Pendahuluan
Ide-ide politik mengenai keterkaitan antara agama dan politik selalu menjadi topik diskusi yang tidak pernah habis dan selalu menarik perhatian. Umat Islam menganggap bahwa agama Islam dapat menjadi solusi untuk berbagai masalah kehidupan, baik yang bersifat mental maupun spiritual, termasuk dalam hal ibadah, muamalah, dan bahkan pemerintahan.
Oleh karena itu, agama selalu terlibat dalam menanggapi berbagai masalah yang ada, termasuk dalam ranah politik.[1]Sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, seperti di Indonesia ini, maka keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial semakin signifikan, termasuk dalam menempatkan hubungan yang memungkinkan antara agama dan politik. Hubungan antara agama dan politik di Indonesia seringkali diwarnai dengan pertentangan dan kecurigaan antara kedua pihak. Perbedaan pandangan terutama memuat pada pertanyaan apakah negara Indonesia harus didasarkan pada prinsip Islam atau nasionalisme. Pendekatan pertama menganjurkan pengakuan Islam sebagai dasar ideologi negara, sementara pendekatan kedua menekankan bahwa Indonesia harus didasarkan pada Pancasila sebagai ideologi negara. Perbedaan pendapat mengenai hubungan antara agama dan politik di Indonesia telah menghasilkan perdebatan ilmiah yang belum tuntas hingga saat ini. Salah satu tokoh pemikir Islam yang mendukung ide bahwa Islam seharusnya menjadi dasar ideologi negara adalah Muhammad Natsir. Menurutnya, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, karena masalah-masalah kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Dalam hal ini, Islam juga mencakup falsafah hidup atau ideologi. Terdapat perbedaan pandangan antara Muhammad Natsir dan Munawir Sjadzali mengenai hubungan antara Islam dan negara. Munawir Sjadzali berpendapat bahwa Islam dan negara tidaklah berkaitan, dan bahkan dalam Piagam Madinah tidak terdapat redaksi yang menghubungkan agama dengan negara. Menurutnya, Piagam Madinah hanya digunakan sebagai dasar dalam kehidupan sosial masyarakat, bukan untuk membentuk sebuah negara. Nabi Muhammad Saw. pun tidak pernah menjelaskan secara jelas bahwa akan membentuk sebuah negara.[2] Thaha Husein juga berpendapat bahwa Al-Qur'an tidak mengatur secara khusus sistem pemerintahan, baik secara umum maupun khusus. Oleh karena itu, baik pemerintahan pada masa Rasulullah maupun khalifah-khalifah sesudahnya bukanlah pemerintahan yang didasarkan pada wahyu, melainkan pemerintahan manusia biasa, sehingga tidak pantas dianggap sakral. Jika pemerintahan didasarkan pada wahyu Allah, maka tidak akan ada kebutuhan untuk musyawarah oleh Nabi atau keempat khalifah penggantinya.[3]
Pembahasan
A. Biografi
Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal denga Prof. Dr. H. Hamka (Buya Hamka ) lahir
di desa kampung molek, manijau, sumatra barat, 17 februari 1908.4 ia
adalah sastrawan indonesia, sekaligus ulama dan aktivis politik. Hamka hanya
sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah agama di Padang Panjang
dan Parabek (dekat bukit tinggi) kira-kira 3 tahun. Hamka kemudian dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah. Beliau berbakat dalam bidang bahasa
dan segera menguasai bahasa arab, yang membuatnya mampu membaca secara luas
literatur berbahasa arab,termasuk terjemahan dan tulisan barat Setelah itu,
beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor
Universitas Mustopo, Jakarta. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya
sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan
bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki
Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato
yang andal.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika
beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau
membantu menentang usaha kembalinya penjajah belanda ke Indonesia melalui
pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1955
Hamka masuk konstituante dan menjadi ketua melalui Partai Masyumi, ketika
partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki pancasila sebagai
dasar negara. Dalam pidatonya di konstituante, Hamka menyarankan agar dalam sila
pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat
islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam piagam jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras
oleh sebagian besar anggota konstituante, termasuk presiden Sukarno. Pada tahun
1959, ia menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Pada tahun 1960 dilarang terbit
karena menentang politik Soekarno. Bahkan, ia sendiri ditangkap dan semua
buku-bukunya pun dilarang beredar. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka
dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia.[4]
Semasa dipenjarakan,beliau mulai menulis tafsir al-Azhar
yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka
diangkat sebagai anggota badan musyawarah kebajikan nasional, indonesia,
anggota majelis perjalanan haji indonesia dan anggota lembaga kebudayaan
nasional indonesia. Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan
pemerintah. Pemicunya adalah keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan daoed
joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa ramadan, yang sebelumnya
sudah menjadi kebiasaan. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika
konstituante dibubarkan melalui dekrit presiden soekarno pada 1959. Masyumi
kemudian diharamkan oleh pemerintah indonesia pada tahun 1960. Idealisme Hamka
kembali diuji ketika tahun 1980 menteri agama alamsyah ratuprawiranegara
meminta mui mencabut fatwa yang melarang perayaan natal bersama. Sebagai ketua
mui, [5]Hamka
langsung menolak keinginan itu. Sikap keras Hamka kemudian ditanggapi alamsyah
dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka
lantas
meminta alamsyah untuk mengurungkannya.
Pada saat itu pula Hamka memutuskan mundur sebagai ketua MUI.
Hamka pernah
menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarbangsa seperti
anugerah kehormatan doctor honoris causa, universitas al- azhar, 1958, dan
doctor honoris causa, universitas kebangsaan malaysia, 1974, sebagai tanda jasa
atas kontribusinya yang begitu besar dalam penyiaran agama islam di indonesia. [6]Akhirnya
Hamka meninggal dunia pada 24 juli 1981, gajah mati meninggalkan gading manusia
mati meninggalkan nama, sosok Hamka memang telah tiada tetapi karya karyanya
masih terpatri di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Hamka tidak
hanya mampu berpotitik saja akan tetapi mampu menggunakan media tulisan dalam
membumikan pemikiran-pemikirannya sehingga proses sosialisasi pemikiranyya
lebih mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat luas.
B. Metode Penafsiran Tafsir Al-Azhar
Buya Hamka menggunakan metode tafsir bi al-iqtiran karena penafsirannya tidak hanya menggunakan
al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, serta riwayat dari kitab-kitab
tafsir al-mu’tabarah saja, tetapi
juga memberikan penjelasan secara ilmiah (ra’yu) apalagi yang terkait dengan
ayat-ayat kauniyah. Buya Hamka tidak pernah lepas dengan penggunaan metode tafsir bil al-ma’tsur saja, tetapi juga
menggunakan metode tafsir bil ra’yi yang mana keduanya dihubungkan dengan
berbagai pendekatan-pendekatan umum, seperti bahasa, sejarah, interaksi
sosio-kultur dalam masyarakat, bahkan juga memasukan unsur-unsur keadaan
geografi suatu wilayah, serta memasukan unsur ceruta masyarakat tertentu untuk
mendukung maksud dari kajian tafsirnya.[7]
Metode yang dipakai adalah metode Tahlili (analisis)
bergaya khas tartib mushaf. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan
makna yang dikandung al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai
dengan urutanya dalam mushaf. [8]Uraian
tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti
pengertian kosakata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turunya ayat, kaitan
dengan ayat lain (munasabah), tidak ketinggalan dengan disertakan pendapat
pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut,
baik yang dismpaikan oleh Nabi, Sahabat, maupun para tabi’in dan ahli tafsir
lainya.
Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara
sebaik- baiknya hubungan diantara naql dan akal (riwayah dan dhirayah).
Penafsir tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang
terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dari pengalaman sendiri. Dan
tidak pula semata- mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan
apa yang dinukil dari orang terdahulu. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat
dari orang terdahulu berarti hanya suatu riwayat. Sebaliknya, jika hanya memperturutkan
akal sendiri besar bahanya akan keluar dari garis tertentu yang digariskan
agama, sehingga dengan disadari akan menjauh dari maksud agama.
Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah mazhab salaf,
yaitu mazhab Rasulullah dan sahabt-sahabat beliau dan ulama’-ulama’ yang
mengikuti jejak beliau. [9]Dalam
hal aqidah dan ibadah semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak
tanya lagi. Tetapi dalam hal yang menghendaki pemikiran (fiqhi), penulis tafsir
ini tidaklah sematamata taqlid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana
yanag lebih dekat kepada kebenaran untuk didikuti, dan meninggalkan mana yana
jauh menyimpang. Tafsir yang amat menarik ini yang dibuat contoh adalah Tafsir
al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridha berdasarkan atas ajaran Tafsir gurunya
Syeikh Muhammad Abduh.
C. Corak Penafsiran Tafsir Al-Azhar
Menurut penyusun, corak yang mendominasi penafsiran Hamka
adalah al-adab alijtima’i yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka
sebagai seorang sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya dia sehingga dia
berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan
bukan cuma ditingkat akademisi atau ulama, disamping itu dia memberikan
penjelasan berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintahan
orde lama) dan situasi politik kala itu.
[10]Misalnya
ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 283.
وَإِنْ كُنْتمُْ عَلَىٰ
سَفَرٍ وَلَمْ تجَِدوُا كَاتبًِا فَرِهَانٌ مَقْبوُضَةٌ ۖ فَإنِْ أمَِنَ
بعَْضُكُمْ بعَْضًا فَلْيؤَُدِ الَّذِي
اؤْتمُِنَ أمََانتَهَُ وَلْيَتقَِّ
اللَََّّ رَبَّهُ ۗ وَلََ تكَْتمُُوا
الشَّهَادةََ ۚ وَمَنْ يكَْتمُْهَا فَإنَِّهُ آثِمٌ قَلْبهُُ ۗ وَاللََُّّ بمَِا تعَْمَلوُنَ عَ لِي مٌ
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Baqarah [2]: 283)
Dalam tafsiran ayat di atas, Hamka menjelaskan bahwa dalam
Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Hamka juga menegaskan
bahwasannya agama Islam bukanlah semata-mata mengurus soal ibadah dan puasa
saja. Bahkan urusan mu‟amalah, atau kegiatan hubungan Di antara manusia dengan
manusia yang juga dinamai “hukum perdata” sampai begitu jelas disebut dalam
ayat al-Qur’an, maka dapatlah kita mengatakan dengan pasti bahwa soal-soal
beginipun termasuk agama juga. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan
negara. Islam menghendaki hubungan yang harmonis antara keduanya, tidak adanya
sutu kerusakan antara satu sama lain. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis
Rasulullah saw.: Artinya: “tidak merusak dan tidak kerusakan (Di antara manusia
dengan manusia).” 12
D. Pengertian Agama, Negara, dan Politik[11]
Negara dan politik merupakan sistem yang mengatur tata
kelola negara, pembuatan undang-undang, dan pembentukan kebijakan publik. Ada
berbagai pandangan tentang hubungan antara agama, negara, dan politik, termasuk
pandangan bahwa agama harus dipisahkan dari politik dan negara, dan pandangan
bahwa agama harus menjadi dasar ideologi dan sistem pemerintahan negara. Meskipun
diskursus ini belum selesai, namun penting untuk memahami bahwa agama, negara,
dan politik memiliki peran masing-masing dalam kehidupan masyarakat dan
perdebatan tentang hubungan antara mereka terus berlangsung.
1. Pengertian Agama
Definisi agama secara etimologi
berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu
"a" berarti tidak dan "gama" berarti kacau, jadi agama
mengandung arti tidak kacau. Sedangkan secara
terminologi, agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut
oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Al-Din yang biasa diterjemahkan
dengan agama, menurut guru besar AlAzhar Syaikh Muhammad Abdullah Badran,
adalah menggambarkan suatu hubungan antara dua pihak dimana pihak yang pertama
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang kedua. Dengan demikian
agama merupakan hubungan antar manusia dan tuhannya.
2. Pengertian Negara
Istilah negara berasal dari terjemahan
bahasa Inggris “state” yang artinya
Negara. Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di
antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di
dalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sebagai konsep yang dimplementasikan
dalam kehidupan masyarakat, Negara memiliki banyak definisi, sejumlah pakar
memperdebatkan istilah negara sesuai dengan konteks zaman yang dihadapinya dari
zaman klasik hingga zaman modern. Aristoteles mendefinisikan negara sebagai
sebuah persekutuan, keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan sebaik-baiknya.
3. Pengertian Politik
Politik dalam bahasa latin adalah politucus, dalam bahasa Yunani Politicos, yang berasal dari kata polis yang bermakna kota. Politik adalah
seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu negara yang mencakup beraneka ragam
kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisir serta cara bertindak
untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, politik
adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu.
E. Pengintegrasian Agama dan Politik dalam
Kitab al-Azhar :
1. Makna Syura
Istilah syura berasal dari kata (syaawara-yusyaawiru) yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.
Dalam Q.S Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi
:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ هاللَِّ لِنْتَ لهَُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ
فظًَّا غَلِيْظَ الْقلَْبِ لََنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتغَْفِرْ لهَُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِى الَْمَْرِۚ فَاِذاَ عَزَمْتَ فَتوََكَّلْ
عَلَى هاللَِّ ۗ انَِّ هاللََّ يحُِبُّ
الْمُتوََ كِلِيْنَ )١٥٩(
Artinya : “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad)
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu
maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan
tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang
bertawakal.”
|
Sedangkan dalam Q.S Asy-Syuro ayat 38 yang
berbunyi :
والَّذِيْ ن اسْت جابوُْا لِ ر
بِهِمْ وا ق امُوا الصَّلٰوةَۖ وا مْرُهُمْ شُوْرٰى بيْن هُمَْۖ
ومِمَّا ر زقْنٰهُمْ ينُْفِ
قوُْ ن )٣٨(
Artinya: “Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka.”
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa iman
seseorang tidak hanya berkaitan dengan hubungan pribadi mereka dengan Tuhan,
tetapi juga membawa hubungan personal dengan orang-orang di sekitarnya. Ini
terlihat dari praktik ibadah seperti shalat berjamaah dan shalat Jum'at yang
memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, iman seharusnya
tidak hanya berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi juga memperhatikan
kepentingan bersama dalam masyarakat.
Hamka mengkontekstualisasikan konsep syura dalam konteks ke Indonesiaan dengan menekankan pentingnya
prinsip maslahat dalam melaksanakan syura
atau
2. Hubungan Agama dan Negara
Hubungan antara agama dan politik
merupakan konsep teoritis yang kompleks. Perbedaan dalam memahami hubungan
antara agama dan politik seringkali muncul karena kesalahpahaman dalam memahami
konsep agama itu sendiri. Beberapa orang berpendapat bahwa politik dan agama
harus dipisahkan karena politik didasarkan pada kehendak masyarakat sipil yang
tidak terkait dengan aspek spiritual, sedangkan agama bersifat absolut dan
ter.kait dengan dimensi spiritual. Sementara itu, politik bersifat relatif dan
terkait dengan aspek duniawi.
Pemikiran Buya Hamka dalam
Q.S al-Baqarah ayat 283:
وانِْ كُنْتمُْ علٰى
سف رٍ وَّل مْ ت جِدُوْا
كاتبِاً فرِهٰنٌ مَّقْبوُْ ضةٌ ۗ
فاِنْ ا مِ ن بعْضُكُمْ بعْضًا
فلْي ؤُ دِ الَّذِى اؤْتمُِ ن ا
مان ت هٗ ولْ يتقَِّ
ه اللّٰ ربَّهٗ ۗ
و لَ ت كْتمُُوا الشَّ ها دةۗ و
منْ يَّكْتمُْ ها فاِنَّهٗٗٓ اٰثِمٌ قلْبهُٗ ۗ
و هاللُّٰ بِ ما ت عْ ملوُْ ن
علِيْ مٌ ) ٢٨٣(
Artinya : “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu
tidak mendapatkan seorang penulis,
maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian,
karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3. Hubungan Internasional
Dalam Q.S al-Mumtahanah ayat 8-9 yang
berbunyi :
لَ
ينْهٰىكُمُ هاللُّٰ عنِ الذَِّيْ ن
ل مْ يقُ اتلِوُْكُمْ فىِ ال دِيْنِ ول مْ
يخُْرِجُوْكُمْ مِنْ دِ يارِكُمْ ا نْ
ت ب ر وْهُمْ وتقُْسِطُوْٗٓا الِ يْهِمْۗ انَِّ ه اللّٰ يحُِ
ب الْمُقْسِطِيْ ن )٨( انَِّ
ما ينْهٰىكُمُ هاللُّٰ عنِ الذَِّيْ
ن قات لوُْكُمْ فِى ال دِيْنِ وا خْ رجُوْكُمْ مِنْ دِ يارِكُمْ و ظا هرُوْا
علٰىٗٓ اخِْ راجِكُمْ ا نْ ت ولَّوْهُمْْۚ
و منْ يتَّ ولهَُّمْ فاوُلٰٰۤ ِٕى ك هُمُ ال هظلِمُوْ ن )٩(
Artinya : “Allah tidak melarang kamu berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama
dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.(8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan
agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orangorang
yang zalim.(9)”
Hamka mengemukakan bahwa dalam konteks hubungan
internasional, jika kita berada pada posisi yang kuat, tidak ada halangan bagi
kita untuk melakukan hubungan dan perjanjian dagang dengan orang kafir. Ini
terutama penting dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam era modern, tidak ada negara yang
dapat mengisolasi diri dari negara lainnya. Namun, kita harus selalu waspada
dan hati-hati dalam menghadapi situasi tersebut. Kita harus tetap ingat untuk
selalu mengingat Allah, baik dalam keadaan lemah maupun kuat. Pada ayat 8 الْمُقْسِطِيْ
ن ini berarti berlaku adil. Sebenarnya arti dari qisthi lebih luas dari adil, karena adil
adalah khusus ketika menghukum saja dan jangan dzalim menjatuhkan keputusan,
sehingga yang tidak bersalah disalahkan juga. Sedangkan kata qisthi adalah lebih luas, mencakup
pergaulan hidup. Ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini adalah muhkamah, artinya
berbuat baik selama-lamanya. Dalam segala zaman hendaklah kita berbaik dan
bersikap adil dan jujur kepada orang yang tidak memusuhi kita dan tidak
bertindak mengusir kita dari kampung halaman kita. Sehingga kita diwajibkan
menunjukkan budi Islam kita yang tinggi. Pada ayat 9 orang yang membuat
hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas memusuhi Islam, memerangi dan
bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran, jelaslah dia orang yang
aniaya.[15]
Kesimpulan
Integrasi agama dan politik yakni nilai-nilai yang ada
pada suatu ajaran agama diinput ke dalam sistem politik sebagai salah satu
mekanisme, cara dan sistem sosial manusia untuk menciptakan ketentraman,
kebaikan bersama dalam menciptakan integrasi. Agama dan politik merupakan dua
dunia yang berbeda yang satu identik serba suci yang lainnya serba kotor.
Meskipun demikian, politik yang didasari dengan etika keagamaan bisa jadi
merupakan jenis politik yang suci. Lahirnya perbedaan pendapat dari beberapa
tokoh dalam menyikapi hubungan agama dan politik menjadi perdebatan ilmiah yang
tak kunjung terselesaikan. Keberagaman pemahaman nalar tentang hubungan agama
dan politik ini tidak lepas dari kesalafahaman dalam memahami istilah agama itu
sendiri.
Sebagian ada yang berpendapat bahwa agama
dan politik harus dipisahkan karena mereka beranggapan bahwa politik dibangun
atas kehendak masyarakat sipil serta tidak terkait dengan spiritual.
Di Indonesia mucul
seorang Ulama yang memberikan penafsiran terhadap alQur’an yang bernama Abdul
Malik Karim Amrullah (Hamka). Hamka memberi nama tafsirnya dengan tafsir
Al-Azhar. Prof. Dr. H. Hamka lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek,
Meninjau, Sumatera Barat. Pada tahun 1959, ia menerbitkan majalah Panji
Masyarakat. Pada tahun 1960 dilarang terbit karena menentang politik Soekarno.
Bahkan, ia sendiri ditangkap dan semua buku-bukunya pun dilarang beredar. Dari
tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena
dituduh proMalaysia.
Selama di penjara tersbut, Hamka menyelesaikan suatu karya
paling fenomenalnya yaitu Tafsir Al-Azhar. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI)
berdiri pada 26 Juli 1975 di Jakarta, Hamka terpilih menjadi ketua umumnya yang
pertama. Pada tahun 1956, telah berdiri rumah Hamka tepat didepan sebuah masjid
yang sedang dibangun di daerah Kebayoran Baru. yang menjadi motivasi Hamka
ketika menulis Tafsir Al-Azhar adalah bangkitnya Tafsir al-Azhar adalah tafsir
yang berkombinasi antara bil ma’tsur dan bil ra’yi, Dalam tafsirnya, Hamka
menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara.
Hamka juga menegaskan bahwasannya agama Islam bukanlah sematamata mengurus soal
ibadah dan puasa saja.
Akan tetapi, ada keterkaitan agama dengan politik yang
menjadikan keduanya saling berkesinambungan. Menurut penyusun, corak yang
mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab al-ijtima’i yang nampak terlihat
dari latar belakang Hamka sebagai seorang sastrawan dengan lahirnya novel-novel
karya dia sehingga dia berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang
dipahami semua golongan. Metode yang dipakai adalah metode Tahlili (analisis)
bergaya khas tartib mushaf.
DAFTAR PUSTAKA
A. Susanto. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. ( Jakarta: Amzah).
Avif Alviyah.2016. Metode Penafsiran Buya Hamka, vol 15.no 1, STAI
Sunan Drajat Lamongan.
Hamka, Tafsir Al Azhar.
Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura), Jilid ke-2.
Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura), Jilid ke-9.
Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura), Jilid ke-1.
Hamka, 2003.Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura), Jilid ke-9.
Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amn
Rais Tentang Negara, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada).
Mismubarak,2019. “Integrasi Agama Dan Politik”. Tesis. (Tela’ah
Pemikiran Hamka Terhadap Ayat-Ayat Politik Dalam Tafsir Al-Azhar).”
Mohammad Natsir, 1973.Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang).
Muhammad Fauzan Naufal, 2017.Hubungan Agama Dan Negara Dalam Pemikiran
Politik Di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy).
Muhammad Yahya Rohmatulloh, “Konsep Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an (Studi
Analitis Penafsiran Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar).”
Munawir Sjazali, 1993. Islam dan Tatanegara: Ajaran Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI Pres).
[1]
Munawir Sjazali, Islam dan Tatanegara:
Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Pres, 1993), hal. 1.
[2] Mohammad Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hal. 16-436.
[3] Ma’mun Murod al-Brebesy,
Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amn Rais Tentang Negara, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada 1999), hal. 67.
[4] Mismubarak, “Integrasi
Agama Dan Politik”, Tesis, (Tela’ah Pemikiran Hamka Terhadap Ayat-Ayat Politik
Dalam Tafsir Al-Azhar)”, 2019.
[5] M. Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam
Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), hal. 54.
[6]
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 103-104.
[7]
Avif Alviyah, Metode Penafsiran Buya
Hamka, 2006, vol 15.no 1, STAI Sunan Drajat Lamongan.
[8]
M. Quraish Shihab, hal. 172
[9] M. Quraish Shihab, hal.
172
[10]
Muhammad Yahya Rohmatulloh, “Konsep Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an (Studi
Analitis Penafsiran Hamka
Dalam Tafsir Al-Azhar).”
[11] Muhammad Fauzan Naufal, Hubungan Agama Dan Negara Dalam Pemikiran
Politik Di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy), 2017.
[12] ke-2 970..
[13]
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, 2003), Jilid ke-9, hal. 35-36.
[14] ke-1 688.
[15] ke-9 819-820.
0 Komentar