SYUBAH ASA DAN KYAI ACHMAD |
PENDAHULUAN
Tafsir Al-Qur’an merupakan sebuah jalan untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam teks Al-Qur’an yang diturunkan oleh Tuhan. Sebagai sebuah jalan, fungsi tafsir tentu tidak hanya sekedar memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Namun fungsinya lebih jauh, yakni sebagai upaya memenuhi dasar-dasar teologis dan praktis manusia yang lebih luas dalam melakukan proses dialektika dengan kehidupan di mana sang penafsir hidup dan berada.[1]Tafsir merupakan proses sekaligus produk budaya yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial politik ketika tafsir ditulis, oleh siapa tafsir diproduksi dan dipresentasikan, serta bagaimana konteks realitas sosial politik yang terjadi ketika praktik tafsir terjadi. Jadi dengan demikian, adanya kitab-kitab tafsir sosial politik tentulah sangat dipengaruhi oleh keadaan budaya, penulis dan konteks realitas sosial politik yang ada pada saat itu. Sehingga penafsiran sosial politik yang ada pada zaman Orde Baru, Orde Lama, Reformasi akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terlebih jika ditulis dan diproduksi oleh mufassir yang berasal dari latar belakang pendidikan yang berbedabeda pula.
Syu’bah Asa, adalah seorang wartawan, budayawan dan juga
seniman. Ia menulis tafsir di akhir Orde Baru yang berjudul “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat
Sosial Politik”. Dalam karyanya, ia menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an dan di
sisi lain ia juga mengkritisi atas realitas sosial yang ada pada zaman itu,
dengan memberikan pemahaman dan pesan-pesan yang sudah terkandung di dalam
Al-Qur’an.
Tentu isi penafsiran ini akan sangat menarik, seperti yang
kita tahu di zaman Orde Baru banyak polemik-polemik yang terjadi, dan adanya
buku “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir
Ayat-ayat Sosial Politik” ini akan memberikan kita gambaran tentang
realitas sosial politik yang terjadi
pada saat itu.
Dalam tulisan ini penulis akan membahas biografi Syu’bah
Asa, lalu mengenal buku “Dalam Cahaya
Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”, pengenalan terhadap buku
tafsir “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir
Ayat-ayat Sosial Politik” karya Syu’bah Asa, serta tema-tema dan kritik
dalam tafsir Syu’bah Asa.
Biografi Syu’bah Asa
Syu’bah Asa adalah seorang seniman & wartawan senior
asal indonesia. Dia juga seorang sastrawan. Novelis dan juga penerjemah,
Syu’bah Asa dilahirkan antara tahun 21 Desember 1941, dia dilahirkan lingkungan
islami. Ayahnya seorang pengusaha batik di lingkungan penghafal Al-Qur’an di
desa Kerandan, Pekalongan Selatan. Semua keluarganya bersuara merdu, Syu’bah
Asa hanya ingat suara ibunya yang menyanyikan Ramona dengan lirik yang diganti dengan kalimat-kalimat agama.
Syu’bah Asa pernah meraih juara kedua MTQ anak-anak tingkat kecamatan dan ia
mendapat hadiah emas satu gram.[2]
Sejak kecil, Syu’bah Asa digembleng ilmu pengetahuan
Al-Qur’an bersama kerabatnya sendiri dan menempuh pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama pada waktu siang hari, sedangkan pagi hari di
Sekolah Rakyat. Sebulan di kelas lima, ayahnya mencabutnya dari sekolah dan
menyerahkan ke komandan Hizbullah, adik seperjuangan adik embahnya yang membuka
Madrasah Menengah Mu’allimin Muhammadiyah.
Dari tokoh Dr. Dadang Hawari dan dr. Mun’im idris ia
mempelajari dengan baik sirah Nabi, berkenalan dengan cerpen al-Manfaluthi, majalah kebudayaan
Kristen Mesir al-Hilal, dan novel Cinta
Pertama Ivan Turgenev, dalam bahasa arab. Dari abang Misan
yang juga penghafal Al-Qur’an ia membaca
novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya
Hamka. [3]
Kemudian Karir pendidikannya dilanjutkan di Yogyakarta
dengan mengambil PPGA (Pendidikan Guru Agama Atas) Negeri, sambil belajar
privat kitab kuning kepada seorang kiai di daerah Lempuyangan dan nyantri kalong sebentar di Pesantren Krapyak.
Pada Desember 1960, ia masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin
Jurusan Filsafat. Di saat menjadi seorang mahasiswa, ia mengajar anak-anak dan
berkhutbah. Ia juga menjadi guru pengganti Djarnawi Hadikusumo yang sibuk
sebagai ketua umum Parmusi dan anggota DPRD pada waktu itu di PPGA Negeri,
bekas sekolah Syu’bah untuk pelajaran Ilmu Balaghah. Selama dua tahun, ia
menjadi dosen muda partikelir mata kuliah ekstrakurikuler drama di fakultas
IKIP Negeri yakni tempat dimana ia bertemu dengan calon istrinya.[4]
Karir penulisannya sudah ia mulai sejak di bangku SLTP.
Pada tahun 1957 karangan pertamanya dimuat di majalah Batik. Pada tahun 1960 ia
menulis novel remaja Cerita di Pagi Cerah
diterbirkan oleh Balai Pustaka. Di masa selanjutnya yakni dimasa menghadapi
arus pasang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra/PKI) ia menulis cerpen, sajak,
kritik musik, dan kompetisi lagu seriosa. Ia juga terkenal di dunia teater dan
sastra. Syu’bah juga pernah menjadi sutradara Teater Mahasiswa Islam HMI
(organisasi ini di masa PKI adalah satu barisan dengan Teater Kristen dan Studi
Teater Arena Katolik). Selain menjadi sutradara ia juga menjadi penyiar radio
dan konduktor paduan suara mahasiswa. Beliau juga pernah menjadi ketua Ikatan
Sastrawan Muda Islam (ISMI) yang bergerak antara tokoh Muhammad Diponegoro yang
memimpim Teater Muslim dan BKKIY (Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta)
dan Pater Dick Hartoko dari majalah kebudayaan BASIS. Lalu pada tahun 1966, ia terjun dalam demonstrasi sebagai
provokator yang berkobar-kobar.[5]
Pada tahun 1970, ia aktif menjadi redaktur musik di majalah
Ekspres yang merupakan cikal bakal
majalah Tempo. Ketika di Tempo, ia merupakan penulis kritik
teater yang paling rajin. Saat itu, ia menjabat sebagai redaktur senior dan
sebelumnya ia
menjadi redaktur pelaksana kompartemen
agama dan budaya. Pada masa jabatan ini, ia banyak sekali menulis tentang agama
dan permasalahan sosial.[6]
Ketika ia di majalah Tempo,
banyak sekali menghasilkan karya.
Diantaranya yang berjudul “Ahmadiyah,
sebuah titik yang dilupa” yang terbit pada tahun 1974. Pada tulisan ini ia
menunjukkan bahwa ia memiliki rasa tenggang rasa yang tinggi terhadap sekte
Ahmadiyah yang selalu dipojokkan dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Pada tubuh Ahmadiyah sendiri juga terjadi perpecahan antara Lahore dan Qadian.
Dalam hal tersebut Syu’bah Asa mengatakan bahwasannya persaudaraan memang tak
pernah bisa mulus.[7]
Pada tahun 1987 ia keluar dari Tempo karena memegang prinsip dan kemudian menjadi ketua sidang
redaksi majalah Editor. Di Editor juga terjadi ketegangan prinsip,
ia pun keluar dan ditarik menjadi wakil pemimpin redaksi harian Pelita. Ketika majalah Panji Masyarakat ganti manajemen, sekitar tahun 1977, ia ditarik masuk
dalam dapur redaksi Panji Masyarakat.8
Di samping itu Pak Haji Syu’bah Asa adalah imam Masjid Jamik Taman Firdaus,
Kotamadia Depok, yang turut ia rintis begitu pulang dari Amerika, dan anggota
Dewan Pertimbangan MUI setempat. Sesudah Reformasi, tokoh yang dikantornya
dipanggil abah ini tergoda dan ditawari menjadi pengurus partai.
Seniman teater, sastra dan juga wartawawan senior ini wafat
dalam usia 68 tahun, pada hari Minggu, 24 juli 2011 pukul 17.00 wib di
Pekalongan, Jawa Tengah, akibat komplikasi penyakit jantung, ginjal dan
paru-paru, setelah sebelumnya dirawat selama sepekan di RSI Pekajang,
Pekalongan, Jawa Tengah. Jenazah beliau dimakamkan di Taman Pemakaman
Pringlayu, Pekalongan, Jawa Tengah, Senin 25 Juli 2011, setelah sebelumnya
dishalatkan di Masjid Asy-Syafi’i pukul 12.00 WIB.9
Pengenalan terhadap
Buku Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik Karya Syu’bah Asa.
Buku tafsir karya Syu’bah Asa yang berjudul “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat
Sosial Politik” pada awalnya merupakan sebuah artikel tafsir dalam majalah
Panji Masyarakat. Akhirnya
pada tahun 2000 artikel tafsir tersebut diserahkan dan
diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, dengan jumlah halaman 482 ditambah halaman pendahuluan dan kata
pengantar sampai halaman xxi. Jika dilihat dari data yang tertera pada akhir
tulisan, artikel-artikel tersebut dibuat dalam rentang tahun 1997-1999.[8]
Dalam buku ini menguraikan 57 tema yang dikelompokkan
menjadi tujuh bagian dimana secara keseluruhan berbicara tentang hal-hal
kontekstual dan faktual yang sedang terjadi di Indonesia, seperti keadilan,
pelanggaran HAM, kekerasan, kekuasaan dan korupsi. Pada buku tafsir tersebut,
Kuntowijoyo memberikan kata pengantar, yang tidak lain ia adalah teman akrab
dari Syu’bah Asa.
Dalam buku tafsir karya Syu’bah Asa “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir AyatAyat Sosial Politik” disajikan
menjadi tafsir tematik, namun menurut Kuntowijoyo, dalam buku tafsir ini
Syu’bah Asa menyajikannya sedikit berbeda dengan metode yang biasa digunakan.
Sedangkan Syu’bah Asa menyajikan tafsirnya dengan memilih satu ayat yang sesuai
dengan tema pembahasan, kemudian menafsirkan kata dalam ayat tersebut menurut
beberapa pendapat muffasir mulai dari mufassir klasik maupun modern. Dengan
demikian, tafsir ini menggunakan pendekatan semantik dan komparatif.[9]
Selanjutnya, ayat yang disajikan disesuaikan dengan
fenomena sosial politik yang sedang terjadi pada saat itu, sehingga selain
menggunakan pendekatan semantik dan komparatif, juga menggunakan pendekatan
historis. Artinya, untuk memahaminya diperlukan pengetahuan tentang konteks
historisnya.
Adanya tafsir karya Syu’bah Asa ini menunjukkan bahwa
Al-Quran hidup, berbicara, dan menjadi petunjuk untuk setiap kurun sejarah.
Dalam pengantarnya, Kuntowijoyo berusaha menekankan beberapa topik yaitu
tentang Islam yang total, Islam yang kontekstual, dan pentingnya sistem. Islam
yang total artinya agama tidak hanya menjadi semacam Psychotherapy saja, jauh dari esensi agama. Agama juga perlu andil
menjangkau problematika secara menyeluruh, tidak hanya bertopik pribadi, namun
juga perlu disertai tinjauan sosial atau kritik sosial. Al-Qur’an juga tidak
“sekali pakai” untuk zaman Nabi saja, itulah mengapa Al-Qur’an juga perlu
dipahami secara kontekstual.
Maka, tafsir ini adalah tafsir yang
berbicara tentang keserakahan Soeharto, kejahatan kekuasaan, kezaliman, dan
ulama yang diam terhadap kemungkaran.[10]
Dalam sejarah Islam Indonesia, tafsir kontekstual karya
Syu’bah Asa menyumbang kemajuan perkembangan beberapa aspek dimana perkembangan
Islam terbagi menjadi tiga macam yaitu substansi, demografi, dan eventualitas.
Adapun tafsir karya Syu’bah Asa ini adalah sumbangan bagi perkembangan
substansi keagamaan dan sebagai penerang eventualitas. Di dalam penghujung
pengantarnya, Kuntowijoyo berharap semoga dengan semakin menjamurnya buku-buku
Islam dalam bahasa Indonesia akan menambah kualitas dan kuantitas orang-orang
yang mempunyai komitmen tentang perkembangan Islam di Indonesia, sehingga
terwujudlah masyarakat madani yang diridhai Allah.
Adapun pada bagian akhir buku “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik” terdapat
indeks, tafsir rujukan, batu bata demi batu bata, yang berisikan secara ringkas
tentang biografi penulis. Rujukan tafsir yang tercantum dalam tafsir ini, ada
sebanyak 30 kitab rujukan. Dengan rincian tafsir berbahasa Arab yang tergolong
tafsir klasik dan modern sebanyak 18 buah, tafsir Indonesia berbahasa Arab,
tafsir Indonesia yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa sejumlah 7 buah,
terjemahan Al-Qur’an bahasa Indonesia 3 buah dan tafsir Al-Qur’an berbahasa
Inggris 2 buah.
Selanjutnya mengenai tafsir Syu’bah Asa terdapat kelebihan
dan kelemahan. Salah satu kelebihan tafsir ini adalah memiliki keberanian
memberirak kritikan denagn lugas terhadap rezim penguasa orde baru. Di mana
rezim penguasa orde baru pada saat itu hanya mengenal pemaksaan,
kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan sehingga rakyat tidak bisa merasakan
demokrasi yang sesungguhnya. Dan tafsir ini hadir mengungkap fakta-fakta
historis kemudian dihubungkan dengan maksud esensial dari ayat. Adapun
kelemahan dari tafsir Syu’bah Asa ini adalah tidak mencantumkan teks asli,
seperti teks Al-Qur’an dan hadits beliau hanya mencantumkan terjemahnya saja.
Tema-Tema dan Kritik
dalam Tafsir Syu’bah Asa.
Seperti diketahui buku “Dalam cahaya Al-Qur’an TafsirAyat-Ayat Sosial Politik” karya
Syu’bah Asa bermula dari tulisan-tulisan artikel tafsir di Majalah Panji
Masyarakat
yang terbit
secara serial lalu kemudian di buku kan, dan tulisannya beliau membahas
beberapa tema. Tema-tema tersebut bersifat aktual dan kontekstual dengan ruang
sosial politik ketika artikel-artikel tafsir tersebut ditulis, beliau
mengkritisi peristiwa- peristiwa yang terjadi pada saat tafsir itu ditulis,
namun secara umum beliau menulis tema-tema sosial politik. Dalam tulisan ini
penulis akan membahas beberapa tema dari total keseluruhan tema yang ia tulis,
disini akan membahas tema krisis moneter dan ekonomi di Indonesia, Umat
beragama yang hanya sebatas status dan Pemerintahan yang rasialis.
1. Krisis Ekonomi dalam Negeri
Krisis Ekonomi yang terjadi di zaman orde baru adalah
bencana yang sangat mengerikan bagi rakyat Indonesia pada waktu itu, bahkan
krisis pandemi yang terjadi di tahun 2020 terbilang tidak lebih parah jika
dibandingkan dengan krisis yang terjadi di tahun 1998. Bagaimana tidak, Krisis
Ekonomi yang terjadi membuat seluruh kualitas hidup tiba-tiba merosot sampai
hampir ke titik nol, pertumbuhan ekonomi, Nilai dolar amerika bahkan sampai di
angka Rp. 10.000-13.000. yang sebelumnya hanya di angka Rp. 3000.[11]
Dalam jangka waktu yang sama, inflasi juga
meningkat mencapai 78,2%, sementara penduduk miskin menurut Biro Statistik
mencapai 79,4 juta orang, Artinya lebih dari sepertiga rakyat Indonesia pada
saat itu. Syu’bah Asa sebagai mufassir sekaligus wartawan tentu mengkritisi hal
ini, Syubah Asa membicarakan hal ini dalam beberapa artikel tafsir yang dimuat
dalam tulisanya, yakni Guncangan demi
Guncangan, berjalan di antara guncangan, karunia yang hilang bencana yang
menjalar. Hal ini menunjukan bahwa beliau menaruh perhatian besar terhadap
krisis yang dialami di Indonesia.
Ketika membicarakan bencana yang terjadi pada
saat itu yakni itu krisis moneter maupun krisis ekonomi, Syu’bah Asa mengambil
ayat yang relevan dengan topik itu, lalu diuraikan berdasarkan arti kata itu
menurut beberapa Mufassir klasik maupun modern. Seperti yang terdapat di dalam
Artikel yang ia tulis ia mengambil ( Q.S Al-baqarah 155 )
وَلَنَ بْ لوَنَّكُ مْ بشَيْءٍ ِّمِنَ الْْوْفِ
وَالْْوعِ وَنَ قْصٍ ِّمِنَ الْْمْوَالِ وَالْْنْ فُسِ وَالثَّمَرٰ ِۗتِ وَبَ
ِّشِرِ ال ِّصٰبِِِي نَ
Akan kami timpakan kepada kamu sedikit
cobaan, ketakutan, kelaparan, kekurangan harta serta jiwa dan buah-buahan.
Berikanlah kabar gembira kepada mereka yang tahan uji
Di dalam tulisan yang berjudul “Guncangan demi guncangan” Syubah Asa membandingkan beberapa
pendapat para ulama, seperti pendapatnya Imam Syafi’I yang masih musykil
tentang takut (Khauf) yang mana menurut pendapat imam syafi’I makna kalimat itu
adalah takut kepada Allah, lalu Kelaparan lebih menurut Syafi'I mengacu pada puasa Ramadhan. Kurangnya harta
terjadi karena pembayaran zakat dan semua sedekah. Kurangnya jiwa disebabkan
oleh berbagai penyakit. Sedangkan kekurangan buah-buahan menunjuk pada kematian
anak.[12]
Di
sini Syu’bah Asa memberikan beberapa pendapat dari beberapa mufasir dan
penjelasan adanya kemungkinan yang barangkali tidak terpikirkan ialah
kemungkinan penafsiran imam Syafi’I didorong oleh keinginan (bawah sadar,
setidak-tidaknya) untuk memberi contoh betapa sebuah ayat bisa ditafsirkan
tanpa bergantung pada situasi masa ayat turunnya.
Syubah Asa berkata bahwa memang benar asbabun nuzul, kalau
diketahui, bisa menjadi kunci pemahaman. Tapi sesudah itu sebuah pemahaman bisa
berangkat dari sana kecuali kalau Qur'an hanya merupakan buku catatan
kejadian-kejadian. Dalam penafsiran ayat ini, tempat penafsiran diberikan Syafi'i memang kelihatan terlalu
spesifik yang Dan yang spesifik selalu lebih mudah kontroversial. Berbeda
halnya dengan yang umum. Misalnya seperti
yang dikemukakan oleh Ar-Raghib. Katanya, "Ayat ini mengandung cobaan
dunia seluruhnya yakni bila dipandang keumuman kandungan tiap butir yang
disebut di situ (ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, jiwa dan hasil
panen )”
Dari sini Syubah Asa mengambil kesimpulan bahwasanya
seluruh musibah, dan guncangan (ketakutan, kelaparan, kekurangan harta & jiwa) yang di alami oleh masyarakat Indonesia pada
masa ini adalah suatu cobaan yang diberikan oleh Tuhan,
dengan menggunakan beberapa pendapat ulama
lain yang memotong pandangan dari kekhususan ihwal mereka yang pertama kali
dituju (Nabi Saw dan para sahabat ).
Jika kita melihat di tahun 1997 yang terjadi adalah Krisis
Moneter Asia yang melanda sebagian besar negara Asia Timur dan Asia Tenggara.
Bukan hanya negara Indonesia yang terkena Krisis ini melainkan negara-negara
asia lainnya juga mengalami krisis yang
disebabkan oleh banyak faktor. Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan, menjadi
negara yang paling parah terkena imbas krisis ini berakibat pada timbulnya
krisis sosial dan politik, bahkan berbuntut pada lengsernya Presiden Soeharto
pada 1998. Jadi memang yang terjadi saat itu adalah suatu hal yang tidak bisa
terelakan dan merupakan musibah sekaligus ujian bagi rakyat Indonesia.
Namun tulisan Syu’bah Asa tidak sampai disitu, di tulisan
yang lain ia menulis “Karunia yang Hilang” di dalam tulisan ini, Ia mengkritis
menanyakan mengapa krisis ekonomi yang terjadi di Asia, bisa sedemikian parah
efeknya bagi bangsa Indonesia? Beliau mengatakan ketidakberesan yang dialami,
berasal dari sesuatu yang ada di dalam diri.
Misalnya, mengenai struktur perekonomian kita yang
sebenarnya rapuh termasuk kenyataan tentang monopoli, Lemahnya organisasi dan
manajemen pelaku ekonomi munculnya para aparat dan pelaku ekonomi
"dinosaurus". Terkonsentrasinya bagian terbesar kapital hanya pada
segelintir orang, Inefisiensi. Penyalahgunaan kekuasaan. Diskriminasi,
Ketertutupan. Ketidakseriusan pelayanan. Beleid pemerintah yang tidak
konsisten. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, toh semu karena berdasarkan utang
luar negeri, berjangka pendek pula yang justru digunakan untuk membiayai
proyek-proyek non- devisa jangka panjang. Kecentangperenangan perbankan,
termasuk kredit yang macet dan penyalahgunaan modal, Juga pelarian kapital ke
luar negeri.[13]
Jadi musibah yang dialami Indonesia pada saat itu, di satu
sisi adalah suatu musibah global yang menimpa negara-negara Asia juga ada sebab
lain yang membuat hal itu sedemikian parah bagi Indonesia, yang dimaksudkan
“sesuatu didalam diri” hal yang berasal dari hal sepele seperti ketidak
jujuran, kegemaran berkomplot, mental pengemis, kalahnya semangat kontrol oleh
prinsip loyalitas dan Kebodohan.
Dari sini, bisa kita lihat bahwa disamping Syubah Asa
mengkritisi terhadap musibah yang sedang dialami Indonesia (krisis moneter dan
krisis ekonomi ) adalah suatu cobaan dari allah, namun ia juga mengkritisi
sebab-sebabnya mengapa bisa sangat parah keadaan yang terjadi di Indonesia dan
itu disebabkan oleh sesuatu yang ada di dalam negara itu sendiri seperti
monopoli, penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain.
Di ayat yang sama yakni Al-baqarah 155, Syu’bah Asa
memberikan optimisme kepada masayarakat tentang ujian yang sedang di alami,
didalam tulisan “berjalan diantar guncangan” Syu’bah asa, memberikan pemahaman
kepada masyarakat untuk selalu berikhtiar dan bersabar atas ujian yang
menimpanya,, karena akan ada gembira bagi mereka yang tahan uji.
2. Umat Beragama yang Hanya Sebatas Status.
Di
Zaman orde baru ada beberapa jenis model penafsiran ada ulama yang kritis
terhadap semua masalah yang ada, ada yang bungkam, ada juga yang hanya
dijadikan sebagai (gincu) pemanis untuk memperindah kebijakan para penguasa,
Syu’bah Asa menulis penafsiran yang mana mengkritisi semua hal yang terjadi di
zaman ini, tanpa terkecuali keberadaan umat beragama pun tidak terlepas dari
kekritisan pemikiran beliau, Syu’bah
Asa mempertanyakan keberadaan umat beragama dan suara mereka, disaat situasi
kondisi sosial politik yang terjadi di zaman ini sudah tidak sejalan dengan
moral kemanusiaan, maka seharusnya suara mereka ada untuk memperjuangkan
keadilan dan kesejahteraan. [14]
dengan mengambil dari surat Al Anfal
ayat 25 yang berbunyi وَٱتَّ قُوا۟ فِتْ نةً لَّْ تصِيبَََّ ٱلذِينَ ظلمُوا۟
مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَٱعْلمُوا۟ أنَّ ٱلَّلََّ شَدِيدُ ٱلعِقَا بِ
Dan peliharalah diri kalian dari bencana
yang tidak sekali-kali hanya akan menimpa orang- orang yang kamu aniaya.
Ketahuilah bahwa Allah keras dalam hal siksa.
Syubah Asa menjelaskan Makna fitnah dan bencana dalam ayat
di atas oleh Syu’bah dijelaskan dalam konteks faktor aniaya. Memelihara diri,
sebagaimana yang dimaksud ayat di atas merupakan kesadaran memelihara dari
kemungkinan fitnah dengan mewaspadai faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab
fitnah itu.
Berhubungan dengan ini, adanya berbagai represi yang
dilakukan oleh rezim Orde Baru menurut Syu’bah juga bagian dari bentuk ketidak
mampuan umat beragama (Islam) di dalam merefleksikan ruh agama dalam kehidupan
sehari-hari. Berbagai kegiatan ibadah ritual tidak mempunyai makna bagi
kehidupan sosial.
Syu’bah Asa berkata naiknya pamor Islam dari segi dakwah di
perkotaan di Indonesia tidak punya hubungan apapun dengan segala bentuk
ketimpangan sosial di kalangan kita korupsi, manipulasi, pungli, komisi tak
halal, kolusi, monopoli, kebijaksanaan pilih kasih, nepotisme, penekanan,
penggusuran tanpa imbalan wajar, rekayasa pengadilan, "mafia peradilan.
Sogok-menyogok seperti sudah menjadi hal yang wajar, untuk
mendapat pekerjaan di instansi manapun mulai dari guru, karyawan, ataupun
instansi pemerintahan, semuanya menggunakan sogok, lagi bantuan pembangunan
masjid dipotong atas persetujuan panitia bahkan yang lebih parah di sekitar
pemberangkatan jamaah haji tercium aroma sogok. Hal ini tentu sangat berlainan
dengan hadis Rasulullah yang cukup terkenal “ Bahwa Rasulullah Saw mengutuk
penyuap dan penerima suap. Tentu hal ini sangat berlawanan dengan realita yang
terjadi di masyarakat pada saat itu.
Syu’bah Asa mengkritik agamawan masih di seputar ayat yang
sama dengan tulisan “Sama dengan
mestinya, usaha menghalangi Soeharto dari berbagai kebijaksanaan serupa,
idealnya oleh para ulama yang di dalam kasus kita kemarin malahan lebih memilih
“cap Islam” yang diperagakan Presiden daripada keadilan sosial dan kebenaran.
Padahal, bukan ism, kata orang, tetapi musamma. Bukan nama, yang mestinya
dicari, tapi hakikat yang diberi nama. (Tetapi seorang tokoh, yang kemudian
menjadi menteri sebentar dalam kabinet terakhir Soeharto, menyarankan kepada
penulis ini: silakan “menyerang” siapa saja, asal bukan Pak Harto, keluarganya
dan “orang kesayangan” nya. Sebab, katanya, yang sekarang ini sudah bagus.
Jangan sampai kita ‘diseimbangkan’ lagi dengan mereka seperti di zaman Benny
Moerdani.”[15]
Bagi Syu’bah sebagai agama, seharusnya islam di jadikan ruh
Gerakan kritik terhadap penguasa pada orde baru, yang otoriter dan menindas
namun adanya “ Cap
Islam” ala Suharto seperti mengikat
kesadaran para agamawan sehingga suaranya tidak terdengar.
Syu’bah Asa dengan menggunakan kemampuan dan pengalamannya
disamping mengkritik penguasa yang
otoriter beliau juga mengkrtik para agamawan, betapa agamawan seperti
kehilangan peran vital di tangan pemeluknya sendiri, sebagai sistem moral,
agama telah tercabut dari ruang sosial
politik, yang semestinya mempunyai peran transformatif dan signifikan bagi
perubahan menuju Indonesia masa depan yang bermartabat, beradab dan berkeadilan.[16]
3. Pemerintahan yang Rasialis
Di belahan bumi lain adanya perbedaan etnis seringkali
menjadi sebab terjadinya perpecahan bahkan saling bunuh, seperti suku-suku di
Afrika yang saling bunuh karena perbedaan darah, atau seperti kasus di Amerika
dimana sebagian penduduk berkulit putih mendiskriminasikan penduduk lain yang
berkulit hitam, bahkan mampu membunuh, sama sekali bukan karena kecemburuan
ekonomis. Lain halnya, fenomena yang terjadi di Indonesia, hampir tidak pernah
terdengar pembunuhan atas dasar murni rasial. Bahkan di lapisan terbawah
sekalipun penduduk pribumi maupun non pribumi bergaul dengan baik.[17]
Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan
keanekaragaman, jadi tidak heran apabila terdapat banyak etnis seperti Melayu,
Arab, Cina juga Belanda. Adapun yang terjadi di Indonesia justru berbanding
terbalik dengan kasus-kasus yang telah disebutkan diatas, dimana pemberian
kesempatan dalam sektor ekonomi hampir dilimpahkan kepada keturunan China. Tapi
itu sebenarnya hanya semacam imbangan dari ditutupnya jabatanjabatan dari
pemerintahan dan militer dari mereka.
Pada masa Orde Baru, semakin sulit dan berbelit-belit bagi
etnis Tionghoa untuk mendapatkan bukti kewarganegaraan Republik Indonesia.
Masih banyak etnis Tionghoa yang telah tinggal menetap di Indonesia
berpuluh-puluh tahun, namun masih belum mendapatkan status kewarganegaraan yang
jelas
Pemerintah Orde Baru seakan-akan mendorong etnis Thionghoa
untuk hanya berkiprah di sektor swasta, khususnya perdagangan. Nonpribumi yang
berprofesi sebagai pegawai negeri, staf bank-bank pemerintah dan
lembaga-lembaga kenegaraan semakin sedikit jumlahnya. Etnis Tionghoa semakin
mahir berdagang. Semakin hebat dominasi etnis Tionghoa di bidang ekonomi,
sehingga menimbulkan jurang perbedaan kaya miskin semakin meningkat. Melihat
fenomena tersebut maka Syubah Asa tergerak untuk mengkritisinya dengan mengutip
QS. Ar-Rum ayat 22, وَمِنْ ءَايتهِۦ خَلقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْْرضِ وَٱخْتلٰفُ
ألسِنتكُمْ وَألوَٰنكُمْ ۚ إنَّ فِِ ذَٰلكَ لَءايتٍ لِِّلْعَٰلمِ يَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna
kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa adanya perbedaan bahasa dan
warna kulit merupakan salah satu tanda kebesaran-Nya. Maka, tindakan
diskriminasi terhadap etnis China dari penduduk pribumi merupakan tindakan yang
menyalahi esensi dari ayat di atas.
Syu’bah Asa berpendapat bahwa sebuah pemerintah yang
rasialis dalam kasus di Indonesia adalah pemerintahan yang mempraktekkan
diskriminasi berdasarkan warna kulit dan bahasa alias asal-usul etnis yang
tidak memperdulikan tingkat perkembangan rasa kemanusiaan universal. Dari sini
dapat dilihat bahwa Syu’bah Asa mengkritisi pemerintahan yang berkuasa pada
saat itu, yang mana pemerintahan tersebut menurut Syu’bah Asa adalah
pemerintahan yang rasialis dengan cara mendiskriminasi etnis china dari
penduduk pribumi.[18]
KESIMPULAN
Dari pemaparan materi di atas bisa kita lihat bahwa Syu’bah
Asa dengan tulisan nya mampu memadukan topik-topik yang ada dalam ayat-ayat
Al-Qur’an dengan realitas yang terjadi pada zaman itu, dan beliau berani mengkritisi
peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada rezim orde baru, baik dari
segi pemerintahan, sosial sampai umat beragama pun tak lepas dari kekritisan
beliau.
Penafsiran Al-Qur’an yang ia buat diarahkan pada fokus
problem-problem sosial politik yang terjadi pada saat itu.sehingga membuat
penafsiran yang ia buat lebih terasa, Topik-topik yang di bahas dalam artikel
yang ia tulis tidak sedikit di antarnya, Krisis ekonomi di Indonesia, umat
beragama yang hanya sebagai status, pemerintahan yang rasialis, dan lain
sebagainya, topik-topik ini ditulis secara lugas dan tegas dengan gaya bahasa
kolom satu karakteristik yang lekat pada diri Syu’bah yang diperoleh dari latar
belakang profesi kewartawanannya..
Melalui tafsir “Dalam
Cahaya Al-Qur’an”, Syu’bah Asa menyadarkan kita bahwa praktik penafsiran
Al-Qur’an selayaknya juga diarahkan pada fokus problem problem sosial politik
yang terjadi. Langkah yang dilakukan Syu’bah
Asa ini merupakan kontribusi yang berharga dalam dinamika penafsiran
Al-Qur’an di Indonesia dan telah menjadikan tafsir Al-Qur’an sebagai produk
menjadi lebih hidup dan bermanfaat bagi dinamika dan masa kehidupan kehidupan
umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, H. (2015, Desember).
Epistimologi Tafsir Syu'bah Asa. Hermeneutik,
09, 355380.
Asa, S. (2000).
Dalam Cahaya Al-Qur'an Tafsir Ayat-Ayat
Sosial Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bastari, A. (2012,
Desember). Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. AL-FATH,
06, 195-205.
Fttrya, L. (2013). Tionghoa dalm
Diskriminasi Orde Baru Tahun 1967-2000. AVATARA,
159-166.
Gusmian, I. (2016). Tafsir Al-Qur'an
dan Kritik Sosial: Syu'bah Asa dalam Dinamika Tafsir Al-Qur'an di Indonesia. MAGHZA, 1, 66-80.
Masyhuri, A. A. (2019, Februari).
Pendekatan Teoritis Tafsir Sosial Dalam Prespektif AlQur'an. EL-FURQANIA, 05, 1-19.
Munadzir. (2017, Desember). Konsep
Kepemimpinan Menurut Syu'bah Asa. AL-A'RAF,
XIV, 253-266.
Tarmidi, Lepi T. “Krisis
Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF Dan Saran.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.” Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan 1,
no. 4 (2003): 1–25.
[1] Islah Gusmian, “TAFSIR AL-QUR’AN
DAN KRITIK SOSIAL: Syu’bah Asa Dalam Dinamika Tafsir AlQur’an Di Indonesia,” Maghza 1, no. 2 (2016): 67,
https://doi.org/10.24090/mza.v1i2.2016.pp67-80.
[2] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Quran: Tafsir Ayat-ayat
Sosial Politik (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm 478
[3] Islah Gusmian ,Khazanah
Tafsir Al-Qur’an (Jakarta : Teraju, 2003) .
[4] Ibid, hlm 96.
[5]
Syu’bah Asa , Dalam Cahaya Al-Qur’an
…., hlm. 47
[6] Ibid, hlm. 478.
[7] Syu’bah Asa, “Ahmadiyah,
sebuah titik terang yang dilupa’’, dalam
Tempo 1974 8 Islah
Gusman, KhazanahTafsir Al-Qur’an,
hlm. 96. 9 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 478.
[8] Ahmad Bastari, Dalam
Cahaya al-Qur’an : Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Pengenalan Terhadap Karya
Tafsir Syu’bah Asa) dalamhttp://
laboratoriumstudial-quran.blogspot.com/2012/03/dalam-cahaya-alquran-tafsir-ayat-ayat.html,
diakses tanggal 9 September 2012
[9]
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm ix
[10]
Ibid, hlm. xii
[11]
Lepi T Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF Dan Saran.
Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan,” Buletin
Ekonomi Moneter Dan Perbankan 1, no. 4 (2003): 1–25.
[12]
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 139
[13]
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 162
[14]
Gusmian, “TAFSIR AL-QUR’AN DAN KRITIK SOSIAL: Syu’bah Asa Dalam Dinamika Tafsir
AlQur’an Di Indonesia.”
[15]
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 204
[16]
Gusmian, “TAFSIR AL-QUR’AN DAN KRITIK SOSIAL: Syu’bah Asa Dalam Dinamika Tafsir
AlQur’an Di Indonesia.”
[17]
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 156
[18] Ibid, hlm. 157
0 Komentar