ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA


 
Pembahasan

Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Pada tanggal 10 Desember 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan sebuah deklarasi, yang kemudian dikenal dengan Unviersal Declaration of Human Rights, yakni pernyataan sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia.

Pada pasal 1 deklarasi ini tertuang pernyataan bahwa “sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka diberi karunia akal budi, dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”. Hak-hak yang diakui di dalam piagam PBB ini adalah: hak untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat; hak memiliki sesuatu; hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran; hak menganut aliran kepercayaan atau agama; hak untuk hidup; hak untuk kemerdekaan hidup; hak untuk memperoleh nama baik; hak untuk memperoleh pekerjaan.[1] 

 

HAM Dalam Islam

Allah memerintahkan kepada manusia agar berbuat amar ma'ruf nahi munkar tidak hanya kepada sesama manusia namun juga kepada makhluk yang lain. Hal ini menjelaskan Islam sebagai agama rahmatan lil-‘alamiin. Sebagai agama yang rahmatan li al- alamin, Islam mengakui dan menghormati hak-hak personal individual manusia sebagai nikmat karunia yang dianugerahkan

 

oleh Allah Swt. juga mengakui dan menghormati hak-hak kolektivitas sebagai hak publik dalam rangka menata kehidupan di muka bumi dengan konsep hablummin Allah wa hablumminannas. 

Dalam persepektif Islam, konsep HAM itu dijelaskan melalui konsep maqashid al-syari’ah

(tujuan syari’ah), yang sudah dirumuskan oleh para ulama masa lalu. Tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) menjadi keniscayaan (dharuriyyat) mereka, serta memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhan (hajiyyât) dan hiasan (tahsniyyat) mereka. Teori maqashid al-syari’ah tersebut mencakup perlindungan terhadap lima hal (al-dharuriyyat alkhamsah), yakni: Memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan atau keturunan, dan memelihara harta.[2] Lima tujuan tersebut menjadi prinsip hak asasi manusia, yaitu: 

1.   Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup; Dalam semua ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi, kata jiwa (nafs) dipakai dalam arti luas tanpa ada petunjuk bahwa orang-orang yang tidak boleh dibunuh itu termasuk salah satu bangsa atau rakyat dari rasa tau agama tertentu. Perintah ini bersifat universal, dan hak untuk hidup ini hanya diberikan oleh Islam. 

2.   Hak perlindungan keyakinan;"Lakumdiinukum waliyadiin" Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”, "Laa ikrohafiddin", Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” Berdasarkan ayat di atas, tidak diperbolehkan adanya pemaksaan dalam memeluk agama.

3.   Hak perlindungan terhadap akal fikiran; Di jelaskan dalam hukum yakni tentang haramnya makan atau minum hal-hal yang bisa merusak kesadaran fikiran. Dari penjabaran yang elementer ini bisa ditarik lebih jauh, yakni perlindungan kebebasan berpendapat, dan hak memperoleh pendidikan. 

4.   Hak perlindungan terhadap hak milik; Dijelaskan dalam hukum tentang keharaman mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencuri hak milik yang dilindungi secara sah. Jika diterjemahkan lebih luas lagi, hak ini dapat dipahami sebagai hak bekerja atau memperoleh pendapatan yang layak, hak cipta dan kekayaan intelektual.[3] 

5.   Perlindungan terhadap keturunan (hifzh al-nasl), yang mengandung pengertian juga hak untuk melakukan pernikahan dan mendapatkan keturunan. Sebagian ulama menyebutkan

 

perlindungan terhadap kehormatan (hifzh al-‘rdh) sebagai ganti hifzh al-nasl, yang mengandung pengertian hak untuk memiliki harga diri dan menjaga kehormatan dirinya.[4]

Kelima prinsip tersebut menjadi bukti bahwa HAM adalah hak pemberian Allah Swt.

kepada setiap makhuk.

HAM DI Indonesia

Pengakuan Hak Asasi Manusia di Indonesia telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang sebenarnya telah lebih dahulu ada dibandingkan dengan Deklarasi PBB (Universal Declaration of Human Rights) tanggal 10 Desember 1948. Pengakuan hak Hak Asasi Manusia di Indonesia tampak pada: Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea pertama, alinea ketiga, pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 27, 28A, 28B,

28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J, ketetapan MPR RI, dan Peraturan perundang-undangan.[5]

Seperti yang telah dikatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, HAM adalah hak asasi manusia sudah ada dalam dirinya serta setiap orang harus menghormatinya (termasuk yang memiliki jabatan atau orang penting). Menurut undang-undang, dengan adanya hak asasi manusia berfungsi memberikan kekuatan moral untuk melindungi dan menjamin martabat manusia, tidak berdasarkan kondisi, Hasrat atau keinginan politik tertentu. 

1.      Periode sebelum Kemerdekaan (1908-1945)

Pemikiran HAM pada masa sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam sejarah kemunculan organisasi. Pergerakan Nasonal Budi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indesche Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (1925), Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya pergerakan– pergerakan yang menjunjung berdirinya HAM seperti ini tak lepas dari pelangaran HAM yang dilakukan oleh penguasa (penjajah). Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia Boedi Oetomo merupakan organisasi pertama yang menyuarakan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang di tunjukan ke pada pemerintah kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar.6

 

2.      Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)

Perdebatan tentang HAM berlanjut sampai periode paska kemerdekaan: 

a.       Periode 1945-1950. Pemikiran HAM pada periode ini menekankan wacana untuk merdeka (Self Determination), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik mulai didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di Parlemen.

b.      Periode 1950-1959. Periode ini dikenal dengan periode parlementer, menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM di Indonesia tercermin dalam empat indikator HAM: munculnya partai politik dengan berbagai idiologi, adanya kebebasan pers, pelaksanan pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratris, kontrol parlemen atas eksekutif.

c.       Periode 1959-1966. Periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal dan digantikan dengan demokrasi terpimpin yang terpusat pada kekuasan persiden Seokarno, demokrasi terpimpin (Guided Democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan presiden Seokarno terhadap demokrasi parlementer yang dinilai merupakan produk barat.

d.      Periode 1966-1998. Pada mulanya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia. Janji–janji Orde Baru tentang HAM mengalami kemunduran pesat pada tahu 1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapat mandat konstitusional dari siding MPRS. Orde Baru menolak ham dengan alasan HAM dan Demokrasi merupakan produk barat yang individualistik yang militeristik. Bertentangan dengan prinsip lokal Indonesia yang berprinsip gotong-royong dan kekeluargaan.

e.       Periode paska orde baru. Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah perkembangan HAM di Indonesia, setelah terbebas dairi pasungan rezim Orde baru dan merupakan awal datangnya era demokrasi dan HAM yang kala itu dipimpin oleh Bj. Habibie yang menjabat sebagai wakil presiden. Pada masa pemerintahan Habibie misalnya perhatian pemerintah terhadap pelaksanan HAM mengalami perkembangan yang sangat segnifikan, lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator pemerintah era reformasi. Komitmen pemerintah juga ditunjukan dengan pengesahan tentang salah satunya, UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pengesahan UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

 

 

Daftar Pustaka

Abdillah, Masykuri. 2014. Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakkan dan Problem Ham Di Indonesia. Miqot. XXXVIII. (2). 

Besar. 2011. Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Di Indonesia. Humaniora. 2(1).

Maisaroh. 2015. Islam dan Hak Asasi Manusia. Islamuna. 2(2).

Muhtarom, Ahmad. 2017. Diskursus Islam dan Hak Asasi Manusia (Kajian Universalitas dan Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia). Fikri. 2(1).

 

 



[1] Besar, Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Di Indonesia, Jurnal Humaniora, (Vol. 2, No. 1), h. 206.

 

[2] Maisaroh, Islam dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Islamuna, (Vol. 2, No. 2), h. 258.

[3] Maisaroh, Islam dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Islamuna, h. 259-260.

[4] Masykuri Abdillah, Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakkan dan Problem Ham Di Indonesia, Jurnal Miqot (Vol. XXXVIII, No. 2), h. 380. 

[5] Besar, Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Di Indonesia, Jurnal Humaniora, (Vol. 2, No. 1), h. 207-209.

 

Posting Komentar

0 Komentar