Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dari kehidupan manusia, salah satunya ada beberapa kisah tentang kejadian pada masa lalu, Sejarah bangsa bangsa, dan kejadian negeri negeri serta peninggalannya. yaitu kisah yang diabadikan dalam AlQur’an adalah kisah mengenai kehancuran tentara bergajah yang dipimpin oleh Raja Abrahah.
kisah ini berawal ketika raja Abisinia mengirimkan pasukan ke Yaman yang dipimpin oleh dua orang jendral bernama Aryat dan Abrahah untuk menaklukan Kerajaan Himyar sebab disana telah dilakukan pembantaian secara besar besaran terhadap orang orang Nasrani.Dalam surat Al-Fiil yang dimaknai oleh
beberapa mufasir sebagai peristiwa serangan wabah penyakit. pemaknaan tersebut
memunculkan polemic dikalangan mufasir pada umumnya, selain itu, pemaknaan
penyakit tersebut juga berhenti hanya sampai pada batas dugaan tanpa disertai
keterangan yang lengkap, khusunya pada keterang tafsir sains. Maka dari itu
tujuan dari penulisan adalah untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pandangan
sebagai mufasir terkait wabah penyakit dalam kisah kehancuran tentara bergajah.
Pembahasan
Awal Mula Kisah Raja Abrahah
Kisah ini
berawal ketika raja Abisinia mengirimkan pasukan ke Yaman yang di pimpin oleh
dua orang jendral bernama Aryat dan Abrahah untuk menaklukkan kerajaan Himyar
sebab disana telah dilakukan pembantaian secara besar-besaran terhadap
orang-orang nasrani. Pasukan yang di pimpin kedua orang jendral ini berhasil
menaklukkan kerajaan tersebut. Tetapi kemudian keduanya berselisih pendapat
mengenai siapa yang paling berhak untuk memimpin. Perselisihan itu menyebabkan
Aryat terbunuh sehingga Abrahah lah yang terpilih dan diangkat menjadi
pemimpin.[1]
Ketika Abrahah berkuasa di Yaman, ia
membangun sebuah gereja yang bernama al-Qullays dengan harapan agar dapat
menyaingi bangunan Ka’bah di Makkah sebagai tempat ibadah haji terbesar di
seluruh Arab. Namun kenyataannya masyarakat Arab tetap berangkat ke Ka’bah.
Bahkan sekelompok orang dari suku Kinanah datang menghancurkan gereja
al-Qullays setelah mengetahui isi pesan yang di sampaikan Abrahah kepada raja
Najasyi bahwa tujuan dibangunnya gereja itu tidak lain untuk mengalihkan
orang-orang arab dari Ka’bah ke bangunan tersebut. Perusakan ini menimbulkan
kemarahan Abrahah dan ingin balas dendam atas perbuatan orang-orang arab itu.
Ia mengumpulkan bala tentara secara besarbesaran yang terdiri dari barisan
pasukan yang berjalan kaki sejumlah kurang lebih 60 ribu orang, barisan pasukan
dengan perlengkapan khusus seperti pasukan kuda yang memakai topeng dan
perisai, pasukan yang menunggangi unta dengan memegang senjata tombak, kapak,
dan busur, serta tentara yang terdiri atas barisan gajah dimana dalam barisan
tersebut Abrahah menunggangi gajah yang paling besar. [2]
Ketika hendak memasuki kota Makkah,
gajah tunggangan Abrahah yang bernama Mahmud berhenti dan tidak mau berdiri,
tetapi jika diarahkan ke Yaman, gajah itu seakan hendak berlari. Dalam suasana
pelik mengurusi gajah tersebut, tiba-tiba mereka mendengar suara bergemuruh.
Langit berubah menjadi hitam pekat diikuti dengan munculnya gelombang yang
menyapu dari arah laut. Mereka melihat
langit dipenuhi oleh burung-burung yang masing-masing membawa tiga buah batu.
Satu di paruhnya dan dua buah yang lain berada dalam cengkraman kakinya.
Burung-burung itu melemparkan batu ke arah mereka. Setiap terkena lemparan
batu, mereka terjatuh dan tubuhnya langsung membusuk. Melihat
kejadian tersebut, Abrahah ketakutan lalu memutuskan untuk
membawa pasukannya pulang ke Yaman, namun mereka semua mati di tengah
perjalanan, termasuk Abrahah diriwayatkan ketika sampai disuatu desa yang
bernama San’a, ia terjatuh dalam keadaan dada terbelah. Beberapa hari setelah
peristiwa besar penyerbuan tentara bergajah yang di pimpin Abrahah itu,
lahirlah seorang bayi yang kelak menjadi nabi terakhir, yakni Muhammad bin
Abdullah, 8 yang lahir pada hari senin, 12 Rabiul Awal, bertepatan pada tanggal
20 atau 22 April 571 M, tahun gajah; tahun ketika Abrahah al-Asyram memerangi
Makkah danmenghancurkan Ka’bah tapi gagal. Abrahah dan pasukannya dihancurkan
Allah dan dijadikan sebagai tanda kekuasaan-Nya bagi umat manusia sebagaimana
terangkum dalam surah al-Fil.[3]
Penafsiran Surah Al-Fiil
Terdapat Perbedaan pendapat diantara
para ulama ketika menafsirkan surah al-Fiil, khususnya pada 3 ayat terakhir
yang mengindikasikan kehancuran tentara bergajah. Umumnya mufasir memaknai
kisah kehancuran tentara bergajah sebagai suatu keajaiban dari kekuasaan Allah.
Pemaknaan ini cenderung merujuk pada riwayat dan tela’ah kebahasaan. Tetapi ada
sebagian mufasir lain memaknai peristiwa hancurnya tentara bergajah sebagai
serangan yang diakibatkan oleh wabah penyakit. Berikut beberapa pendapat
sebagian mufasir tersebut:
1. Al-Maraghi dalam kitab Tafsir al-Maraghi. Pada ayat ke 3 dan 4, AlMaraghi menjelaskan bahwa Allah mengirimkan burung yang membawa
batu dari tanah kering dan menjatuhkannya kepada seluruh pasukan, lalu mereka
di timpa penyakit cacar atau campak hingga mati. Adapun al-thair adalah sejenis nyamuk atau lalat yang membawa kuman
penyakit, al-Maraghi menyebutkan: “Jelas bahwa lalat membawa banyak bibit
penyakit, sehingga hinggapnya seekor lalat yang bergelimang dengan basil kepada
manusia sudah cukup menumpakan penyakit yang dibawanya, lalu menularkan
penyakit itu kepada
khalayak ramai. Karena itu, jika Allah menghendaki
membinasakan sejumlah besar tentara dengan seekor nyamyk saja, maka hal itu
tidak begitu jauh dari kebiasaan yang berlaku. Dan ini merupakan petunjuk yang
lebih kuat atas kekuasaan Allah dan kebesaran kekuasaannya ketimbang kebinasaan
mereka lantaran burung-burung besar dan hal-hal yang aneh. Juga lebih
menunjukan atas kelemahan manusia dan kehinaannya di hadapan kekasaan Illahi
bagaimana tidak, sedang ia adalah makhluk yang dapat dibinasakan oleh seekor lalat,
digigit nyamuk di tempat tidurnya dan dibuat sakit oleh hembusan angin”[4]
Kemudian kata al-hijarah
berasal dari tanah (lumpur) kering yang mengandung racun yang dibawa oleh
angin, lalu racun tersebut melekat pada kaki-kaki burung-burung ini. Ketika
mengenai badan, racun tersebut masuk kedalam pori-pori kulit, lalu menimbulkan
bekas luka yang merusak badan dan merontokkan daging.[5]
2. Al-Qurtubi dalam kitab Jami’
al-Ahkam al-Qur’an. Disini al-Qurtubi
juga menjelaskan, bahwa burung-burung itu melemparkan pasukan bergajah dengan
batu-batu kecil, apabila mereka terkena batu tersebut maka akan timbul cacar
pada kulit mereka, cacar yang sangat parah dan belum pernah terjadi. Adapun
Batu-batu yang dilemparkan kepada mereka hanyalah sebesar kacang humus, sedikit
lebih besar dari kacang ‘adas, dan
menurut riwayat dari Ibnu Abbas, lemparan batu-batu itu tidak langsung menjadi
cacar, namun terlebih dahulu membakar kulit mereka, setelah kulit mereka hangus
barulah timbul penyakit cacar.[6]
3. Muhammad Abduh dalam kitabnya Tafsir Alquran al-Karim (Juz
Amma).
Dalam menafsirkan lafadz طَيْرًا أبََابيِلَ dalam surat al-Fiil,
penafsiran Muhammad Abduh berbeda dengan kebanyakan
mufassir lainnya. Pada ayat ketiga surah al-Fiil Allah berfirman:
وَأرَْسَلَ
عَليَْهِمْ طَيْرًا أبََابيِلَ
Artinya: “Dan Dia kirimkan kepada mereka burung yang berbondongbondong.”
Muhammad Abduh menafsiri
kata أبََابيِلَ
ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing kelompok
mengikuti kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan طَيْرًا
ialah hewan yang terbang dilangit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar,
tampak penglihatan mata atau tidak.
Kemudian Muhammad Abduh
menafsirkan kata سِ جِي ل
dalam surat alFiil ayat empat yaitu kata yang berasal dari bahasa Persia yang
bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu. Sedangkan
kata مَّأكُْو ل ditafsirkan sebagai sesuatu yang dimakan
ulat atau sebagiannya telah dimakan oleh hewan yang lain. Secara bahasa مَّأكُْو ل
adalah bentuk isim maf’ul, yang
artinya telah dimakan seperti tanaman yang telah dimakan bijinya dan yang
tertinggal hanya jeraminya.
Muhammad Abduh menyebutkan
riwayat dari Ikrimah, dalam tafsirnya yang berisi, bahwa pada saat itu terjadi
wabah cacar yang pertama kali muncul di Jazirah Arab. Demikian pula, mengambil
riwayat dari Ya'qub bin Utbah, pertama kali terlihat wabah cacar di Jazirah
Arab adalah pada tahun itu. Wabah cacar tersebut telah menyebabkan tubuh-tubuh
mereka mengalami suatu penyakit yang jarang skali terjadi seperti itu.
Daging-daging mereka berjatuhan, membuat pasukan itu bersama panglimanya mereka
telah terjangkit penyakit itu sehingga sampainya di San’a (Ibu kota Yaman)
panglimanya itu mati.[7]
4. Keempat, Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
dalam kitab Tafsir AlQur’anul Majid
An-Nur. Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Allah mengirimkan beberapa kelompok
burung yang membawa tanah liat yang kering dan keras, lalu di lemparkan kepada
pasukan bergajah itu. Sehingga, semua anggota pasukan menderita penyakit cacar.
Adapun burung yang dikirim Allah mungkin sejenis nyamuk atau lalat yang membawa
kuman penyakit atau mungkin membawa batu dari tanah kering yang mengandung
racun. Apabila tanah kering itu menyentuh badan manusia, maka masuklah
kuman-kuman itu kedalam tubuh melalui pori-pori kulit, sehingga timbullah
campak yang merusak tubuh mereka. Lalu ia menjelaskan bahwa pada ayat ke-5
Allah menerangkan bagaimana Dia menghancurkan pasukan bergajah yang datang dan ingin
merobohkan Ka’bah dengan jalan mengirimkan pasukan burung yang menyebarkan
kuman penyakit.[8]
Adapun Quraish Shihab, dalam tafsirnya Al-Misbah mengemukakan pendapat yang
berbeda terkait penyakit ini. Ia mengutip pendapat dari As-Sya’rawi yang
mengatakan bahwa huruf “fa” dalam
ayat ke-5 فَجَعَلهَُمْ كَعَصْ ف
مَّأكُْو ل menunjukkan
singkatnya waktu antara peristiwa yang ditunjuk oleh kata sebelum fa dengan peristiwa yang ditunjuk kata
sesudah huruf fa. Berbeda halnya jika
digunakan kata tsumma, ini berarti
kemusnahan badan mereka menjadi bagaikan daun-daun yang dimakan ulat terjadi
dalam waktu yang sangat singkat setelah terjadi pelemparan batu-batu سِ جِي ل. Maka, seandainya apa yang mereka derita
itu adalah wabah penyakit campak atau lepra, tentu proses kehancuran tubuh
memerlukan waktu yang tidak singkat, dan bila demikian, seharusnya ayat di atas
tidak menggunakan huruf fa tetapi tsumma. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi
dalam tafsirnya juga menolak pandangan ‘Abduh. Alasan penolakannya antara lain
adalah bahwa surah ini dimulai dengan firman Allah ألََ مْ ترََ
كَيْفَ فعََلَ رَبكَُّ
بِأصَْحََٰبِ ٱلْفِي لِ
(tidakkah engkau melihat
bagaimana perbuatan Tuhanmu?). Pertanyaan ini menurut al-Sya’rawi, mengandung
isyarat bahwa apa yang terjadi itu adalah
“perbuatan Tuhan” dan bahwa
peristiwa tersebut di luar hukum sebab dan akibat yang lumrah diketahui.
Peristiwa itu bukan berdasarkan “sebab akibat” atau “aksi dan reaksi”
semata-mata berdasarkan perbuatan Tuhan atau tangan Tuhan sendiri, sehingga
dengan demikian, hal tersebut tidak dapat diukur dengan ukuran yang berlaku
dalam kebiasaan para makhluk Tuhan.
Begitupun dengan Sayyid Qutub, dalam
kitab fi Zilal al-qur’an, ia
mengkritik penafsiran Muhammad Abduh dengan menyatakan bahwa riwayat Ikrimah
dan cerita Ya’qub bin Utbah yang dikutip oleh Muhammad Abduh bukan merupakan nas yang menunjukkan bahwa pasukan gajah
itu ditimpa penyakit cacar. Riwayat tersebut tidak lebih hanya menyatakan jika
pada tahun itu berjangkit penyakit cacar untuk pertama kalinya. Perkataan
keduanya juga tidak terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa Abrahah dan
tentaranya secara khusus terkena penyakit itu. Kemudian mengenai badan yang
dirobek-robek oleh batu yang dilemparkan oleh kawanan burung itu adalah
merupakan gambaran indrawi. Tidak perlu ditakwilkan dengan mengatakan bahwa itu
adalah lukisan terhadap keadaan mereka yang tertimpa penyakit cacar atau
campak. Lebih-lebih, penyakit cacar atau campak menurut yang biasa terjadi
tidaklah sesuai dengan riwayat-riwayat tentang pengaruh peristiwa itu terhadap
tubuh tentara dan komandannya. Karena cacar atau campak biasanya tidak sampai merontokkan
anggota tubuh dan memutuskan jarijemari satu demi satu, juga tidak sampai
membelah dada dan menembus jantung. Sayyid Qutub cenderung mengatakan bahwa
peristiwa pembinasaan tentara bergajah terjadi sesuai prinsip keluarbiasaan
yang tidak biasa terjadi pada manusia. Pasalnya, Allah mengirimkan burung ababil yang luar biasa, yang membawa
batubatu yang tidak biasa, yang bertindak terhadap tubuh-tubuh mereka secara
luar biasa pula.[9]
Diantara perbedaan pandangan mufasir
terkait penyakit yang menyerang tentara bergajah, adapula mufasir yang justru
tidak menyinggung sama sekali perihal penyakit yang di perselisihkan itu.
Seperti misalnya penafsiran Ibnu Katsir pada ayat ke-5, ia menjelaskan bahwa
Allah Swt. membinasakan, melenyapkan, dan
mengembalikan mereka dengan tipu muslihat dan kemarahan
mereka, dan mereka tidak mendapatkan kebaikan sama sekali. Mereka dibinasakan
secara keseluruhan dan tidak ada seorang pun dari mereka yang kembali
memberitahu peristiwa itu melainkan dalam keadaan terluka, sebagaimana yang
dialami oleh raja mereka Abrahah. Begitupun penafsirannya Wahbab Zuhaili yang
mengutip riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Tatkala burung-burung itu
melempari dengan batu, Allah Swt mengirim angin sehingga lemparan batu-batu tersebut
semakin kuat. Batu-batu tersebut tidaklah menimpa seseorang melainkan orang itu
akan meninggal dunia. Tidak ada yang selamat dari mereka kecuali seorang
laki-laki yang berasal dari Kindah. Diriwayatkan pula bahwa batu-batu yang
dilemparkan burung-burung tersebut tidak mengenai mereka semua. Akan tetapi, ia
hanya mengenai orangorang yang Allah kehendaki dari kalangan mereka.[10]
Singkatnya,
penyakit yang sering di bicarakan dalam penafsiran terkait kehancuran tentara
bergajah diatas terfokus pada wabah cacar dan campak yang disebabkan oleh lalat
atau nyamuk. Namun, pendapat tersebut masih menuai keraguan ulama lainnya
karena belum terbukti secara ilmiah dan juga belum pernah terjadi dalam sejarah
manusia pada saat itu.
Epidemiologi Terhadap Wabah Penyakit Pada Peristiwa
Kehancuran Tentara Bergajah
Pemaknaan
mufasir yang mengaitkan kisah kehancuran tentara bergajah dengan wabah penyakit
membuka ruang bagi ilmu sains untuk masuk dan menelusuri peristiwa tersebut
secara lebih mendalam. Sehingga memungkinkan lahirnya perspektif makna baru,
yang berbeda dari hasil penafsiran pada umumnya.
Salah satu cabang ilmu sains yang dapat
di gunakan untuk menelusuri keberadaan wabah penyakit mematikan dalam kisah ini
adalah ilmu epidemiologi. Cabang ilmu epidemiologi muncul sekitar abad ke-17
dan baru benar-benar berkembang pada abad ke-19. Kemunculan epidemiologi
dilandasi oleh
pemahaman masyarakat pada zaman
dahulu yang menganggap bahwa suatu penyakit disebabkan oleh roh-roh jahat. Kata
“epidemiologi” pertama kali digunakan oleh seorang dokter asal spanyol yang
bernama Villalba dalam tulisannya yang berjudul Epidemiologia Espanola. Akan
tetapi, gagasan dan praktik epidemiologi telah diperkenalkan oleh Hippocrates
sekitar 2000 tahun sebelumnya di Yunani
Dalam sebuah catatan peninggalan raja
Abrahah, ditemukan permulaan penyebaran wabah Yesinia Pestis di Ethiopia
berlangsung pada bulan Januari 548. Abrahah sebagai penguasa saat itu,
membatalkan pembangunan bendungan di wilayah Maghrib, karena telah memakan
banyak korban. Pergerakan masyarakat Aksum (Ethiopia) ke wilayah Yaman untuk
berdagang dan sebaliknya, menjadikan wabah ini menyebar ke kawasan Timur
Tengah. Bahkan, pengerahan tentara yang dilakukan oleh Abrahah ke Makkah
ditengarai sebagai kendaraan bagi wabah dalam memperluas penyebarannya.
Identifkasi penyakit tersebut dalam berbagai literatur Islam, atau bahkan Arab
secara umum tidak ditemukan karena proses identifkasi epidemi ini disamakan
dengan penyakit lainnya.[11]
Keyakinan
bahwa wabah yang menyebar di wilayah Arab merupakan wabah Justinian Plague didasarkan pada tahun kejadiannya yang sama dengan
keberadaan penyebaran wabah tersebut di Ethiopia. Penyebaran wabah yang
menggangu pembangunan bendungan Maghrib berlangsung pada tahun 541-542 M. Wabah
ini kemudian menyebar ke wilayah Yaman dan masuk ke Arab bersamaan dengan
penyerangan Abrahah ke Makkah. Bahkan Watt menyebutkan bahwa Abrahah dan
tentaranya musnah terkena wabah ini sebelum sampat melaksanakan tujuannya.
Secara etimologi, epidemiologi berasal
dari bahasa Yunani yang terdiri dari tiga kata yaitu epi berarti pada atau tentang; demos
yang berarti penduduk; dan logos yang
berarti ilmu.[12]
Arti penduduk dalam epidemiologi dimaknai sebagai
kelompok objek tertentu, baik
yang bersifat organisme hidup ataupun yang bersifat produk/material. Sehingga
kemudian praktik dan penggunaan epidemiologi tidak hanya terbatas pada bidang
kesehatan saja, tetapi juga dapat diaplikasikan untuk disiplin ilmu lain di
luar kesehatan. Meskipun begitu, epidemiologi menurut istilah pada umumnya
dikenal sebagai suatu cabang ilmu kesehatan yang menganalisis sifat dan
penyebaran berbagai masalah kesehatan dalam suatu penduduk serta mempelajari
sebab timbulnya masalah dan gangguan kesehatan tersebut untuk tujuan pencegahan
maupun penanggulangannya. Dengan kata lain, epidemiologi merupakan ilmu yang
digunakan untuk menganalisis masalah kesehatan dan faktor terjadinya suatu
penyakit pada manusia.
Dalam konsep
epidemiologi, penyakit pada manusia dapat terjadi karena 2 model penyebab,
yakni model kausasi tunggal (monokausal) dan model kausasi majemuk
(multikausal). Model kausasi tunggal adalah konsep dimana penyakit yang timbul
disebabkan oleh satu faktor yakni agen
(penyebab penyakit). Sedangkan model kausasi majemuk (multikausal) adalah
konsep penyakit yang memiliki lebih dari satu penyebab, yakni ketika ada
interaksi antara agen (penyebab
penyakit), host (organisme yang
mengandung penyakit), dan enviroment
(lingkungan). Menurut model yang kedua ini, timbulnya penyakit pada manusia
terjadi akibat ketidakseimbangan dari tiga faktor tersebut. Apabila melihat
informasi yang disampaikan oleh sebagian mufasir diatas, maka dugaan penyakit
yang menghancurkan pasukan bergajah selaras dengan model kausasi tunggal.
Karena batu yang terbakar adalah penyebab tunggal dalam peristiwa tersebut,
sehingga ia dapat dianggap sebagai agen yang berperan dalam menciptakan
penyakit yang menyerang pasukan Abrahah.
Keberadaan
penyakit tidak lepas dari peran vektor
dan reservoir penyakit. Baik vektor ataupun reservoir, keduanya memiliki sejumlah definisi yang hampir sama,
namun dari berbagai definisi yang ada, terdapat satu definisi yang bisa
digunakan sebagai rujukan. Menurut Internasional
Health Regulation (IHR) 2005 sebagai peraturan kesehatan internasional,
dalam bagian I tentang definisi, maksud dan ruang lingkup prinsip-prinsip dan
otorita yang berkompeten, pasal 1 tentang definisi menyebutkan bahwa vektor adalah serangga atau hewan lain
yang biasanya membawa kuman penyakit yang merupakan suatu risiko bagi kesehatan
masyarakat. Sedangkan reservoir
adalah hewan, tumbuhan atau benda dimana bibit penyakit biasanya hidup.
Maka terhadap
kasus pasukan bergajah, burung ababil adalah vektor pembawa agen penyakit. Seperti halnya dengan pemaknaan
sebagian mufasir bahwa burung ababil membawa batu dari tanah yang mengandung
sejumlah mikroba atau kuman penyakit. Mikroba atau kuman penyakit inilah yang
dalam epidemiologi disebut sebagai agen,
yakni unsur organisme hidup, atau kuman infeksi yang menyebabkan terjadinya
suatu penyakit. Agen penyakit itu
sendiri apabila dikaitkan dengan penyakit menular, maka akan terbagi ke dalam
tiga macam, antara lain agen fisika, agen kimia, dan agen biologis.[13]
Berkaitan dengan kehancuran tentara
bergajah, beberapa agen penyakit yang mungkin dibawa oleh burung ababil dapat
di petakan menjadi tiga;
1) Agen kimiawi, yakni
senyawa racun yang terkandung dalam batu yang dibawa oleh burung ababil.
Sebagaimana pada ayat ke empat surah al-Fil, sebagian mufasir memaknai batu
tersebut mengandung racun sehingga ketika bersentuhan dengan kulit manusia
racun itu akan masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit yang merontokkan
daging.
2) Agen biologis, antara
lain seperti virus, bakteri, jamur, cacing, atau serangga, yang boleh jadi
terkandung dalam batu yang dibawa oleh burung ababil. Sebab kandungan lumpur
atau tanah dapat menjadi sarang dari organisme-organisme penyakit tersebut.
3) Agen fisika, yakni
berupa rasa panas (luka bakar) pukulan, tikaman, irisan, dan sebagainya. Proses
fisik yang tergambar dalam peristiwa kehancuran tentara bergajah adalah
lemparan batu dari tanah yang
terbakar itu, sehingga mungkin saja mereka mengalami luka
bakar yang menghancurkan jasad.
Analisis Ragam Penyakit Yang di Duga Menyerah Pasukan Abrahah
Terdapat ragam penamaan
wabah penyakit yang di duga menyerang pasukan bergajah. Ada yang menyebutkan
penyakit cacar, campak, virus, bakteri, wabah justinian, dan lain sebagainya. Sejumlah nama penyakit ini
digunakan meski pada akhirnya tetap menuju pada satu jenis penyakit yang
disepakati, yakni penyakit yang menyebabkan hancurnya tentara bergajah. Namun,
jika dilihat dalam pemahaman sains, penyakit-penyakit yang disebutkan diatas
sangatlah berbeda antara satu dengan yang lain, baik dari cara penularan, organisme
yang menyebabkan penyakit, serta waktu-waktu penularannya.
Dikatakan
bahwa wabah penyakit yang menyerang pasukan bergajah adalah wabah cacar dan
campak. Cacar (smallpox) adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus variola.[14]
Pada umumnya kulit orang yang terkena penyakit cacar akan melepuh yang
didalamnya berisi nanah atau cairan bening. Kulit yang melepuh itu kemudian
pecah dan membentuk kerak lalu mengering seperti bekas luka. Kondisi kulit yang
seperti ini terjadi selama rentan waktu kurang lebih antara 10-14 hari. Apabila
kondisi tersebut tidak mendapat pengobatan yang intens, besar kemungkinan
penderita akan mengalami kematian. Cacar (smallpox),
dikenal pertama kali di dunia arab pada tahun 570 di abysinia/ethiopia. Bertepatan
dengan waktu ketika penyerangan abrahah ke makkah.
Adapun Campak (Measles), adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus jenis paramyxovirus yang ditularkan melalui
pecikan air liur saat penderitanya batuk atau bersin. Penularan virus ini juga
dapat terjadi Ketika seseorang menyentuh hidung atau mulut setelah terkena
permukaan benda yang terkena percikan air liur.[15] Gejala
yang datang ketika seseorang terkena penyakit campak di tandai dengan batuk,
pilek, demam, lalu kemudian muncul bercak kemerahan pada
kulit di sekitar wajah, leher,
dan anggota tubuh lainnya. Penyakit campak ini umumnya menyerang anak-anak, dan
proses penularannya hingga menjadi penyakit terjadi dalam kurun waktu 10-14
hari. Melihat dari cara penularan dan rentan waktu infeksi dari kedua penyakit
tersebut, sangat tidak mungkin jika cacar dan campak mampu menghacurkan tubuh
pasukan bergajah dalam sekejap. Ketidakmungkinan ini telah di jelaskan oleh
Quraish Shihab dengan meminjam analisis kebahasaannya Al-Farmawi.
Disisi lain,
ada yang mengaitkan peristiwa kehancuran tentara bergajah ini dikaitkan dengan
wabah penyakit yang pernah memusnahkan populasi manusia dalam waktu yang
singkat, yakni justinian plague. Pasalnya karena waktu kemunculan wabah ini
beririsan dengan waktu peristiwa ketika abrahah diserang oleh burung ababil.
Wabah Justinian (Justinian Plague),
berlangsung sekitar beberapa periode dari tahun 541 M sampai dengan 749 M,
sedangkan peristiwa kehancuran tentara bergajah terjadi pada tahun 570 M,
bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. dengan kata lain, karena waktu
tersebut, pasukan bergajah kemungkinan diserang oleh Wabah Justinian (Justinian Plague).
Wabah
Justinian (Justinian Plague), atau
yang disebut sebagai wabah PES adalah wabah yang terjadi pada zaman kerajaan
Byzantium. Penamaan Justinian merujuk kepada nama kaisarnya, yakni Byzantium
Justinian yang memerintah pada kurun waktu 527-565. Wabah Justinian menyebar
dari mesir pada tahun 541 M dan dengan cepat mewabah ke Asia minor, Afrika,
Eropa, sampai ke Konstantinopel setahun kemudian. Penyakit ini disebabkan oleh
bakteri Yestinia Pestis yang terdapat
pada pinjal (sejenis serangga atau kutu). Pinjal tersebut biasanya hidup dan
menularkan bakterinya pada hewan-hewan pengerat seperti tikus,tupai, atau
bajing. Manusia akan terinfeksi oleh bakteri ini jika mengalami kontak langsung
dengan hewan-hewan pengerat itu. Karna wabah ini kehidupan di Konstantinopel
dapat dikatakan terhenti, makanan mulai habis, dan hukum serta ketertiban
runtuh. Pada puncaknya, sekiranya sebanyak 10.000 orang setiap hari meninggal
di Konstantinopel. Dan ketika wabah ini mulai mereda, hampir separuh penduduk
kota tersebut telah meninggal.[16]
Melihat fakta sejarah di atas, belum ada
wabah yang menyerupai kejadian seperti yang dialami oleh pasukan tentara
bergajah, yakni penyakit yang dapat menghancurkan tubuh manusia dalam sekejap.
sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan penyakit yang menimpa
tentara bergajah merupakan sesuatu yang berada di luar batas nalar manusia.
oleh karenanya, jenis penyakit ini tidak akan mampu di telusuri oleh ilmu sains
yang bersifat rasional dan membutuhkan bukti secara ilmiah.
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kisah tentang
peristiwa kehancuran tentara bergajah dalam surah al-Fil ayat 3-5 ditafsirkan
secara berbeda oleh para ulama. Beberapa mufasir menafsirkannya sebagai
fenomena yang terjadi atas kekuasaan Allah semata. Tetapi ada pula sebagian
mufasir menjelaskannya sebagai wabah penyakit cacar dan campak. urung ababil
bisa jadi bertindak sebagai hewan reservoir pembawa berbagai macam agen penyakit, yakni berupa agen kimiawi, agen biologis, dan agen fisika.
Ketiga agen ini memang berperan aktif
dalam menciptakan suatu penyakit yang mampu memusnahkan tentara bergajah dalam
sekejap. Namun, belum ada temuan sains yang menggambarkan suatu jenis penyakit
yang mampu menghancurkan manusia dalam sekejap seperti yang dialami oleh
pasukan bergajah.
DAFTAR PUSTAKA
al-Maraghi, Ahmad Mustafa, 1365, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa
al-Bab al halb, Juz 30, Cetakan 1)
al-Qurtubi, Abi
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar, 2006, Jami’ al-
Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Al-Risalah, Juz 22, Cetakan 1)
al-Zuhaili, Wahbah, 2009, Tafsir al-Munir Fi al- ‘Aqidah wa
al-Syari’ah wa al-
Manhaj, (Dar al-Fikr: Jilid 15, Juz
29-30, Cetakan ke-10)
Ayu, Ira Marti, 2020, Pengantar
Epidemiologi, Universitas Esa Unggul.
Backhouse, Fid, 2023, Plague
of Justinian, diakses pada 23 Nov 2023, https://www.britannica.com/event/plague-of-Justinian
Dewi, Mahbub Ghozali, Chandra Kartika,
2020 “Reinterpretasi Surah Al-Fiil
Dalam Konteks Wabah,” Academic Journal of Islamic Principle and Philosophy 1, no. 2.
Fadillah, Insan, 2022, Studi Kritis atas Penafsiran Muhammad Abduh
Terhadap Surah al-Fiil, skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara.
Irwan, 2017, Epidemiologi penyakit menular, (Yogyakarta: CV. Absolute Media)
Kemala, Fidhia,
2021, Cacar (Smallpox), diakses pada
23 Nov 2023,
https://hellosehat.com/infeksi/infeksi-virus/cacar-smallpox-variola/
Moenawar Chalil, 2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad,
(Jakarta: Gema Insani Press, Cetakan 1, Jilid 1)
Pittara,
Dr., Pengertian Campak, diakses
pada 23
Nov 2023,
https://www.alodokter.com/campak
Qutub, Sayyid, Fi Zilal al-qur’an, 3977
Saleh, Qasim A.
Ibrahim, Muhammad A., 2014, Buku Pintar
Sejarah Islam; Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini,
terj. Zainal Arifin, (Jakarta: Penerbit Zaman, Cetakan 1)
Sauda, Harfin, Limmatus, 2022, “kisah kehancuran tentara bergajah dalam surah al-fil tinjauan
ilmu epistimiologi” Ulumul Qur’an: Jurnal Kajian Ilmu AlQur’an
dan Tafsir Volume 2, Nomor 1.
[1] Harfin dan Limmatus Sauda, “kisah kehancuran tentara bergajah dalam
surah al-fil tinjauan ilmu epistimiologi” Ulumul Qur’an: Jurnal Kajian Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir Volume 2, Nomor 1,
Maret 2022. hal 99
[2] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad,
(Jakarta: Gema Insani Press, Cetakan 1, Jilid 1, 2001), 53
[3]
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku
Pintar Sejarah Islam; Jejak Langkah
Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Zainal Arifin,
(Jakarta: Penerbit Zaman, Cetakan 1, 2014) hal 21-22
[4] Muhammad Akbar Zulkaenain,
Tafsir Muhammad Abduh terhadap Tayran
Ababil Surat Al-Fiil dalam Tafsir al-Munar, Skripsi, UIN Sunan Ampel, 2019,
hal. 19
[5] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa
al-Bab al halb, Juz 30, Cetakan 1, 1365 H/1946 M), 243.
[6] Abi Abdullah Muhammad bin
Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, Jami’
al-Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Al-Risalah, Juz 22, Cetakan Pertama, 1427
H/2006 M), 493.
[7] Insan Fadillah, Studi Kritis atas Penafsiran Muhammad Abduh
Terhadap Surah al-Fiil, skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara, 2022.
[8]
Harfin dan Limmatus Sauda, Ibid., hal.
102
[9]
Sayyid Qutub, Fi Zilal al-qur’an,
3977
[10] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir Fi al- ‘Aqidah wa
al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Dar al-Fikr: Jilid 15, Juz 29-30, Cetakan ke-10,
Tahun 1430 H/2009 M) hal 809.
[11] Mahbub Ghozali and
Chandra Kartika Dewi, “Reinterpretasi
Surah Al-Fiil Dalam Konteks
Wabah,” Academic Journal of Islamic Principle and Philosophy 1, no.
2 (2020) hal 95
[12]
Ira Marti Ayu, Pengantar Epidemiologi, Universitas Esa Unggul 2020
[13]
Irwan, Epidemiologi penyakit menular,
(Yogyakarta: CV. Absolute Media, 2017), hal. 31
[14] Fidhia Kemala, Cacar (Smallpox), diakses pada 23 Nov
2023, https://hellosehat.com/infeksi/infeksi-virus/cacar-smallpox-variola/
[15] Dr. Pittara, Pengertian Campak, diakses pada 23 Nov
2023, https://www.alodokter.com/campak
0 Komentar