PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan landasan pertama bagi hal-hal yang bersifat konstan dalam Islam. Karenanya umat Islam kapanpun dan dimanapun dituntut memperkuat keinginan mengasah akalnya kearah pemahaman Al-Qur’an yang dapat mengubah kehidupannya menjadi lebih baik,
dapat memposisikan mereka pada posisi yang memungkinkan penyebaran Islam keseluruh penjuru dunia sebagai sebuah sistem yang bersifat ketuhanan dan komprehensif untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Hubungan antara tanda-tanda kebenaran dalam AlQur’an dan alam raya yang dipadukan melalui mukjizat Al-Qur’an (yang lebih dahulu dari penemuan ilmiah) dengan mukjizat alam raya yang mengambarkan kekuasaan Tuhan. Perlunya tafsir pada proses pemahaman Al-Qur’an sungguh dibutuhkan. [1]Secara historis, jika ditarik ke awal
permulaannya, tafsir Al-Qur’an hanya dinukil dari Nabi, sahabat, dan kalangan
tabiin. Tafsir dengan metode penukilan atau dengan kecenderungan nukil ini
disebut dengan tafsir bi al-riwayat. Pada dua generasi terbaik setelah Nabi
ini, belum ada pengembangan metode tafsir Al-Qur’an yang signifikan, selain
metode bi al-riwayat.[2] Dan
ada metode lain yaitu dinamakan dengan bi al ra’yi, metode bi al-ra’yi ini
sebenarnya tidak berdiri sendiri. Tetapi mencakup berbagai disimplin ilmu
pengetahuan yang memungkinkan dijadikan sebagai pendekatan tafsir. Maka tidak
lama setelah persentuhan itu, lahirlah mufassir-mussir yang menguasai berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan. Imbas dari itu juga, kemudian muncul banyak
karya tafsir dengan berbagai macam nuansa kecenderungan. Berdasar pemetaan
al-Farmawi, sedikitnya ada tujuh jenis nuansa tafsir dan salah satunya adalah
tafsir ‘ilmi.
Orang pertama yang menyuarakan
pentingnya pendekatan tafsir ‘ilmi, adalah imam alGhazali (w. 505 H/ 1111 M).
Pemikiran ini ia utarakan dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an. Ia menyebutkan
dalam beberapa penafsiran ayat Al-Qur’an perlu penggunaan disiplin ilmu sains,
seperti: astronomi, perbintangan, kedokteran, dan ilmu-ilmu lainnya yang
relevan dengan informasi ayat kawniyyat Al-Qur’an. Namun sebelumn ia tuangkan
dalam kitab Jawahir, al-
Ghazali terlebih dahulu di dalam kitab Ihya‘Ulum al-Din
telah mengisyaratkan tentang pentingnya ilmu sains.
Setelah lama gaung tafsir ‘ilmi tidak menggema, di abad modern muncul
tafsir al-
Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an karya Thantawi Jawhari
al-Misri. Hal yang menarik dari tafsir ini
adalah porsi pembahasan ilmu sains modern yang cukup luas.
Hal menarik lainnnya, dalam kitab tafsir al-Jawahir, pembahasannya seringkali
dilengkapi dengan visual seperti binatang, tumbuhan, pemandangan alam, dan
lain-lain. Maka tidak heran jika ada yang berkomentar sinis terhadap karya
Thantawi ini. Salah satu penolakan keras datang dari pemerintah Saudi. Bahkan
tidak diperkenankan beredar di wilayah Saudi. Dan memang sedari awal pendekatan
‘ilmi dalam tafsir memang menjadi perdebatan ulama. [3]
Meski secara teori masih diperdebatkan
dan hasil akhirnya juga masih diperdebatkan pula, pada kesempatan ini, penulis
akan menyajikan ulasan seputar al-Jawahir fi Tafsir AlQur’an. Hal yang akan
disajikan adalah pembahasan seputar pengenalan lebih dalam mengenai tafsir
al-Jawahir, pembahasannya meliputi mengenal biografi pengarangnya, karya-karya
beliau, seputar metode dan corak ‘ilmi dimana terlihat pada tafsir karya
beliau, yang banyak diperdebatkan para ahli.
PEMBAHASAN
Biografi Jawhari Thantawi
Sering dikenal dengan al-Jawhari, nama
lengkapnya ialah Thantawi bin Jawhari alMisri beliau lahir di desa Iwadhillah
Hijazih di Timur Mesir, tahun 1287 H/ 1826 M. Beliau hidup dengan kehidupan
yang sederhana. Ibunya tinggal di daerah perkotaan dan sebenarnya Garu berarti
'Ganimah'.[4] Ayah
beliau hanyalah seorang petani, namun kecintaan beliau terhadap agama begitu
besar, sehingga muncul semangat dan motivasi agar mempunyai semangat dalam
menuntut ilmu.[5]
Thantawi Jawhari dilahirkan dalam sebuah keluarga petani, sehingga aktifitas
masa kecilnya sering membantu oaring tuanya sebagai petani. dan wafat pada
tahun 1358/1940 M, ia adalah salah seorang pemikir dan cendekiawan Mesir ada
yang menyebutnya sebagai seorang filosof Islam.
Di waktu kecil Jawhari Thantawi belajar
di Madrasah al- Ghar sambil membantu orang tuanya sebagai petani. Setelah
menamatkan studi di al-Ghar, ia mendapatkan motivasi dari orang tuanya untuk
melakukan serangkaian perjalanan intelektualnya untuk mengembangkan wawasan
keilmuanya. dari sana Jawhari Thantawi meneruskan pelajaranya ke al-Azhar
diKairo. Di Universitas al-Azhar, beliau bertemu dengan tokoh-tokoh pembaharu
terkemuka di kota Mesir antara lain, Muhammad ‘Abduh. Thantawi sangat tertarik
dengan sistem pengajaran yang diterapkan Muhammad ‘Abduh dalam kuliah-kuliah
yang disampaikan. Bimbingan dan motivasi ‘Abduh dalam berbagai mata kuliah yang
diajarkannya membuka cakrawala pemikiran Jawhari Thantawi.
Jawhari Thantawi banyak terpengaruh
dengan pandangan-pandangan ‘Abduh, terutama pandangan untuk mengadakan
reformasi masyarakat dan menyerang bid’ah, wahm dan taklid.
Merasa tidak puas dengan system pengajaran di al-Azhar,
lalu Thantawi Jawhari pindah ke Dar
al-‘Ulum dan menyelesaikannya pada tahun 1311 H/1893 M.
Selesai dari kuliah ia bekerja sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah
kemudian meningkat memberikan kuliah di Universitas Dar al-‘Ulum.
Thantawisangat tertarik dengan cara Muhamad ‘Abduh memberikan kuliah di
al-Azhar terutama dalam mata kuliah tafsir. Thantawijuga tertarik dengan ilmu
Fisika, dia memandang ilmu fisika dapat menjadi studi untuk menanggulangi
kesalahpahaman orang yang menuduh bahwa Islam menentang ilmu dan teknologi
modern. Daya tarik inilah yang mendorong Thantawimenyusun pembahasan-pembahasan
yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi ilmu
fisika.
Thantawi diangkat menjadi dosen di
al-Jami’ah al-Misriyah 1912 dalam mata kuliah Filsafat Islam. Dalam wacana para
pemikir Islam, Jawhari Thantawi cukup popular dalam menggagas
pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu. Bila ditelaah gagasan dan pemikiran
Jawhari Thantawi maka ada tiga gagasan dan pemikiran yang patut mendapat
perhatian. Pertama, obsesinya untuk memajukan daya piker umat Islam.Kedua,
pentingnya ilmu dan menguasai idiom-idiom modern. Ketiga, pengkajian terhadap
Al-Qur’an sebagai satusatunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu.
Salah satu hal penting dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan modern menurut
Jawhari Thantawi adalah penguasaan bahasa asing, terutama bahasa inggris.
Menurutnya secara garis besar ilmu
pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian yaitu ilmu bahasa dan ilmu selain
bahasa. Ilmu bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam sebuah studi,
sebab itu merupakan instrument untuk menguasai berbagai ilmu. Thantawi
mendirikan lembaga bahasa asing terutama bahasa Inggris, supaya pemuda-pemuda
Islam dapat memahami ilmu barat dan pemikiran mereka. Ia juga aktif mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan yang tersiar dalam surat-surat kabar atau
majalah, dia pun giat mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang sangat berguna
untuk memajukan daya pikir masyarakat Islam, menjauhkan mereka dan kebekuan
berfikir, keterbelakangan serta menyadarkan mereka untuk menuntut ilmu-ilmu
modern. Karena itu Thantawi Jawhari mendorong warga masyarakat Mesir untuk
memperbanyak pembangunan sekolah-sekolah dari sekolah dasar sampai sekolah
perguruan tinggi. Suatu kesan pemikiran yang sangat mendorong kegiatanya ialah
karena keyakinanya bahwa Al-Qur’an memang menganjurkan kaum muslimin untuk menuntut
ilmu dalam arti yang seluas-luasnya.[6]
Karya-Karya Jawhari Thantawi
Thantawi sebagai penulis menghabiskan
umurnya untuk mengarang dan menerjemahkan buku tidak kurang dari 37 tahun
lamanya, sejak ia mulai bekerja sebagai guru sampai ia masuk usia pensiun tahun
1930. Dari sekian lama masa yang dilalui terhimpunlah tidak kurang dari 30
kitab dan berbagai judul antara lain yaitu:7
a. Nidham al-‘Alam wa al-Umam atau Tata Dunia dan Umat manusia
b. Mizan al-Jawahir li ‘Ajaib al- Kawn al-Bahir atauTimbangan
Mutiara-mutiara dalam keajaiban Alam yang Gemerlap (19900M)
c. Jawahir al-Ulum atau Mutiara-mutiara Ilmu (1904)
d. Al-Arwah atau Alam Roh
e. Nizham Wa al-Islam atau Islam dan Sistem
f.
Al-Hikamt u wa al-Ilukama
atau Hukum dan Para Ahli Hukum
g. Al-Taj al-Murachshi’ atau Mahkota Yang Bertahta
h. Jamal al-‘Alam atau Keindahan Alam
i.
Nahdhat al-Ummat wa
Havatuha atau Kebangkitan dan Kehidupan Umat
j.
Al-Qur’an wa al-‘Ulum
al-‘Asriyyat atau Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Modern
k. Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim
Karya Thantawi Jawhari yang paling
terkenal adalah kitabnya, al-Jawahir fi Tafsir AlQur’an al-Karim. Kitab ini
disusun ketika usianya sudah menginjak usia 60 tahun. Kitab ini banyak
merangkum kembali tulisan-tulisan yang sudah beredar sebelum itu. Sebagai
mufasir modern, dalam setiap tafsiranya, khususnya tafsir al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an al-Karim., selalu diorentasikan untuk tujuan menyelaraskan antara
sains dan agama Islam, sehingga beliau berpendapat bahwa seluruh perkembangan
sains dan teknologi telah disinggung Al-Qur’an.[7] Komentar Para Mufasir
Ada beberapa komentar yang berasal dari para mufasir
diantaranya :
a. Abu Ishaq al-Syatibi
Al-Syatibi telah menolak pandangan
tersebut dalam kitabnya Al-Muwafaqat atas dasar bahwa syariat diturunkan dalam
bentuk dasar untuk komunitas ummi, ia berpandangan bahwa Al-Qur’an diturunkan
bukan untuk maksud tersebut (yaitu menerangkan teori-teori ilmiah). [8]
Dalam memahami Al-Qur’an seorang mufasir harus membatasi diri menggunakan ilmu
bantu pada ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur’an,
dan yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu bantu lainnya, maka ia
akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan rasulNya dalam hal-hal
yang tidak pernah dimaksudkan.10
la mencela orang yang menambahkan Al-Qur’an,
bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ilmu pengetahuan bagi orang-orang terdahulu dan
nanti. Menurutnya orang-orang tersebut telah melampaui batas dalam memposisikan
Al-Qur’an. Padahal para salafus shalih dari kalangan sahabat, tabi'in dan
setelah mereka adalah orang yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an, ilmunya dan
hal yang terkait dengannya, namun tidak pernah dijumpai pendapat seorangpun
dari mereka tentang masalah ini, kalaulah mereka mempunyai pandangan lain, maka
akan sampai pada kita apa yang menunjukkan pada masalah pokok, namun hal itu
tidak ada. b. Syekh Syaltut
Dalam pendahuluan tafsirnya, ia telah
mengecam sekelompok cendekiawan yang menguasai ilmu pengetahuan kontemporer
atau mengadopsi teori-teori ilmiah, filsafat, dan
sebagainya, kemudian dengan bekal pengetahuan itu mereka
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kerangka pengetahuan yang ia kuasai itu.
Syaltut menambahkan dua kelemahan penafsiran ini. Pertama, Al-Qur’an bukanlah
kitab suci yang diturunkan untuk memberi tahu manusia tentang berbagai disiplin
ilmu lengkap beserta teori-teori ilmiahnya. Kedua, penafsiran saintifik seperti
ini merupakan penafsiran yang mengabaikan sisi kemukjizatan AlQur’an sebagai
salah satu nilai paling tinggi, di samping tidak diikutinya corak penafsiran
ini dengan dalamnya pengetahuan agama serta Sintuisi si penafsir.
c. Amin al-Khuly
Penolakannya terhadap mereka yang hendak
mengeluarkan Al-Qur’an dari garisnya dalam dialek Arab yang mereka pahami dan
dari dimensi yang mereka ketahui dari ilmu pengetahuan. Ia menolak mereka yang
mengira bahwa dalam al- Quran memuat pengetahuan orang-orang salaf dan
kontemporer, keagamaan dan keduniawian, syar'iyah dan aqliyah
d. Sayyid Qutub
Penolakannya atas penambahan sesuatu
yang bukan bagiannya dan menginterpretasikan kepada apa yang tidak al- Quran
maksud, dan mengeluarkan beberapa bagian dalam ilmu kedokteran, astronomi,
kimia dan lain sebagainya seakan mereka mengagungkannya dan membanggakannya.
e. M. Husein al-Dhahabi
Al-Dhahabi menolak penafsiran dengan
pendekatan ilmiah, karena penafsiran semacam itu keluar dari maksud dan
menyimpang dari tujuan Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak diturunkan sebagai sumber
berbagai ilmu, kedokteran, astronomi, matematika, kimia, memanggil arwah, dll,
namun sebagai buku petunjuk bagi manusia yang mengeluarkannya dari kegelapan
menuju alam terang benderang.[9]
Diantara para pendukung tafsir 'Ilmi: a. Imam al-Ghazali Ide tafsir ilmi secara
serius dikembangkan oleh Ghazali, ia menguraikan secara komprehensif
argumentasinya dalam Ihya Ulum al-Din, menurutnya Al-Qur’an. Diantaranya para
pendukung Tafsir ini; a. Imam al-Ghazali
Ide tafsir ilmi secara serius
dikembangkan oleh Ghazali, ia menguraikan secara komprehensif argumentasinya
dalam Ihya Ulum al-Din, menurutnya Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan
yang tidak terbatas. Ia juga merupakan orang pertama yang mengutarakan akan hal
ini. Dalam kitab tersebut ia mengatakan bahwa semua bentuk pemahaman ilmuwan
rasional dan perbedaan pendapat dalam hasil analisis dan hasil rasional, maka
dalam alQur'an ada beberapa rumusan dan beberapa argumentasi tentang hal
tersebut yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Bahkan dalam buku yang
dikarangnya setelah Ihya Ulum al-Din yaitu kitab Jawahir Al-Qur’an ia mengulang
tema yang sama bahkan lebih luas pembahasannya.
b. Abu al-Fadl al-Mursi
la mempunyai pendapat yang sama seperti
pendahulunya al-Ghazali. Sinyalsinyal AlQur’an yang mendasari bahwa dasar
industrialisasi itu terdapat dalam alQuran. Semua ilmu sejak awal hingga nanti
terkumpul dalam Al-Qur’an, tidak dapat diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah
swt, rasul, sahabat-sahabat terbaik, kemudian diwariskan kepada tabiin,
kemudian melemah kepada generasi berikutnya, hingga pemahaman mereka (kita)
tidak sebaik pemahaman sahabat dan tabiin.
c. Al-Suyuti
la memperkuat pendapat-pendapat diatas
yang mendukung penafsiran ini seperti terlihat dalam dua kitabnya al-Itgan dan
Iklil al-Takwil fi Istinbat al-Tanzil, ia memperkuat pendapatnya dengan
argumentasi Al-Qur’an, hadis, serta pendapat Ibn Mas'ud, Imam Hasan, al-Syafi'i
dan lainnya. d. Fakhr al-Din al-Razi Didalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib yang
juga dikenal dengan Tafsir al-Kabir, didapati pembahasan ilmiah menyangkut
segala bentuk ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu
kealaman, astronomi, kedokteran, dan lain sebagainya. "Beberapa ulama yang
tidak sepakat dengannya mengkritik bahwa kitab tafsir ini memuat segala sesuatu
kecuali tafsir, hal senada juga dilontarkan untuk tafsir AlJawahir.
d. Muhammad Abduh
la berpandangan bahwa Al-Qur’an memuat
hakikat ilmiah (permasalahan alam, secara empiris maupun rasional), Jika
diamati, maka seluruh pendukung tafsir saintifik selalu menggunakan tendensi
bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang memuat segala hal di dunia tanpa ada yang
terlewat satu pun, sesuai dengan firman Allah bahwa Al-Qur’an merupakan kitab
suci yang memuat segala hal tanpa terkecuali. Problematika medikal, kosmologi,
astronomi, bahkan biologi dan fisika sejatinya telah terangkum dengan rapi
dalam lipatan- lipatan mushaf tersebut.
Latar Belakang Kitab
Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an
merupakan sebuah karangan terbesar sosok seorang tokoh yang berasal dari Mesir
bernama Thantawi Jawhari dan ini adalah salah satu gambaran karyanya pada
bidang tafsir Al-Qur’an. Tafsir Al-Jawahir ini menurut al-Dhahabi
mengklasifikasikan ke dalam kelompok tafsir modern makanya banyak sekali yang
meneliti tentang persoalan-persoalan pada zaman ini. Dalam menyusun tafsir
Al-Jawahir ini sebagaimana yang telah diucapkan oleh al-Dhahabi didasari karena
adanya rasa kagum seorang Thantawi Jawhari akan fanorama alam semesta,
ketakjubannya, kesusaian terhadap alam, serta keindahan bumi ciptaan Tuhan.[10]
Namun pada saat itu kelompok masyarakat
yang memiliki pengetahuan dan yang menguasai ilmu justru melengahkan tentang
perihal ini. Ada beberapa sebagian dari kelompok orang-orang kecil saja yang
menempatkan pandangannya tentang perkara ini, akibatnya
Thantawi Jawhari tergerak untuk menyusun dan menciptakan
sebuah kitab yang berkaitan
dengan bukti kenyataan alam semesta. Akhirnya Thantawi
Jawhari menekankan, jika dalam memaparkan tafsir ini disarankan agar tidak
menerapkan mazhab-mazhab yang telah ada. Disebabkan karena apabila
masing-masing persoalan yang disandarkan pada logika dan masih ada satu argumen
yang bertentangan dengannya dan tidak selaras maka itu akan ditolak, begitupun
kebalikannya apabila logika itu membenarkan suatu argumen, maka hal tersebut
wajib diikuti.
Namun akhirnya Thantawi Jawhari banyak
mengarang sebuah kitab, akan tetapi dirinya masih belum merasa senang hingga
akhirnya beliau ingin melahirkan sebuah karya sendiri yang bisa meliputi segala
ilmu pengetahuan. Thantawi Jawhari ingin menguraikan dan menafsirkan Al-Qur’an
dengan cara saintifik dengan memakai penafsiran yang bisa mencantumkan
ilmu-ilmu yang diketahui oleh manusia. Dan akhirnya Thantawi Jawhari berhasil
mewujudkan impiannya tersebut membuat satu karya terbesar dan paling termasyhur
yang di beri nama Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an, tafsir ini disebut Al-Jawahir
karena kitab ini menetapkan al-Jawharah (inti).
Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an terdapat
25 juz dan memiliki lampiran yang ditambahkan juga olehnya, kemudian secara
lengkap jumlah dari tafsir ini ada 26 juz yang terdiri dari 13 jilid, dan untuk
pertama kalinya dicetak oleh Muassasah Mustafa al-Bab alHalabi sekitar tahun
1350 H/1929 M dan ukurannya sekitar 30 cm. Berdasarkan pendapat Manna al-Qattan
sebagaimana yang dikutip oleh Zaenatul Hakamah alasan menyusun tafsir ini
diakibatkan oleh rasa kecewa Thantawi Jawhari pada ulama-ulama terdahulu yang
lebih memfokuskan dan mengutamakan perhatiannya terhadap persoalan-persoalan
hukum. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Thantawi Jawhari bahwa Al-Qur’an
itu bisa menampung 750 ayat yang berbicara tentang perkara ilmu pengetahuan
yang mesti diperhatikan dan dipikirkan oleh umat islam.[11]
Menurut Thantawi Jawhari ilmu alam
adalah sebuah kewajiban pribadi untuk memahaminya. Dan pada akhirnya Thantawi
Jawhari percaya bahwa Allah SWT di dunia ini ada, jika diyakini oleh
orang-orang yang memiliki logika dan kesungguhan untuk meyakininya. Para
ulama-ulama terdahulu lebih berpengaruh pada kitab-kitab fiqh dan tidak
memiliki ayatayat mengenai alam semesta. Oleh karna itu Thantawi Jawhari
berupaya membuat sebuah karya dibidang tafsir Al-Qur’an dengan corak ilmi, dan
berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan suatu motivasi pada
kelompok masyarakat islam untuk menyesuaikan pada perkembangan ilmu
pengetahuan.
Sistematika Penulisan
1. Awal mula pada bab pendahuluan dari kitab ini Thantawi Jawhari
menyampaikan latar belakang sebab menyusun kitab tafsir Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an.
2. Thantawi Jawhari menguraikan secara singkat tujuan dari
(maqasid) tersebut ialah surat yang hendak ditafsirkannya. Adapun uraiannya
Thantawi Jawhari mencantumkan sesudah menerangkan tingkatan-tingkatan surat
makkiyyah dan madaniyyah dan penggolongan surat.
3. Thantawi Jawhari menguraikan lafaz-lafaz (al tafsir al-lafzi)
atau melafalkan kosa kata, bentuk bahasa dan tata bahasanya dengan meringkas
dari masing-masing macam ayat maqasid.
4. Dalam tafsir ini membentuk pernyataan atau ketetapan pada bacaan
yang bermakna lautan dan berkualitas, sementara makna Al-Jawahir itu sendiri
merupakan makna yang bernilai dan berkualitas seperti mutiara yang diterdapat
pada lautan.
5. Mengkaji makna latifah atau Al-Jawahir melalui pernyataan yang
singkat dan luas akan ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebesaran Allah SWT
terhadap alam semesta, juga memuat uraian yang menghimpun kaitan antara surat
atau ayat yang sedang akan dibahas.
6. Pembahasannya yang bersangkutan pada ilmu ‘ulumul Qur’an seperti
sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, kesusaiannya termasuk qira’at juga dibicarakan.[12]
Metode Penafsiran Kitab
Thantawi Jawhari secara tidak langsung
menguraikan sistem yang dibangun olehnya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Seorang
ulama yang bernama Fahd bin Sulaiman al-Rumi mengelompokkannya ke dalam ahli
tafsir yang memakai metode tahlili sebagai metodenya dikarenakan tafsir ini
memiliki analisis serta deskripsi yang bermakna dan juga detail dengan cara
menguraikan setiap kata pada ayat dan kandungannya yang luas.
Sumber Penafsiran Kitab
1. Sumber yang digunakan dalam menafsirkan suatu kitab Thantawi
Jawhari lebih mengutamakan terhadap uraian yang spirit dan paham orang-orang
yang ada didunia ini terhadap Al-Qur’an, apalagi semuanya itu berkaitan dengan
ayat-ayat kauniyah (bil ra’yi). Penafsirannya juga tidak terlalu banyak
memasukkan uraian kebahasaan.
2. Teknik penafsirannya yang memberikan keistimewaan pada tafsir
Al-Jawahir banyak menunjukkan sudut pandang ilmiah (saintifik) yang disebabkan
karena hal tersebut jadinya lebih memilih mengikuti spekulasi terhadap
karya-karya filosof terdahulu dan juga modern.
3. Tafsir Al-Jawahir ini tidak terbawa untuk ikut pada
konflik-konflik teologis, fiqh, dan juga kebahasaan.
4. Lebih banyak memuat gambaran yang terang atau petunjuk-petunjuk
ilmiah bagi para pembaca dengan menggunakan rangkaian-rangkaian pada gambar
tumbuhan, dan panorama alam semesta
Corak Penafsiran
Corak/nuansa penafsiran ‘ilmi, karya
tafsirnya berbeda dengan yang lain, karena kebanyakan penafsiran yang
berkembang pada masanya adalah penafsiran yang lebih menekankan aspek
kebahasaan (penjelasan kosa kata, struktur bahasa, dan gramatikanya), sehingga
terpaku pada analisa lafaz. Penafsiran seperti itu yang dikritik Thantawi
karena lebih banyak melahirkan penghafal daripada pemikir, serta mengakibatkan
kreativitas menjadi
stagnan dan mati keilmuannya. Adapun penafsiran yang
dikembangkan Thantawi Jawhari adalah lebih menitik-beratkan pada analisis
spirit atau pandangan dunia Al-Qur’an secara keseluruhan, terutama yang
berkaitan dengan sains ilmiah (ilmu alam).
Kelebihan Dan Kekurangan Kitab Al-Jawahir
Kelebihan daripada kitab ini adalah
bahwa kitab ini dapat memberikan wawasan yang luas bagi pembaca. Hal itu karena
beliau memaparkannya dari segi ilmu pengetahuan. Penafsirannya pun dilengkapi
dengan riwayat-riwayat baik itu dari Nabi, sahabat, maupun tabiin. Dan juga, Al
Jawhari menyertakan gambar-gambar seperti gambar struktur tumbuhan, hewan, dan
lain sebagainya, sehingga tafsir ini menarik perhatian para ilmuan modern.
Kekurangannya, adalah sebagaimana yang
diungkapkan oleh sebagian ulama’ bahwa suatu bentuk tafsir ‘ilmiy lebih banyak
ditentang. Hal itu karena sesungguhnya Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk,
bukan keilmiahan. Apalagi menurut sebagian ulama’, beliau terlalu memaksakan
penafsiran dengan dikaitkan pada ayat.
PENUTUP Kesimpulan
Nama lengkapnya ialah Thantawi bin Jawhari
al-Misri beliau lahir di desa Iwadhillah Hijazih di Timur Mesir, tahun 1287 H/
1826 M, dan wafat pada tahun 1358/1940 M.
Thantawi Jawhari dilahirkan dalam sebuah keluarga petani, sehingga aktifitas
masa kecilnya sering membantu oaring tuanya sebagai petani, namun ia adalah
salah seorang pemikir dan cendekiawan Mesir ada yang menyebutnya sebagai
seorang filosof Islam.
Thantawi sebagai
penulis menghabiskan umurnya untuk mengarang dan menerjemahkan buku tidak
kurang dari 37 tahun lamanya. Sekitar 30 Kitab Tafsir dari hasil karangan
beliau dan salah satu yang terkenal adalah Kitab Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an. Dari kitab tersebut dapat diketahui diantaranya corak ilmi,
menggunakan metode tahlili, bersumber dari bil ra’yi, dan sistematika dari
kitab tersebut salah satunya beliau menerangan tingkatantingkatan ayat makkiyah
dan madaniyyah serta penggolongan suratnya.
Adapun kelebihan dan
kekurangan pada setiap kitab tafsir akan selalu ada, dan salah satu diantaranya
yaitu pada kitab ini dilengkapi dengan riwayat serta gambar yang cukup lengkap
untuk memudahkan pemahaman para pembaca. Namun beberapa ulama juga menentang
penafsiran ilmi tersebut, jika dilihat sekilas itu dapat menjadi sebuah
kekurangan untuk kitab tersebut.
Daftar Pustaka
Armainingsih, Armainingsih, “Studi
Tafsir Saintifik : Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syeikh
Thantawi Jawhari,” Journal At Tibyan,
I.1 (2016), 144
Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung dalam Kitab Al-Jawahir fi
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
(Perspektif
Sains Modern),” Skripsi - UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG, 2016
Fahimah, S., & Lestari, D. A.
(2023). Al-Jawahir Fi Tafsiril Al-Qur’anil Karim Karya Thantawi Jawhari: Kajian
Tafsir Ilmi. Al Furqan: Jurnal Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir, 6(1),
136149.
Hani, Syarifah Ummi, Lukman Nul Hakim,
dan R A Erika Septiana, “Corak Ilmiah Jawhari Thantawi dalam Kitab Tafsir
Al-Jawahir (Studi Tahlili Qs. An Nahl: 68-69) Syarifah,” Al-Iklil Jurnal Dirasah Al-Qur’an dan Tafsir, 1.1 (2022), 67–77
https://makalahtafsirjawahir.blogspot.com/2016/01/makalah-tafsir-al-jawahir-tafsirhadits.html?m=1 (diakses
pada tanggal 5 Desember 2023)
Idris, Muhaiman, Abdul, “Dakhil
al-‘Ilmi dalam Kitab al-Jawahir fii Tafsir Al-Qur’an Karya Thantawii Jawhari.,”
Al-Thiqah: Jurnal ilmu Keislaman, 2.2
(2019), 56–62
Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Mesir, Mustafa
al-Babi al-Halabi wa Auladuhu,
1350 H) juz, 1, h. 3, bandingkan Abdussalam, Sains dan
Dunia Islam (Bandung, Pustaka, 1983)
Thantawi Jawhari, Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim, juz 25, Studi Tafsir Saintifik: AlJawahir fi Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim.
Muhammad Ali al- Iyazi, Al- Mufassirun
Hayatuhum wa Manhajuhum, h. 432, Program Pascasarjan IAIN Gunung Djati, Jurnal
Teks, Jurnal Studi Qur’an
Kunut, Nuradila, “Penafsiran Thantawi
Jawhari dalam Surah Yunus Ayat 3 dan Al-Fatihah Ayat 3,” Al-Mustafid: Journal of Quran and Hadith Studies, 1.1 (2022), 31–38
<https://doi.org/10.30984/mustafid.v1i1.469>
[1] Armainingsih Armainingsih,
“Studi Tafsir Saintifik : Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syeikh
Tantawi Jauhari,” Journal At Tibyan,
I.1 (2016), 144. hal. 2
[2] Abdul Idris, Muhaiman,
“Dakhil al-‘Ilmi dalam Kitab al-Jawahir fii Tafsir al-Qur’an Karya Tantawii
Jawhari.,” Al-Thiqah: Jurnal ilmu
Keislaman, 2.2 (2019), 56–62. hal. 1
[3] Ibid, hal. 2-3
[4] Syarifah Ummi Hani, Lukman
Nul Hakim, dan R A Erika Septiana, “Corak Ilmiah Thantawi Jauhari dalam
Kitab Tafsir Al-Jawahir
(Studi Tahlili Qs. An Nahl: 68-69) Syarifah,” Al-Iklil Jurnal Dirasah Al-Qur’an dan Tafsir, 1.1 (2022), 67–77.
hal. 5
[5] Nuradila Kunut,
“Penafsiran Tantawi Jauhari dalam Surah Yunus Ayat 3 dan Al-Fatihah Ayat 3,” Al-Mustafid:
Journal of Quran and Hadith Studies, 1.1 (2022), 31–38
<https://doi.org/10.30984/mustafid.v1i1.469>. hal. 3
[6] Fuad Taufiq Imron, “Konsep
Gunung dalam Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Perspektif Sains
Modern),” Skripsi - UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG, 2016. hal. 116-119 7
Fuad Taufiq Imron. hal. 123
[7] Ibid, hal. 125
[8] Muhammad Nur Ikhwan, Tafsir Ilmi Memahami al-Qur'an Melalui
Pendekatan Sains Modem, hal. 33 10 Muhammad Husein al-Dhahabi, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran
al-Qur'an (Yogyakarta: CV. Rajawali, 1986), hal. 356.
[9] Muhammad Husein
al-Dhahabi, Penyimpangan-Penyimpangan
dalam Penafsiran al-Qur'an, hal. 12
[10] Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim (Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1350 H) juz,
1, hal. 3, bandingkan Abdussalam, Sains dan Dunia Islam (Bandung, Pustaka,
1983), hal. 16.
[11]
Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim, juz 25, Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim.
[12] Muhammad Ali al-Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,
h. 432, Program Pascasarjan IAIN Gunung Djati, Jurnal Teks, Jurnal Studi
Qur’an, hal. 151-153.
0 Komentar