PENDAHULUAN
Tafsir merupakan konsekuensi logis bahwa Al-Qur’an perlu untuk selalu dikaji dan dilakukan kontekstualisasi penafsiran, hal itu sebagaimana yang ditulis oleh Nashr Hamid, Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang secara mandiri tidak dapat melahirkan peradaban apapun tanpa adanya usaha penalaran antara akal manusia dengan teks dan realita kehidupan. Dengan adanya proses penalaran mufasir dengan ayat-ayat Al-Qur’an maka muncul dan berkembanglah peradaban di kalangan umat Islam[1].
Di
tengah situasi politik yang demikian, penulisan dan publikasi tafsir Al-Qur’an,
sebagai salah satu ekspresi intelektual dan kebutuhan umat Islam, terus tumbuh
dan berkembang melalui peran ulama dan intelektual Muslim. Di samping tafsir
Al-Qur’an yang disusun dan dipublikasikan secara resmi oleh pemerintah melalui
Departemen Agama RI sebagai bentuk kesinambungan kebijakan yang telah dilakukan
pada era pemerintahan Sukarno beragam tafsir Al-Qur’an lahir dari tangan ulama
dan intelektual Muslim dengan beragam latar belakang sosial dan budaya, konteks
ruang publikasi ataupun genealogi keilmuan, serta keragaman basis
sosial-politik penafsir[2].
Keberadaan
beragam tafsir Al-Qur’an di tengah kekuasaan rezim Orde Baru yang otoriter dan
represif tersebut penting dikaji lebih jauh untuk mengungkap dialektika yang
terjadi antara tafsir Al-Qur’an dan praktik politik rezim Orde Baru serta
faktor-faktor penopang dan yang menggerakkannya. Mesti disadari bahwa tafsir
Al-Qur’an, dari sudut pandang sosial-budaya, hakikatnya tidaklah semata-mata
merupakan hasil dari praktik memahami pesan Tuhan melalui teks-teks Al-Qur’an,
tetapi pada saat yang bersamaan, ia juga menjadi arena bagi para penafsir untuk
melakukan pembacaan terhadap realitas sosial-politik yang terjadi pada saat
tafsir Al-Qur’an ditulis dan dipublikasikan. Asumsi yang dibangun di sini
adalah bahwa para penulis tafsir Al-Qur’an selain melakukan praktik pemahaman
atas pesan Tuhan yang terkandung dalam teks Al-Qur’an, pada saat yang bersamaan
mereka juga melakukan pembacaan dan berdialektika dengan problem-problem
sosial-politik yang terjadi ketika praktik penafsiran dilakukan[3].
Di
masa rezim Orde Baru, politik kekuasaan dibangun dengan rnenunda demokrasi
sebagai cara menjaga stabilitas politik dan status quo (kondisi yang tetap).
Ekonomi dijadikan panglima. Suara kritis dibungkam. Militerisme dijadikan
penjaga pembangunan. Dan penyeragaman dipilih atas nama kerukunan. Di tengah
situasi politik semacam itu, beragam tafsir Al-Qur'an ditulis oleh ulama dan
cendekiawan Muslim Indonesia. Tafsir-tafsir tersebut tidak hanya sebagai
praktik menyelami pesan Tuhan, tetapi juga memperbincangkan dan
mengkontestasikan masalah sosial, ekonomi, politik, dan agama yang terjadi di
tengah kekuasaan rezim Orde Baru.
Nama
Islah Gusmian sudah tidak asing lagi dimata para pengkaji Al-Qur’an di
Indonesia. Terlebih lagi beliau sudah banyak menulis buku yaitu dengan debutnya
menulis buku “Khazanah Tafsir Indonesia:
Dari Hermeneutika hingga Ideologi” dan menjadi rujukan para sebagian
sarjana dibidang Al-Qur’an. Dan salah satu bukunya yang berjudul “Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan di
Indonesia”. Di dalam buku ini berhasil
menunjukkan tentang isu-isu sosial politik di era rezim Orde Baru
diperbincangkan dalam tafsir Al-Qur'an secara terbuka. Di tangan ulama dan
intelektual Muslim Indonesia, tafsir Al-Qur'an menjadi arena peneguhan
kontestasi, dan pertarungan wacana atas praktik politik kekuasaan. Buku ini
juga berhasil mengungkapkan bahwa tafsir Al-Qur'an tidak sekadar bersifat
abstrak dan trans-historis, tetapi juga riil, historis. serta bergerak secara
kritis: melakukan transformasi kesadaran, membuka tirai pembungkaman, dan
melawan kekuasaan wacana yang kontra kebenaran dan keadilan[4].
Di dalam penulisan ini akan membahas bagaimana biografi Islah Gusmian, kajian kritis tulisan tafsir Al-Qur’an ala Islah Gusmian, dan pengenalan terhadap buku tafsir “Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia.
Biografi
Singkat Islah Gusmian
Islah
Gusmian yang dilahirkan di Pati, tepatnya pada tanggal 22 Mei 1973. Jenjang
pendidikan sarjananya yang telah diselesaikan pada tahun 1997 Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan melanjutkan
magister Studi Filsafat Islam Program Pascasarjana di kampus yang sama dan
selesai pada tahun 2002. Studinya tidak selesai di S2, Islah Gusmian
melanjutkan program doktoral hingga tahun 2014 di kampus yang sama yang kini
telah alih status menjadi UIN Sunan Kalijaga. Sejak kuliah S1, Islah memang
telah aktif menulis diberbagai media masa, di antaranya pada tahun 1998
terpilih sebagai peresensi terbaik oleh penerbit Mizan. Prestasi atas
ketekunannya dalam bidang tulis-menulis terus melejit, terlebih ketika sudah
mendedikasikan diri sebagai dosen tafsir Al-Qur’an di Fakultas Ushuluddin IAIN
Surakarta (kini telah alih status menjadi UIN Raden Mas Said). Pencapaian atas
ketekunannya dalam bidang penulisan naskah dan kajian tafsir Nusantara juga
mengantarkannya menjadi dosen berprestasi pilihan Diktis Kemenag RI. Kini Islah
menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said
Surakarta.
Beberapa karya-karyanya, yaitu Khazanah Tafsir Indonesia (LKiS,
Yogyakarta, 2013), Dinamika Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa (Efude,
Yogyakarta, 2014), The Dinamics of
Qur’anic Interpretation in Indonesia (Yayasan Salwa, Yogyakarta, 2017), Bencana Alam dalam Perspektif Filologis
dan Teologis: Kajian Tematik Manuskrip Keagamaan Wilayah Jawa Tengah (Kementrian
Agama, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan dan
Manajemen Organisasi, Jakarta, 2018), dan Tafsir
Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi, dan Pertarungan
Wacana (Yayasan Salwa, Yogyakarta, 2019)[5].
Kajian
Kritis Tulisan Tafsir Al-Qur’an ala Islah Gusmian
Sebagai
lulusan UIN Sunan Kalijaga koneksi yang nampaknya sudah melekat pada pribadi
beliau di dalam bidang yang sudah ditekuninya. Gambaran yang terkait dengan
berbagai ilmu pengetahuan ini terlihat ketika beliau mengoperasikan berbagai
pendekatan untuk menganalisis literatur tafsir Al-Qur’an. Di satu sisi Islah
ingin menerapkan metode anti mainstream,
tidak seperti kebanyakan peminat kajian tafsir di Indonesia yang menggunakan
metode Al-Farmawi, karena bagi Islah teori yang digunakan Al-Farmawi cenderung menyimpan
kekacauan dalam arah analisis juga tidak mampu menyingkap keragaman teknis
penulisan dan hermeneutik tafsir yang berkembang, apalagi menyingkap ideologi
yang tersirat di dalamnya.
Adapun
teori yang telah digunakan Islah Gusmian adalah berangkat dari dua medan besar
dalam literatur tafsir. Medan pertama yakni teknis penulisan tafsir yang
bergerak menelusuri seluruh aspek dalam bangunan tekstualitas dan teknis
penulisan tafsir. Sedangkan medan kedua adalah yang disebutnya sebagai “wilayah
dalam”-yang berkaitan dengan prinsip hermeneutika yang digunakan dalam praktik
penafsiran. Untuk menganalisis medan pertama Islah menggunakan metode
hermeneutika. Metode ini untuk mengungkap paradigma dan pengetahuan yang
digunakan penafsir dalam membangun kerangka metodologi tafsir dan juga
memperlihatkan hubungan antara penulis, pembaca dan teks, serta kondisi-kondisi
di mana seseorang memahami sebuah teks.
Metode
kedua adalah analisis wacana kritis, di mana model ini digunakan untuk
menyingkap kepentingan dan ideologi di balik bahasa yang digunakan dalam
penulisan literatur tafsir. Analisis wacana kritis ini juga mengandaikan
pentingnya metode sejarah sebagai upaya mengungkap proses interaksi antara
tekstualitas tafsir dengan budaya dan sejarah di mana penafsir berada. Sebagai
peminat kajian tafsir Al-Qur’an dengan khazanah keilmuan yang multidispliner,
Islah dalam kedua bukunya “Khazanah
Tafsir Indonesia” dan “Tafsir
Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia” menyuguhkan literatur tafsir yang
sangat kaya. Buku pertama fokus pada karya tafsir berbahasa Indonesia dan oleh
orang Indonesia dalam rentang waktu tahun 1990 hingga 2000. Sedangkan dalam
buku kedua, tidak terbatas pada bahasa yang digunakan dalam literatur tafsir.
Islah menganalisis karya tafsir yang muncul di dua dasawarsa awal rezim Orde
Baru berkuasa.
Ketekunan
Islah dalam kajian literatur tafsir Al-Qur’an ini sangatlah memberikan
kontribusi yang besar bagi kesarjanaan Al-Qur’an di Indonesia. Jika di Mesir
kita mengenal Muhammad as-Sayyid Husain
az-Zahabi sebagai pioneer yang
membahas secara lengkap metode para mufasir, di Indonesia kita mempunyai Islah
Gusmian. Tidak heran apabila kemudian rekan atau teman sejawatnya menjulukinya
sebagai “Az-Zahabi-nya Indonesia”.
Tema
tema dan kritik dalam Tafsir Islah Gusmian
Seperti
yang kita ketahui tentang kitab buku yang berjudul “Tafsir Al Qur’an dan Kekuasaan Di Indonesia” karya Islah Gusmian,
beberapa tema yang beliau terbitkan tidak hanya bersifat abstrak dan trans
historis namun bersufat umum karena tidak terbatas pada literaturnya. Dalam
tulisan ini penulis akan membahas dari beberapa tema yang beliau tulis, disini
akan membahas tema tentang karakter praktik politik rezim orde baru, Kebijakan
rezim orde baru dan publikasi Tafsir Al Qur’an.
1. Karakter Praktik
Politik Rezim Orde Baru
Pada
awal menjalankan pemerintahan, Presiden Soeharto dihadapkan pada daerah yang
sulit berkembang atau disebut juga kriris multidimensi yang ada di bangsa
Indonesia. Dibidang ekonomi, Indonesia ketika itu kesulitan membayar utang dan
di bidang sosial-politik terjadi pertentangan antar-kelompok politik akibat
Demokrasi Liberal yang terjadi pada era pemerintahan Sukarno. Menghadapi krisis
ini, rezim Orde Baru memilih konsep modernisasi sebagai kebijakan politik untuk
memulai menjalankan roda pemerintahan dan melakukan kebijakan dengan melakukan
orientasi strategi pembangunan yang berorientasi keluar, yaitu mengharapkan
modal asing mengalir ke Indonesia sebagai satu pilihan[6].
Untuk
menyukseskan langkah tersebut, rezim Orde Baru membentuk Dewan
Stabilitas
Ekonomi yang langsung diketuai oleh Presiden Soeharto dan didampingi para staf
yang berlatar belakang yang berasal dari Universitas Indonesia. Dewan
Stabilitas Ekonomi ini kemudian memilih strategi pembangunan dengan model
pembangunan bertahap ala teori Rostowian yang diterjemahkan oleh rezim Orde
Baru dalam bentuk Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Konsep
ini menjadi dasar cita-cita atas landasan yang kemudian diterjemahkan dalam
doktrin Trilogi Pembangunan dengan mensyaratkan adanya intervensi negara,
kekuatan politik utama ada pada militer, keterlibatan modal asing sebagai bahan
bakar rezim, dan tolak ukur kesuksesan pembangunan didasarkan pada pertumbuhan.
Implikasi yang ditanggung dari konsep dan doktrin pembangunan semacam ini
ternyata cukup mahal, yaitu pembangunan dan kekuasaan jatuh ke dalam pola pikir
manusia menengah keatas, politik kekerasan dipakai sebagai pendekatan
pengamanan dalam rangka menciptakan stabilitas sosial-politik, serta merebaknya
praktik korupsi di dalam lembaga pemerintah. Hal-hal tersebut membentuk dan
memahami karakter politik rezim Orde Baru dengan akibat buruk yang ditimbulkan.
2. Kebijakan Rezim Orde Baru vis-a-vis Prinsip
dan Kepentingan Umat Islam
Abdul
Aziz Thaba pernah membagi hubungan umat Islam dan negara di era rezim Orde Baru
dalam tiga era, yaitu era antagonistik (1966- 1981), era resiprokal-kritis
(1982-1985), dan era akomodatif (1985- 1994). Pemetaan tersebut didasarkan pada
kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru yang bersinggungan dengan kepentingan dan
prinsip umat Islam serta reaksi yang muncul dari kalangan umat Islam.
Kebijakan-kebijakan yang melahirkan tiga model hubungan tersebut merupakan
bagian penting yang menjadi ruang sosialpolitik bagi penulisan dan publikasi
tafsir Al-Qur’an di era rezim Orde Baru.
Terkait
dengan kenyataan itu, pada bagian ini akan dipaparkan secara singkat tentang
kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru vis-avis kepentingan umat Islam yang
didasarkan pada konteks dinamika hubungan dan kepentingan rezim Orde Baru
dengan kekuatan dan eksistensi umat Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut, pada
uraian berikut dikelompokkan dalam tiga kategori besar, yaitu:
pertama,
kebijakan yang secara umum dipandang oleh umat Islam tidak sejalan
dengan prinsip dan
kepentingan umat Islam, kedua,
kebijakan-kebijakan yang dipandang sejalan dengan kepentingan dan
prinsip umat Islam, ketiga, kebijakan yang di kalangan umat
Islam melahirkan pro dan kontra.
Rezim
Orde Baru selalu berusaha menjaga stabilitas sosial-politik dan memperkuat kekuasaannya dengan berbagai kebijakan
dan strategi politik. Kebijakan dan strategi politik tersebut, dalam konteks
politik, seringkali menyulut ketegangan antara pemerintah dan umat Islam,
karena kebijakan tersebut mengganggu kepentingan dan prinsip umat Islam. Kebijakan-kebijakan
semacam itu akan diuraikan di sini untuk memberikan wawasan umum tentang latar
belakang ketegangan yang terjadi antara umat Islam dan rezim Orde Baru sebagai
basis ruang sosial-politik penulisan dan publikasi tafsir Al-Qur’an.
Pertama, kebijakan depolitisasi umat Islam
yang terjadi pada era pertengahan 1960-an. Kebijakan ini merupakan langkah
rezim Orde Baru pada era awal berkuasa yang melahirkan ketegangan di kalangan
umat Islam. Strategi politik ini pertama kali dilakukan rezim Orde Baru dalam
kasus penolakan Presiden Soeharto atas surat Prawoto Mangkusasmito, mantan
pimpinan Masyumi,yang mengajukan wadah politik bagi aspirasi politik partai
Masyumi dan merehabilitasi Partai Masyumi[7]. Meskipun ketika itu Presiden
Soeharto memberikan izin berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai
arena baru bagi aktivitas politik mantan aktivis Masyumi pada 7 April 1967,
tetapi Presiden Soeharto mensyaratkan bahwa peran utama di Parmusi tidak boleh
dipegang oleh para mantan pemimpin Masyumi. Dengan syarat ini, langkah
depolitisasi umat Islam dilakukan rezim Orde Baru dan pada perkembangannya
Parmusi tidak bisa menjadi partai yang kuat sesuai dengan yang diharapkan para
mantan aktivis Masyumi, karena selalu diintervensi oleh pemerintah agar
keberadaannya tidak mengganggu stabilitas sosial-politik.
Kedua, pada era 1970-an ketegangan di
kalangan umat Islam terjadi kembali akibat kebijakan Orde Baru yang memasukkan
Aliran Kepercayaan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973.
Kebijakan ini bermula ketika Komite Pekerja yang dipimpin Daryatmo menyusun
draf rencana GBHN tahun 1973 yang di dalamnya menyangkut soal Aliran
Kepercayaan dan Pelajaran Agama. Ada tiga hal penting yang dipersoalkan umat
Islam dalam draf tersebut, yaitu terkait dengan mengganti Pelajaran Agama
dengan Pendidikan Moral Pancasila di semua tingkatan sekolah umum; anggaran
belanja negara tahun 1973/1974 untuk urusan-urusan keagamaan mengalami
penurunan: dari Rp 1.226.000,- menjadi Rp 800.000,-; dan masuknya Aliran
Kepercayaan ke dalam GBHN sebagai bagian dari ‘agama resmi’ yang kedudukannya
setingkat dengan agama yang ada.
Ketiga,
larangan pemakaian jilbab di sekolah. Kebijakan ini muncul dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef. Melalui Peraturan Pemerintah No.
052/C/Kep/D.82 secara resmi sejak 17 Maret 1982 pemerintah melarang penggunaan
pakaian muslimah (jilbab) di sekolah-sekolah umum. Reaksi keras muncul dari
umat Islam terhadap sekolah-sekolah yang tidak memperbolehkan pemakaian jilbab
di sekolah. Bahkan, ketika itu ada gugatan dari orangtua siswa yang diajukan ke
pengadilan, akibat tindakan kepala sekolah yang mengeluarkan putrinya dari
sekolah, hanya karena alasan ia memakai jilbab di sekolah.
3.
Publikasi Tafsir Al Qu’an
Kebijakan-kebijakan
Orde Baru di atas menjadi salah satu faktor penting terjadinya pasang-surut
hubungan umat Islam dan rezim Orde Baru. Pasang surut tersebut tampak pada tiga
model relasi umat Islam dengan rezim Orde Baru: periode yang bersifat antagonistik,
periode transisi yang bersifat resiprokal-kritis, dan periode akomodatif yang
kedua pihak saling mengakomodasi kepentingan masing-masing. Pada era menjelang
reformasi, menurut Bahtiar Effendy, kepentingan umat Islam mulai diakomodasi
oleh rezim Orde Baru, tetapi secara substansial, pada kenyataan prinsip-prinsip
dasar Islam, seperti nilai keadilan, keterbukaan, dan kemanusiaan, tidak
menjadi pijakan politik rezim Orde Baru.
Dan
menjadi suatu takdir politik, suara-suara kritis atas kekuasaan Orde Baru
mengalir deras dari berbagai kalangan. Wacana suksesi, kasus korupsi,
ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan isu-isu yang lain mulai diperbincangkan
secara terbuka, dan umat Islam ikut mengambil peran dalam perbincangan
tersebut. Dalam situasi politik yang demikian, penulisan dan publikasi tafsir
Al-Qur’an terus melaju sebagai suatu tradisi keilmuan yang hidup di berbagai
konteks dan tempat. Beragam latar belakang penulis, ruang sosial, dan audien
tafsir menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena tersebut[8].
Pada bagian
berikut, akan dipaparkan sejarah publikasi tafsir Al-Qur’an di era rezim
Orde
Baru. Penjelasan ini diletakkan pada konteks hubungan umat Islam dan politik
rezim Orde Baru. Cara ini dipilih dalam kerangka untuk memperoleh penjelasan
sosial politik mengenai perbincangan dan kontestasi yang terjadi dalam tafsir
Al- Qur’an tersebut.
a. Penulisan dan
Publikasi Tafsir Al-Qur’an pada Era Konfrontasi
Hubungan umat Islam dan rezim Orde
Baru pada paruh kedua era 1960-an ditandai dengan suasana menegangkan. Penyebab
ketegangan tersebut bukanlah tunggal. Di antaranya terdapat sejumlah kebijakan
rezim Orde Baru yang menyulut respons keras dari umat Islam. Misalnya masalah
depolitisasi umat Islam, dimasukkannya Aliran Kepercayaan dalam GBHN
(Garis-garis Besar Haluan Negara) 1973, dan Rancangan Undang-Undang Perkawinan
Tahun 1973.
Dalam situasi hubungan yang
diselimuti ketegangan tersebut, penulisan dan publikasi tafsir Al-Qur’an di
kalangan umat Islam terus melaju. Para ulama dan intelektual Muslim, dengan
beragam isu serta topik yang ditulis, mengambil peran ilmiah ini. Mereka itu
melakukan aktivitas-aktivitas akademis agar pesan-pesan Al-Qur’an dapat dengan
mudah diakses dan dipahami Muslim Indonesia secara luas. Salah satunya melalui
tafsir Al-Qur’an. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (1904–1975), seorang akademisi dan
penulis produktif di bidang ilmu-ilmu keislaman, mempublikasikan tafsir
Al-Qur’an lengkap 30 jus pada era akhir kekuasaan Soekarno.
b.
Penulisan dan Publikasi Tafsir Al-Qur’an pada Era Resiprokal-Kritis
Memasuki era 1980-an, hubungan umat
Islam dan rezim Orde Baru memperlihatkan adanya fenomena baru, yaitu keduanya
mulai mencoba membangun sikap untuk saling memahami posisi, maksud, dan
kepentingan masing-masing, menghindari sikap saling curiga, meskipun terjadi
percikan konflik yang masih berbau ideologis, yaitu cita-cita pendirian negara
Islam. Pada era ini, pemerintah Orde Baru sedang mempromosikan Pancasila
sebagai asas tunggal bagi organisasi sosial politik dan semua organisasi
masyarakat.
Pada
era ini, penulisan tafsir Al-Qur’an terus bergerak dengan berbagai dinamika
yang terjadi, baik dalam konteks keragaman bahasa yang dipakai, topik-topik
yang dibicarakan, dan model penulisan tafsir. Pada 1981, M. Abdul Hakim Malik
menerbitkan Tafsir Ummul Qur’an yang
diterbitkan pertama kali oleh penerbit al-Ikhlas Surabaya. Sebagaimana tampak
dari judulnya, karya ini menafsirkan sūrah
al-Fātiḥah[9].
بِسْمِ ﷲِّٰ ال َّ رحْمٰنِ ال َّ رحِیْمِ
1.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
الَْحَمْدُ ِّٰ ِ رَ ِّ ب الْعٰلَمِیْنَ
2.
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,
ال َّ رحْمٰنِ ال َّ رحِیْمِ
3.
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
مٰلكِِ یَوْمِ ال ِّ دیْنِ
4.
Pemilik hari pembalasan.
اِ َّ یاكَ نَعْبُدُ وَاِ َّ یاكَ نَسْتَعِیْنُ
5.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan.
اِھْدِنَا ال ِّ صرَاطَ
الْمُسْتَـقِیْمَ
6.
Tunjukilah kami jalan yang lurus
صِرَاطَ الَّ ذِیۡنَ انَۡعَمۡتَ عَلَیۡھِمۡ ۙ
غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡھِمۡ وَلَا ال َّ
ضآلِّ یۡنَ
7.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.
Ditulis dengan memakai bahasa
Indonesia aksara Latin. Pada tahun yang sama, terbit Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry, lengkap 30 juz yang dicetak
dalam satu jilid, memakai bahasa Indonesia aksara Latin.
Tafsir ini diterbitkan pertama kali
pada 1981 oleh penerbit Mutiara Jakarta—penerbit yang didirikan oleh penulisnya
sendiri. Karena dicetak dalam satu jilid, maka tafsir ini tebalnya mencapai
1.330 halaman. Tafsir ini ditulis dalam bahasa Jawa aksara Pegon. Setiap satu
juz dari Al-Qur’an dicetak dalam satu jilid, sehingga tafsir ini terdiri dari
30 jilid. Jilid yang ke-30 tidak disebutkan nomor juz dan nama tafsir, tetapi
dengan memakai judul Tafsīr Juz ‘Amma fī Ma’āni at- Tanzīl. Sebagaimana tafsir al-Ibrīz yang ditulis Bisri Mustafa, tafsir
ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang. Memang tidak ada penjelasan
terkait dengan tahun dan berapa kali dicetak di setiap jilid yang beredar di
masyarakat, tetapi versi warna sampul yang berbeda-beda untuk jilid yang sama
serta jumlahnya yang massif di masyarakat pada era 1980-an, menunjukkan bahwa
tafsir ini telah dicetak berulang kali.
Kesimpulan
Secara garis besar latar belakang
pemikiran Islah Gusmian didasarkan pada realita sosial-politik pada masa orde
baru. Kekuasaan politik pemerintah orde baru memiliki sejarah yang semakin
memperhatikan penulisan dan publikasi tafsir Al-Qur'an. Dengan situasi
perpolitikan orde baru yang penuh ketegangan antara umat Islam dan pemerintah,
tafsir Al-Qur'an memberikan banyak kontribusi dalam mengawal berjalannya
pemerintahan.
Pemaparan
mengenai sejarah perjalanan tafsir Al-Qur'an dalam konteks perpolitikan
Indonesia, tafsir Al-Qur'an melewati tiga era yaitu era konfrontasi, era
resiprokal-kritis dan era akomodasi. Selain itu Islah Gusmian juga menegaskan
bahwa Al-Qur'an tidak hanya sebagai sumber hukum yang berupa teks saja,
melainkan mampu untuk berdialektika dengan kondisi sosial-politik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Soejono Soekanto, Metodologi Penelitian, Jakarta: Renaka Cipta, 1999.
Bangkit Kurniadi Anshor, Skripsi: RELASI TAFSIR AL-QUR‟AN DAN POLITIK ( Studi Komparasi Pemikiran Islah Gusmian dan
Mubasirun), (Salatiga:
UIN Salatiga, 2021), hal. 2.
Islah
Gusmian, Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan
di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Salwa Yogyakarta, 2019), hlm 4.
Islah
Gusmian, “TAFSIR AL-QURAN & KEKUASAAN DI INDONESIA: Peneguhan, Kontestasi,
Dan Pertarungan Wacana”. http://psqdigitallibrary.com/pustaka/index.php?p=show_detail&id=3314.
Diakses pada Senin, 20 Maret
2023, pukul 19.09 WIB.
Bahroem Rangkuti, Kandungan
al-Fatihah (Jakarta: Pustaka Islam, 1960) dan edisi PT Demura
Jakarta, 1974
[1] Bangkit Kurniadi
Anshor, Skripsi: RELASI TAFSIR AL-QUR‟AN DAN POLITIK ( Studi Komparasi
Pemikiran Islah Gusmian dan Mubasirun), (Salatiga: UIN Salatiga, 2021),
hal. 2.
[2]
Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur’an dan
Kekuasaan di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Salwa Yogyakarta, 2019), hlm
4.
[3] Ibid, hlm 7.
[4] Islah Gusmian,
“TAFSIR AL-QURAN & KEKUASAAN DI INDONESIA: Peneguhan, Kontestasi, Dan
Pertarungan Wacana”. http://psqdigitallibrary.com/pustaka/index.php?p=show_detail&id=3314.
Diakses pada Senin, 20 Maret 2023, pukul 19.09 WIB.
[5] Fatikhatul Faizah,
“Mengenal Islah Gusmian, Pakar Tafsir di Nusantara”.
https://neswa.id/mengenal-islah-gusmian-pakar-tafsir-di-nusantara/.
Diakses pada Senin, 20 Maret 2023, pukul 20.45 WIB.
[6] Lihat Abdul Azis
Thaba, Islam dan Negara dalam Politik
Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 186; Harold Crouch, Militer
dan Politik di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm. 67.
[7]
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hlm. 178.
[8]
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur
Politik Orde Baru 1966-1971 (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 174.
[9]
Bahroem Rangkuti, Kandungan al-Fatihah (Jakarta:
Pustaka Islam, 1960) dan edisi PT Demura Jakarta, 1974.
0 Komentar