Pendahuluan
Tafsir At-Tanwir ini lahir dari salah satu Ormas Islam terbesar dan tertua di Indonesia (1912). Kontribusi Muhammadiyah dalam pemikirannya dan pengembangan Islam di Indonesia tidak dapat dipungkiri telah menampilkan diri sebagai sebuah fenomena unik dalm kehidupan keagamaan di Indonesia.[1]
Pada masa itu kajian Al-Qur’an sangat jarang dilakukan khususnya oleh para sarjana-sarjana dari Indonesia. Justru kajian Al-Qur’an tersebut dilakukan oleh sarjana-sarjana dari luar negeri sehingga dijadikan motivasi oleh para menjadikan Tim Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah untuk mengkaji mengenai kajian Al-Qur’an di Indonesia yang salah satu tujuannya ialah guna memperluar jangkauan karya ilmiah sarjana Muslim di Indonesia dengan mengenalkan corak Islam yang berkembang di Indonesia. Banyaknya permintaan untuk pencetakan ulang kitab ini, menandakan bahwa
kitab ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Tafsir At-Tanwir menawarkan
metode dan pendekatan baru sehingga tafsir ini mampu menjawab tantangan zaman
sekaligus mengenai persoalan-persoalan terkini yang muncul karena adanya
perkembangan zaman. Kitab ini mampu memecahkan problem kontemporer sehingga
Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Menyusun kitab ini.
Kitab ini direncanakan akan terbit dalam
bentuk utuh yaitu 30 juz dan ini merupakan bentuk kepedulian Muhammadiyah
terhadap persoalan-persoalan Islam kekinian di Indonesia. Kitab ini
diproyeksiakan akan selesai kurang lebih 50 tahun namun, karena adanya masukan
untuk percepatan dalam penyusunan sehingga hanya menjadi 15 tahun.
Nama At-Tanwwir merupakan cerminan dari
filosofi Muhammadiyah yaitu sebagai atTanwir atau pencerahan. Maka dari itu
kitab ini sering disebut sebagai tafsir Al-Qur’an berkemajuan. Tafsir yang
diharapkan dapat memeberikan jawaban atas berbagai persoalan sosial
kontemporer.
Sejarah
Muhammadiyah Kata Muhammadiyah berasal
dari bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama Rasulullah Saw. yang diberi ya’ nisbah
dan ta marbuthah yang berarti pengikut Nabi Muhammad. Organisasi ini diberi
nama Muhammadiyah oleh para pendirinya dengan harapan dapat mencontoh dan
meneladani jejak perjuangan Rasulullah dalam menegakkan dan menjungjung tinggi
agama Islam.[2]
Organisasi ini
berdiri di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 ( 8 Zulhijah 1330 H) oleh
Kiai Haji Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan atau Muhammad Darwis yang lahir di
Yogyakarta pada 1869. Ia merupakan putra dari Kai Haji Abu Bakar bin Kiai
Sulaiman yang menjabat sebagai khatib Masjid Keraton Yogyakarta.[3]
Faktor pendorong kelahiran Muhammadiyah
bermula dari beberapa kegelisahan dan keprihatinan sosial religius, dan moral.
Kegelisahan ini terjadi karena kondisi masyarakat yang pada masa itu amasih
berada di posisi terbelakang, miskin dan ditambah dengan kondisi praktik
kondisi praktik keagamaan yang dianggap oleh Kiai Ahmad Dahlan sarat dengan
praktik takhayul, bid‘ah, dan khurafat.
Kiai Ahmad Dahlah sempat menimba ilmu ke
Timur Tengah dan belajar kepada Ahmad Sorkati, Mohammad Ibn Abdul Wahab,
Jamaluddin Al-Afgahani, Muhammad Abduh, Ibn Taimiyah, dan Muhammad Rasyid Rida.
Ulama-ulama tersebut dianggap oleh para pengkaji Muhammadiyah telah
mempengaruhi Kiai Dahlan dalam memahami Islam. Namun, yang paling menarik
menurut Zuly Qodir, meski Kiai Dahlah belajar kepada kepada Muhammad Abdul
Wahab dan Ibn Taimiyah, tapi tidak membuatnya keras seperti kedua gurunya itu
yang cenderung lebih tekstualis. Kiai Dahlan justru lebih dekat dengan
pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Sekembalinya dari Timur
Tengah, Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Boedi Oetomo dan Jamiat Khair.
Muhammadiyah dalam perjalanan waktunya
lebih banyak berperan dalam ranah sosial masyarakat dengan terus menggalakkan
program yang berkaitan langsung dengan peningkatan kualitas hidup manusia baik
itu dalam urusan pendidikan, kesehatan, dan taraf hidup masyarakat, melalui
pemberdayaan ekonomi umat. Meskipun begitu, aspek keagamaan baik berupa kajian
maupun dakwah juga tetap bergerak secara dinamis dan mendapatkan perhatian.
Muhammadiyah selalu ambil bagian dalam merespon isu-isu kekinian yang terjadi
dan dialami oleh masyarakat baik itu di Indonesia maupun terhadap isu global.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi
yang tidak berada dalam kekuasaan atau cenderung terkesan tidak menampakan diri
berafiliasi secara terang-terangan dengan politik kekuasaan. Sikap Muhammadiyah
sendiri dapat dimengerti karena sejak tahun 1972, Muhammadiyah mendeklarasikan
diri tidak akan terlibat dalam dunia politik, dan memfokuskan diri pada
program, kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, dan dakwah.
Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram
menjadi sinyal banyak kader Muhammadiyah yang menginginkan organisasi ini
terlibat dalam politik bahkan mendirikan partai. Sidang di Mataram memberikan
kesempatan kepada Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) untuk melakukan pengkajian
kemungkinan pembentukan partai alternatif baru bagi Muhamamdiyah untuk
mengakomodasi keinginan warga Muhammadiyah yang menginginkan agar Muhammadiyah
memiliki peran lebih besar dalam politik kebangsaan.[4]
Peluncuran dan Tujuan Tafsir Tanwir
Tafsir Tanwir
merupakan usaha lama yang sudah menjadi program prioritas dari Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang laku gerakannya yang tidak bisa dipisahkan dengan Al-Qur’an
dan Hadist (dengan slogan Ar-Ruju’ ila
Al-Qur’an wa As-Sunnah) menjadikan kedua sumber ini sebagai rujukan utama.[5]
Baru pada hari
selasa 13 Desember 2016 bertempat di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Tafsir
Tanwir diluncurkan dan dikenalkan kepada masyarakat.41 Kehadiran sebuah karya
tafsir memang membutuhkan proses panjang dan waktu yang lama. Apalagi bila
tafsir tersebut dikerjakan secara kolektif. Sama halnya dengan Tafsir Tanwir
yang proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama hingga yang baru
dapat diakses secara umum baru Juz 1.9
Munculnya Tafsir
Tanwir merupakan salah satu program yang dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah
ke-46 di Yogyakarta dan merupakan bentuk dari gerakan pencerahan Muhammadiyah.
Kehadiran Tafsir Tanwir dianggap sangat penting dikarenakan dapat menjadi
rujukan keagamaan penting bagi warga Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya,
selain itu juga merupakan bentuk keseriusan bahwa Muhammadiyah memang merupakan
gerakan pencerahan.
Kitab ini di
direncanakan terbit dalam bentuk utuh 30 juz tapi pastinya membutuhkan waktu
yang sangat lama, mereka memproyeksikan selesai dalam kurun waktu kurang lebih
50 tahun. Namun, setelah mendapat banyak masukan proyek tersebut diminta lebih
dipercepat menjadi hanya 15 tahun.[6]
Tim penulis yang
berjumlah 14 orang selain merupakan aktivis Muhammadiyah, sebagian juga
merupakan dosen di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia bergelar akademik
dengan rincian 7 orang profesor, 4 orang doktor, dan 3 orang magister yang
membuat tafsir ini dapat disebut sebagai tafsir akademis tulen. Presentase
penulis atau kontributor tafsir berdasarkan pendidikannya adalah magister 21%,
doktor 29%, dan profesor 50 %.
Dalam sambutan peluncuran Tafsir Tanwir,
Yunahar menyampaikan bahwa kehadiran Tafsir Tanwir merupakan amanat dari
Muktamar 1 Abad Muhammadiyah di Yogyakarta. Selain itu, ia menjelaskan bahwa
Tafsir Tanwir menggunakan dua corak yang
digabungkan yaitu corak tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi. Sedangkan
pendekatan yang digunakan dalam penulisan tafsir ini adalah pendekatan bayani,
burhani, dan 'irfani. Tafsir Tanwir tidak boleh hanya mengulang tafsir-tafsir
sebelumnya, tapi Tafsir Tanwir menjadi tafsir yang selalu merespon berbagai
perkembangan situasi dan kondisi. Kehadirannya juga harus dapat menggerakkan
kebaikan masyarakat, meningkatkan semangat beribadah, semangat berkerja,
semangat ekonomi dan semangat ilmu pengetahuan.
Metode dan corak tafsir at-Tanwir Muhamadiyah
Metode adalah salah
satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dengan
demikian, Metode tafsir Al-Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang
harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Maka, apabila
seseorang menafsirkan ayat Qur’an tanpa
menggunakan metode, tidak mustahil ia akan
keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’y (tafsir
berdasarkan pikiran).[7]
Secara umum metode dalam menafsirakan ayat Al-Qur’an terbagi kepada empat
macam; yaitu:
metode ijmali (global), metode tahlili (analitis), metode
muqarin (perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik). Tafsir at-Tanwir karya Muhammadiyah tidak
mengadopsi salah satu metode tafsir di atas secara penuh. Akan tetapi tafsir
Muhammadiyah menggabungkan bagian-bagian tertentu terhadap empat metode tafsir
di atas. Dari sisi urutan tafsir ini termasuk tafsir ijmali/tahliliy karena
membahas secara berurutan dimulai dari surat al Fatihah ayat 1-7, kemudian
surat al Baqarah mulai dari ayat 1 sampai selanjutnya. Namun tafsir ini tidak
menyingkap makna bahasa kecuali dalam hal-hal tertentu.
Penafsiran At-Tanwir Muhammadiyah tentang pemimpin
Surat Al-Ma’idah Ayat 57
يََٰٓأيَُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنوُا۟ لََ
تتَخَِّذوُا۟ ٱلَّذِينَ ٱتخََّذوُ ا۟ دِينكَُمْ هزُُوًا
وَلعَِبًا مِنَ ٱلذَِّينَ أوُتوُا۟ ٱلْكِ تبََ مِن قَبْلِكُمْ وَ
ٱلْكُفَّارَ أوَْلِيَاءََٰٓ ۚ وَ ٱتقَّوُ
ا۟ ٱ للََّّ إِن كُنتمُ
مُّؤْمِنِي نَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan
dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu,
dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah
jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.
Dalam Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah
secara tegas mendefinisikan bahwa sosok imam itu mencakup pemimpin sosial dan
politik, dan status ini merupakan gelar, status, atau pangkat yang merupakan
anugerah dari Allah. Sama halnya seperti pangkat nabi dan rasul. Pangkat ini
tidak semertamerta didapatkan oleh sembarangan orang. “Pengertian kata imam
mencakup peran sebagai pemimpin sosial dan politik. Pangkat imam, nabi, dan
rasul adalah anugerah Allah swt. Dia sendiri yang menetapkan risalah dan
kenabian itu kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kenabian dan kerasulan bukan
capaian usaha manusia.” Oleh sebab itu, dengan mengaitkan kondisi negeri kita,
Tafsir Tanwir melihat kondisi Indonesia yang beragam, dalam urusan memilih
pemimpin tidak hanya menilai dari salah satu aspek misalnya karena kesamaan
golongan, suku, agama, ormas, dan partai politik saja, tapi perlu dilihat dari
semua aspek apakah calon pemimpin itu memang baik untuk dipilih. “Dalam konteks
keindonesiaan, pemimpin niscaya dipilih dengan seksama dari anak bangsa yang
terbaik ditinjau dari pelbagai aspeknya. Tidak pada tempatnya seseorang dipilih
menjadi pemimpin karena faktor kesamaan golongan, suku, agama, organisasi
massa, dan partai politik semata. Dalam memilih pemimpin janganlah seperti
membeli kucing dalam karung Firman Allah Q.S. an-Nisa [4]: 59).” Perlu digaris
bawahi bahwa penafsiran di atas mengkaitkan atau menghubungkan ayat dengan
konteks sosial bangsa Indonesia. Berbeda dengan pangkat imam yang telah dibahas
sebelumnya yang hanya hak preogratif Allah, ulil amr lebih bersifat umum dan
bisa diusahakan oleh manusia. Pangkat ini meliputi segala jabatan tidak hanya
pemerintahan di tingkat pusat, tetapi pemimpin hingga tingkat paling bawah.
“Ulul amri tidak hanya mereka yang mendapat amanah memegang kekuasaan
pemerintahan. Namun, mencakup semua orang yang mendapat amanah, baik amanah di
bidang pemerintahan, legislatif, yudikatif, maupun kemasyarakatan.” Manusia
harus sadar bahwa ia merupakan makhluk yang memiliki banyak peran. Dalam
hubungannya dengan Tuhan ia merupakan hamba sekaligus khalifah di muka bumi, ia
juga merupakan angggota sosial keluarga dan lingkungan. Kesadaran akan peran
ini akan berdampak para proporsionalitas manusia sadar bahwa semua aspek ia
akan taat kepada Tuhan, bertanggung jawab atas keluarga dan lingkungan taat
kepada negara dan mampu berkontribusi bagi warga dunia lainnya. “Manusia
sendiri dalam hidup memiliki banyak peran ia menjadi pribadi unggul, sebagai
hamba Allah, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, sebagai
warga Negara,
dan sebagai warga dunia.” Kriteria pemimpin yang
digambarkan dalam Tafsir Tanwir tetap menjadikan Rasulullah dan Nabi Ibrahim
sebagai contoh pemimpin yang ideal yang perlu ditiru dan karakterkarakternya
perlu dimiliki oleh para pemimpin.8
Dalam konteks politik dan kepemimpinan
manusia, Al-Qur’an menggunakan beberapa redaksi kata untuk menyebut pemimpin
dari khalifah, imam dan ulil amr, meski ada kata lain seperti ra’i yang banyak
digunakan dalam hadis dan kata auliya’ yang kadang kala diterjemahkan atau
dimaknai pemimpin tapi dalam konteks Tafsir Tanwir yang baru terbit hanya
sampai Surah al-Baqarah yang belum rampung, maka hanya tiga kata yang sempat
disinggung yaitu khalifah, imam, dan ulil amr.9
Tafsir Tanwir mendefinisikan bahwa
khalifah adalah wakil Allah di bumi. Namun, kekuasaan yang diberikan Allah
kepada manusia itu harus dipahami sebagai sebuah amanah atau tanggung jawab
untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi. Kedudukan manusia
sebagai wakil Tuhan di muka bumi memiliki dua potensi yaitu bisa berbuat
kerusakan dan bisa berbuat kebaikan. Kecenderungan manusia dalam
mengaktualisasikan salah satu dari dua potensi itu akan sangat berpengaruh
terhadap kedudukannya sendiri. Kekuasaan yang diberikan oleh Allah membuat
manusia harus mampu memimpin dan mengelola dunia ini sesuai dengan keinginan
dan tujuan Allah, bukan untuk keserakahan dan ego manusia sendiri. Kedudukan
manusia sebagai pemimpin harus mampu membuat orang lain merasakan manfaat dan
kebaikan darinya. Orientasi untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain
harus menjadi oritentasi hidup setiap orang. Orientasi hidup untuk bermanfaat
bagi orang lain akan membuat manusia terhindar dari perbuatan yang sia-sia. Menurut
Tafsir Tanwir, orientasi hidup ini akan menjadikan manusia mencapai tujuan dari
penciptaannya. Manusia yang mampu menciptakan dan mengembangkan sistem
pengetahuan, sosial, dan artefak adalah orang yang paling berguna yang sesuai
dengan hadis riwayat al-Baihaqi dan Tabrani mengenai orang yang bermanfaat bagi
orang lain. Kemanfaatan berkaitan dengan kedudukan. Kedudukan dapat
menghasilkan manfaat dan mudharat. Jika manusia mampu menghasilkan manfaat dari
kedudukannya maka manusia telah menjadi manusia yang berguna. Nabi Muhammad
adalah contoh yang dapat dijadikan wujud dari manusia yang mampu menciptakan
dan mengembangkan sistem pengetahuan, sosial dan artefak.10
Kemuadian secara tegas, Tafsir Tanwir
mendefinisikan bahwa sosok imam itu mencakup pemimpin sosial dan politik, dan
status ini merupakan gelar, status, atau pangkat yang merupakan anugerah dari
Allah sama halnya seperti pangkat nabi dan rasul. Pangkat ini tidak
semerta-merta didapatkan oleh sembarangan orang. Oleh sebab itu, dengan
mengaitkan kondisi negeri kita, Tafsir Tanwir bahwa melihat kondisi Indonesia
yang beragam, dalam urusan memilih pemimpin tidak hanya menilai dari salah satu
aspek misalnya karena kesamaan golongan, suku, agama, ormas, dan partai politik
saja, tapi perlu dilihat dari semua aspek apakah calon pemimpin itu memang
layak untuk dipilih.
Berbeda dengan ulil amr lebih bersifat
umum dan bisa diusahakan oleh manusia. Pangkat ini meliputi segala jabatan
tidak hanya pemerintahan di tingkat pusat, tetapi pemimpin hingga tingkat
paling bawah. Ulul amri tidak hanya mereka yang mendapat amanah memegang
kekuasaan pemerintahan. Namun, mencakup semua orang yang mendapat amanah, baik
amanah di bidang pemerintahan, legislatif, yudikatif, maupun kemasyarakatan.11
Manusia harus sadar bahwa ia merupakan makhluk yang memiliki banyak peran.
Dalam hubungannya dengan Tuhan ia merupakan hamba sekaligus khalifah di muka
bumi, ia juga merupakan angggota sosial keluarga dan lingkungan.
Kesadaran akan peran ini akan berdampak para
proporsionalitas manusia sadar bahwa semua aspek ia
8 5 Yunahar Ilyas, Dkk,
Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2022), Jilid
II, 110 9 Untuk penggunaan beberapa kosakata dalam literatur Arab
yang menunjukkan aspek kepemimpinan bisa melihat, Masniati, ―Kepemimpinan Dalam
Islam,‖ Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 2, no. 1 (5 Juni
2015): 57–58, https://doi.org/10.24252/al-qadau.v2i1.2634 10 Majelis
Tarjih, Tafsir at-Tanwir, 214-215. 11 Majelis Tarjih, Tafsir
at-Tanwir, 440.
akan taat kepada Tuhan, bertanggung jawab atas keluarga dan
lingkungan taat kepada negara dan mampu berkontribusi bagi warga dunia lainnya.[8]
Kesimpulan
Tafsir
At-Tanwir ini lahir dari salah satu Ormas Islam terbesar dan tertua di
Indonesia yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang salah satu tujuan
disusunnya kitab ini ialah guna memperluas jangkauan karya ilmiah sarjana
Muslim di Indonesia dengan mengenalkan corak Islam yang berkembang di
Indonesia. Nama At-Tanwwir merupakan cerminan dari filosofi Muhammadiyah yaitu
sebagai at-Tanwir atau pencerahan. Maka dari itu kitab ini sering disebut
sebagai tafsir Al-Qur’an berkemajuan. Tafsir yang diharapkan dapat memeberikan
jawaban atas berbagai persoalan sosial kontemporer.
Kata Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad”
yaitu nama Rasulullah Saw.
yang diberi ya’ nisbah dan ta marbuthah yang berarti
pengikut Nabi Muhammad dengan harapan dapat mencontoh dan meneladani jejak
perjuangan Rasulullah dalam menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam.
Muhammadiyah adalah organisasi yang mendeklarasikan diri tidak akan terlibat
dalam dunia politik, dan memfokuskan diri pada program, kegiatan sosial,
ekonomi, pendidikan, dan dakwah.
Namun karena sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram menjadi
sinyal banyak kader
Muhammadiyah yang menginginkan organisasi ini terlibat
dalam politik bahkan mendirikan partai.
Munculnya Tafsir Tanwir merupakan salah
satu program yang dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta dan
merupakan bentuk dari gerakan pencerahan Muhammadiyah. Selain itu juga
merupakan bentuk keseriusan bahwa Muhammadiyah memang merupakan gerakan
pencerahan. Tafsir Tanwir menggunakan dua
corak yang digabungkan yaitu corak tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil
ra’yi. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penulisan tafsir ini adalah
pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani.
Tafsir Tanwir Muhamamdiyah menyoroti
kepemimpinan manusia sebagai tanggung jawab yang harus diperhatikan oleh
manusia . Kedudukan manusia sebagai pemimpin telah dibekal dengan beragam
potensi yang dengannya akan menghasilkan tujuan sebagaimana yang digariskan
dalam penciptaan. Manusia harus mampu mengelola alam dengan baik dan menjadi
wakil Tuhan yang berkreasi tetapi tetap berpegang teguh pada amanah.
Sebagai bentuk aktualisasi dan fungsi
dari kedudukannya sebagai pemimpin, manusia harus mampu menciptakan kedamaian
dan kesejahteraan. Kekuasaan tidak boleh membuatnya berbuat sewenang-wenang.
Semua manusia adalah pemimpin. Tetapi untuk posisi seorang imam yang menjadi
pemimpin sosial politik dan agama hanya diberikan kepada orang pilihan dan
merupakan hak Allah menentukannya. Sedangkan ulil amr adalah bersifat umum,
semua manusia bisa berusaha untuk meraihnya. Seorang manusia harus mampu
mengaktualisasikan segenap kekuatan yang dimilikinya. Memaksimalkan potensi dan
kodrat yang dianugerahkan oleh Allah untuk memimpin dan menjaga dunia dari
kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Gusyairi, “Manusia dalam
Perspektif al-Quran: Mengungkap Makna Konotatif Lafadz alInsan Secara
Psikologis. Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir, Jakarta: Institut Perguruan Tinggi
Ilmu al-Quran Jakarta, 2022, 47.
Yayasan penyelenggara
Peterjemah/Pentafsir al-Quran, al-Quran dan terjemahnya Departemen Agama. 1999,
h. 945.
Kazem Ostadi, “The Effext of Lexicogrhaphy’s Separation in
the First Two Centuries AH On the
Certainty of the Current Interpretation of the Qur’an and
Hadith”. Biannual Journal Quran and Religious Enlightement, Vol. 3, No. 1,
141-159
Dalia Abdelrahman Farrag, Rana Sobh, “Balanced Leadership
form an Islamic Perspective: Between
Philosophy and Practice”, dalam What Makes a Balanced
Leader?: An Islamic Perspective, editor, Noha El-Bassiouny et, all. (Berlin:
The Deutsche National bibliothek, 2022), 63.
Fata, Ahmad Khoirul. ―KEPEMIMPINAN
DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN POLITIK ISLAM | TINJAUAN JURNAL POLITIK.‖ JURNAL
REVIEW POLITIK 2, no. 1 (2012): 1–15.
Febriansyah, M. Raihan dkk. Muhammadiyah:
100 Tahun Menyinari Negeri. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, 2013. Gusmian,
Islah. ―TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA: SEJARAH DAN DINAMIKA.‖ Nun 1, no.
1 (2015): 32.
Hafniati. ―Aspek-Aspek Filosofi
Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an Dan As-Sunnah.‖ Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas
Agama 13, no. 1 (30 Juni 2018): 111–34. https://doi.org/10.24042/ajsla.v13i1.2947.
Hamdi, Ridho Al. ―Dinamika Islam Dan
Politik Elit - Elit Muhammadiyah Periode 1998-2010.‖ Jurnal Studi Pemerintahan
3, no. 1 (16 Februari 2012). https://journal.umy.ac.id/index.php/jsp/article/view/154.
[1] Dr. M. Nurdin Zuhri, S.
Th.I., M.S.I, Drs. Indal Abror, M, Ag, Tafsir
At-Tanwir MUHAMMADIYAH Teks, Konteks dan Integrasi Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Bildung, 2021)
[2] Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam (Bandung: Mizan,
2010). 224
[3] Egi Sukma Baihaki,
”Kepemimpinan Negara dalam Perspektif Tafsir Tanwir Muhammadiyah”, QUHAS, (Vol. 9
No. 1 2020), hlm. 76
[4]
Egi Sukma Baihaki, “Kepemimpinan Negara dalam Perspektif Tafsir Tanwir
Muhammadiyah”, QUHAS, (Vol. 9 No. 1
2020), hlm. 78
[5]
Dr. M. Nurdin Zuhri, S. Th.I., M.S.I, Drs. Indal Abror, M, Ag, Tafsir At-Tanwir MUHAMMADIYAH Teks, Konteks
dan Integrasi Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Bildung, 2021), hlm. 10
[6]
Dr. M. Nurdin Zuhri, S. Th.I., M.S.I, Drs. Indal Abror, M, Ag, Tafsir At-Tanwir MUHAMMADIYAH Teks, Konteks
dan Integrasi Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Bildung, 2021), hlm. 2
[7]
Muhammad Taufiq, “EPISTEMOLOGI TAFSIR MUHAMMADIYAH DALAM TAFSIR AT-TANWIR”, Jurnal
Ulunnuha, (Vol. 8 No.2, 2019)
[8] Majelis Tarjih, Tafsir
at-Tanwir, 72-78.
0 Komentar