A. Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur’an dari malaikat Jibril secara bertahap dalam kurun waktu sekitar 23 tahun. Sejarah mencatat bahwa selama kurun waktu tersebut Nabi Muhammad SAW tidak hanya menetap di Makkah, tetapi sering bepergian dan berpindah ke kota lain, seperti Madinah. Proses turunnya Al-Qur’an dan perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW tersebut tentu sangat berpengaruh pada sejarah dan perkembangan qira’at.
Di kalangan ulama terdapat dua pendapat
yang menjelaskan tentang kapan qira’at mulai muncul, yaitu: pertama, qira’at turun di Makkah bersama
permulaan turunnya wahyu Al-
Qur’an. Pendapat ini diperkuat dengan argumen bahwa
kebanyakan surat dalam Al-Qur’an turun di Makkah dan didalamnya ada qira’at,
tetapi tidak berlaku dengan surat-surat yang turun di Madinah. Kedua, qira’at diturunkan di Madinah
sesudah Nabi Muhammad SAW hijrah dan telah banyaknya orang yang memeluk agama
islam dari berbagai suku dan kalangan dengan bahasa dan lahjah[1]
mereka masing-masing. Sehingga dibutuhkan qira’at yang beragam untuk
mempermudah umat islam dalam mempelajari dan membaca Al-Qur’an.[2]
Analisis tempat yang menjadi permulaan
turunnya qira’at di atas, memberikan pemahaman bahwa qira’at telah ada sejak
masa Nabi Muhammad SAW, hal ini sekaligus membantah pandangan suatu kalangan
yang mengatakan bahwa qira’at merupakan hasil karangan dari para imam qira’ah
melainkan sebuah tauqifi yang
langsung diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dan disandarkan pada sistem
sanad.
Adapun tahapan perkembangan ilmu qira’at
ini para ulama pun membagi menjadi dua periode, yaitu: pertama, periode riwayat syafawiyah adalah periode periwayatan
melalui talaqqi dengan cara hafalan dan tulisan melalui kodifikasi. Periode ini
di mulai sejak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul sampai masa penyempurnaan
mushaf Utsmani dengan pemberian tanda baca oleh Abu Al-Aswad Ad-Dua’alli pada
tahun 60 H. Kedua, periode pembukuan
qira’at yang dimulai sejak Abu Aswad ini melakukan usaha pemberian tanda baca
yang berlangsung dari tahun 60 H sampai tahun 255 H. Untuk lebih memudahkan
menelusuri dinamika qira’at, penulis akan membagikan sejarah singkat
perkembangan qira’atul qur’an pada periode pertama yakni pada masa Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah qira’atul qur’an pada masa Nabi Muhammad?
2. Bagaimana perkembangan qira’atul qur’an pada masa sahabat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah qira’atul qur’an pada masa Nabi
Muhammad.
2. Untuk mengetahui perkembangan qira’atul qur’an pada masa sahabat.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ilmu Qira’atul Qur’an Pada Masa
Nabi Muhammad
Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur’an
dari malaikat Jibril secara bertahap dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.
Sejarah mencatat bahwa selama kurun waktu tersebut Nabi Muhammad SAW tidak hanya menetap di Makkah, tetapi
sering bepergian dan berpindah ke kota lain, seperti Madinah. Proses turunnya
Al-Qur’an dan perjalanan dakwah Nabi SAW tersebut berdampak pada bertambahnya
pengikut agama islam dan bertambah terkenalnya dakwah islam di pelosok Arab
yang notabene kondisinya beragam bacaan dan qira’at. Keragaman masyarakat Arab
ini sudah ada sejak sebelum Islam datang, sebab kabilah-kabilah bangsa Arab
terdiri dari beragam etnik, bahasa dan dialek. Keragaman ini memiliki karakter
sendiri-sendiri. Dengan mempertimbangkan kondisi seperti inilah, Nabi SAW
memohon kepada Allah supaya tidak menurunkan Al-Qur'an dengan satu huruf saja.
Permohonan Nabi SAW ini bisa diketahui melalui hadis yang diriwayatkan oleh
Imam At-Tirmidzi dalam kitab
Sunannya, diceritakan bahwa:[3]
عَنْ ا بُٔيَ بْنِ كَعَبْ
قاَلَ لقَيَِ رَسُٔوْلُٔ هاللِّٰ صَلىَّ هاللُّٰٔ عَليَْهِ وَسَلمََّ
جِبْرِيْلَ فقَاَلَ ياَ جُٔبْرِيْلُٔ إ ن ي بعُِْْٔ ُٔ ُ إلىَ ُُٔ ََّّ ٍ ُُٔ ي يْنَ َِّ
ُُْْٔمُُٔٔ الْعَ ُٔوْ ُُٔ وَالشَّيْخ ُٔ
الْكَبيِْرُٔ وَالْغُٔلََمُٔ وَالْ َُارِئٍَُ وَالرَّجُٔلُٔ الذَِّي لمَْ يقَْرَُُٔ كِتاَباً قطَُّ
قاَلَ ياَ ُٔحَمَّدُٔ إنَِّ الْقرُْٔآنَ
انُْٔزِلَ عَلىَ سَبعَْ ٍِ حَْرُٔ ف . رواه
الترَّذى
“Dari
Ubay bin Ka’ab dia berkata: ‘Rasulullah menjumpai malaikat Jibril sembari
berkata, “ Wahai Jibril! Aku telah diutus kepada sebuah umat yang buta aksara.
Diantara mereka ada yang lanjut usia, hamba sahaya lelaki maupun perempuan.,
dan orang yang sama sekali tidak mengenal aksara’. Malaikat Jibril berkata:
‘Wahai
Muhammad,
sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf’.”
قاَلَ رَسُٔوْلُٔ هاللِّٰ صَلىَّ هاللُّٰٔ عَليَْهِ
وَسَلمََّ قاَلَ قَْرَ نَيِ جِبْرِيْلُٔ عَلىَ حَرْ ف فرََاجَعْتهُُٔٔ فلَمَْ اُ َ
َ لْ اسَْتزَِيْدُٔهُٔ وَيزَِيْدُٔنِيْ
حَتىَّ إنْتَُ ىَ
إلىَ سَبْعَ ٍِ حَْرُٔ ف
“Rasulullah SAW
bersabda: Jibril telah membacakan (Al-Qur’an) padaku dalam satu huruf, maka aku
mengulang-ngulangnya. Lalu aku meminta kepadanya supaya ditambahkan, dan dia
menambahkannya sampai menjadi tujuh huruf.” (HR. Bukhari) Hadis-hadis
diatas menginformasikan bahwa Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
tidak hanya dalam satu bentuk, namun dalam tujuh bentuk atau bacaan, yang
kemudian dikenal dengan sab’atu ahruf.4
Dalam memaknai sab’atu ahruf ini
para ulama berbeda pendapat. Tapi dari banyaknya perbedaan pendapat harus
digaris bawahi dalam mengamati sab’atu
ahruf bahwa Nabi SAW mengajarkan
Al-Qur’an kepada para sahabatnya, diantaranya: dengan tujuh mutaghayyirah
(beragam bacaan), beragam bacaan tersebut semuannya munazzalah atau diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya atau
semuannya berasal dari Allah melalui Nabi-Nya, dan tujuan dari semuannya adalah
untuk memudahkan bagi umatnya.5
Keragaman huruf Al-Qur’an ini bukanlah
suatu masalah bagi kaum muslim, justru memiliki manfaat yang sangat besar.
Sebab dengan hal ini diharapkan dapat memudahkan kabilah-kabilah Arab untuk
mengartikulasikan Al-Qur’an dengan huruf yang mudah bagi mereka. Dan terbukti
bahwa ragam huruf yang diturunkan sangat membantu kabilah bangsa
Arab pada saat itu. Selain itu, keragaman huruf Al-Qur’an
memanglah suatu hal yang tauqifi dari
Allah dan bukanlah karangan para ulama seperti yang dituduhkan oleh sebagian
orang. Dengan adanya keragaman huruf Al-Qur’an ini menjadi cikal bakal adanya
ilmu qira’atul qur’an di dunia Islam. Keragaman qira’at Al-Qur’an ini
Rasulullah ajarkan secara langsung kepada para sahabat. Sehingga ketika beliau
masih hidup jika terdapat perselisihan di antara para sahabat tentang qira’at
Al-Qur’an bisa langsung dikonfirmasikan kebenarannya kepada beliau, seperti
yang terjadi antara Hisyam Ibn Hakim dan Umar Ibn Khattab:
“Aku
(Umar) mendengar Hisyam Ibn Hakim membaca surta Al-Furqan di masa hidup
Rasulullah. Lalu aku sengaja mendengarkan bacaannya. Tiba-tiba dia membaca
dengan beragam bacaan yang Rasulullah belum pernah membacakan kepadaku. Hampir
saja aku serang dia dalam shalat, tetapi aku berusaha sabar sampai dia
melakukan salam. Begitu dia salam, aku pun tarik leher bajunya, lalu aku
bertanya: ‘Siapa yang
4 Ibnu Arabi sebagaimana dikutip oleh Az-Zarkasyi di dalam
Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an menyebutkan tentang perbedaan makna sab’atu ahruf dikalangan ulama:
لمَْ
يأَتِْ فيِ ََّعْْ ىَ هذََا السَّبْعِ نصٌَّ وَلََ ثَرٌَ وَاخْتلَفََ الْ اَّسُٔ
في تعَْييِْْ ُِاَ
“Tidak ada satu pun
penjelasan yang menentukan arti sab’atu ahruf ini. Oleh karena itu, para ulama
berbeda pendapat.”
Ada yang berpendapat bahwa
tujuh huruf itu maksudnya tujuh bahasa yang berbeda meski masih dalam keluarga
bahasa Arab juga, seperti bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah,
Tamim dan Yaman. Ada lagi yang berpendapat yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh wajah, yaitu amr (perintah), nahyu (larangan), wa’ad (janji),
wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal
(perumpamaan). Yang lain menafsirkan bahwa bilangan tujuh itu bukan bilangan
antara 6 dan 8, tetapi maksudnya menunjukkan jumlah yang banyak.
5 Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan
Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2019), hlm. 39-41.
mengajarkan bacaan
surat yang barusan kamu baca?’ Dia (Hisyam) menjawab:
‘Rasulullah
yang mengajarkan kepadaku’. Aku (Umar) berkata: ‘Kamu berbohong sesungguhnya
Rasulullah telah membacakan (mngajarkan) surat itu kepadaku tidak seperti yang
kamu baca’. Maka aku mengajak dia menghadap Rasulullah, lalu aku berkata:
‘Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dengan bacaan
yang tidak sama dengan yang Engkau bacakan kepadaku’. Lalu Rasulullah menyuruh
Hisyam untuk membaca kembali surat Al-Furqan. Lantas Hisyam pun membacanya
sebagaimana yang tadi aku dengar. Lalu Rasulullah bersabda:
‘Demikianlah
bacaan surat ini diturunkan’. Kemudian Rasulullah menyuruh aku membaca surat
yang sama. Lalu aku membacanya dengan bacaan yang dibacakan
(diajarkan)
Rasulullah kepadaku. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Demikianlah bacaan surat
ini diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf, maka
bacalah mana yang kamu rasa mudah’.”[4]
Riwayat ini menggambarkan bahwa ketika
Rasulullah masih hidup para sahabat langsung belajar dan talaqqi bacaan
Al-Qur’an yang malikat Jibril wahyukan kepadanya, sehingga tidak ada satupun
kesalahan. Beliau juga bertindak sebagai hakim ketika ada beberapa sahabat yang
berselisih mengenai huruf atau bacaan Al-Qur’an.
Dalam memperkenalkan keragaman bacaan
Al-Qur’an atau ilmu qira’atul qur’an kepada sahabat, Nabi SAW memperkenalkannya
dalam bentuk bahasa lisan sebagaimana yang diajarkan oleh malaikat Jibril.
Setiap ayat yang turun dihafal dengan baik oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian
beliau mengajarkan kepada para sahabat. Perihal orisinalitas Al-
Qur’an sudah dijamin oleh Allah, sehingga tidak perlu
diragukan lagi. Sebab yang dijadikan tolak ukur dalam penukilan Al-Qur’an
adalah hafalan yang berada dalam memori Rasulullah dan para sahabatnya, bukan
didasarkan pada dokumentasi tertulis berupa suhuf maupun mushaf.
B. Sejarah Ilmu Qira’atul Qur’an Pada Masa
Sahabat
Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal
Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan sudah disampaikan kepada kaum
muslim. Selain itu, banyak para sahabat yang telah menghafal Al-Qur’an dengan
huruf yang mereka pelajari langsung dari Nabi SAW, karena memang tradisi
menghafal Al-Qur’an masih sangat populer pada masa sahabat dan dengan cara
itulah keorisinilan Al-Qur’an bisa terjaga. Hingga saat terjadinya perang
Yamamah pada tahun 11 H yang menelan sekitar 70 penghafal Al-Qur’an. Peristiwa
ini membuat Umar Ibn Khattab merasa sangat resah, karena takut Al-Qur’an tidak
bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Lantas Umar pun mengambil tindakan
dengan mengajukan usulan pengumpulan dan penulisan
Al-Qur’an kepada Abu Bakar yang pada saat itu adalah
seorang khalifah. Awalnya Abu Bakar menolak, namun akhirnya beliau menerima
usulan tersebut dengan menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai koordinator. Dalam
mengemban tugas berat itu Zaid dibantu oleh sahabat lain, seperti: Ubay bin
Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin
Ubaidillah, Huzaifah Al Yaman, Abu Darda’, Abu Hurairah, dan Abu Musa
Al-Asy’ari.
Mushaf hasil kodifikasi pertama ini
merupakan mushaf standar yang keabsahannya disepakati. Meskipun demikian,
sahabat boleh membaca Al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mereka terima dari
Nabi SAW dan sesuai dengan naskah yang berbeda ditangan mereka masing-masing.
Perbedaan bacaan Al-Qur’an di kalangan sahabat tidak menimbulkan persoalan
karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qira’at tersebut bukan hasil
rekayasa atau ijtihad mereka. Kelonggaran untuk menggunakan qira’at yang
berkembang di kalangan sahabat berjalan hingga masa khalifah Umar. Para sahabat
dengan qira’at masingmasing membuka halaqah pembelajaran Al-Qur’an sesuai
dengan qira’at yang mereka kuasai. Karena itu, masyarakat menisbatkan bacaannya
kepada masing-masing sahabat, seperti: qira’at
Ibn Mas’ud, qira’at Zaid bin Tsabit, qira’at Ibn Abbas, dan
lain sebagainya.[5]
Setelah wafatnya Abu Bakar, ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikumpulkan dan
ditulis dalam bentuk lembaranlembaran dijaga oleh Umar bin Khattab yang pada
saat itu menjadi khalifah II. Khalifah Umar tidak menggandakan lagi kumpulan
shahifah atau lembaran (mushaf) itu, karena memang hanya untuk dijadikan
sebagai naskah asl, bukan sebagai bahan hafalan. Setelah itu, mushaf tersebut
diserahkan kepada Hafshah, istri Rasulullah.
Sepeninggal khalifah Umar, jabatan
khalifah beralih kepada Ustman bin Affan. Pada masa Utsman ini, dunia Islam
banyak mengalami perkembangan, wilayah Islam sudah sedemikian luas, dan
kebutuhan umat untuk mengkaji Al-Qur’an juga semakin meningkat.
Banyak penghafal Al-Qur’an yang ditugaskan ke berbagai
provinsi untuk menjadi imam sekaligus sebagai ulama yang bertugas mengajarkan
Al-Qur’an. Misalnya: Ubay bin Ka’ab dikirim ke Syiria, Abdullah ibn Mas’ud
dikirim ke Kuffah, Abu Musa Al-Asy’ari dikirim ke Basrah, dll. Seperti yang
sudah disinggung sebelumnya, versi qira’at yang dimiliki dan diajarkan
masing-masing sahabat ahli qira’at tersebut berbeda antara satu dengan yang
lain. Hal ini memunculkan dampak negatif di kalangan umat Islam di kemudian hari.
Situasi seperti ini membuat Khalifah Utsman cemas.
Menurut catatan sejarah, ketika
terjadinya perang Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, di antara pasukan yang ikut menyerbu
adalah Huzaifah bin Al-Yaman. Huzaifah melihat di kalangan tentara Islam ketika
itu terjadi banyaknya perbedaan dalam membaca Al-Qur’an, masing-masing mereka
memegang teguh apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka, bahkan sebagian
mereka sampai mengkafirkan sebagian yang lain. Berita ini pun kemudian sampai
kepada khalifah Utsman. Selanjutnya khalifah Utsman mengirim utusan untuk
menemui Hafsah dengan maksud meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Dan
Hafsah pun meminjamkannya. Khalifah Ustman juga memanggil Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan Abdurrahman
bin Haris bi Hisyam.[6] Lalu
Utsman memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf Abu Bakar.
Adapun petunjuk dari Utsman kepada tim penulis, yaitu: “Jika kalian bertiga dan Zaid bin
Tsabit berselisih
pendapat tentang qira’atul qur’an, maka tulislah dengan ucapan atau lisan
Quraisy. Karena Al-Qur’an diturunkan dengan lisan Quraisy”.[7]
Pesan ini disampaikan mengingat Zaid adalah orang Anshar, sedangkan ketiga
anggota yang lain berasal dari suku Quraisy. Pesan lain dari Utsman yakni agar
qira’at yang diakomodir dalam mushaf adalah qira’at yang sudah dikoreksi
dihadapan Nabi SAW, sehingga qira’at yang sudah dinaskh atau periwayatannya
ahad tidak lagi digunakan dalam mushaf standar.
Setelah ‘panitia empat’ menyelesaikan tugasnya, khalifah Utsman mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian mengirimkan beberapa mushaf ke berbagai kota beserta guru ahli qira’at Al-Qur’an. Diantara kota yang menerima mushaf Utsmani ini adalah: Makkah sebagai arsip negara, Syam (Damaskus) beserta Al-Mughirah bin Abi Syihab, Basrah beserta Amir bin Abd al Qais, Kuffah beserta Abu Abdurrahman As-Sulami dan Madinah beserta Zaid bin Tsabit. Pendistribusian mushaf ke banyak kawasan inilah yang menjadi faktor utama terbentuknya madzhab-madzhab qira’at dibeberapa kawasan Islam. Dan menjadi cikal bakal lahirnya imam qira’at yang dipopulerkan oleh Ibnu Mujahid sebagai imam qira’ah sab’ah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keragaman bacaan atau qira’at masyarakat
Arab sudah ada sejak sebelum Islam datang, sebab masyarakat Arab terdiri dari
beragam etnik, bahasa dan dialek yang mana memiliki karakter sendiri-sendiri.
Dengan mempertimbangkan kondisi seperti ini, Nabi Muhammad memohon kepada Allah
supaya tidak menurunkan Al-Qur’an dengan satu huruf saja. Lantas Allah pun
mewahyukan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW dalam tujuh bentuk atau bacaan,
yang kemudian dikenal dengan sab’atu ahruf. Tujuh bacaan ini ini pun Rasulullah
ajarkan secara langsung kepada para sahabat dengan metode talaqqi bacaan
sebagaimana yang diajarkan oleh malaikat Jibril, sehinggan ketika terdapat
perselisihan di antara para sahabat tentang qira’at Al-Qur’an bisa langsung
dikonfirmasikan kebenarannyakepada beliau, seperti yang terjadi antara Hisyam
Ibn Hakim dan Umar Ibn Khattab.
Setelah Nabi SAW wafat, Al-Qur’an sudah
diturunkan secara sempurna dan sudah disampaikan semua kepada para sahabat.
Sehingga banyak para sahabat yang telah mengahafal Al-Qur’an pada saat itu.
Hingga pada masa khaifah Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang menelan 70 orang
para penghafal. Peristiwa ini membuat Umar Ibn Khattab merasa sangat khawatir,
jika Al-Qur’an tidak bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Lantas pada
saat itu, Umar mengusulkan kepada Abu Bakar supaya diadakannya kodifikasi atau
pengumpulan Al-Qur’an. Usulan tersebut disetujui dan ayat-ayat Al-Qur’an pun
sudah terkumpul dalam sebuah mushaf. Mushaf hasil kodifikasi pertama ini
merupakan mushaf standar yang keabsahannya disepakati. Meskipun demikian,
sahabat boleh membaca Al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mereka terima dari
Nabi SAW dan sesuai dengan naskah yang berbeda ditangan mereka masing-masing.
Perbedaan bacaan Al-Qur’an di kalangan sahabat tidak menimbulkan persoalan
karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qira’at tersebut bukan hasil
rekayasa atau ijtihad mereka. Kelonggaran untuk menggunakan qira’at yang
berkembang di kalangan sahabat berjalan hingga masa khalifah Umar. Para sahabat
dengan qira’at masing-masing membuka halaqah pembelajaran Al-Qur’an sesuai
dengan qira’at yang mereka kuasai. Namun, pada masa khalifah Utsman perbedaan
qira’at ini menjadi masalah yang cukup serius di kalangan umat Islam.
Masing-masing kalangan memegang teguh apa yang mereka pelajari dari guru-guru
mereka, bahkan sebagian mereka sampai mengkafirkan sebagian yang lain. Dengan
melihat kondisi seperti ini, khalifah Utsman pun memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris untuk menyalin dan
memperbanyak mushaf Abu Bakar. Kemudian beberapa mushaf tersebut dikirimkan ke
berbagai kota beserta guru ahli qira’atnya.
B. Saran
Dari penjelasan di atas, diharapkan
dapat menambah wawasan para pembaca. Sehingga alangkah baiknya untuk menbaca
dan mempelajari sejarah qira’atul qur’an ini dengan sungguhsungguh. Karena
dengan adanya ilmu qira’at ini dapat mencegah sikap menyalahkan orang lain
ketika membaca Al-Qur’an dengan qira’at yang berbeda. Selain itu, ilmu ini juga
diperlukan dalam meneliti keabsahan Al-Qur’an baik dari segi bacaan atau
pengucapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. (2011). Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa.
Az-Zarkasyi. (2006). Al-Burhan fi Ulumil Qur’an. Kairo: Darul Hadits.
Buku Pembelajaran Ilmu Qira’at I. Hlm.
26-27
Jamal, Khairunnas dan Afriadi Putra.
(2020). Pengantar Ilmu Qira’at.
Yogyakarta: Kalimedia.
Muhammad, Ahsin Sakho. (2019). Membumikan Ulumul Qur’an. Jakarta: PT.
Qaf Media Kreativa.
Ningrum, Dewi Aprilia. (2019). Ahruf
Sab’ah: Sejarah dan Eksistensinya. Journal
of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 8, No. 01. Hlm. 80-81.
Sarwat, Ahmad. Ilmu Qiraat. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
Sholihah, Izzatus. (2021). Mengenal
Ilmu Qira’at dalam Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya. Jurnal Samawat. Vol. 05, No. 01. Hlm. 22.
[1] Dalam kamus Al-Munjid
disebutkan bahwa lahjah berarti
bahasa manusia yang menjadi karakter dan dibiasakan olehnya.
[2] Khairunnas Jamal dan
Afriadi Putra, Pengantar Ilmu Qira’at
(Yogyakarta: Kalimedia, 2020), hlm. 1920.
[3]
Izzatus Sholihah, “Mengenal Ilmu Qira’at dalam Al-Qur’an dan Sejarah
Perkembangannya”, Jurnal Samawat,
(Vol. 05, No. 01, 2021), hlm. 22.
[4] Dewi Aprilia Ningrum,
“Ahruf Sab’ah: Sejarah dan Eksistensinya”, Journal
of Qur’an and Hadith Studies, (Vol. 8, No. 1, 2019), hlm. 80-81.
[5] Buku Pembelajaran Ilmu Qira’at I, hlm. 26-27.
[6] Ahmad Sarwat, Ilmu Qiraat, (Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing), hlm. 24.
[7] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2011), hlm. 192-193.
0 Komentar