PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia. Pengetahuan tentang Al-Qur'an terdapat di semua negara, baik Arab maupun bukan. Namun, memahami Al-Qur'an tidaklah mudah. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang fasih berbahasa Arab.
Tafsir merupakan salah satu karya yang banyak dibuat oleh para ulama untuk memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memahami hikmah Al-Qur'an. Interpretasi adalah kemampuan memahami makna Al-Qur'an. Padahal menurut alAshfahany, tugas manusia yang paling mulia dan terpuji adalah menerjemahkan dan menafsirkanAl-Qur'an. Pengetahuan ini diperlukan untuk menemukan
interpretasi yang benar terhadap AlQur'an. Oleh karena itu, seseorang yang
menafsirkan Al-Qur'an tanpa pengetahuan khusus
dianggap tidak mampu melakukan penafsiran berdasarkan pengetahuan.
Sifat
ilmiah dari tugas yang dihadapi oleh seorang penafsir Al-Quran tidak dapat
disangkal menantang dan sangat signifikan. Hal ini terutama disebabkan oleh
fakta bahwa fokus studi mereka adalah Al-Qur'an, yang dianggap sebagai Firman
Tuhan (kalamullah) . Pada hakikatnya tingkat pengetahuan yang dimiliki
masing-masing penafsir pada umumnya sama, hanya sedikit variasinya.
Perbedaannya terletak pada kemahiran mereka dalam menjelaskan makna-makna yang
tersembunyi, ambigu, dan penuh teka-teki yang ada di balik permukaan ayat-ayat
tersebut. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan pendapat dan penafsiran
terhadap ayat-ayat AlQuran.
Dalam
menjelaskan al-Qur'an para ulama memiliki beberapa ragam metode penyajian makna
dan kandungan al-Qur'an tersebut, baik dari yang konvensional hingga yang
modern dan dianggap menjadi solusi. Ada kecenderungan yang memprihatinkan di
kalangan pendakwah tertentu yang menjadi ragu-ragu untuk mengandalkan
dalil-dalil yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah, baik dalam urusan duniawi
maupun agama. Mereka berpendapat bahwa bersumber dari kitab-kitab fiqih saja
sudah cukup, meskipun terdapat banyak persoalan dan kontroversi di dalamnya.
Konsekuensinya, setiap perkataan yang diucapkan seorang faqih dianggap sebagai
kebenaran hakiki dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Menyadari permasalahan
tersebut, Al-Qasimi berupaya membangun kerangka kerja yang mengedepankan
keaslian Al-Qur'an dan Sunnah sebagai landasan utama segala urusan.
Di antara
beberapa kitab tafsir yang telah disusun oleh para ulama adalah kitab tafsir
Mahasin al-Ta'wil karya Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, seorang ulama
kontemporer yang berguru dengan Muhammad Abduh dan juga satu majelis ilmu
dengan Syaikh Rasyid Ridha maupun Aisyah Abd al-Rahman atau yang popular dengan
Bintu Syathi (puteri pantai) menyajikan penjelasan al-Qur'an dalam kitab tafsir
tersebut dengan metode tahlili, yakni menjelaskan ayatayat al-Qur'an dengan
panjang lebar dan memulainya dari surat al-Fatihah sebagai pembuka dan al-Nas
sebagai surat terakhir dalam rangkaian Mushaf Ustmani.
PEMBAHASAN
Biografi Al-Qasimi
Al-Syekh Muhammad Jamal al-Din
al-Qasimi lahir pada tahun 1283 H / 1866 M dan meninggal pada tahun 1332 H/
1914 M, selama 49 tahun[1]
Al-Qasimi dilahirkan dan wafat di Damaskus.[2] Nama
lengkapnya adalah Muhammad Jamal al-Din Abul Faraj bin Muhammad Sa’id bin Qasim
bin Salih bin Isma’il bin Abi Bakar . Namun namanya Al-Qasimi yang cukup
dikenal di kalangan umat Islam. Sebab, namanya dikaitkan dengan leluhurnya
yaitu al-Syaikh Al-Qasim atau dikenal juga dengan sebutan Al Imam atau dikenal
juga dengan sebutan Al-Halaq, seorang faqih terkenal dari Syria dan seorang yang alim pada masanya. Ayahnya
Muhammad Sa’id adalah seorang ulama dan penulis terkenal pada masanya. Bahkan
tidak sampai disitu saja, alasan ia menjadi ahli sastra adalah karena
kecintaannya terhadap sastra.[3]
Pada tahun-tahun awal
hidupnya, ayahnya sibuk dengan usaha dagangnya. Nama ibunya adalah Aisyah binti
Ahmad Jubainah, nenek dari pihak ayah adalah Fatimah binti Muhammad alDasuqi,
dan dia dilahirkan di lorong sempit sekolah, dekat Istana Hijaz, tempat dia
tinggal, kata orang tua Al-Qasimi. Rumah besar itu memiliki banyak ruangan dan
kolam besar di tengahnya. Al-Qasimi tumbuh dalam keluarga yang terkenal menjaga
tradisi agama dan memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi. Ayahnya adalah seorang sarjana dan penulis. Pikiran
dari pikirannya mulai terungkap di hadapannya. Ia banyak melakukan penelitian
di perpustakaan pribadi yang didirikan oleh kakeknya, warisan ayahnya.
Perpustakaan ini mempunyai banyak buku tentang tafsir, hadits, fiqh,
linguistik, tasawuf, sastra, sejarah, ushul, sosiologi, olah raga, perbandingan
hukum, filsafat klasik dan dunia modern, serta beberapa buku tentang kelompok
Islam dan agama lain.
Jamaluddin
al-Qasimi merupakan pengagum Ibnu Taimiyah sehingga termasuk golongan madrasah
salafi. la mencapai kemahiran yang luas dalam meneliti dan menguasai
keilmuannya. Hingga ia sendiri menceritakan tentang dirinya bahwa Allah telah
melimpahkan karunia-Nya. la mendengar shahih Muslim, baik secara riwayat atau
dirayah di satu majelis selama 40 hari; sunan Ibnu Majah selama 21 hari;
Muwatta selama 19 hari dan melihat sendiri kitab Taqrib al-Tahdzib karya Ibnu
Hajar serta merevisi kesalahan yang ada di dalamnya, memperkokoh dan
mensyarahnya dari catatan yang amat sah dan ia berkata "kitab ini saya
baca diiringi dengan yang lainnya lalu aku berjuang dengan diri dan
penglihatanku hingga aku sakit mata". la dituduh jadi da'i mazhab baru yang
dikenal dengannama mazhab Jamali, la ditangkap dan diminta keterangan. Akan
tetapi ia menjawab tuduhan itu dan membuktikan ketidak benarannya dan ia pun
dilepaskan.[4]
Imam
Jamaluddin al-Qasimi memulai karir ilmiahnya sebagai guru pada masa ayahnya
masih hidup, dan setelah kematian ayahnya
ia pindah ke jabatannya di Masjid Sananin di Damaskus. Semangat
belajarnya tumbuh melalui komposisi, perkuliahan, kritik dan penyuntingan, dan
tulisan serta karyanya berkembang hingga
mencakup lebih dari 80 buku, baik yang dicetak maupun yang telah diedit, dokumen
aslinya sendiri (makhtuthat). Faktanya, ada yang mengatakan dia berhenti dari
lebih dari 100 pekerjaannya dalam waktu kurang dari 50 tahun.
Al Qasimi
dan orang-orang sezamannya menganggap puisi sebagai karya sastranya yang paling
menginspirasi. Keindahan teks menjadi teladan yang harus selalu diikuti penulis
ketika menulis. Setelah itu muncullah jenis tulisan (thariqah tharassul).
Muhammad Abduh merupakan salah satu ulama yang memanfaatkan dan mendukung
pendistribusiannya. Al-Qasimi adalah pengagum Muhammad Abduh. Ia
menggunakan prosa dan puisi dalam banyak
tulisannya setelah perkenalannya dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904.
Karya-karya
Kitab
Al-Qasimi
adalah seorang yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu-ilmu keislaman, dan seni.
Selain itu, beliau juga menghasilkan beberapa karya di bidang lain, seperti
tauhid, hadis, akhlak, tarikh dan ilmu kalam. Selain menulis beberapa buah
kitab, al-Qasimi juga mempublikasikan buah fikirannya di majalah-majalah dan
suhuf-suhuf. Total karya al-Qasimi berjumlah 72 kitab. Di antara karya-karya
al-Qasimi adalah:[5]
a. Mahasin al-Tawil Fi Tafsir Quran al-Karim
b. Faslu al-Karim fii Haqiqat audi Ruh ilal Mayyiti hina al-Kalam
c. Al-Bahsu fii Jarni il al-Qira'ati al-Utarifalaiha
d. Dalail at-Tauhid
e. Mauidratul Mukmin min Ihya Ulumuddin
f. Qawaid at-Tahdis Fi Funun Mutstalah al-Hadis
Latar Belakang Penulisan Kitab Mahasin at-Ta’wil
Tafsir
adalah anak zaman. Dengan demikian, Tafsir selalu mencerminkan hakikat tempat
dan waktu penciptaannya. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji konteks sosial
dan budaya di mana kitab Tafsir itu
muncul. Penting untuk dipahami dalam kondisi dan pengaruh apa bukubuku tafsir
ini diproduksi. Begitu pula dengan kitab Mahasin At-Ta’wil.[6] Kitab tafsir ini muncul di tengah
zaman, di mana terjadibenturan di antara dua peradaban yang berbeda. Benturan
yang terus-menerus antara Islam dengan gerakan internasional orientalismedan
misionarisme pada pertengahan kedua abad ke-19 dan awalabad ke-20, di mana
serangan kolonialis kafir terhadap dunia Islammencapai puncaknya.[7]
Benturan antara dua peradaban
ini diiringi muatan kepentingan yang bukan saja berkaitan dengan aspek
teologis, juga berkaitan dengan aspek ekonomi dan aspek kekuasaan. Benturan dan
perang wacana ini pun terjadi di tempat tinggal al-Qasimi, yaitu negeri Syam.
Tak pelak lagi, negeri Syam menjadi tempat persemaian yang subur bagi gerakan
kaum misionaris dan para pengikutnya. Ditengah-tengah suasana inilah al-Qasimi
menulis karya tafsirnya. Selanjutnya, tafsir karya al-Qasimi ini dipublikasikan
pertamakali oleh penerbit Dar Ihya’ al-Kutub al‘Arabiyyah Kairo sebanyak tujuh
belas juz. Dalam usaha penerbitan kitab ini, dilibatkan
Muhammad Bahjat al-Baithar, salah seorang anggota Majma’
al-‘Ilmi al-‘Arabi, untuk menelitinya. Atas usaha inilah kitab tafsir Mahasin
at-Ta’wil ini bisa sampai ke hadapan kita.[8]
Sumber Penafsiran
Terkait
dengan sumber penafsiran, pernyataan Roland Barthes sangat urgen untuk
diperhatikan. Barthes menyatakan bahwa pada dasarnya tulisan itu tidak ada yang
orisinal. Teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber
budaya.[9]
Begitu pula dengan tafsir karya al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil. Kitab ini banyak
dipengaruhi oleh beberapa pemikiran dan beberapa literatur. Sebagai rujukan
utama, al-Qasimi mengambil dari empat sumber.
Pertama,
hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, al-Qasimi banyak mengambil hadis
dari kitab-kitab hadis tulisan al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad ibn
Hanbal, Malik ibn Anas, [10]Ibnu
Hibban, dan lain-lain. Kedua, perkataan dan pendapat parasahabat.[11]
Ketiga, dari para penutur bahasa Arab asli. Alasan al-Qasimi mempertimbangkan
para penutur bahasa Arab asli sebagai sumber penafsiran cukup menarik. Sebab,
menurut al-Qasimi, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Jadi, untuk
mengetahui maknanya, kita harus menguasai bahasa Arab. Keempat, kekuatan ra’yu
dalam menangkap makna Al-Qur’an.
Di samping
keempat sumber di atas, al-Qasimi juga sering mengutip beberapa pendapat para
ulama. Di antara para ulama yang sering dijadikan rujukan oleh al-Qasimi adalah
Muhammad Abduh, asy-Syatibi, Ibnu Taimiyah, Izzudin ibn Abd as-Salam,
asy-Syaikh Waliyullah ad-
Dahlawi, Abu Amru al-Dani, Abu Ubaid al-Qasimi bn Salam,
asy-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’, al-Qad'i Abd al-Jabbar, asy-Syahrastani,
Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Qayim, as-Suyuti, dan Ibnu Hazm. Selanjutnya,
dalam menjelaskan makna kata atau idiomatikal Al-Qur’an, al-Qasimi selalu
merujuk kepada beberapa kamus. Diantaranya Sihah al-Jauhari dan kamus al-Muhit.[12]
Satu hal yang tidak bisa dihindarkan oleh al-Qasimi adalah, dalam beberapa
tempat, beliau sering mencantumkan kisah-kisah Isra’iliyat. Hal ini dipengaruhi
oleh beberapa mufasir salaf yang kitabkitab tafsirnya sering dirujuk oleh al-
Qasimi.[13]
Selain
merujuk pada beberapa literatur dalam khazanah Islam, al-Qasimi juga terkadang
mengutip dari beberapa bagian kitab Injil. Namun, pengutipan ini hanya untuk
menunjukkan kekacauan dan kerancuan dalam kitab Injil, dan juga kitab Taurat
serta kitab Talmud yang keduanya sering disebut dalam Injil.[14] Di
samping itu, untuk memperkuat argumentasi pandanganpandangan ilmiah dalam kitab
tafsirnya, al-Qasimi sering mengutip pandangan dan pendapat para ilmuwan modern
yang sezaman dengannya.[15]Beberapa
sumber inilah yang menjadikan kitab tafsir karya al-Qasimi menjadi sebuah kitab
tafsir yang sangat kaya dengan khazanah keilmuan. Walaupun demikian, harus
diperhatikan bahwa tidak semua sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Qasimi
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademik.
Sistematika Penulisan Mahasin At Ta’wil
Sistematika tafsir ini mengikuti urutan
tartib mushafi, sehingga penafsiran ayat dimulai dari Q.S. al-Fatihah hingga
Q.S. an-Nass. Penafsiran tersebut dijelaskan secara komprehensif (tahlili)
dengan berbagai kutipan pendapat dari para ulama. Dalam pembukaan tafsirnya,
al-Qasimi menjelaskan tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penafsiran
Al-Qur’an sebanyak 11 kaidah. Penjelasan tentang kaidah tersebut dijelaskan
secara komprehensif hingga mencapai 350 halaman.[16] Sebelas
kaidah tersebut antara lain, yaitu:
1) Qaidah fi Ummahat ma Akhaduh
2) Qaidah fi Ma’rifah Shahih al-Tafsir, wa Ashah al-Tafsir ‘inda
al-Ikhtilaf
3) Qaidah anna Ghalib ma Shahha ‘an al-Salaf min al-Khalaf Yarji’
ila Ikhtilaf Tanawwu’ La Ikhtilaf Tadhad
4) Qaidah fi Ma’rifah Sabab al-Nuzul
5) Qaidah al-Nasikh wa al-Mansukh
6) Qaidah fi al-Qira’ah al-Syadzah wa al-Mudraj
7) Qaidah fi Qashash al-Anbiya’ wa al-Istisyhad bi al-Israiliyat
8) Qaidah fi anna kulla Ma’na Mustanbith min al-Qur’an, ghair Jaara
‘ala al-Lisan al-’Arabiy, fa Laisa min ‘Ulum al-Qur’an fi Syai’
9) Qaidah anna al-Syari’ah Ummiyah, wa annahu La Budd fi Fahmiha
min Ittiba’ Ma’hud
Al-Ummiyin wa Hum al-’Arab alladzina Nazal
bi Lisanihim
10) Qaidah al-Targhib wa al-Tarhib fi al-Tanzil al-Karim
11) Qaidah fi annahu: Hal fi al-Qur’an Majaz am La
Sedangkan dalam menafsirkan Al-Qur’an,
Al-Qosimi melakukan penafsiranya dengan menggunakan beberapa aspek seperti;
a. Mengartikan kosa kata ayat
Menggunakan arti kosa kata dari ayat
yang sedang di tafsirkannya kelihatan jadi sandaran dari uaraian penafsiran
yang di gunakan oleh Al-Qosim. Dimana hampir semua ayat yang di tafsirkanya
selalu di bahas tentang kosa katanya.
b. Asbabu nuzul ayat
Meskipun Al-Qisimi dalam penafsiranya
tidak selalu meyebutkan asbabu nuzul ayat, tetapi terkadang Al-Qosimi pun
mengemukakan latar belakang turunya ayat terdapat ayatayat yang di tafsirkanya
untuk menunjang penafsiranya.
c. Menggunakan munasabah ayat
Salah satu yang paling menonjol dari
tafsir Mahasin Ta’wil yang dapat kita lihat adalah aspek munasabah ayat.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan surah Ibrahim ayat 44 AlQosimi
mengkorelasikanya dengan surah An-Nahl ayat 38.
d. Mengutip pendapat untuk memperkuat penafsiran
Dalam menafsirkan Al-Quran pada setiap
ayat Al-Qosimi selalu menggunakan Hadis-hadis Nabi, riwayat sahabat dan
tabi'in, juga meyertakan pendapat-pendapat dari muafasir lain mengenai ayat
yang di tafsirkan. Selain itu Al-Qosimi meyertakan penafsiranya dengan
syai’r-syai’r. Sebagai contoh dalam menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 111,
Al-Qosimi meyertakan sya'ir nya sebagai berikut:
“Barang
siapa yang menuduh tanpa saksi, maka butalah tuduhanya”
Syair di atas di kemukakan oleh Al-Qosimi
berekenaan dengan pendapat Ar-Razi yang mengatakan bahwa ayat 111 dari surah
Al-Baqarah menyatakan bahwa suatu tuduhan tidak akan berarti apa-apa, jika tanpa di sertai bukti-bukti yang kuat
tersebut.
Sebagaimana telah di sebutkan bahwa
tafsir Al-Qosimi di susun dalam 10 jilid dan 17 Juz. Setiap jilidnya terdiri
dari satu atau dua juz dengan mengemukakan beberapa surah dalam Al-
Qur’an. Dimana disetiap akhir juznya Al-Qosimi selalu
mencantumkan waktu terselesaikanya penulisan tafsirnya, dan mencantumkan pula
surah-surah yang akan ditafsirkanya pada juz selanjutnya. Penafsiran ayat suci
Al-Qur’an pada Mahasin Ta’wil Jika pada awal tafsiranya alQosimi mengemukakan
tentang kaidah-kaidah tafsir, maka pada bagian akhir tafsirnya Al-Qosimi
mencantumkan daftar kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukanya. Selain itu
Al-Qosimi mencantumkan daftar hadis-hadis yang di kemukakanya dan mencantumkan
pula daftar surat-surat yang di tafsirkan. Dikarenakan Al-Qasimi adalah seorang
ulama hadis. Dia mempunyai kitab Qawa’id al-Tahdis min Fununi Musthalah
al-hadis. Oleh karena itu, halaman demi halaman mahasin al-Ta’wil hampir tidak
ada yang tidak berisikan dengan hadis yang digunakan untuk memperkuat
penafsirannya. Sebagai contoh ketika mengatakan “ibadah itu ada beberapa macam dan klasifikasi. Dimana keimanan tidak
akan menjadi sempurna kecuali menjalankan seluruh ibadah semata kepada Allah
SWT”. Al-Qasimi memperkuat argumennya diatas dengan dalil naqli seperti
penjelasan berikut, Al-Sunnah telah menjelaskan bahwa doa adalah ibadah.
Artinya rukun ibadah itulah yang terpenting dan lebih utama, jadi Al-Qasimi menyebut do’a sebagai ibadah.[17]
Metode Penafsiran Mahasin At Ta’wil
Penafsiran
yang dilakukan oleh al-Qasimi menggunakan metode tahlili, karena dalam
tafsirannya menguraikan berbagai aspek.
Hal ini dapat diketahui melalui hal-hal berikut:
1. Mengawali tafsir dengan surah al-Fatihah sampai surah an-Nas
(sesuai mushaf Utsmani).
2. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
3. Mengungkapkan argumentasi untuk mendukung penafsiran yang
bersumber dari hadis Nabi, pendapat sahabat dan pendapat ulama.
4. Untuk mendukung penafsirannya terkadang al-Qasimi mengutip
kisah-kisah Isra’iliyat yang diambil dari kitab-kitab tafsir ulama.
5. Memberikan elaborasi ilmiah terhadap ayat-ayat kauniyah.
6. Mengungkap situasi sosial kultural masyarakat sekelilingnya
sehingga penafsirannya lebih membumi.
Corak Tafsir Mahasin At Ta’wil
Corak
penafsiran yang disajikan oleh Imam Jamal al-Din al-Qasimi adalah corak
al-Ijtima’i karena keahlian beliau yaitu di bidang fikih, tafsir, dan hadis
juga salah satu tujuan penulisan beliau yaitu beliau menjadikan tafsirnya
sebagai sebuah solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh para ulama
maupun masyarakat dengan mengutamakan pendapat ulama terdahulu atau ulama
salaf. Selain itu dalam beberapa ayat yang membahas tentang sosial, beliau
menjelaskan secara luas sebagaimana telah disampaikan bahwa pemikiran beliau
juga terpengaruh oleh pemikiran salah satu gurunya yaitu Muhammad Abduh yang
mana beliau merupakan seorang ahli dalam ilmu sosial. Sebenarnya, dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, al-Qasimi tidak memiliki kecenderungan tertentu
untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak. Akan tetapi secara
garis besar tafsir ini cenderung mengandung tiga corak, yaitu; corak fiqhi,
I’jtimai, dan teologis.[18]
Kelebihan Dan Kekurangan Kitab Tafsir Mahasin At Ta’wil
Imam al-Qasimi
dengan kesempurnaan penelitiannya, kejelian pemahaman, dan jiwa amanahnya dalam
mentransfer, ia menyeleksi dan mengambil pendapat yang paling baik yang
berkaitan dengan tema pembahasannya, kemudian ia mengutip pada kitabnya. Dengan
metode inilah yang berjalan dalam tafsirnya. Maka tafsirnya memiliiki
kelebihihan seperti kebun yang rimbun, tiada yang terlihat darinya kecuali
tanaman yang hiijau dan bunga-bunga yang semerbak mewangi, didalamnya tidak
ditemukan apa yang menyakiti hati dan menggores perasaan.
Tafsir
mulia ini memiliki kelebihan dalam kehati-hatiannya dalam pemindahan referensi
serta bagusnya pilihan, seperti jauh dari hadis dha’if dan ma’dlu’, sebagaima
Tafsir ini dibantu dengan makna-makna lughawi dalam kosa-kosa kata. Ia
mengarahkan pengertian dengan amat mudah tanpa memilah-milah dan panjang
ulasan. Lalu dalam menafsirkan Al-qur’an Al-Qasami berpedoman pada Al-qur’an
itu sendiri kemudian pada Sunnah yang sahih
ucapan sahabat dan pendapat salaf as-saleh. Al-Qasani dalam tafsirannya
juga memperhatikan kepeduliannya terhadap ayat-ayat yang membutuhkan pembahasan
dan penjabarannya, agar lebih jelas maknanya.
Sedangkan
kekurangan dari tafsir mahasin tetap ada walaupun dikatakan tafsir yang
keistimewaannya dengan kehati-hatiannya dalam pemindahan referensi dan bagusnya
pilihan, akan tetapi cukup banyak kutipan dari berbagai penafsirannya, sehingga
kita akan kesulitan menemukan penafsiran asli al-Qasimi sendiri.[19]
Kesimpulan
Demikianlah
penjelasan mengenai kitab tafsir Mahasin at-Ta'wil fi Tafsir Al-Qur'an AlKarim
yang ditulis oleh al-Qasimi. Di akhir pembahasan, penulis menyampaikan beberapa
poin penting. Pertama, Al Qasimi adalah seorang ilmuwan brilian yang berupaya
mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kedua, tulisan tafsir
Mahasin Ta'wil menyentuh konflik antara dunia Islam, Orientalisme, dan
kolonialisme. Ketiga, tafsir al-Qasimi ini dapat digolongkan ke dalam berbagai
jenis tafsir al-ijtima’i berdasarkan kategori tafsir bi al-ma'sur yang selalu
mengacu pada sumber materi intelektual Islam yang otoritatif. Sangat
disayangkan bila kajian terjemahan karya Al Qasimi hanya sebatas kajian
deskriptif saja. Dibutuhkan kemampuan melakukan penelitian yang lebih mendalam,
menekankan kemampuan berpikir analitis dan kritis. Karena dengan metode ini
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam juga akan mencapai puncak
kejayaannya.
Daftar Pustaka
Al-Qasimy, Muhammad Jamaluddin. Tafsir Mahasin Al-Ta’wil
Harahap, Muhammad Harmidi. “Ketokohan Syekh Jamaluddin Al-Qasimi (1282
H-1332 H) dalam Bidang Pendidikan.”
Khazanah : Journal of Islamic Studies. (2022)
Haromaini, A. (2018). Metode Penyajian
Tafsir Mahasin Al-Ta’wil Karya Muhammad Jamal al-Din Al-Qasimi. Islamika:
Jurnal Agama, Pendidikan Dan Sosial Budaya, 12(2), 24-37.
Nisa, Khoirun, dan Aat Hidayat. “Telaah Terhadap Kitab Mahasin at-ta’wil Fi tafsir Al-
Qur’an Al-Karim Karya al-Qasimi, (2016)
Rahmawati, Rulia. “Ayat Tentang Ahl Kitab Menurut Tafsir Mahasin At-Ta’wil Karya
Jamaluddin Al-Qasimi.” Gunung Djati Conference Series 19, no. Islamic
Studies Across Different Perspective: Trends, Challenges and Innovation (2023)
Rohman, Baeti. “Otentisitas kitab suci agama samawi dalam
Al-Qur’an (studi pemikiran al-Qasimi dalam
Tafsir Al-Qasimy Al-Musamma Mahasin Al-Ta’wil).” Jurnal Kajian Ilmu
Dan Budaya Islam. AL-AMIN (2020)
[1] Khair ad-Din az-Zarkili, al-A‘lam, Juz 2, hlm. 131.
[2] ‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirin, Jilid 1, hlm. 127.
[3]
Al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din. Tafsir Mahasin al-Ta’wil.
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Bairut. 1998 Juz. I.
hal. IV.
[4] ‘Adil Nawayhad, Mu‘jam al-Mufassirin, Jilid I, hlm. 127.
[5] Khair ad-Din az-Zarkili, al-A‘lam, Juz 2, hlm. 131.
[6] Muhammad
Mansur, “Ma‘ani> Al-Qur’an Karya al-Farra’”, dalam Muhamad Yusuf, dkk.,
Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Terasbekerja sama
dengan TH-Press, 2004), hlm. 11.
[7]
‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan
Paradigma, hlm. 50.
[8]
‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan
Paradigma, hlm. 36.
[9] Muhidin M. Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (Yogyakarta:Jendela,
2003), hlm. 97.
[10] ‘Abd al-Majid ‘Abd
as-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma,
hlm.37- 38.
[11]
Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil, Juz 1, hlm.102- 105.
[12]
Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil, Juz 1, hlm. 38
[13]
Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil, Juz 1, hlm. 43
[14]
Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil, Juz 1, hlm. 49
[15]
Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil, Juz 1, hlm. 50
[16]
Muhammad Harmidi Harahap, “Ketokohan Syekh Jamaluddin Al-Qasimi (1282 H-1332 H) Dalam
Bidang Pendidikan,” Khazanah :
Journal of Islamic Studies 1, no. 1
[17] Khoirun
Nisa, Aat Hidayat, “Tela’ah terhadap
kitab mahasin at-ta’wil fi tafsir Al-Qur’an al-karim Karya al-Qasimi”
[18]
Baeti Rohman,
“Otentisitas Kitab suci agama samawi
dalam Al-Qur’an (Studi Pemikiran Al-Qasimi
Dalam Tafsir Al-Qasimy Al-Musamma Mahasin Al-Ta’wil),” Jurnal Kajian
Ilmu Dan Budaya Islam.(2020)
[19] Muhammad
Jamaluddin Al-Qasimy, Tafsir Mahasin
Al-Ta’wil.
0 Komentar