ISLAM DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

 


Pengertian Demokrasi

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) yang bermakna kekuasaan oleh rakyat. Secara historis demokasi telah dikenal sejak abad ke-5 SM, suatu periode yang dikenal dengan “Masa Keemasan Pericles”, yang pada mulanya sebagai respon terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani Kuno, Khususnya Athena.[1]

Pengertian demokrasi itu lebih ditekankan pada makna kekuasaan tertinggi pada urusan politik yang berada di tangan rakyat. Karena itu dalam wacana politik modern, demokrasi diartikan sebagai apa yang dirumuskan oleh negarawan Amerika, Abraham Lincoln, pada tahun 1963, yaitu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (government of the people, by the people, for the people)

Pemerintahan dari rakyat (government of the people) berhubungan dengan legitimasi, berarti suatu pemerintahan dan kepemimpinan baru sah kalau kekuasaan itu diberikan oleh rakyat, pemerintahan oleh rakyat (government by the people). Pemerintahan menjalankan kekuasaaan atas nama rakyat dan juga pengawasan dilakukan oleh rakyat, pemerintah harus tunduk pada pengawasan rakyat, pemerintahan untuk rakyat (governmen for the people), pemerintahan menjalankan apa yang menjadi aspirasi rakyat, bukan menjalankan kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan sendiri.2

Hubungan Agama dan Demokrasi

Hubungan Agama dan Demokrasi memperbincangkan hubungan agama dan demokrasi, dalam hal ini terdapat tiga pandangan atau model yaitu:

1.                   Model paradoksal atau model negatif yang menyatakan bahwa antara agama dan demokrasi tidak dapat dipertemukan bahkan berlawanan (agama versus demokrasi). Adapun tokoh penganut pandangan ini ini adalah Karl Marx, Max Weber, Nietzche dan Satre. Paling tidak ada tiga argumen tentang tidak sejalannya antara agama dan demokratisasi. Pertama, argumen historis-sosiologis yang menjelaskan bahwa sejarah agama memberikan gambaran peran agama tidak jarang hanya digunakan oleh penguasa politik dan pimpinan organisasi keagamaan untuk mendukung kepentingan kelompok. Kedua, argument filosofis yang menyatakan bahwa keterikatan pada doktrin agama akan menggeser

 

otonomi dan kemerdekaan manuasia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga, argumen teologis yang menegaskan bahwa agama bersifat deduktif, metafisis dan menjadikan rujukannya pada Tuhan, padahal Tuhan tidak hadir secara empiris, sementara demokrasi adalah persoalan empiris, konkret dan dinamis. 

2.                   Model sekuler atau model netral menyatakan bahwa hubungan agama dengan demokrasi bersifat netral, di mana urusan agama dan politik termasuk demokrasi berjalan sendiri-sendiri. Persoalan agama menyangkut persoalan pribadi dengan Tuhannya, dalam artian ajaran agama tidak masuk dalam wilayah publik atau negara, begitu pula negara tidak mengurus agama. [2]

3.                   Model teodemokrasi atau model positif menyatakan bahwa agama dan demokrasi mempunyai kesejajaran dan kesesuaian. Model ketiga ini berpandangan bahwa, baik secara teologis maupun sosiologis, sangat mendukung proses demokrasi politik, ekonomi maupun kebudayaan. Karena semua agama dari tradisi Ibrahim muncul dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. Oleh karena itu, meskipun agama tidak secara sistemis mengajarkan praktek demokrasi namun agama memberikan etos, spirit dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratis.[3]

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan memiliki perbedaan antara demokrasi Islam dan demokrasi barat. Perbedaan tersebut dalam tiga aspek yaitu:

a.                   Demokrasi sebagai pemerintahan rakyat dari rakyat untuk rakyat atau demokrasi sebagai prinsip-prinsip politik dan kemasyarakatan seperti persamaan di hadapan Undang-undang, kemerdekaan berfikir dan beragama serta keadilan sosial atau demokrasi sebagai prinsipprinsip pembagian kekuasaan.

b.                   Tujuan demokrasi ala barat adalah semata-mata keduniaan atau material belaka, sementara demokrasi ala Islam mencakup kepentingan dunia dan akhirat.

c.                   Kekuasaan rakyat dalam demokrasi barat adalah mutlak. Dalam Islam kekuasaan rakyat tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh syariat, sehingga rakyat tidak boleh bertindak menyalahi Al-Qur’an dan sunnah atau sumber-sumber hukum Islam lainnya[4]

Konsep Demokrasi 

Sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja atau kaum bangsawan, kaum ensiklopedia mengemukakan teori kontrak sosial, bahwa kekuasaan penguasa negara adalah berasal dari warga negaranya yang direlakan dan dilimpahkan kepada sang penguasa untuk digunakan demi melindungi kepentingan hidup masyarakat secara bersama. Selanjutnya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan juga melindungi hak-hak asasi manusia, muncul doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) oleh John Locke sebagai berikut :

 

a.  Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membuat undang-undang dan peraturan.

b.  Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan mengadili pelanggaran undang-undang tersebut.

c.  Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan yang menyatakan hubungan dengan negara luar serta menyatakan perang dan damai, membuat perserikatan dan segala tindakan badan-badan di luar negeri. 

Montesquieu, seorang filsuf Peranci (1748), dalam bukunya “The Spirit of The Laws” mengemukaskan pemisahan kekuasaan atas[5] :

a.   Legislatif, yaitu kekuasaan membuat segala perundang-undangan 

b.  Eksekutif, yaitu kekuasaan melaksanakan undang-undang dan hubungan luar negeri.

c.   Yudikatif, yaitu kekuasaan mengadili segala bentuk pelanggaran undang-undang.

Demokrasi dalam Islam di Indonesia

Sedangkan sistem pemerintahan Islam, kita harus kembali kepada prinsip-prinsip utama yang telah ditetapkan sebagai landasan kehidupan manusia. Singkatnya setiap sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip Demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu “(Al-imran : 159), “sedangkan urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka” (Asy-syura : 38). Oleh sebab itu, sistem pemerintahan yang berdasarkan Permusyawaratan model Islam harus dapat mewujudkan Kebebasan, Persaudaraan dan Persamaan bagi manusia. Prinsip-prinsip tersebut, seperti : 

1.                   Prinsip Persaudaraan. Dalam konteks ini, secara tegas Alqur’an menyatakan : ” Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara”, “ Sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, serta kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian” (Al-hujarat : 10& 13). Warna kulit, kebangsaan dan bahasa, bagi islam bukanlah alasan untuk membeda-bedakan manusia. Islam tidak mengutamakan orang Arab dan mengecilkan orang nonArab. 

2.                   Prinsip Persamaan. Persamaan dalam Islam merupakan contoh tertinggi yang patut diteladani. Persamaan tidak hanya sebatas yang ditetapkan Undang-undang, tetapi lebih dari itu juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Persamaan Islam sama sekali tidak memperhitungkan keterpautan rezeki, ilmu, serta berbagai keterpautan lain yang bersifat duniawi. 

3.                   Prinsip Kebebasan. Kebebasan pada prinsipnya merupakan di mana setiap individu mempunyai hak dan menggunakan hak tersebut sekehendaknya, dengan satu catatan bahwa kebebasan tersebut tidak merugikan dan mengganggu kebebasan orang lain. Dalam islam pun kebebasan justru dalam bentuk dan makna yang lebih luas, kita dapat lihat, misalnya bagaimana di kalangan kaum

 

muslim Ahli Sunnah terdiri dari empat mazhab, yang mana mereka selalu ada perbedaan dalam berfikir dan berpendapat, akan tetapi disanalah letak kebebasan tersebut. 

Kesimpulan

 Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) yang bermakna kekuasaan oleh rakyat. Hubungan agama dan demokrasi memperbincangkan hubungan agama dan demokrasi, dalam hal ini terdapat tiga pandangan atau model yaitu Pertama, Model paradoksal atau model negatif. Kedua, Model sekuler atau model netral. Ketiga, Model teodemokrasi atau model positif.

Bagi beberapa pendapat dari para ahli untuk pemisahan kekuasaan  (separation of power) oleh John Locke yaitu Kekuasaan legislatif, Kekuasaan eksekutif, Kekuasaan federatif

Menurut Montesquieu, seorang filsuf Peranci (1748), dalam bukunya “The Spirit of The Laws” mengemukakan pemisahan kekuasaan atas[6] 3 bentuk ialah Legislatif yaitu kekuasaan membuat segala perundang-undangan. Eksekutif yaitu kekuasaan melaksanakan undang-undang dan hubungan luar negeri. Yudikatif yaitu kekuasaan mengadili segala bentuk pelanggaran undang-undang. Prinsip demkorasi yang dipakai oleh negara Indonesia mencakup 3 perkara yaitu Prinsip Persaudaraan, Prinsip

Persamaan, Prinsip Kebebasan.

 

             

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Basri, Hasan, “Pandangan Islam Terhadap Sistem Demokrasi,” 6.1 (2013), 37–46

Paralihan, Hotmatua, “Islam dan Demokrasi,” Aqlania, 10.1 (2019), 63

<https://doi.org/10.32678/aqlania.v10i01.2109>

Rohmah Iftitah, Naili, “Islam Dan Demokrasi,” Islamuna: Jurnal Studi Islam, 1.1 (2014), 1–26

<https://doi.org/10.19105/islamuna.v1i1.557>

Wahyuni, “Islam dan Demokrasi Jurnal Politik Profetik Volume 4 Nomor 2 Tahun 2014,” Islam dan

Demokrasi, 4 (2014), 1–12

 



[1] Hasan Basri, “Pandangan Islam Terhadap Sistem Demokrasi,” 6.1 (2013), 37–46. 2 Hotmatua Paralihan, “Islam dan Demokrasi,” Aqlania, 10.1 (2019), 63 <https://doi.org/10.32678/aqlania.v10i01.2109>.

[2] Naili Rohmah Iftitah, “Islam Dan Demokrasi,” Islamuna: Jurnal Studi Islam, 1.1 (2014), 1–26 <https://doi.org/10.19105/islamuna.v1i1.557>.

[3] Rohmah Iftitah.

[4] Wahyuni, “Islam dan Demokrasi Jurnal Politik Profetik Volume 4 Nomor 2 Tahun 2014,” Islam dan Demokrasi, 4 (2014), 1–12.

[5] Wahyuni, “Islam dan Demokrasi Jurnal Politik Profetik Volume 4 Nomor 2 Tahun 2014,” Islam dan Demokrasi, 4 (2014), 1–12.

 

[6] Wahyuni, “Islam dan Demokrasi Jurnal Politik Profetik Volume 4 Nomor 2 Tahun 2014,” Islam dan Demokrasi, 4 (2014), 1–12.

 

Posting Komentar

0 Komentar