TAFSIR AL-MIZAN KARYA AL-THABATHABA’I

 


PENDAHULUAN

Dalam menerjemahkan Al-Qur’an, penerjemah menggunakan strategi dan cara yang berbeda dalam menghadapi satu sama lain. Dari melalui metode yang berbeda ini, pemahaman dipelajari berbeda-beda, setiap orang mempunyai kepribadian dan prosesnya masing-masing, salah satunya adalah terjemahan Syiah.

Kemajuan dalam penerjemahan Syiah terus berlanjut sesuai dengan pemahaman Sunni, namun berbeda penekanannya atau perluasannya. Menurut Tabathabai, semua reff Al-Qur’an dapat dipahami, termasuk bagian-bagian yang dipertanyakan peneliti, khususnya ayat mutasyabihat. Digambarkan bahwa salah satu Imam Syi'ah menyatakan bahwa bait muhkam adalah sesuatu yang harus diikuti sedangkan pengulangan mutasyabih gelap bagi individu yang tidak menganggapnya. Tabathabai membahas bagaimana mungkin ada bait yang tidak dapat dipahami dengan alasan bahwa dalam keadaan seperti itu menyiratkan bahwa bagian tersebut bertentangan dengan penjelasan bahwa Al-Qur'an adalah cahaya dan arah. Selain itu, Tabathabai mengatakan bahwa bagian mutasyabih tidak dirasakan karena tidak adanya bahasa manusia untuk mengikat pesan-pesan yang mendalam, dalam hal apapun, menurut dia, suratsurat muqatta'ah dikenang untuk klasifikasi mutasyabih menahan diri.

Salah satu wacana Syi'ah yang paling menonjol adalah Tafsir al-Mizan yang awalnya berupa beberapa tilawah dan ceramah Imam Tabathabai kepada para mahasiswanya di Universitas Qum al-Diniyyah, Iran. Untuk memikirkan manfaat dan manfaat bagi siswa maupun bagi orang lain, ceramah dan tilawah direkam, jilid pokok selesai pada tahun 1375 H/1957 M dan selesai seluruhnya pada tahun 1392 H ke atas 20 jilid. Dari sekian banyak kitab tafsir yang ada, penulis akan membahas salah satu kitab tafsir yang ditulis oleh Syaikh Thabathaba’i dengan tafsirnya yang bernama Tafsir Al-Mizan. Dalam artikel ini, penulis akan membahas mengenai profil dari tafsir tersebut, dimulai dari riwayat hidup sang mufassir, lalu latar belakang penulisan Tafsir Al-Mizan, metode dan corak penafsiran, sumber penafsiran, contoh tafsirnya, sistematika penulisan, kelebihan dan kekurangan dan komentar ulama tentang kitab Tafsir Al-Mizan.

 

PEMBAHASAN 

Biografi Thabathaba’i

Syaikh Thabathaba’i bernama asli yakni Sayyid Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad bin Mirza Ali Asygar Thabathaba’i Al-Tabrizi Al-Qadhi. Beliau dilahirkan di Tibriz bertepatan dengan tanggal 29 Dzulhijjah tahun 1321 H atau tahun masehinya yakni tahun 1892. Beliau dibesarkan di lingkungan keluarga pecinta ilmu yang taat beragama. Beliau lahir dari keluarga besar ulama Syi’ah yang sangat terkenal di wilayah Tibriz karena kearifannya[1]. Syaikh Thabathaba’i telah menempuh proses pendidikannya di kota Najaf. Ayah beliau bernama Muhammad, dan ayahnya adalah seorang ulama yang terkenal pada masanya dan juga ayahnya merupakan keturunan dari ulama besar yang bernama Mirza Ali Ashgar yang begitu dihormati. Sang kakek bernama Muhammad Husain, dan beliau merupakan murid dari seorang pengarang al-Jawahir. Karena Syaikh Thabathaba’i dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang berilmu pengetahuan luas, maka beliau tumbuh menjadi seorang ulama yang berintelektual tinggi dan beliau mempunyai multidisiplin dalam ilmu pengetahuan.

Beliau banyak berkelana untuk mendalami ilmunya ke beberapa wilayah, seperti kota Teheran, kota Qum, kota Tibriz, dan kota-kota lainnya. Beliau juga banyak berguru kepada beberapa pemuka agama di kota Najaf. Beberapa di antaranya bernama Syaikh Muhammad Husain Al-Na’ini, Syaikh Muhammad Husain Al-Kambani, Sayyid Husain Al-Badakubi, dan masih banyak lagi guru-guru beliau. Selama proses berguru, beliau banyak mempelajari ilmuilmu agama seperti ilmu falsafah, ilmu akhlak, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, dan sebagainya[2].

Selama hidupnya, beliau banyak menulis dan menghasilkan karya-karya yang berharga dan terkenal. Salah satu karyanya yang dikenal oleh masyarakat luas hingga saat ini yaitu Tafsir Al-Mizan. Beberapa di antara karya-karya beliau yakni Risalatul I’jaz, Risalah fil Burhan, Ushulul Falsafah, Risalah fil I’tibarat, dan masih banyak lagi. Bertepatan pada bulan November tahun 1402 H atau pada tahun 1981 M, Syaikh Thabathaba’i yang merupakan seorang ulama Syi’ah yang dikenal berwawasan luas ini meninggal dunia dan beliau dimakamkan di kota Qum.

Latar Belakang Penyusunan Kitab Tafsir Al-Mizan

Pengumpulan kitab tafsir tersebut dimulai ketika Syekh Thabathaba'i sedang mengajar di Universitas Qum (Iran). Pada saat itu para mahasiswa meminta guru mengumpulkan beberapa bahan materi perkuliahan dan menyusunnya dalam suatu pola deskripsi singkat dan lengkap. Dia akhirnya menyetujui permintaan dari para mahasiswanya, dan buku itu diterbitkan. Tafsir Al-Mizan mempunyai dua puluh jilid. Beliau menyebut kitab ini “Al-Mizan” karena Syekh Tabathaba’i menginginkannya Tafsirnya berfungsi sebagai "komentar" untuk memberikan pendapat yang benar dan kuat kepada umat Islam ketika mereka berpendapat menghadapi berbagai permasalahan atau permasalahan saat ini dengan mendukung penafsiran "Al-Qur'an bil Quran". Selain itu, dalam karya tafsir ini banyak terdapat gagasan-gagasan para ulama tafsir klasik dan kontemporer,dari kelompok Sunni dan Syiah, sehingga ia menggunakan kata “Al-Mizan” dalam penjelasannya. Terkadang orang Mufassir juga banyak mengkritik pandangan ulama tersebut[3].

Menurut Abu Al-Qasim, kitab Tafsir Al-Mizan ditulis dalam bahasa Arab dan merupakan edisi pertama dan menerbitkan tafsir ini di Iran, kemudian mencapai wilayah Beirut. Sampai saat ini Tafsir Al-Mizan bisa kita jumpai di beberapa perpustakaan dan universitas. Banyak juga orang yang mengoleksi kitabnya hanya beberapa jilid. Hal ini menunjukkan bahwa Tafsir Al-Mizan telah tersebar luas dan diterima oleh masyarakat.Teks asli Tafsir Al-Mizan dalam bahasa Arab berjumlah dua puluh jilid. Dari setiap jilid tafsirnya terdiri dari kurang lebih 400 halaman. Alasan mengapa Syekh Thabathaba’i menggunakan bahasa Arab dalam tafsirnya adalah karena mereka yang membaca dan mempelajari Tafsir AlMizan memperoleh ilmu yang lengkap dari setiap pelajarannya. Yang beliau tunjukkan.Namun, beberapa mahasiswanya menerjemahkan kitab Tafsir Al-Mizan tersebut dengan menggunakan bahasa lain yakni bahasa Parsi yang dibimbing oleh beliau.  Setiap jilid tafsir yang menggunakan bahasa Persia dibagi menjadi dua jilid. Maulana Sa’id Akhtar Ridwi menerjemahkan Tafsir Al-Mizan ke dalam bahasa Inggris dan persiapannya adalah menyelesaikan semua jilid.

Keberadaan kitab Tafsir Al-Mizan berupaya menjawab tuduhan tak terduga terhadap kaum Syi’ah, yang mana tuduhan tersebut  mengatakan bahwa kaum Syi’ah memiliki kitab suci Alquran yang berbeda dengan kitab suci umat Islam pada umumnya. Banyak pemimpin Syi’ah termasuk penulis Tafsir Al-Mizan sendiri menentang keras hal tersebut dan mengatakan bahwa mereka tidak mengurangi isi teks Alquran. Sebut saja mereka yang bernama Al-Fadhl bin Syadzan dan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali[4].

Metode dan Corak Penafsiran

            Dalam menulis Tafsir Al-Mizan, Syaikh Thabathaba'i menggunakan metode tahlili dengan pendekatan bil ma'tsur sekaligus bir ra'yi. Sedangkan dalam pembahasannya, beliau menggunakan metode tahlili dan metode muqarran (komparasi). [5]  Syaikh Thabathaba'i berusaha menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya berdasarkan urutan ayat dan surat dalam Al-Qur'an dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayat, asbabun nuzul, hadits-hadits Nabi Muhammad Saw., pendapat para sahabat, tabi'in dan ulama-ulama lainnya.

            Tidak jarang, Thabathaba'i menggunakan metode diskusi ketika menafsirkan suatu ayat sambil membeberkan pendapat para ulama klasik pada ayat yang sedang dikaji. Selain itu, ketika mengutip pendapat para ulama, terutama dalam bahasa riwaiy, terkadang dia mengomentari riwayat tersebut, baik menguatkannya atau sebaliknya, atau untuk memperkokoh pendapatnya sendiri, seperti dalam pembahasan tentang asbab al-nuzul.[6][7]

            Tafsir Al-Mizan merupakan tafsir multidisiplin, karena pendekatannya pada berbagai ilmu. Hal ini sesuai dengan sepenggal kalimat yang tercantum dalam cover tafsir, "al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an Kitab 'Ilmi Fani, Falsafi, Adabi, Tarikhi, Rawa'i, Ijtima'i, Hadits wa Yufassiru al-Qur'an" yang artinya: "Al-Mizan dalam tafsir Al-Qur'an, kitab tentang ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, sejarah, riwayat-riwayat, sosial kemasyarakatan, dengan pendekatan hadits dan tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an".[8]

            Hal ini sesuai dengan latar belakang pendidikan Thabathaba’i yang mempelajari berbagai disiplin ilmu sehingga menjadikan ia seorang 'allamah yang menguasai berbagai disiplin ilmu, baik ilmu lahir ataupun batin.

            Ketika kita membaca penafsiran Tafsir Al-Mizan karya Thabathaba’i ini, maka dapat ditemukan bahwasanya aliran tafsir tersebut sangat kental dengan nuansa teologinya, atau dengan kata lain corak penafsiran Al-Mizan ini adalah corak teologi atau disebut juga corak falsafi.[9] Hal itu dikarenakan Thabathaba’i merupakan seorang filosof sekaligus ulama dari aliran Syi'ah, maka tidak heran jika filsafat mendominasi karya-karya ilmiahnya, termasuk Tafsir Al-Mizan ini. Yang mana di dalam Syi'ah, filsafat mempunyai posisi yang cukup penting sebagai salah satu cara untuk memahami Islam.

            Walaupun Thabathaba’i termasuk golongan Syi'ah, namun tafsir ini tidak hanya dilandaskan pada pemahaman Syi'ah saja. Thabathaba’i berusaha adil dengan mencantumkan paham dari aliran-aliran lain seperti paham ahlussunnah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa nuansa Syi'ah sangat kental dari tafsir ini.

             Kitab tafsir ini juga sengaja disebut dengan al-Mizan, karena di dalamnya Thabataba’i menampilkan banyak pendapat, baik dari mufassir maupun pakar keilmuan lainnya seperti ahli hadits, sejarah dan lain-lain, yang kemudian dikritisi dan analisa dengan cukup mendalam. Thabataba’i juga mendasarkan penafsirannya kepada kitab-kitab lain yang dipandang cukup relevan dan bisa mendukung penafsirannya, baik bidang tafsir, hadits, sirah, sejarah, bahasa dan lain-lain. Namun, begitu beliau tetap memberikan kritikan dan komentar. Disinilah letak keunggulan beliau di antara mufassir-mufassir lainnya. 

Sumber Penafsiran

            Dalam penulisan tafsirnya, Thabathaba’i menggunakan dua sumber penafsiran, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang digunakan Thabathaba’i dalam menafsirkan ayat adalah Al-Qur'an itu sendiri, yaitu dengan metode muqarran (komparasi) menafsirkan ayat dengan ayat Al-Qur'an yang memiliki makna yang sama. Sedangkan sumber sekunder atau alat pembantu yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an yaitu berupa beberapa buku atau kitab tafsir ulama klasik, kamus, hadits-hadits Nabi Saw., dsb. Buku-buku yang beliau gunakan berupa buku pengetahuan umum, sumber sejarah, pengetahuan rasional, dan kitab-kitab suci dari agama lain.

Contoh Penafsiran

            Tafsir Thabathaba’i atas ayat tentang pluralisme (QS Al-Baqarah (2) : 62) :

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنوُا۟ وَٱلَّذِينَ هَادوُ ا۟ وَٱلنصَََّٰرَىَٰ وَٱلصََّٰبِـ يِنَ مَنْ ءَامَنَ بٱِللََِّّ وَٱلْيوَْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صََٰلِحًا فلََهُمْ

 أجَْرُهُمْ عِندَ رَ بِهِمْ وَلََ خَوْفٌ عَليَْهِمْ وَلََ هُمْ يَحْزَنوُنَ

 

Artinya : "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

          Thabathaba’i mengutip sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab al-Dur al-Mantsur, karya al-Suyuthi bahwa ayat di atas memiliki setting historis (asbab al-wurud) tersendiri. Yaitu sebuah kisah yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang posisi ahli kitab yang hidup bersamanya kelak di akhirat. Kemudian ia menuturkan tentang ritual ibadahnya. Lalu turunlah ayat di atas.

          Thabathaba'i menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pengulangan kata iman ( من امن ) adalah sebuah sifat yang hakiki. Yakni kebahagiaan yang dijanjikan oleh ayat di atas tidak diharuskan beragama Islam, orang Nasrani dan Yahudi, melainkan orang-orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebaikan. Yang berarti keselamatan akhirat tidak hanya dimiliki oleh kaum Muslim saja, melainkan juga dimiliki oleh umat non Muslim lainnya, dengan syarat mengimani Allah, hari akhir dan berbuat kebaikan.

           Dari contoh ayat di atas, setidaknya bisa disimpulkan secara sederhana bahwa penafsiran Thabathaba’i adalah penafsiran yang mengkompromikan kedua sumber tafsir, baik bil ma'tsur dan bir ra'yi. Di samping itu, kajian yang ia tawarkan dalam kajian pluralisme agama juga bisa dikatakan progresif, karena tidak hanya berhenti para riwayat-riwayat. Melainkan juga menggunakan nalar, di samping sejarah agama-agama yang juga disampaikan dalam kajian ini.

Sistematika Penulisan 

           Dalam penulisannya, Thabathaba’i menulis tafsirnya dengan menggunakan metode tahlili. Sedangkan dalam pembahasannya, beliau memadukan metode tahlili dan muqaran (perbandingan), antara ayat dan ayat lainnya, baik dengan hadist, maupun antara pendapat ulama dan ulama lainnya. Agar lebih jelas, berikut sistem penulisannya:

1)      Thabathaba'i mengawali tafsirnya dengan memberikan muqaddimah (pendahuluan) yang menjelaskan berbagai hal terkait tafsir dan metodenya.

2)      Melakukan pengelompokkan ayat kemudian menjelaskan berbagai aspek secara berurutan, dimulai dari tata bahasa dan berlanjut ke bahasa.

          Secara spesifik, berikut penjelasan sistematika tulisan Tafsir al-Mizan:

1)      Jilid I: Diawali dengan muqaddimah dan pembahasannya berakhir pada ayat 182 dari surah al-Baqarah.

2)      Jilid II: Diawali dengan Surah al-Baqarah ayat 183 hingga akhir surah al-Baqarah ayat 286. Sedangkan jumlah halamannya sebanyak 245.

3)      Jilid III: Diawali dengan Surah Ali ‘Imran ayat pertama hingga ayat 120 dari surah tersebut. Sedangkan halamannya berjumlah 212.

4)      Jilid IV: Diawali dengan ayat 121 dari surah Ali ‘Imran hingga ayat 76 surah al-Nisa’. Untuk jumlah halamannya sebanyak 233.

5)      Jilid V: Diawali dengan ayat 77 surah al-Nisa’ hingga surah al-Maidah ayat 54. Sementara jumlah halaman pada jilid lima tersebut sebanyak 224.

6)      Jilid VI: Diawali ayat 55 surah al-Maidah dan pembahasannya berakhir pada ujung surah al-Maidah, yaitu ayat 120. Sementara jumlah halamannya sebanyak 230.

7)      Jilid VII: Diawali dari surah al-An’am ayat pertama hingga akhir surah tersebut, yaitu 165. Jumlah halaman pada jilid ini sebanyak 219.

8)      Jilid VIII: Diawali dari surah al-A’raf ayat pertama hingga akhir surah al-A’raf, yaitu pada ayat 206. Jumlah halaman jilid tersebut sebanyak 206.

9)      Jilid IX: Diawali dengan surah al-Anfal ayat pertama hingga akhir surah al-Taubah, yaitu ayat 129. Sedangkan jumlah halamannya sebanyak 228.

10)  Jilid X: Diawali dengan surah Yunus ayat pertama hingga ayat 99 dari surah Hud. Sementara jumlah halamannya sebanyak 203.

11)  Jilid XI: Diawali dengan Surah Hud ayat 100 dan berakhir pada akhir surah al-Ra’d, yaitu ayat 43. Sementara jumlah halamannya sebanyak 215.

12)  Jilid XII: Diawali dengan surah Ibrahim ayat pertama dan berakhir pada ayat terakhir dari surah al-Nahl, yaitu ayat 128. Untuk halamann jilid, jumlahnya sebanyak 203.

13)  Jilid XIII: Diawali dengan surah al-Isra’ ayat pertama dan pembahasannya berakhir pada surah al-Kahfi ayat terakhir, yaitu ayat 110. Sementara jumlah halamannya sebanyak 216.

14)  Jilid XIV: Diawali dengan surah Maryam ayat pertama dan diakhir pada ayat terakhir dari surah al-Hajj, yaitu ayat 78. Sedangkan jumlah halamannya sebanyak 225.

15)  Jilid XV: Diawali dengan surah al-Mu’minun ayat pertama dan pembahasannya berakhir pada akhir surah al-Naml, yaitu 92. Sementara jumlah halaman jilid ini sebanyak 216.

16)  Jilid XVI: Diawali dengan surah al-Qasas ayat pertama dan berakhir pada surah Gafir ayat terakhir, yaitu ayat 84. Sementara jumlah halamannya sebanyak 206.

17)  Jilid XVII: Diawali dengan surah Fatir ayat pertama hingga akhir surah Fussilat, yaitu pada ayat 54. Sedangkan jumlah halamannya sebanyak 212. 

18)  Jilid XVIII: Diawali dengan surah al-Syura ayat pertama hingga akhir surah al-Zariyat, tepatnya pada ayat 60. Sedangkan jumlah halaman jilid ini sebanyak 206. 

19)  Jilid XIX: Diawali dari awal surah al-Tur hingga akhir surah al-Haqqah, yaitu ayat 47 dari surah tersebut. Sedangkan jumlah halamannya sebanyak 229. 

20)  Jilid XX: Diawali dari awal surah al-Ma’arij hingga akhir Al-Qur’an yaitu surah al-Nas. Sementara jumlah halaman dalam jilid terakhir tersebut sebanyak 229. [10]

Komentar Ulama’

1)      Fahmi al-Rumi berkomentar: “membaca Tafsir ini ada perasaan bahwa Tafsir ini sebenarnya bukan ditujukan untuk masyarakat umum melainkan untuk level ulama. Hal ini terlihat dari pembahasannya yang sangat mendalam. Sebagaimana Tafsir al-Kasyaf, kitab tersebut dianggap oleh para ulama Tafsir sebagai kitab Tafsir yang terbaik, jika muktazilahnya tidak begitu jelas. Demikian pula al-Mizan, akan menjadi kitab penjelas terbaik kalau tidak begitu menonjol kesyi’ahannya.

2)      Menurut Abu al-Qasim Razzaqi, tafsir menduduki posisi penting karena kualitasnya yang istimewa, tidak hanya diantara buku-buku sejenis, tetapi juga diantara berbagai jenis keislaman baik agama, Ilmu, filsafat dan telebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Syi’ah.

3)      Penilaian senada diungkapkan Murtada Mutahhari, salah seorang muridnya. Ia mengatakan bahwa al-Mizan adalah karya terbesar yang pernah ditulis sepanjang sejarah kejayaan islam, dan diperlukan waktu hingga 60 atau 100 tahun (1 abad) sampai orang menyadari kebesarannya.[11]

Kelebihan dan Kekurangan 

A. Kelebihan

1.  Dalam penafsirannya terhadap Al-Qur'an, Thabathaba'i mempunyai banyak sekali ilmu-ilmu yang berbeda-beda, dari yang berkaitan dengan agama hingga ilmu-ilmu umum, sehingga  dalam penafsirannya banyak sekali ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam menjelaskan ayatayat. 

2.  Beliau sangat teliti dalam menukil riwayat baik itu yang dinukil dari Rasulullah, Sahabat, serta para tabi'in.

3.  Beliau hanya mengambil sesuatu yang bermanfaat saja dalam kitab-kitab yang lain.

4.  Melakukan tarjih atau mengungkapkan posisi pendapat beliau setiap selesai penafsiran ayat dengan menyebutkan alasan-alasannya. 

 

B. Kekurangan 

1.  Lebih banyak merujuk kepada pendapat dan kitab-kitab para ulama Syi’ah.

2.  Sanad hadits tidak disebutkan secara lengkap melainkan sumber pertama walaupun kadang disebutkan. Sedangkan hadits yang berkaitan dengan fadhilah surat tersebut tidak disebutkan.[12]

 

KESIMPULAN 

        Nama aslinya adalah Sayyid Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad bin Mirza Ali Asygar Thabathaba'i Al-Tabrizi Al-Qadhi, dan Syaikh Thabathaba'i lahir di Tibriz, Iran, pada 29 Dzulhijjah 1321 H. Beliau berasal dari keluarga ulama Syi'ah yang terkenal, dan dia tumbuh dalam lingkungan yang didorong oleh cinta ilmu dan pengabdian agama. Syaikh Thabathaba'i tumbuh menjadi ulama yang bijak dan mahir dalam berbagai bidang berkat pendidikannya di kota Najaf dan bimbingan banyak ulama terkemuka. Selama hidupnya, dia pergi ke banyak kota untuk belajar, seperti Teheran, Qum, Tibriz, dan lainnya. Karya-karyanya, seperti Tafsir Al-Mizan, yang terdiri dari dua puluh jilid, didasarkan pada pembelajarannya dari ulama terkemuka.

          Saat Syekh Thabathaba'i mengajar di Universitas Qum, Tafsir Al-Mizan dipulai atas permintaan mahasiswa untuk merancang materi kuliah. Berbagai bidang (sastra, filsafat, sejarah, dll.) termasuk dalam buku ini. Dalam penafsirannya, Thabathaba'i menggunakan metode tahlili dan muqarran, menggabungkan pemahaman dari berbagai ulama dan aliran.

           Kelebihan Tafsir Al-Mizan termasuk ketelitian mendalam terhadap berbagai perspektif, ketelitian dalam penjelasan, dan penggunaan berbagai ilmu. Kekurangan Tafsir Al-Mizan termasuk kecenderungan untuk merujuk pada sumber dan pandangan ulama Syi'ah serta kurangnya keterbukaan terhadap sanad hadits secara keseluruhan.

          Tafsir Al-Mizan adalah karya besar dan penting dalam tradisi tafsir Islam karena struktur penulisan yang sistematis dalam dua puluh jilid. Tafsir ini menggabungkan pandangan dari berbagai aliran untuk mengimbangi nuansa Syi'ah. Syaikh Thabathaba'i meninggal pada November 1981 dan dimakamkan di kota Qum. Tafsir Al-Mizan tetap menjadi salah satu karya penting yang memengaruhi pemahaman Islam, meskipun evaluasi terhadapnya dapat berbeda sesuai dengan pandangan dan konteks pemahaman.

 

DAFTAR PUSTAKA

Tamrin, T. T. (2019). Tafsir al-Mizan: Karakteristik dan Corak Tafsir. Al-Munir: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir.

Fauzan, A. (2018).“MANHAJ TAFSIR AL-MIZAN FI TAFSIR AL-QUR’AN KARYA MUHAMMAD HUSAIN TABATABA’I”, AL TADABBUR: JURNAL ILMU

ALQURAN DAN TAFSIR. Vol. 03 No. 2, 2018

Irhas, I. (2016). PENERAPAN TAFSIR AL-QURAN BI AL-QURAN (Studi Atas Kitab Tafsir alMizan Fi Tafsir al-Quran Karya Muhammad Husain al-Thabathaba’i). Jurnal Ushuluddin.

Otta, Y. A. (2018). DIMENSI-DIMENSI MISTIK TAFSIR AL-MIZAN (Studi atas Pemikiran Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan). Potret Pemikiran. 

Amrillah Achmad, "Telaah Tafsir al-Mizan Karya Thabathabai", Tafsere, Vol. 9, No. 2, (2021).

Rangga Oshi Kurniawan & Aliviyah Rosi Khairunnisa, "Karakteristik dan Metodologi Tafsir Al-Mizan Al-Thabathaba'i", Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol. 1, No. 2, (2021). 

Erfin Mahmudah, Skripsi:“PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR AL-MIZAN (STUDI ANALISIS SURAT LUQMAN AYAT 12-19)”, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG, 2017. 

 

 

 

 

 



[1] Tamrin, T. T. (2019). Tafsir al-Mizan: Karakteristik dan Corak Tafsir. Al-Munir: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 1(1), 1–26.

[2] Fauzan, A. (2018). Manhaj Tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an Karya Muhammad Husain Tabataba’i. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 3(02), 117–136.

[3] Irhas, I. (2016). PENERAPAN TAFSIR AL-QURAN BI AL-QURAN (Studi Atas Kitab Tafsir al-Mizan Fi Tafsir al-Quran Karya Muhammad Husain al-Thabathaba’i). Jurnal Ushuluddin, 24(2), 150–161.

[4] Otta, Y. A. (2018). DIMENSI-DIMENSI MISTIK TAFSIR AL-MIZAN (Studi atas Pemikiran Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan). Potret Pemikiran, 19(2).

[5] Amrillah Achmad, "Telaah Tafsir al-Mizan Karya Thabathabai", Tafsere, Vol. 9, No. 2, (2021).

[6] Yusno Abdullah Otta, "Dimensi-Dimensi Mistik Tafsir Al-Mizan", Potret Pemikiran, Vol. 19, No. 02, (2015), hal.

[7] .

[8] Amrillah Achmad, Op. Cit.

[9] Rangga Oshi Kurniawan & Aliviyah Rosi Khairunnisa, "Karakteristik dan Metodologi Tafsir Al-Mizan AlThabathaba'i", Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol. 1, No. 2, (2021), hal. 148.

[10] Amrillah Achmad, “Telaah Tafsir al-Mizan Karya Thabathabai”, Rumah Jurnal UIN Alauddin Makassar vol 9, no. 2 (2021): 257-259. https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/tafsere/article/view/31495/15593. 

[11] Erfin Mahmudah, Skripsi:“PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR AL-MIZAN (STUDI ANALISIS SURAT LUQMAN AYAT 12-19)”, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG, 2017, hlm. 54. 

[12] Ahmad Fauzan, “MANHAJ TAFSIR AL-MIZAN FI TAFSIR AL-QUR’AN KARYA MUHAMMAD HUSAIN TABATABA’I”, AL TADABBUR: JURNAL ILMU ALQURAN DAN TAFSIR. Vol. 03 No. 2, 2018, hlm. 131-132. 

Posting Komentar

0 Komentar