan al-Qur’an yang sah, dan tidak boleh dibaca
baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan ,
Syaikh Manna’, Dasar-Dasar Ilmu
Al-Qur’an, Jakarta Timur: Ummul Qura, 2017.
Al Zarqani. Manahi al -irfan Fi
Ulum al-Qur’an.
Azis, Moh Abdul, Akbar, A. M. Qira’at Al-Qur’an. Jurnal Ushuluddin Adab, dan Dakwah.
3(1).
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Nisba. yang diakses pada
tanggal 2 Mei 2023.
Zulikha, Eni, Muhammad Dikron. Qira’at Abu ‘Amr dan Validitasnya. Penerbit:
Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020.
[1]
Syaikh Manna’ Al-Qattan, Dasar-Dasar Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Ummul Qura, 2017), hlm. 253.
[2]
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Nisbah yang diakses pada tanggal
2 Mei 2023.
[3] Eni Zulikha, Muhammad
Dikron, Qira’at Abu ‘Amr dan
Validitasnya, (Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020) h. 49.
[4] Moh. Abd. Azis, A. M.
Akbar, Qira’at Al-Qur’an, Jurnal
Ushuluddin Adab, dan Dakwah, (Vol. 3, No. 1,
2020).
h. 9-10 5 Eni Zulikha, Muhammad Dikron, Qira’at Abu ‘Amr dan Validitasnya , h. 56. 6Al Zarqani, Manahi al -irfan Fi Ulum al-Qur’an, vol
1. H. 354
[5]
Eni Zulikha, Muhammad Dikron, Qira’at Abu
‘Amr dan Validitasnya, h. 60.
0 Komentar