INTEGRASI AGAMA DAN POLITIK DALAM TAFSIR AL-AZHAR

 

Pendahuluan 

Ide-ide politik mengenai keterkaitan antara agama dan politik selalu menjadi topik diskusi yang tidak pernah habis dan selalu menarik perhatian. Umat Islam menganggap bahwa agama Islam dapat menjadi solusi untuk berbagai masalah kehidupan, baik yang bersifat mental maupun spiritual, termasuk dalam hal ibadah, muamalah, dan bahkan pemerintahan.

Oleh karena itu, agama selalu terlibat dalam menanggapi berbagai masalah yang ada, termasuk dalam ranah politik.[1]

Sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, seperti di Indonesia ini, maka keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial semakin signifikan, termasuk dalam menempatkan hubungan yang memungkinkan antara agama dan politik. Hubungan antara agama dan politik di Indonesia seringkali diwarnai dengan pertentangan dan kecurigaan antara kedua pihak. Perbedaan pandangan terutama memuat pada pertanyaan apakah negara Indonesia harus didasarkan pada prinsip Islam atau nasionalisme. Pendekatan pertama menganjurkan pengakuan Islam sebagai dasar ideologi negara, sementara pendekatan kedua menekankan bahwa Indonesia harus didasarkan pada Pancasila sebagai ideologi negara. Perbedaan pendapat mengenai hubungan antara agama dan politik di Indonesia telah menghasilkan perdebatan ilmiah yang belum tuntas hingga saat ini. Salah satu tokoh pemikir Islam yang mendukung ide bahwa Islam seharusnya menjadi dasar ideologi negara adalah Muhammad Natsir. Menurutnya, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, karena masalah-masalah kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Dalam hal ini, Islam juga mencakup falsafah hidup atau ideologi. Terdapat perbedaan pandangan antara Muhammad Natsir dan Munawir Sjadzali mengenai hubungan antara Islam dan negara. Munawir Sjadzali berpendapat bahwa Islam dan negara tidaklah berkaitan, dan bahkan dalam Piagam Madinah tidak terdapat redaksi yang menghubungkan agama dengan negara. Menurutnya, Piagam Madinah hanya digunakan sebagai dasar dalam kehidupan sosial masyarakat, bukan untuk membentuk sebuah negara. Nabi Muhammad Saw. pun tidak pernah menjelaskan secara jelas bahwa akan membentuk sebuah negara.[2] Thaha Husein juga berpendapat bahwa Al-Qur'an tidak mengatur secara khusus sistem pemerintahan, baik secara umum maupun khusus. Oleh karena itu, baik pemerintahan pada masa Rasulullah maupun khalifah-khalifah sesudahnya bukanlah pemerintahan yang didasarkan pada wahyu, melainkan pemerintahan manusia biasa, sehingga tidak pantas dianggap sakral. Jika pemerintahan didasarkan pada wahyu Allah, maka tidak akan ada kebutuhan untuk musyawarah oleh Nabi atau keempat khalifah penggantinya.[3]

 

Pembahasan 

A. Biografi 

Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal denga Prof. Dr. H. Hamka (Buya Hamka ) lahir di desa kampung molek, manijau, sumatra barat, 17 februari 1908.4 ia adalah sastrawan indonesia, sekaligus ulama dan aktivis politik. Hamka hanya sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah agama di Padang Panjang dan Parabek (dekat bukit tinggi) kira-kira 3 tahun. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah. Beliau berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa arab, yang membuatnya mampu membaca secara luas literatur berbahasa arab,termasuk terjemahan dan tulisan barat Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.  

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1955 Hamka masuk konstituante dan menjadi ketua melalui Partai Masyumi, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di konstituante, Hamka menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam piagam jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota konstituante, termasuk presiden Sukarno. Pada tahun 1959, ia menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Pada tahun 1960 dilarang terbit karena menentang politik Soekarno. Bahkan, ia sendiri ditangkap dan semua buku-bukunya pun dilarang beredar. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia.[4]

Semasa dipenjarakan,beliau mulai menulis tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota badan musyawarah kebajikan nasional, indonesia, anggota majelis perjalanan haji indonesia dan anggota lembaga kebudayaan nasional indonesia. Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan daoed joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika konstituante dibubarkan melalui dekrit presiden soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah indonesia pada tahun 1960. Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 menteri agama alamsyah ratuprawiranegara meminta mui mencabut fatwa yang melarang perayaan natal bersama. Sebagai ketua mui, [5]Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap keras Hamka kemudian ditanggapi alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka lantas

 

 

meminta alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka memutuskan mundur sebagai ketua MUI.

 Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarbangsa seperti anugerah kehormatan doctor honoris causa, universitas al- azhar, 1958, dan doctor honoris causa, universitas kebangsaan malaysia, 1974, sebagai tanda jasa atas kontribusinya yang begitu besar dalam penyiaran agama islam di indonesia. [6]Akhirnya Hamka meninggal dunia pada 24 juli 1981, gajah mati meninggalkan gading manusia mati meninggalkan nama, sosok Hamka memang telah tiada tetapi karya karyanya masih terpatri di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Hamka tidak hanya mampu berpotitik saja akan tetapi mampu menggunakan media tulisan dalam membumikan pemikiran-pemikirannya sehingga proses sosialisasi pemikiranyya lebih mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat luas.

B. Metode Penafsiran Tafsir Al-Azhar 

Buya Hamka menggunakan metode tafsir bi al-iqtiran karena penafsirannya tidak hanya menggunakan al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, serta riwayat dari kitab-kitab tafsir al-mu’tabarah saja, tetapi juga memberikan penjelasan secara ilmiah (ra’yu) apalagi yang terkait dengan ayat-ayat kauniyah. Buya Hamka tidak pernah lepas dengan penggunaan metode tafsir bil al-ma’tsur saja, tetapi juga menggunakan metode tafsir bil ra’yi yang mana keduanya dihubungkan dengan berbagai pendekatan-pendekatan umum, seperti bahasa, sejarah, interaksi sosio-kultur dalam masyarakat, bahkan juga memasukan unsur-unsur keadaan geografi suatu wilayah, serta memasukan unsur ceruta masyarakat tertentu untuk mendukung maksud dari kajian tafsirnya.[7]

Metode yang dipakai adalah metode Tahlili (analisis) bergaya khas tartib mushaf. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutanya dalam mushaf. [8]Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turunya ayat, kaitan dengan ayat lain (munasabah), tidak ketinggalan dengan disertakan pendapat pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang dismpaikan oleh Nabi, Sahabat, maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainya. 

Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara sebaik- baiknya hubungan diantara naql dan akal (riwayah dan dhirayah). Penafsir tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dari pengalaman sendiri. Dan tidak pula semata- mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang dinukil dari orang terdahulu. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat dari orang terdahulu berarti hanya suatu riwayat. Sebaliknya, jika hanya memperturutkan akal sendiri besar bahanya akan keluar dari garis tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan disadari akan menjauh dari maksud agama.

 

 

 

 

Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah mazhab salaf, yaitu mazhab Rasulullah dan sahabt-sahabat beliau dan ulama’-ulama’ yang mengikuti jejak beliau. [9]Dalam hal aqidah dan ibadah semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Tetapi dalam hal yang menghendaki pemikiran (fiqhi), penulis tafsir ini tidaklah sematamata taqlid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yanag lebih dekat kepada kebenaran untuk didikuti, dan meninggalkan mana yana jauh menyimpang. Tafsir yang amat menarik ini yang dibuat contoh adalah Tafsir al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridha berdasarkan atas ajaran Tafsir gurunya Syeikh Muhammad Abduh. 

C. Corak Penafsiran Tafsir Al-Azhar 

Menurut penyusun, corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab alijtima’i yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya dia sehingga dia berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan bukan cuma ditingkat akademisi atau ulama, disamping itu dia memberikan penjelasan berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintahan orde lama) dan situasi politik kala itu.  [10]Misalnya ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 283.

وَإِنْ كُنْتمُْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تجَِدوُا كَاتبًِا فَرِهَانٌ مَقْبوُضَةٌ ۖ فَإنِْ أمَِنَ بعَْضُكُمْ بعَْضًا فَلْيؤَُدِ  الَّذِي اؤْتمُِنَ أمََانتَهَُ وَلْيَتقَِّ

 اللَََّّ رَبَّهُ ۗ وَلََ تكَْتمُُوا الشَّهَادةََ ۚ وَمَنْ يكَْتمُْهَا فَإنَِّهُ آثِمٌ قَلْبهُُ ۗ  وَاللََُّّ بمَِا تعَْمَلوُنَ عَ لِي مٌ

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah [2]: 283)

Dalam tafsiran ayat di atas, Hamka menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Hamka juga menegaskan bahwasannya agama Islam bukanlah semata-mata mengurus soal ibadah dan puasa saja. Bahkan urusan mu‟amalah, atau kegiatan hubungan Di antara manusia dengan manusia yang juga dinamai “hukum perdata” sampai begitu jelas disebut dalam ayat al-Qur’an, maka dapatlah kita mengatakan dengan pasti bahwa soal-soal beginipun termasuk agama juga. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Islam menghendaki hubungan yang harmonis antara keduanya, tidak adanya sutu kerusakan antara satu sama lain. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw.: Artinya: “tidak merusak dan tidak kerusakan (Di antara manusia dengan manusia).” 12

 

 

 

 

 

D. Pengertian Agama, Negara, dan Politik[11]

Negara dan politik merupakan sistem yang mengatur tata kelola negara, pembuatan undang-undang, dan pembentukan kebijakan publik. Ada berbagai pandangan tentang hubungan antara agama, negara, dan politik, termasuk pandangan bahwa agama harus dipisahkan dari politik dan negara, dan pandangan bahwa agama harus menjadi dasar ideologi dan sistem pemerintahan negara. Meskipun diskursus ini belum selesai, namun penting untuk memahami bahwa agama, negara, dan politik memiliki peran masing-masing dalam kehidupan masyarakat dan perdebatan tentang hubungan antara mereka terus berlangsung.

1.      Pengertian Agama 

Definisi agama secara etimologi berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu "a" berarti tidak dan "gama" berarti kacau, jadi agama mengandung arti tidak kacau. Sedangkan  secara terminologi, agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Al-Din yang biasa diterjemahkan dengan agama, menurut guru besar AlAzhar Syaikh Muhammad Abdullah Badran, adalah menggambarkan suatu hubungan antara dua pihak dimana pihak yang pertama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang kedua. Dengan demikian agama merupakan hubungan antar manusia dan tuhannya.

 

2.      Pengertian Negara

Istilah negara berasal dari terjemahan bahasa Inggris “state” yang artinya Negara. Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sebagai konsep yang dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, Negara memiliki banyak definisi, sejumlah pakar memperdebatkan istilah negara sesuai dengan konteks zaman yang dihadapinya dari zaman klasik hingga zaman modern. Aristoteles mendefinisikan negara sebagai sebuah persekutuan, keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan sebaik-baiknya.

 

3.      Pengertian Politik

Politik dalam bahasa latin adalah politucus, dalam bahasa Yunani Politicos, yang berasal dari kata polis yang bermakna kota. Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu negara yang mencakup beraneka ragam kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisir serta cara bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

 

E. Pengintegrasian Agama dan Politik dalam Kitab al-Azhar :

 

1. Makna Syura

Istilah syura berasal dari kata (syaawara-yusyaawiru) yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.

Dalam Q.S Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi :

 


 

فَبِمَا رَحْمَةٍ  مِنَ هاللَِّ لِنْتَ لهَُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فظًَّا غَلِيْظَ الْقلَْبِ لََنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتغَْفِرْ لهَُمْ

 وَشَاوِرْهُمْ فِى الَْمَْرِۚ فَاِذاَ عَزَمْتَ فَتوََكَّلْ عَلَى هاللَِّ  ۗ انَِّ هاللََّ يحُِبُّ الْمُتوََ كِلِيْنَ  )١٥٩(

 

Artinya : “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

 

Dalam tafsirannya, Hamka tidak memberikan definisi yang jelas tentang syura yang diartikan dengan musyawarah. Sebagai bahan pertimbangannya, dapat diketahui bahwa Rasulullah Saw. dalam mengadakansyura selalu bermusyawarah dengan orang terdekatnya, seperti para sahabat terkemuka seperti Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.[12] Hal ini menunjukkan bahwa syura dalam Islam sering dikaitkan dengan istilah musyawarah, yakni mencari pendapat dari orang yang terpercaya dan berkompeten dalam suatu bidang untuk memecahkan suatu masalah atau membuat keputusan. Meskipun AlQur'an tidak secara khusus menjelaskan teknik atau cara melakuka syura, namun nilai-nilai musyawarah dan keadilan yang terkandung dalam syura sangat dijunjung tinggi dalam Islam.

Sedangkan dalam Q.S Asy-Syuro ayat 38 yang berbunyi :

  والَّذِيْ ن اسْت  جابوُْا لِ ر بِهِمْ  وا ق امُوا الصَّلٰوةَۖ   وا مْرُهُمْ شُوْرٰى  بيْن هُمَْۖ  ومِمَّا  ر زقْنٰهُمْ ينُْفِ قوُْ  ن )٣٨(

   Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan  melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah    antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa iman seseorang tidak hanya berkaitan dengan hubungan pribadi mereka dengan Tuhan, tetapi juga membawa hubungan personal dengan orang-orang di sekitarnya. Ini terlihat dari praktik ibadah seperti shalat berjamaah dan shalat Jum'at yang memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, iman seharusnya tidak hanya berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi juga memperhatikan kepentingan bersama dalam masyarakat. 

Menurut Hamka terkait ayat diatas mengandung penjelasan bahwa kemunculan musyawarah disebabkan karena adanya jama’ah. Dalam Islam, sesuai ayat diatas untuk menentukan siapa yang akan menjadi imam dalam shalat, perlu dilakukan musyawarah untuk memilih orang yang paling cocok untuk memimpin shalat. Rasulullah Saw. juga memberikan kriteria untuk memilih seorang imam yang terbaik, seperti yang disebutkan dalam sabdanya yang dikutip dalam kitab Fiqhi Islam oleh Zainal Arifin. Kriteria tersebut antara lain memiliki kemampuan fasih dalam membaca Al-Qur'an, memiliki kedalaman ilmu agama, yang pertama kali berhijrah ke Madinah, dan memiliki usia yang lebih dewasa. Musyawarah dilakukan untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan yang terbaik dan mengikuti ajaran Islam.

Hamka mengkontekstualisasikan konsep syura dalam konteks ke Indonesiaan dengan menekankan pentingnya prinsip maslahat dalam melaksanakan syura atau

 

musyawarah. Bagi Hamka, meskipun bangsa Indonesia dapat memilih sistem pemerintahan dalam bentuk apapun, namun prinsip syura harus tetap dijunjung tinggi dan menjadi landasan dalam mengambil keputusan.[13] Prinsip maslahat, yang merujuk pada kemaslahatan umum, harus menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan syura dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dan negara. Oleh karena itu, menyamakan demokrasi dengan syura merupakan bentuk kemustahilan, Talbi juga berpendapat bahwa mustahil menyamakan syura dengan demokrasi, sebab demokrasi ditegakkan berdasarkan suara terbanyak, sedangkan syura lebih mengedepankan urun rembug (memberikan sumbang saran).

 

2. Hubungan Agama dan Negara

Hubungan antara agama dan politik merupakan konsep teoritis yang kompleks. Perbedaan dalam memahami hubungan antara agama dan politik seringkali muncul karena kesalahpahaman dalam memahami konsep agama itu sendiri. Beberapa orang berpendapat bahwa politik dan agama harus dipisahkan karena politik didasarkan pada kehendak masyarakat sipil yang tidak terkait dengan aspek spiritual, sedangkan agama bersifat absolut dan ter.kait dengan dimensi spiritual. Sementara itu, politik bersifat relatif dan terkait dengan aspek duniawi.

Pemikiran Buya Hamka dalam Q.S al-Baqarah ayat 283:

 

  وانِْ كُنْتمُْ  علٰى  سف رٍ وَّل مْ ت جِدُوْا  كاتبِاً  فرِهٰنٌ مَّقْبوُْ ضةٌ ۗ فاِنْ ا مِ ن  بعْضُكُمْ  بعْضًا  فلْي ؤُ دِ الَّذِى اؤْتمُِ ن ا  مان ت هٗ  ولْ يتقَِّ

 ه اللّٰ  ربَّهٗ ۗ  و لَ ت كْتمُُوا الشَّ ها دةۗ   و منْ يَّكْتمُْ ها  فاِنَّهٗٗٓ اٰثِمٌ  قلْبهُٗ ۗ  و هاللُّٰ بِ ما ت عْ ملوُْ ن  علِيْ مٌ  ) ٢٨٣(

Artinya : “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis,       maka  hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam pandangan Hamka, Islam tidak memisahkan antara agama dan negara. Islam tidak hanya menangani masalah-masalah keagamaan seperti ibadah, tetapi juga mengurus masalah-masalah muamalah atau hubungan antar manusia yang termasuk dalam hukum perdata. Karena hal ini jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, maka dapat dikatakan bahwa masalah seperti ini juga termasuk dalam ranah agama. Dengan demikian, menurut Hamka, agama dan negara tidak dapat dipisahkan dalam Islam. Jika seseorang memiliki keyakinan bahwa ada ajaran lain yang lebih baik daripada Islam dalam mengatur masyarakat, maka menurut Hamka orang tersebut dianggap kafir, bahkan jika orang tersebut masih melaksanakan shalat lima waktu. Hal ini seharusnya tidak mengejutkan karena menurut pandangan Hamka, tauhid (keyakinan pada keesaan Allah) adalah landasan utama yang membentuk dan memperkuat keberadaan suatu bangsa.[14]

 

 

 

 

3. Hubungan Internasional

 

Dalam Q.S al-Mumtahanah ayat 8-9 yang berbunyi :

 

 لَ  ينْهٰىكُمُ هاللُّٰ  عنِ الذَِّيْ ن ل مْ يقُ اتلِوُْكُمْ فىِ ال دِيْنِ  ول مْ يخُْرِجُوْكُمْ  مِنْ دِ يارِكُمْ ا نْ ت  ب ر وْهُمْ  وتقُْسِطُوْٗٓا الِ يْهِمْۗ انَِّ ه اللّٰ يحُِ ب الْمُقْسِطِيْ ن  )٨( انَِّ ما  ينْهٰىكُمُ هاللُّٰ  عنِ الذَِّيْ  ن  قات لوُْكُمْ فِى ال دِيْنِ  وا خْ رجُوْكُمْ  مِنْ دِ يارِكُمْ  و ظا هرُوْا  علٰىٗٓ اخِْ راجِكُمْ   ا نْ ت  ولَّوْهُمْْۚ  و منْ يتَّ  ولهَُّمْ  فاوُلٰٰۤ ِٕى ك هُمُ ال هظلِمُوْ ن  )٩(

Artinya : “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.(8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orangorang yang zalim.(9)”

 

Hamka mengemukakan bahwa dalam konteks hubungan internasional, jika kita berada pada posisi yang kuat, tidak ada halangan bagi kita untuk melakukan hubungan dan perjanjian dagang dengan orang kafir. Ini terutama penting dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam era modern, tidak ada negara yang dapat mengisolasi diri dari negara lainnya. Namun, kita harus selalu waspada dan hati-hati dalam menghadapi situasi tersebut. Kita harus tetap ingat untuk selalu mengingat Allah, baik dalam keadaan lemah maupun kuat. Pada ayat 8  الْمُقْسِطِيْ ن ini berarti berlaku adil. Sebenarnya arti dari qisthi lebih luas dari adil, karena adil adalah khusus ketika menghukum saja dan jangan dzalim menjatuhkan keputusan, sehingga yang tidak bersalah disalahkan juga. Sedangkan kata qisthi adalah lebih luas, mencakup pergaulan hidup. Ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini adalah muhkamah, artinya berbuat baik selama-lamanya. Dalam segala zaman hendaklah kita berbaik dan bersikap adil dan jujur kepada orang yang tidak memusuhi kita dan tidak bertindak mengusir kita dari kampung halaman kita. Sehingga kita diwajibkan menunjukkan budi Islam kita yang tinggi. Pada ayat 9 orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas memusuhi Islam, memerangi dan bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran, jelaslah dia orang yang aniaya.[15]

 

Kesimpulan 

 

Integrasi agama dan politik yakni nilai-nilai yang ada pada suatu ajaran agama diinput ke dalam sistem politik sebagai salah satu mekanisme, cara dan sistem sosial manusia untuk menciptakan ketentraman, kebaikan bersama dalam menciptakan integrasi. Agama dan politik merupakan dua dunia yang berbeda yang satu identik serba suci yang lainnya serba kotor. Meskipun demikian, politik yang didasari dengan etika keagamaan bisa jadi merupakan jenis politik yang suci. Lahirnya perbedaan pendapat dari beberapa tokoh dalam menyikapi hubungan agama dan politik menjadi perdebatan ilmiah yang tak kunjung terselesaikan. Keberagaman pemahaman nalar tentang hubungan agama dan politik ini tidak lepas dari kesalafahaman dalam memahami istilah agama itu sendiri.

 


Sebagian ada yang berpendapat bahwa agama dan politik harus dipisahkan karena mereka beranggapan bahwa politik dibangun atas kehendak masyarakat sipil serta tidak terkait dengan spiritual.

 Di Indonesia mucul seorang Ulama yang memberikan penafsiran terhadap alQur’an yang bernama Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Hamka memberi nama tafsirnya dengan tafsir Al-Azhar. Prof. Dr. H. Hamka lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Pada tahun 1959, ia menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Pada tahun 1960 dilarang terbit karena menentang politik Soekarno. Bahkan, ia sendiri ditangkap dan semua buku-bukunya pun dilarang beredar. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh proMalaysia. 

Selama di penjara tersbut, Hamka menyelesaikan suatu karya paling fenomenalnya yaitu Tafsir Al-Azhar. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975 di Jakarta, Hamka terpilih menjadi ketua umumnya yang pertama. Pada tahun 1956, telah berdiri rumah Hamka tepat didepan sebuah masjid yang sedang dibangun di daerah Kebayoran Baru. yang menjadi motivasi Hamka ketika menulis Tafsir Al-Azhar adalah bangkitnya Tafsir al-Azhar adalah tafsir yang berkombinasi antara bil ma’tsur dan bil ra’yi, Dalam tafsirnya, Hamka menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Hamka juga menegaskan bahwasannya agama Islam bukanlah sematamata mengurus soal ibadah dan puasa saja. 

Akan tetapi, ada keterkaitan agama dengan politik yang menjadikan keduanya saling berkesinambungan. Menurut penyusun, corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab al-ijtima’i yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya dia sehingga dia berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan. Metode yang dipakai adalah metode Tahlili (analisis) bergaya khas tartib mushaf. 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Susanto. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. ( Jakarta: Amzah).

Avif Alviyah.2016. Metode Penafsiran Buya Hamka, vol 15.no 1, STAI Sunan Drajat Lamongan.

Hamka, Tafsir Al Azhar.

Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura), Jilid ke-2.

Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura), Jilid ke-9.

Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura), Jilid ke-1.

Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura), Jilid ke-9.

Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amn Rais Tentang Negara, (Jakarta: PT. Raja  Grafindo Persada). 

Mismubarak,2019. “Integrasi Agama Dan Politik”. Tesis. (Tela’ah Pemikiran Hamka Terhadap Ayat-Ayat Politik Dalam Tafsir Al-Azhar).”

Mohammad Natsir, 1973.Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang).

Muhammad Fauzan Naufal, 2017.Hubungan Agama Dan Negara Dalam Pemikiran Politik Di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy).

Muhammad Yahya Rohmatulloh, “Konsep Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an (Studi Analitis Penafsiran Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar).”

Munawir Sjazali, 1993. Islam dan Tatanegara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Pres).



[1] Munawir Sjazali, Islam dan Tatanegara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Pres, 1993), hal. 1.

[2] Mohammad Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 16-436.

[3] Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amn Rais Tentang Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1999), hal. 67.  

[4] Mismubarak, “Integrasi Agama Dan Politik”, Tesis, (Tela’ah Pemikiran Hamka Terhadap Ayat-Ayat Politik Dalam Tafsir Al-Azhar)”, 2019.

[5] M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), hal. 54.   

[6] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 103-104.

[7] Avif Alviyah, Metode Penafsiran Buya Hamka, 2006, vol 15.no 1, STAI Sunan Drajat Lamongan.

[8] M. Quraish Shihab, hal. 172  

[9] M. Quraish Shihab, hal. 172

[10] Muhammad Yahya Rohmatulloh, “Konsep Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an (Studi Analitis Penafsiran Hamka

Dalam Tafsir Al-Azhar).”

 

[11] Muhammad Fauzan Naufal, Hubungan Agama Dan Negara Dalam Pemikiran Politik Di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy), 2017.

 

[12] ke-2                                                                                                                                            970..

[13] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, 2003), Jilid ke-9, hal. 35-36.

[14] ke-1                                                                                                                                              688.

[15] ke-9                                                                                                                                         819-820.

Posting Komentar

0 Komentar