TAFSIR AL-QUR’AN DAN KRITIK SOSIAL SYU’BAH ASA

SYUBAH ASA DAN KYAI ACHMAD

PENDAHULUAN

 Tafsir Al-Qur’an merupakan sebuah jalan untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam teks Al-Qur’an yang diturunkan oleh Tuhan. Sebagai sebuah jalan, fungsi tafsir tentu tidak hanya sekedar memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Namun fungsinya lebih jauh, yakni sebagai upaya memenuhi dasar-dasar teologis dan praktis manusia yang lebih luas dalam melakukan proses dialektika dengan kehidupan di mana sang penafsir hidup dan berada.[1]

Tafsir merupakan proses sekaligus produk budaya yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial politik ketika tafsir ditulis, oleh siapa tafsir diproduksi dan dipresentasikan, serta bagaimana konteks realitas sosial politik yang terjadi ketika praktik tafsir terjadi. Jadi dengan demikian, adanya kitab-kitab tafsir sosial politik tentulah sangat dipengaruhi oleh keadaan budaya, penulis dan konteks realitas sosial politik yang ada pada saat itu. Sehingga penafsiran sosial politik yang ada pada zaman Orde Baru, Orde Lama, Reformasi akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terlebih jika ditulis dan diproduksi oleh mufassir yang berasal dari latar belakang pendidikan yang berbedabeda pula.

Syu’bah Asa, adalah seorang wartawan, budayawan dan juga seniman. Ia menulis tafsir di akhir Orde Baru yang berjudul “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”. Dalam karyanya, ia menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an dan di sisi lain ia juga mengkritisi atas realitas sosial yang ada pada zaman itu, dengan memberikan pemahaman dan pesan-pesan yang sudah terkandung di dalam Al-Qur’an.

 

Tentu isi penafsiran ini akan sangat menarik, seperti yang kita tahu di zaman Orde Baru banyak polemik-polemik yang terjadi, dan adanya buku “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik” ini akan memberikan kita gambaran tentang realitas sosial  politik yang terjadi pada saat itu. 

Dalam tulisan ini penulis akan membahas biografi Syu’bah Asa, lalu mengenal buku “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”, pengenalan terhadap buku tafsir “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik” karya Syu’bah Asa, serta tema-tema dan kritik dalam tafsir Syu’bah Asa.  

Biografi Syu’bah Asa

Syu’bah Asa adalah seorang seniman & wartawan senior asal indonesia. Dia juga seorang sastrawan. Novelis dan juga penerjemah, Syu’bah Asa dilahirkan antara tahun 21 Desember 1941, dia dilahirkan lingkungan islami. Ayahnya seorang pengusaha batik di lingkungan penghafal Al-Qur’an di desa Kerandan, Pekalongan Selatan. Semua keluarganya bersuara merdu, Syu’bah Asa hanya ingat suara ibunya yang menyanyikan Ramona dengan lirik yang diganti dengan kalimat-kalimat agama. Syu’bah Asa pernah meraih juara kedua MTQ anak-anak tingkat kecamatan dan ia mendapat hadiah emas satu gram.[2]

Sejak kecil, Syu’bah Asa digembleng ilmu pengetahuan Al-Qur’an bersama kerabatnya sendiri dan menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama pada waktu siang hari, sedangkan pagi hari di Sekolah Rakyat. Sebulan di kelas lima, ayahnya mencabutnya dari sekolah dan menyerahkan ke komandan Hizbullah, adik seperjuangan adik embahnya yang membuka Madrasah Menengah Mu’allimin Muhammadiyah.

Dari tokoh Dr. Dadang Hawari dan dr. Mun’im idris ia mempelajari dengan baik  sirah Nabi, berkenalan dengan cerpen al-Manfaluthi, majalah kebudayaan Kristen Mesir al-Hilal, dan novel Cinta Pertama Ivan Turgenev, dalam bahasa arab. Dari abang Misan

 

yang juga penghafal Al-Qur’an ia membaca novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. [3]

Kemudian Karir pendidikannya dilanjutkan di Yogyakarta dengan mengambil PPGA (Pendidikan Guru Agama Atas) Negeri, sambil belajar privat kitab kuning kepada seorang kiai di daerah Lempuyangan dan nyantri kalong sebentar di Pesantren Krapyak. Pada Desember 1960, ia masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat. Di saat menjadi seorang mahasiswa, ia mengajar anak-anak dan berkhutbah. Ia juga menjadi guru pengganti Djarnawi Hadikusumo yang sibuk sebagai ketua umum Parmusi dan anggota DPRD pada waktu itu di PPGA Negeri, bekas sekolah Syu’bah untuk pelajaran Ilmu Balaghah. Selama dua tahun, ia menjadi dosen muda partikelir mata kuliah ekstrakurikuler drama di fakultas IKIP Negeri yakni tempat dimana ia bertemu dengan calon istrinya.[4]

Karir penulisannya sudah ia mulai sejak di bangku SLTP. Pada tahun 1957 karangan pertamanya dimuat di majalah Batik. Pada tahun 1960 ia menulis novel remaja Cerita di Pagi Cerah diterbirkan oleh Balai Pustaka. Di masa selanjutnya yakni dimasa menghadapi arus pasang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra/PKI) ia menulis cerpen, sajak, kritik musik, dan kompetisi lagu seriosa. Ia juga terkenal di dunia teater dan sastra. Syu’bah juga pernah menjadi sutradara Teater Mahasiswa Islam HMI (organisasi ini di masa PKI adalah satu barisan dengan Teater Kristen dan Studi Teater Arena Katolik). Selain menjadi sutradara ia juga menjadi penyiar radio dan konduktor paduan suara mahasiswa. Beliau juga pernah menjadi ketua Ikatan Sastrawan Muda Islam (ISMI) yang bergerak antara tokoh Muhammad Diponegoro yang memimpim Teater Muslim dan BKKIY (Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta) dan Pater Dick Hartoko dari majalah kebudayaan BASIS. Lalu pada tahun 1966, ia terjun dalam demonstrasi sebagai provokator yang berkobar-kobar.[5]

Pada tahun 1970, ia aktif menjadi redaktur musik di majalah Ekspres yang merupakan cikal bakal majalah Tempo. Ketika di Tempo, ia merupakan penulis kritik teater yang paling rajin. Saat itu, ia menjabat sebagai redaktur senior dan sebelumnya ia

 

menjadi redaktur pelaksana kompartemen agama dan budaya. Pada masa jabatan ini, ia banyak sekali menulis tentang agama dan permasalahan sosial.[6]

Ketika ia di majalah Tempo, banyak sekali menghasilkan karya. Diantaranya yang berjudul “Ahmadiyah, sebuah titik yang dilupa” yang terbit pada tahun 1974. Pada tulisan ini ia menunjukkan bahwa ia memiliki rasa tenggang rasa yang tinggi terhadap sekte Ahmadiyah yang selalu dipojokkan dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pada tubuh Ahmadiyah sendiri juga terjadi perpecahan antara Lahore dan Qadian. Dalam hal tersebut Syu’bah Asa mengatakan bahwasannya persaudaraan memang tak pernah bisa mulus.[7]

Pada tahun 1987 ia keluar dari Tempo karena memegang prinsip dan kemudian menjadi ketua sidang redaksi majalah Editor. Di Editor juga terjadi ketegangan prinsip, ia pun keluar dan ditarik menjadi wakil pemimpin redaksi harian Pelita. Ketika majalah Panji Masyarakat ganti manajemen, sekitar tahun 1977, ia ditarik masuk dalam dapur redaksi Panji Masyarakat.8 Di samping itu Pak Haji Syu’bah Asa adalah imam Masjid Jamik Taman Firdaus, Kotamadia Depok, yang turut ia rintis begitu pulang dari Amerika, dan anggota Dewan Pertimbangan MUI setempat. Sesudah Reformasi, tokoh yang dikantornya dipanggil abah ini tergoda dan ditawari menjadi pengurus partai.

Seniman teater, sastra dan juga wartawawan senior ini wafat dalam usia 68 tahun, pada hari Minggu, 24 juli 2011 pukul 17.00 wib di Pekalongan, Jawa Tengah, akibat komplikasi penyakit jantung, ginjal dan paru-paru, setelah sebelumnya dirawat selama sepekan di RSI Pekajang, Pekalongan, Jawa Tengah. Jenazah beliau dimakamkan di Taman Pemakaman Pringlayu, Pekalongan, Jawa Tengah, Senin 25 Juli 2011, setelah sebelumnya dishalatkan di Masjid Asy-Syafi’i pukul 12.00 WIB.9

Pengenalan terhadap Buku Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik Karya Syu’bah Asa.

Buku tafsir karya Syu’bah Asa yang berjudul “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik” pada awalnya merupakan sebuah artikel tafsir dalam majalah

Panji Masyarakat. Akhirnya pada tahun 2000 artikel tafsir tersebut diserahkan dan

 

diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, dengan jumlah halaman 482 ditambah halaman pendahuluan dan kata pengantar sampai halaman xxi. Jika dilihat dari data yang tertera pada akhir tulisan, artikel-artikel tersebut dibuat dalam rentang tahun 1997-1999.[8]

Dalam buku ini menguraikan 57 tema yang dikelompokkan menjadi tujuh bagian dimana secara keseluruhan berbicara tentang hal-hal kontekstual dan faktual yang sedang terjadi di Indonesia, seperti keadilan, pelanggaran HAM, kekerasan, kekuasaan dan korupsi. Pada buku tafsir tersebut, Kuntowijoyo memberikan kata pengantar, yang tidak lain ia adalah teman akrab dari Syu’bah Asa.

Dalam buku tafsir karya Syu’bah Asa “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir AyatAyat Sosial Politik” disajikan menjadi tafsir tematik, namun menurut Kuntowijoyo, dalam buku tafsir ini Syu’bah Asa menyajikannya sedikit berbeda dengan metode yang biasa digunakan. Sedangkan Syu’bah Asa menyajikan tafsirnya dengan memilih satu ayat yang sesuai dengan tema pembahasan, kemudian menafsirkan kata dalam ayat tersebut menurut beberapa pendapat muffasir mulai dari mufassir klasik maupun modern. Dengan demikian, tafsir ini menggunakan pendekatan semantik dan komparatif.[9]

Selanjutnya, ayat yang disajikan disesuaikan dengan fenomena sosial politik yang sedang terjadi pada saat itu, sehingga selain menggunakan pendekatan semantik dan komparatif, juga menggunakan pendekatan historis. Artinya, untuk memahaminya diperlukan pengetahuan tentang konteks historisnya.

Adanya tafsir karya Syu’bah Asa ini menunjukkan bahwa Al-Quran hidup, berbicara, dan menjadi petunjuk untuk setiap kurun sejarah. Dalam pengantarnya, Kuntowijoyo berusaha menekankan beberapa topik yaitu tentang Islam yang total, Islam yang kontekstual, dan pentingnya sistem. Islam yang total artinya agama tidak hanya menjadi semacam Psychotherapy saja, jauh dari esensi agama. Agama juga perlu andil menjangkau problematika secara menyeluruh, tidak hanya bertopik pribadi, namun juga perlu disertai tinjauan sosial atau kritik sosial. Al-Qur’an juga tidak “sekali pakai” untuk zaman Nabi saja, itulah mengapa Al-Qur’an juga perlu dipahami secara kontekstual.

 

Maka, tafsir ini adalah tafsir yang berbicara tentang keserakahan Soeharto, kejahatan kekuasaan, kezaliman, dan ulama yang diam terhadap kemungkaran.[10]

Dalam sejarah Islam Indonesia, tafsir kontekstual karya Syu’bah Asa menyumbang kemajuan perkembangan beberapa aspek dimana perkembangan Islam terbagi menjadi tiga macam yaitu substansi, demografi, dan eventualitas. Adapun tafsir karya Syu’bah Asa ini adalah sumbangan bagi perkembangan substansi keagamaan dan sebagai penerang eventualitas. Di dalam penghujung pengantarnya, Kuntowijoyo berharap semoga dengan semakin menjamurnya buku-buku Islam dalam bahasa Indonesia akan menambah kualitas dan kuantitas orang-orang yang mempunyai komitmen tentang perkembangan Islam di Indonesia, sehingga terwujudlah masyarakat madani yang diridhai Allah.

Adapun pada bagian akhir buku “Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik” terdapat indeks, tafsir rujukan, batu bata demi batu bata, yang berisikan secara ringkas tentang biografi penulis. Rujukan tafsir yang tercantum dalam tafsir ini, ada sebanyak 30 kitab rujukan. Dengan rincian tafsir berbahasa Arab yang tergolong tafsir klasik dan modern sebanyak 18 buah, tafsir Indonesia berbahasa Arab, tafsir Indonesia yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa sejumlah 7 buah, terjemahan Al-Qur’an bahasa Indonesia 3 buah dan tafsir Al-Qur’an berbahasa Inggris 2 buah.

Selanjutnya mengenai tafsir Syu’bah Asa terdapat kelebihan dan kelemahan. Salah satu kelebihan tafsir ini adalah memiliki keberanian memberirak kritikan denagn lugas terhadap rezim penguasa orde baru. Di mana rezim penguasa orde baru pada saat itu hanya mengenal pemaksaan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan sehingga rakyat tidak bisa merasakan demokrasi yang sesungguhnya. Dan tafsir ini hadir mengungkap fakta-fakta historis kemudian dihubungkan dengan maksud esensial dari ayat. Adapun kelemahan dari tafsir Syu’bah Asa ini adalah tidak mencantumkan teks asli, seperti teks Al-Qur’an dan hadits beliau hanya mencantumkan terjemahnya saja.

Tema-Tema dan Kritik dalam Tafsir Syu’bah Asa.

 Seperti diketahui buku “Dalam cahaya Al-Qur’an TafsirAyat-Ayat Sosial Politik” karya Syu’bah Asa bermula dari tulisan-tulisan artikel tafsir di Majalah Panji Masyarakat

 

yang terbit  secara serial lalu kemudian di buku kan, dan tulisannya beliau membahas beberapa tema. Tema-tema tersebut bersifat aktual dan kontekstual dengan ruang sosial politik ketika artikel-artikel tafsir tersebut ditulis, beliau mengkritisi peristiwa- peristiwa yang terjadi pada saat tafsir itu ditulis, namun secara umum beliau menulis tema-tema sosial politik. Dalam tulisan ini penulis akan membahas beberapa tema dari total keseluruhan tema yang ia tulis, disini akan membahas tema krisis moneter dan ekonomi di Indonesia, Umat beragama yang hanya sebatas status dan Pemerintahan yang rasialis.

1. Krisis Ekonomi dalam Negeri  

Krisis Ekonomi yang terjadi di zaman orde baru adalah bencana yang sangat mengerikan bagi rakyat Indonesia pada waktu itu, bahkan krisis pandemi yang terjadi di tahun 2020 terbilang tidak lebih parah jika dibandingkan dengan krisis yang terjadi di tahun 1998. Bagaimana tidak, Krisis Ekonomi yang terjadi membuat seluruh kualitas hidup tiba-tiba merosot sampai hampir ke titik nol, pertumbuhan ekonomi, Nilai dolar amerika bahkan sampai di angka Rp. 10.000-13.000. yang sebelumnya hanya di angka Rp. 3000.[11]

 Dalam jangka waktu yang sama, inflasi juga meningkat mencapai 78,2%, sementara penduduk miskin menurut Biro Statistik mencapai 79,4 juta orang, Artinya lebih dari sepertiga rakyat Indonesia pada saat itu. Syu’bah Asa sebagai mufassir sekaligus wartawan tentu mengkritisi hal ini, Syubah Asa membicarakan hal ini dalam beberapa artikel tafsir yang dimuat dalam tulisanya, yakni Guncangan demi Guncangan, berjalan di antara guncangan, karunia yang hilang bencana yang menjalar. Hal ini menunjukan bahwa beliau menaruh perhatian besar terhadap krisis yang dialami di Indonesia.

 Ketika membicarakan bencana yang terjadi pada saat itu yakni itu krisis moneter maupun krisis ekonomi, Syu’bah Asa mengambil ayat yang relevan dengan topik itu, lalu diuraikan berdasarkan arti kata itu menurut beberapa Mufassir klasik maupun modern. Seperti yang terdapat di dalam Artikel yang ia tulis ia mengambil ( Q.S Al-baqarah 155 )

 

 وَلَنَ بْ لوَنَّكُ مْ بشَيْءٍ ِّمِنَ الْْوْفِ وَالْْوعِ وَنَ قْصٍ ِّمِنَ الْْمْوَالِ وَالْْنْ فُسِ وَالثَّمَرٰ ِۗتِ وَبَ ِّشِرِ ال ِّصٰبِِِي نَ

Akan kami timpakan kepada kamu sedikit cobaan, ketakutan, kelaparan, kekurangan harta serta jiwa dan buah-buahan. Berikanlah kabar gembira kepada mereka yang tahan uji

Di dalam tulisan yang berjudul “Guncangan demi guncangan” Syubah Asa membandingkan beberapa pendapat para ulama, seperti pendapatnya Imam Syafi’I yang masih musykil tentang takut (Khauf) yang mana menurut pendapat imam syafi’I makna kalimat itu adalah takut kepada Allah, lalu Kelaparan lebih menurut Syafi'I  mengacu pada puasa Ramadhan. Kurangnya harta terjadi karena pembayaran zakat dan semua sedekah. Kurangnya jiwa disebabkan oleh berbagai penyakit. Sedangkan kekurangan buah-buahan menunjuk pada kematian anak.[12]

 Di sini Syu’bah Asa memberikan beberapa pendapat dari beberapa mufasir dan penjelasan adanya kemungkinan yang barangkali tidak terpikirkan ialah kemungkinan penafsiran imam Syafi’I didorong oleh keinginan (bawah sadar, setidak-tidaknya) untuk memberi contoh betapa sebuah ayat bisa ditafsirkan tanpa bergantung pada situasi masa ayat turunnya. 

Syubah Asa berkata bahwa memang benar asbabun nuzul, kalau diketahui, bisa menjadi kunci pemahaman. Tapi sesudah itu sebuah pemahaman bisa berangkat dari sana kecuali kalau Qur'an hanya merupakan buku catatan kejadian-kejadian. Dalam penafsiran ayat ini, tempat penafsiran  diberikan Syafi'i memang kelihatan terlalu spesifik yang Dan yang spesifik selalu lebih mudah kontroversial. Berbeda halnya  dengan yang umum. Misalnya seperti yang dikemukakan oleh Ar-Raghib. Katanya, "Ayat ini mengandung cobaan dunia seluruhnya yakni bila dipandang keumuman kandungan tiap butir yang disebut di situ (ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, jiwa dan hasil panen )” 

Dari sini Syubah Asa mengambil kesimpulan bahwasanya seluruh musibah, dan guncangan (ketakutan, kelaparan, kekurangan  harta & jiwa)  yang di alami oleh masyarakat Indonesia pada masa ini adalah suatu cobaan yang diberikan oleh Tuhan,

 

dengan menggunakan beberapa pendapat ulama lain yang memotong pandangan dari kekhususan ihwal mereka yang pertama kali dituju (Nabi Saw dan para sahabat ). 

Jika kita melihat di tahun 1997 yang terjadi adalah Krisis Moneter Asia yang melanda sebagian besar negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Bukan hanya negara Indonesia yang terkena Krisis ini melainkan negara-negara asia lainnya  juga mengalami krisis yang disebabkan oleh banyak faktor. Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan, menjadi negara yang paling parah terkena imbas krisis ini berakibat pada timbulnya krisis sosial dan politik, bahkan berbuntut pada lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. Jadi memang yang terjadi saat itu adalah suatu hal yang tidak bisa terelakan dan merupakan musibah sekaligus ujian bagi rakyat Indonesia.

Namun tulisan Syu’bah Asa tidak sampai disitu, di tulisan yang lain ia menulis “Karunia yang Hilang” di dalam tulisan ini, Ia mengkritis menanyakan mengapa krisis ekonomi yang terjadi di Asia, bisa sedemikian parah efeknya bagi bangsa Indonesia? Beliau mengatakan ketidakberesan yang dialami, berasal dari sesuatu yang ada di dalam diri.

Misalnya, mengenai struktur perekonomian kita yang sebenarnya rapuh termasuk kenyataan tentang monopoli, Lemahnya organisasi dan manajemen pelaku ekonomi munculnya para aparat dan pelaku ekonomi "dinosaurus". Terkonsentrasinya bagian terbesar kapital hanya pada segelintir orang, Inefisiensi. Penyalahgunaan kekuasaan. Diskriminasi, Ketertutupan. Ketidakseriusan pelayanan. Beleid pemerintah yang tidak konsisten. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, toh semu karena berdasarkan utang luar negeri, berjangka pendek pula yang justru digunakan untuk membiayai proyek-proyek non- devisa jangka panjang. Kecentangperenangan perbankan, termasuk kredit yang macet dan penyalahgunaan modal, Juga pelarian kapital ke luar negeri.[13]

Jadi musibah yang dialami Indonesia pada saat itu, di satu sisi adalah suatu musibah global yang menimpa negara-negara Asia juga ada sebab lain yang membuat hal itu sedemikian parah bagi Indonesia, yang dimaksudkan “sesuatu didalam diri” hal yang berasal dari hal sepele seperti ketidak jujuran, kegemaran berkomplot, mental pengemis, kalahnya semangat kontrol oleh prinsip loyalitas dan Kebodohan.

 

Dari sini, bisa kita lihat bahwa disamping Syubah Asa mengkritisi terhadap musibah yang sedang dialami Indonesia (krisis moneter dan krisis ekonomi ) adalah suatu cobaan dari allah, namun ia juga mengkritisi sebab-sebabnya mengapa bisa sangat parah keadaan yang terjadi di Indonesia dan itu disebabkan oleh sesuatu yang ada di dalam negara itu sendiri seperti monopoli, penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain.

Di ayat yang sama yakni Al-baqarah 155, Syu’bah Asa memberikan optimisme kepada masayarakat tentang ujian yang sedang di alami, didalam tulisan “berjalan diantar guncangan” Syu’bah asa, memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk selalu berikhtiar dan bersabar atas ujian yang menimpanya,, karena akan ada gembira bagi mereka yang tahan uji.

2. Umat Beragama yang Hanya Sebatas Status.

 Di Zaman orde baru ada beberapa jenis model penafsiran ada ulama yang kritis terhadap semua masalah yang ada, ada yang bungkam, ada juga yang hanya dijadikan sebagai (gincu) pemanis untuk memperindah kebijakan para penguasa, Syu’bah Asa menulis penafsiran yang mana mengkritisi semua hal yang terjadi di zaman ini, tanpa terkecuali keberadaan umat beragama pun tidak terlepas dari kekritisan pemikiran beliau,   Syu’bah Asa mempertanyakan keberadaan umat beragama dan suara mereka, disaat situasi kondisi sosial politik yang terjadi di zaman ini sudah tidak sejalan dengan moral kemanusiaan, maka seharusnya suara mereka ada untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. [14] dengan mengambil dari surat  Al Anfal ayat 25 yang berbunyi  وَٱتَّ  قُوا۟ فِتْ نةً لَّْ تصِيبَََّ ٱلذِينَ ظلمُوا۟ مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَٱعْلمُوا۟ أنَّ ٱلَّلََّ شَدِيدُ ٱلعِقَا بِ

Dan peliharalah diri kalian dari bencana yang tidak sekali-kali hanya akan menimpa orang- orang yang kamu aniaya. Ketahuilah bahwa Allah keras dalam hal siksa.

Syubah Asa menjelaskan Makna fitnah dan bencana dalam ayat di atas oleh Syu’bah dijelaskan dalam konteks faktor aniaya. Memelihara diri, sebagaimana yang dimaksud ayat di atas merupakan kesadaran memelihara dari kemungkinan fitnah dengan mewaspadai faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab fitnah itu.

 

Berhubungan dengan ini, adanya berbagai represi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru menurut Syu’bah juga bagian dari bentuk ketidak mampuan umat beragama (Islam) di dalam merefleksikan ruh agama dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai kegiatan ibadah ritual tidak mempunyai makna bagi kehidupan sosial.

Syu’bah Asa berkata naiknya pamor Islam dari segi dakwah di perkotaan di Indonesia tidak punya hubungan apapun dengan segala bentuk ketimpangan sosial di kalangan kita korupsi, manipulasi, pungli, komisi tak halal, kolusi, monopoli, kebijaksanaan pilih kasih, nepotisme, penekanan, penggusuran tanpa imbalan wajar, rekayasa pengadilan, "mafia peradilan.

Sogok-menyogok seperti sudah menjadi hal yang wajar, untuk mendapat pekerjaan di instansi manapun mulai dari guru, karyawan, ataupun instansi pemerintahan, semuanya menggunakan sogok, lagi bantuan pembangunan masjid dipotong atas persetujuan panitia bahkan yang lebih parah di sekitar pemberangkatan jamaah haji tercium aroma sogok. Hal ini tentu sangat berlainan dengan hadis Rasulullah yang cukup terkenal “ Bahwa Rasulullah Saw mengutuk penyuap dan penerima suap. Tentu hal ini sangat berlawanan dengan realita yang terjadi di masyarakat pada saat itu.

Syu’bah Asa mengkritik agamawan masih di seputar ayat yang sama dengan tulisan  “Sama dengan mestinya, usaha menghalangi Soeharto dari berbagai kebijaksanaan serupa, idealnya oleh para ulama yang di dalam kasus kita kemarin malahan lebih memilih “cap Islam” yang diperagakan Presiden daripada keadilan sosial dan kebenaran. Padahal, bukan ism, kata orang, tetapi musamma. Bukan nama, yang mestinya dicari, tapi hakikat yang diberi nama. (Tetapi seorang tokoh, yang kemudian menjadi menteri sebentar dalam kabinet terakhir Soeharto, menyarankan kepada penulis ini: silakan “menyerang” siapa saja, asal bukan Pak Harto, keluarganya dan “orang kesayangan” nya. Sebab, katanya, yang sekarang ini sudah bagus. Jangan sampai kita ‘diseimbangkan’ lagi dengan mereka seperti di zaman Benny Moerdani.”[15]

Bagi Syu’bah sebagai agama, seharusnya islam di jadikan ruh Gerakan kritik terhadap penguasa pada orde baru, yang otoriter dan menindas namun adanya “ Cap

 

Islam” ala Suharto seperti mengikat kesadaran para agamawan sehingga suaranya tidak terdengar.

Syu’bah Asa dengan menggunakan kemampuan dan pengalamannya disamping  mengkritik penguasa yang otoriter beliau juga mengkrtik para agamawan, betapa agamawan seperti kehilangan peran vital di tangan pemeluknya sendiri, sebagai sistem moral, agama  telah tercabut dari ruang sosial politik, yang semestinya mempunyai peran transformatif dan signifikan bagi perubahan menuju Indonesia masa depan yang bermartabat, beradab dan berkeadilan.[16]

3. Pemerintahan yang Rasialis

Di belahan bumi lain adanya perbedaan etnis seringkali menjadi sebab terjadinya perpecahan bahkan saling bunuh, seperti suku-suku di Afrika yang saling bunuh karena perbedaan darah, atau seperti kasus di Amerika dimana sebagian penduduk berkulit putih mendiskriminasikan penduduk lain yang berkulit hitam, bahkan mampu membunuh, sama sekali bukan karena kecemburuan ekonomis. Lain halnya, fenomena yang terjadi di Indonesia, hampir tidak pernah terdengar pembunuhan atas dasar murni rasial. Bahkan di lapisan terbawah sekalipun penduduk pribumi maupun non pribumi bergaul dengan baik.[17]

Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan keanekaragaman, jadi tidak heran apabila terdapat banyak etnis seperti Melayu, Arab, Cina juga Belanda. Adapun yang terjadi di Indonesia justru berbanding terbalik dengan kasus-kasus yang telah disebutkan diatas, dimana pemberian kesempatan dalam sektor ekonomi hampir dilimpahkan kepada keturunan China. Tapi itu sebenarnya hanya semacam imbangan dari ditutupnya jabatanjabatan dari pemerintahan dan militer dari mereka.

Pada masa Orde Baru, semakin sulit dan berbelit-belit bagi etnis Tionghoa untuk mendapatkan bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Masih banyak etnis Tionghoa yang telah tinggal menetap di Indonesia berpuluh-puluh tahun, namun masih belum mendapatkan status kewarganegaraan yang jelas

 

Pemerintah Orde Baru seakan-akan mendorong etnis Thionghoa untuk hanya berkiprah di sektor swasta, khususnya perdagangan. Nonpribumi yang berprofesi sebagai pegawai negeri, staf bank-bank pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan semakin sedikit jumlahnya. Etnis Tionghoa semakin mahir berdagang. Semakin hebat dominasi etnis Tionghoa di bidang ekonomi, sehingga menimbulkan jurang perbedaan kaya miskin semakin meningkat. Melihat fenomena tersebut maka Syubah Asa tergerak untuk mengkritisinya dengan mengutip QS. Ar-Rum ayat 22, وَمِنْ ءَايتهِۦ خَلقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْْرضِ وَٱخْتلٰفُ ألسِنتكُمْ وَألوَٰنكُمْ ۚ إنَّ فِِ ذَٰلكَ لَءايتٍ  لِِّلْعَٰلمِ يَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa adanya perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan salah satu tanda kebesaran-Nya. Maka, tindakan diskriminasi terhadap etnis China dari penduduk pribumi merupakan tindakan yang menyalahi esensi dari ayat di atas.

Syu’bah Asa berpendapat bahwa sebuah pemerintah yang rasialis dalam kasus di Indonesia adalah pemerintahan yang mempraktekkan diskriminasi berdasarkan warna kulit dan bahasa alias asal-usul etnis yang tidak memperdulikan tingkat perkembangan rasa kemanusiaan universal. Dari sini dapat dilihat bahwa Syu’bah Asa mengkritisi pemerintahan yang berkuasa pada saat itu, yang mana pemerintahan tersebut menurut Syu’bah Asa adalah pemerintahan yang rasialis dengan cara mendiskriminasi etnis china dari penduduk pribumi.[18]

KESIMPULAN

Dari pemaparan materi di atas bisa kita lihat bahwa Syu’bah Asa dengan tulisan nya mampu memadukan topik-topik yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan realitas yang terjadi pada zaman itu,  dan beliau berani mengkritisi peristiwa-peristiwa yang

 

terjadi pada rezim orde baru, baik dari segi pemerintahan, sosial sampai umat beragama pun tak lepas dari kekritisan beliau.

Penafsiran Al-Qur’an yang ia buat diarahkan pada fokus problem-problem sosial politik yang terjadi pada saat itu.sehingga membuat penafsiran yang ia buat lebih terasa, Topik-topik yang di bahas dalam artikel yang ia tulis tidak sedikit di antarnya, Krisis ekonomi di Indonesia, umat beragama yang hanya sebagai status, pemerintahan yang rasialis, dan lain sebagainya, topik-topik ini ditulis secara lugas dan tegas dengan gaya bahasa kolom satu karakteristik yang lekat pada diri Syu’bah yang diperoleh dari latar belakang profesi kewartawanannya..

Melalui tafsir “Dalam Cahaya Al-Qur’an”, Syu’bah Asa menyadarkan kita bahwa praktik penafsiran Al-Qur’an selayaknya juga diarahkan pada fokus problem problem sosial politik yang terjadi. Langkah yang dilakukan Syu’bah  Asa ini merupakan kontribusi yang berharga dalam dinamika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia dan telah menjadikan tafsir Al-Qur’an sebagai produk menjadi lebih hidup dan bermanfaat bagi dinamika dan masa kehidupan kehidupan umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Aliyah, H. (2015, Desember). Epistimologi Tafsir Syu'bah Asa. Hermeneutik, 09, 355380.

Asa, S. (2000). Dalam Cahaya Al-Qur'an Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bastari, A. (2012, Desember). Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. AL-FATH, 06, 195-205.

Fttrya, L. (2013). Tionghoa dalm Diskriminasi Orde Baru Tahun 1967-2000. AVATARA, 159-166.

Gusmian, I. (2016). Tafsir Al-Qur'an dan Kritik Sosial: Syu'bah Asa dalam Dinamika Tafsir Al-Qur'an di Indonesia. MAGHZA, 1, 66-80.

Masyhuri, A. A. (2019, Februari). Pendekatan Teoritis Tafsir Sosial Dalam Prespektif AlQur'an. EL-FURQANIA, 05, 1-19.

Munadzir. (2017, Desember). Konsep Kepemimpinan Menurut Syu'bah Asa. AL-A'RAF, XIV, 253-266.

Tarmidi, Lepi T. “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF Dan Saran.

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.” Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan 1, no. 4 (2003): 1–25.

 

 

 

 



[1] Islah Gusmian, “TAFSIR AL-QUR’AN DAN KRITIK SOSIAL: Syu’bah Asa Dalam Dinamika Tafsir AlQur’an Di Indonesia,” Maghza 1, no. 2 (2016): 67, https://doi.org/10.24090/mza.v1i2.2016.pp67-80.

[2] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Quran: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm 478

[3] Islah Gusmian ,Khazanah Tafsir Al-Qur’an (Jakarta : Teraju, 2003) .

[4] Ibid, hlm 96.

[5] Syu’bah Asa , Dalam Cahaya Al-Qur’an …., hlm. 47

[6] Ibid, hlm. 478.

[7] Syu’bah Asa, “Ahmadiyah, sebuah titik terang yang dilupa’’, dalam Tempo 1974  8 Islah Gusman, KhazanahTafsir Al-Qur’an, hlm. 96. 9 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 478.

[8] Ahmad Bastari, Dalam Cahaya al-Qur’an : Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Pengenalan Terhadap Karya Tafsir Syu’bah Asa) dalamhttp:// laboratoriumstudial-quran.blogspot.com/2012/03/dalam-cahaya-alquran-tafsir-ayat-ayat.html, diakses tanggal 9 September 2012

[9] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm ix

[10] Ibid, hlm. xii

[11] Lepi T Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF Dan Saran. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan,” Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan 1, no. 4 (2003): 1–25.

[12] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 139

[13] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 162

[14] Gusmian, “TAFSIR AL-QUR’AN DAN KRITIK SOSIAL: Syu’bah Asa Dalam Dinamika Tafsir AlQur’an Di Indonesia.”

[15] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 204

[16] Gusmian, “TAFSIR AL-QUR’AN DAN KRITIK SOSIAL: Syu’bah Asa Dalam Dinamika Tafsir AlQur’an Di Indonesia.”

[17] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an…, hlm 156

[18] Ibid, hlm. 157

 

Posting Komentar

0 Komentar