TAFSIR AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QUR’AN KARYA JAWHARI THANTAWI

PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan landasan pertama bagi hal-hal yang bersifat konstan dalam Islam. Karenanya umat Islam kapanpun dan dimanapun dituntut memperkuat keinginan mengasah akalnya kearah pemahaman Al-Qur’an yang dapat mengubah kehidupannya menjadi lebih baik,

dapat memposisikan mereka pada posisi yang memungkinkan penyebaran Islam keseluruh penjuru dunia sebagai sebuah sistem yang bersifat ketuhanan dan komprehensif untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Hubungan antara tanda-tanda kebenaran dalam AlQur’an dan alam raya yang dipadukan melalui mukjizat Al-Qur’an (yang lebih dahulu dari penemuan ilmiah) dengan mukjizat alam raya yang mengambarkan kekuasaan Tuhan. Perlunya tafsir pada proses pemahaman Al-Qur’an sungguh dibutuhkan. [1]

Secara historis, jika ditarik ke awal permulaannya, tafsir Al-Qur’an hanya dinukil dari Nabi, sahabat, dan kalangan tabiin. Tafsir dengan metode penukilan atau dengan kecenderungan nukil ini disebut dengan tafsir bi al-riwayat. Pada dua generasi terbaik setelah Nabi ini, belum ada pengembangan metode tafsir Al-Qur’an yang signifikan, selain metode bi al-riwayat.[2] Dan ada metode lain yaitu dinamakan dengan bi al ra’yi, metode bi al-ra’yi ini sebenarnya tidak berdiri sendiri. Tetapi mencakup berbagai disimplin ilmu pengetahuan yang memungkinkan dijadikan sebagai pendekatan tafsir. Maka tidak lama setelah persentuhan itu, lahirlah mufassir-mussir yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Imbas dari itu juga, kemudian muncul banyak karya tafsir dengan berbagai macam nuansa kecenderungan. Berdasar pemetaan al-Farmawi, sedikitnya ada tujuh jenis nuansa tafsir dan salah satunya adalah tafsir ‘ilmi.

Orang pertama yang menyuarakan pentingnya pendekatan tafsir ‘ilmi, adalah imam alGhazali (w. 505 H/ 1111 M). Pemikiran ini ia utarakan dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an. Ia menyebutkan dalam beberapa penafsiran ayat Al-Qur’an perlu penggunaan disiplin ilmu sains, seperti: astronomi, perbintangan, kedokteran, dan ilmu-ilmu lainnya yang relevan dengan informasi ayat kawniyyat Al-Qur’an. Namun sebelumn ia tuangkan dalam kitab Jawahir, al-

Ghazali terlebih dahulu di dalam kitab Ihya‘Ulum al-Din telah mengisyaratkan tentang pentingnya ilmu sains.  

Setelah lama gaung tafsir ‘ilmi tidak menggema, di abad modern muncul tafsir al-

Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an karya Thantawi Jawhari al-Misri. Hal yang menarik dari tafsir ini

 

adalah porsi pembahasan ilmu sains modern yang cukup luas. Hal menarik lainnnya, dalam kitab tafsir al-Jawahir, pembahasannya seringkali dilengkapi dengan visual seperti binatang, tumbuhan, pemandangan alam, dan lain-lain. Maka tidak heran jika ada yang berkomentar sinis terhadap karya Thantawi ini. Salah satu penolakan keras datang dari pemerintah Saudi. Bahkan tidak diperkenankan beredar di wilayah Saudi. Dan memang sedari awal pendekatan ‘ilmi dalam tafsir memang menjadi perdebatan ulama. [3]

Meski secara teori masih diperdebatkan dan hasil akhirnya juga masih diperdebatkan pula, pada kesempatan ini, penulis akan menyajikan ulasan seputar al-Jawahir fi Tafsir AlQur’an. Hal yang akan disajikan adalah pembahasan seputar pengenalan lebih dalam mengenai tafsir al-Jawahir, pembahasannya meliputi mengenal biografi pengarangnya, karya-karya beliau, seputar metode dan corak ‘ilmi dimana terlihat pada tafsir karya beliau, yang banyak diperdebatkan para ahli.

PEMBAHASAN

Biografi Jawhari Thantawi

 Sering dikenal dengan al-Jawhari, nama lengkapnya ialah Thantawi bin Jawhari alMisri beliau lahir di desa Iwadhillah Hijazih di Timur Mesir, tahun 1287 H/ 1826 M. Beliau hidup dengan kehidupan yang sederhana. Ibunya tinggal di daerah perkotaan dan sebenarnya Garu berarti 'Ganimah'.[4] Ayah beliau hanyalah seorang petani, namun kecintaan beliau terhadap agama begitu besar, sehingga muncul semangat dan motivasi agar mempunyai semangat dalam menuntut ilmu.[5] Thantawi Jawhari dilahirkan dalam sebuah keluarga petani, sehingga aktifitas masa kecilnya sering membantu oaring tuanya sebagai petani. dan wafat pada tahun 1358/1940 M, ia adalah salah seorang pemikir dan cendekiawan Mesir ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof Islam.

Di waktu kecil Jawhari Thantawi belajar di Madrasah al- Ghar sambil membantu orang tuanya sebagai petani. Setelah menamatkan studi di al-Ghar, ia mendapatkan motivasi dari orang tuanya untuk melakukan serangkaian perjalanan intelektualnya untuk mengembangkan wawasan keilmuanya. dari sana Jawhari Thantawi meneruskan pelajaranya ke al-Azhar diKairo. Di Universitas al-Azhar, beliau bertemu dengan tokoh-tokoh pembaharu terkemuka di kota Mesir antara lain, Muhammad ‘Abduh. Thantawi sangat tertarik dengan sistem pengajaran yang diterapkan Muhammad ‘Abduh dalam kuliah-kuliah yang disampaikan. Bimbingan dan motivasi ‘Abduh dalam berbagai mata kuliah yang diajarkannya membuka cakrawala pemikiran Jawhari Thantawi. 

Jawhari Thantawi banyak terpengaruh dengan pandangan-pandangan ‘Abduh, terutama pandangan untuk mengadakan reformasi masyarakat dan menyerang bid’ah, wahm dan taklid.

Merasa tidak puas dengan system pengajaran di al-Azhar, lalu Thantawi Jawhari pindah ke Dar

 

al-‘Ulum dan menyelesaikannya pada tahun 1311 H/1893 M. Selesai dari kuliah ia bekerja sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah kemudian meningkat memberikan kuliah di Universitas Dar al-‘Ulum. Thantawisangat tertarik dengan cara Muhamad ‘Abduh memberikan kuliah di al-Azhar terutama dalam mata kuliah tafsir. Thantawijuga tertarik dengan ilmu Fisika, dia memandang ilmu fisika dapat menjadi studi untuk menanggulangi kesalahpahaman orang yang menuduh bahwa Islam menentang ilmu dan teknologi modern. Daya tarik inilah yang mendorong Thantawimenyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi ilmu fisika. 

Thantawi diangkat menjadi dosen di al-Jami’ah al-Misriyah 1912 dalam mata kuliah Filsafat Islam. Dalam wacana para pemikir Islam, Jawhari Thantawi cukup popular dalam menggagas pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu. Bila ditelaah gagasan dan pemikiran Jawhari Thantawi maka ada tiga gagasan dan pemikiran yang patut mendapat perhatian. Pertama, obsesinya untuk memajukan daya piker umat Islam.Kedua, pentingnya ilmu dan menguasai idiom-idiom modern. Ketiga, pengkajian terhadap Al-Qur’an sebagai satusatunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu. Salah satu hal penting dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan modern menurut Jawhari Thantawi adalah penguasaan bahasa asing, terutama bahasa inggris. 

Menurutnya secara garis besar ilmu pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian yaitu ilmu bahasa dan ilmu selain bahasa. Ilmu bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam sebuah studi, sebab itu merupakan instrument untuk menguasai berbagai ilmu. Thantawi mendirikan lembaga bahasa asing terutama bahasa Inggris, supaya pemuda-pemuda Islam dapat memahami ilmu barat dan pemikiran mereka. Ia juga aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang tersiar dalam surat-surat kabar atau majalah, dia pun giat mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang sangat berguna untuk memajukan daya pikir masyarakat Islam, menjauhkan mereka dan kebekuan berfikir, keterbelakangan serta menyadarkan mereka untuk menuntut ilmu-ilmu modern. Karena itu Thantawi Jawhari mendorong warga masyarakat Mesir untuk memperbanyak pembangunan sekolah-sekolah dari sekolah dasar sampai sekolah perguruan tinggi. Suatu kesan pemikiran yang sangat mendorong kegiatanya ialah karena keyakinanya bahwa Al-Qur’an memang menganjurkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu dalam arti yang seluas-luasnya.[6]

Karya-Karya Jawhari Thantawi

 Thantawi sebagai penulis menghabiskan umurnya untuk mengarang dan menerjemahkan buku tidak kurang dari 37 tahun lamanya, sejak ia mulai bekerja sebagai guru sampai ia masuk usia pensiun tahun 1930. Dari sekian lama masa yang dilalui terhimpunlah tidak kurang dari 30 kitab dan berbagai judul antara lain yaitu:7

a.       Nidham al-‘Alam wa al-Umam atau Tata Dunia dan Umat manusia 

b.      Mizan al-Jawahir li ‘Ajaib al- Kawn al-Bahir atauTimbangan Mutiara-mutiara dalam keajaiban Alam yang Gemerlap (19900M) 

 

c.       Jawahir al-Ulum atau Mutiara-mutiara Ilmu (1904) 

d.      Al-Arwah atau Alam Roh 

e.       Nizham Wa al-Islam atau Islam dan Sistem 

f.        Al-Hikamt u wa al-Ilukama atau Hukum dan Para Ahli Hukum 

g.      Al-Taj al-Murachshi’ atau Mahkota Yang Bertahta 

h.      Jamal al-‘Alam atau Keindahan Alam

i.        Nahdhat al-Ummat wa Havatuha atau Kebangkitan dan Kehidupan Umat 

j.        Al-Qur’an wa al-‘Ulum al-‘Asriyyat atau Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Modern 

k.      Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim 

Karya Thantawi Jawhari yang paling terkenal adalah kitabnya, al-Jawahir fi Tafsir AlQur’an al-Karim. Kitab ini disusun ketika usianya sudah menginjak usia 60 tahun. Kitab ini banyak merangkum kembali tulisan-tulisan yang sudah beredar sebelum itu. Sebagai mufasir modern, dalam setiap tafsiranya, khususnya tafsir al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim., selalu diorentasikan untuk tujuan menyelaraskan antara sains dan agama Islam, sehingga beliau berpendapat bahwa seluruh perkembangan sains dan teknologi telah disinggung Al-Qur’an.[7] Komentar Para Mufasir

Ada beberapa komentar yang berasal dari para mufasir diantaranya :

a. Abu Ishaq al-Syatibi 

Al-Syatibi telah menolak pandangan tersebut dalam kitabnya Al-Muwafaqat atas dasar bahwa syariat diturunkan dalam bentuk dasar untuk komunitas ummi, ia berpandangan bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan untuk maksud tersebut (yaitu menerangkan teori-teori ilmiah). [8] Dalam memahami Al-Qur’an seorang mufasir harus membatasi diri menggunakan ilmu bantu pada ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, dan yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu bantu lainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan rasulNya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkan.10

 la mencela orang yang menambahkan Al-Qur’an, bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ilmu pengetahuan bagi orang-orang terdahulu dan nanti. Menurutnya orang-orang tersebut telah melampaui batas dalam memposisikan Al-Qur’an. Padahal para salafus shalih dari kalangan sahabat, tabi'in dan setelah mereka adalah orang yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an, ilmunya dan hal yang terkait dengannya, namun tidak pernah dijumpai pendapat seorangpun dari mereka tentang masalah ini, kalaulah mereka mempunyai pandangan lain, maka akan sampai pada kita apa yang menunjukkan pada masalah pokok, namun hal itu tidak ada. b. Syekh Syaltut

Dalam pendahuluan tafsirnya, ia telah mengecam sekelompok cendekiawan yang menguasai ilmu pengetahuan kontemporer atau mengadopsi teori-teori ilmiah, filsafat, dan

 

sebagainya, kemudian dengan bekal pengetahuan itu mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kerangka pengetahuan yang ia kuasai itu. Syaltut menambahkan dua kelemahan penafsiran ini. Pertama, Al-Qur’an bukanlah kitab suci yang diturunkan untuk memberi tahu manusia tentang berbagai disiplin ilmu lengkap beserta teori-teori ilmiahnya. Kedua, penafsiran saintifik seperti ini merupakan penafsiran yang mengabaikan sisi kemukjizatan AlQur’an sebagai salah satu nilai paling tinggi, di samping tidak diikutinya corak penafsiran ini dengan dalamnya pengetahuan agama serta Sintuisi si penafsir.

c. Amin al-Khuly 

Penolakannya terhadap mereka yang hendak mengeluarkan Al-Qur’an dari garisnya dalam dialek Arab yang mereka pahami dan dari dimensi yang mereka ketahui dari ilmu pengetahuan. Ia menolak mereka yang mengira bahwa dalam al- Quran memuat pengetahuan orang-orang salaf dan kontemporer, keagamaan dan keduniawian, syar'iyah dan aqliyah 

d. Sayyid Qutub 

Penolakannya atas penambahan sesuatu yang bukan bagiannya dan menginterpretasikan kepada apa yang tidak al- Quran maksud, dan mengeluarkan beberapa bagian dalam ilmu kedokteran, astronomi, kimia dan lain sebagainya seakan mereka mengagungkannya dan membanggakannya.

e. M. Husein al-Dhahabi 

Al-Dhahabi menolak penafsiran dengan pendekatan ilmiah, karena penafsiran semacam itu keluar dari maksud dan menyimpang dari tujuan Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak diturunkan sebagai sumber berbagai ilmu, kedokteran, astronomi, matematika, kimia, memanggil arwah, dll, namun sebagai buku petunjuk bagi manusia yang mengeluarkannya dari kegelapan menuju alam terang benderang.[9] Diantara para pendukung tafsir 'Ilmi: a. Imam al-Ghazali Ide tafsir ilmi secara serius dikembangkan oleh Ghazali, ia menguraikan secara komprehensif argumentasinya dalam Ihya Ulum al-Din, menurutnya Al-Qur’an. Diantaranya para pendukung Tafsir ini; a. Imam al-Ghazali 

Ide tafsir ilmi secara serius dikembangkan oleh Ghazali, ia menguraikan secara komprehensif argumentasinya dalam Ihya Ulum al-Din, menurutnya Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Ia juga merupakan orang pertama yang mengutarakan akan hal ini. Dalam kitab tersebut ia mengatakan bahwa semua bentuk pemahaman ilmuwan rasional dan perbedaan pendapat dalam hasil analisis dan hasil rasional, maka dalam alQur'an ada beberapa rumusan dan beberapa argumentasi tentang hal tersebut yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Bahkan dalam buku yang dikarangnya setelah Ihya Ulum al-Din yaitu kitab Jawahir Al-Qur’an ia mengulang tema yang sama bahkan lebih luas pembahasannya. 

 

b. Abu al-Fadl al-Mursi 

la mempunyai pendapat yang sama seperti pendahulunya al-Ghazali. Sinyalsinyal AlQur’an yang mendasari bahwa dasar industrialisasi itu terdapat dalam alQuran. Semua ilmu sejak awal hingga nanti terkumpul dalam Al-Qur’an, tidak dapat diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah swt, rasul, sahabat-sahabat terbaik, kemudian diwariskan kepada tabiin, kemudian melemah kepada generasi berikutnya, hingga pemahaman mereka (kita) tidak sebaik pemahaman sahabat dan tabiin. 

c. Al-Suyuti 

la memperkuat pendapat-pendapat diatas yang mendukung penafsiran ini seperti terlihat dalam dua kitabnya al-Itgan dan Iklil al-Takwil fi Istinbat al-Tanzil, ia memperkuat pendapatnya dengan argumentasi Al-Qur’an, hadis, serta pendapat Ibn Mas'ud, Imam Hasan, al-Syafi'i dan lainnya. d. Fakhr al-Din al-Razi Didalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib yang juga dikenal dengan Tafsir al-Kabir, didapati pembahasan ilmiah menyangkut segala bentuk ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu kealaman, astronomi, kedokteran, dan lain sebagainya. "Beberapa ulama yang tidak sepakat dengannya mengkritik bahwa kitab tafsir ini memuat segala sesuatu kecuali tafsir, hal senada juga dilontarkan untuk tafsir AlJawahir.

d. Muhammad Abduh 

la berpandangan bahwa Al-Qur’an memuat hakikat ilmiah (permasalahan alam, secara empiris maupun rasional), Jika diamati, maka seluruh pendukung tafsir saintifik selalu menggunakan tendensi bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang memuat segala hal di dunia tanpa ada yang terlewat satu pun, sesuai dengan firman Allah bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang memuat segala hal tanpa terkecuali. Problematika medikal, kosmologi, astronomi, bahkan biologi dan fisika sejatinya telah terangkum dengan rapi dalam lipatan- lipatan mushaf tersebut.

Latar Belakang Kitab

Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an merupakan sebuah karangan terbesar sosok seorang tokoh yang berasal dari Mesir bernama Thantawi Jawhari dan ini adalah salah satu gambaran karyanya pada bidang tafsir Al-Qur’an. Tafsir Al-Jawahir ini menurut al-Dhahabi mengklasifikasikan ke dalam kelompok tafsir modern makanya banyak sekali yang meneliti tentang persoalan-persoalan pada zaman ini. Dalam menyusun tafsir Al-Jawahir ini sebagaimana yang telah diucapkan oleh al-Dhahabi didasari karena adanya rasa kagum seorang Thantawi Jawhari akan fanorama alam semesta, ketakjubannya, kesusaian terhadap alam, serta keindahan bumi ciptaan Tuhan.[10]

Namun pada saat itu kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan dan yang menguasai ilmu justru melengahkan tentang perihal ini. Ada beberapa sebagian dari kelompok orang-orang kecil saja yang menempatkan pandangannya tentang perkara ini, akibatnya

Thantawi Jawhari tergerak untuk menyusun dan menciptakan sebuah kitab yang berkaitan

 

dengan bukti kenyataan alam semesta. Akhirnya Thantawi Jawhari menekankan, jika dalam memaparkan tafsir ini disarankan agar tidak menerapkan mazhab-mazhab yang telah ada. Disebabkan karena apabila masing-masing persoalan yang disandarkan pada logika dan masih ada satu argumen yang bertentangan dengannya dan tidak selaras maka itu akan ditolak, begitupun kebalikannya apabila logika itu membenarkan suatu argumen, maka hal tersebut wajib diikuti.

Namun akhirnya Thantawi Jawhari banyak mengarang sebuah kitab, akan tetapi dirinya masih belum merasa senang hingga akhirnya beliau ingin melahirkan sebuah karya sendiri yang bisa meliputi segala ilmu pengetahuan. Thantawi Jawhari ingin menguraikan dan menafsirkan Al-Qur’an dengan cara saintifik dengan memakai penafsiran yang bisa mencantumkan ilmu-ilmu yang diketahui oleh manusia. Dan akhirnya Thantawi Jawhari berhasil mewujudkan impiannya tersebut membuat satu karya terbesar dan paling termasyhur yang di beri nama Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an, tafsir ini disebut Al-Jawahir karena kitab ini menetapkan al-Jawharah (inti).

Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an terdapat 25 juz dan memiliki lampiran yang ditambahkan juga olehnya, kemudian secara lengkap jumlah dari tafsir ini ada 26 juz yang terdiri dari 13 jilid, dan untuk pertama kalinya dicetak oleh Muassasah Mustafa al-Bab alHalabi sekitar tahun 1350 H/1929 M dan ukurannya sekitar 30 cm. Berdasarkan pendapat Manna al-Qattan sebagaimana yang dikutip oleh Zaenatul Hakamah alasan menyusun tafsir ini diakibatkan oleh rasa kecewa Thantawi Jawhari pada ulama-ulama terdahulu yang lebih memfokuskan dan mengutamakan perhatiannya terhadap persoalan-persoalan hukum. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Thantawi Jawhari bahwa Al-Qur’an itu bisa menampung 750 ayat yang berbicara tentang perkara ilmu pengetahuan yang mesti diperhatikan dan dipikirkan oleh umat islam.[11]

Menurut Thantawi Jawhari ilmu alam adalah sebuah kewajiban pribadi untuk memahaminya. Dan pada akhirnya Thantawi Jawhari percaya bahwa Allah SWT di dunia ini ada, jika diyakini oleh orang-orang yang memiliki logika dan kesungguhan untuk meyakininya. Para ulama-ulama terdahulu lebih berpengaruh pada kitab-kitab fiqh dan tidak memiliki ayatayat mengenai alam semesta. Oleh karna itu Thantawi Jawhari berupaya membuat sebuah karya dibidang tafsir Al-Qur’an dengan corak ilmi, dan berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan suatu motivasi pada kelompok masyarakat islam untuk menyesuaikan pada perkembangan ilmu pengetahuan.

Sistematika Penulisan

1.      Awal mula pada bab pendahuluan dari kitab ini Thantawi Jawhari menyampaikan latar belakang sebab menyusun kitab tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an.

2.      Thantawi Jawhari menguraikan secara singkat tujuan dari (maqasid) tersebut ialah surat yang hendak ditafsirkannya. Adapun uraiannya Thantawi Jawhari mencantumkan sesudah menerangkan tingkatan-tingkatan surat makkiyyah dan madaniyyah dan penggolongan surat.

 

3.      Thantawi Jawhari menguraikan lafaz-lafaz (al tafsir al-lafzi) atau melafalkan kosa kata, bentuk bahasa dan tata bahasanya dengan meringkas dari masing-masing macam ayat maqasid.

4.      Dalam tafsir ini membentuk pernyataan atau ketetapan pada bacaan yang bermakna lautan dan berkualitas, sementara makna Al-Jawahir itu sendiri merupakan makna yang bernilai dan berkualitas seperti mutiara yang diterdapat pada lautan. 

5.      Mengkaji makna latifah atau Al-Jawahir melalui pernyataan yang singkat dan luas akan ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebesaran Allah SWT terhadap alam semesta, juga memuat uraian yang menghimpun kaitan antara surat atau ayat yang sedang akan dibahas.

6.      Pembahasannya yang bersangkutan pada ilmu ‘ulumul Qur’an seperti sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, kesusaiannya termasuk qira’at juga dibicarakan.[12]

Metode Penafsiran Kitab

Thantawi Jawhari secara tidak langsung menguraikan sistem yang dibangun olehnya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Seorang ulama yang bernama Fahd bin Sulaiman al-Rumi mengelompokkannya ke dalam ahli tafsir yang memakai metode tahlili sebagai metodenya dikarenakan tafsir ini memiliki analisis serta deskripsi yang bermakna dan juga detail dengan cara menguraikan setiap kata pada ayat dan kandungannya yang luas. 

Sumber Penafsiran Kitab

1.      Sumber yang digunakan dalam menafsirkan suatu kitab Thantawi Jawhari lebih mengutamakan terhadap uraian yang spirit dan paham orang-orang yang ada didunia ini terhadap Al-Qur’an, apalagi semuanya itu berkaitan dengan ayat-ayat kauniyah (bil ra’yi). Penafsirannya juga tidak terlalu banyak memasukkan uraian kebahasaan.

2.      Teknik penafsirannya yang memberikan keistimewaan pada tafsir Al-Jawahir banyak menunjukkan sudut pandang ilmiah (saintifik) yang disebabkan karena hal tersebut jadinya lebih memilih mengikuti spekulasi terhadap karya-karya filosof terdahulu dan juga modern.

3.      Tafsir Al-Jawahir ini tidak terbawa untuk ikut pada konflik-konflik teologis, fiqh, dan juga kebahasaan.

4.      Lebih banyak memuat gambaran yang terang atau petunjuk-petunjuk ilmiah bagi para pembaca dengan menggunakan rangkaian-rangkaian pada gambar tumbuhan, dan panorama alam semesta

Corak Penafsiran

Corak/nuansa penafsiran ‘ilmi, karya tafsirnya berbeda dengan yang lain, karena kebanyakan penafsiran yang berkembang pada masanya adalah penafsiran yang lebih menekankan aspek kebahasaan (penjelasan kosa kata, struktur bahasa, dan gramatikanya), sehingga terpaku pada analisa lafaz. Penafsiran seperti itu yang dikritik Thantawi karena lebih banyak melahirkan penghafal daripada pemikir, serta mengakibatkan kreativitas menjadi

 

stagnan dan mati keilmuannya. Adapun penafsiran yang dikembangkan Thantawi Jawhari adalah lebih menitik-beratkan pada analisis spirit atau pandangan dunia Al-Qur’an secara keseluruhan, terutama yang berkaitan dengan sains ilmiah (ilmu alam).

Kelebihan Dan Kekurangan Kitab Al-Jawahir

Kelebihan daripada kitab ini adalah bahwa kitab ini dapat memberikan wawasan yang luas bagi pembaca. Hal itu karena beliau memaparkannya dari segi ilmu pengetahuan. Penafsirannya pun dilengkapi dengan riwayat-riwayat baik itu dari Nabi, sahabat, maupun tabiin. Dan juga, Al Jawhari menyertakan gambar-gambar seperti gambar struktur tumbuhan, hewan, dan lain sebagainya, sehingga tafsir ini menarik perhatian para ilmuan modern.

Kekurangannya, adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama’ bahwa suatu bentuk tafsir ‘ilmiy lebih banyak ditentang. Hal itu karena sesungguhnya Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk, bukan keilmiahan. Apalagi menurut sebagian ulama’, beliau terlalu memaksakan penafsiran dengan dikaitkan pada ayat.

 

PENUTUP Kesimpulan

 Nama lengkapnya ialah Thantawi bin Jawhari al-Misri beliau lahir di desa Iwadhillah Hijazih di Timur Mesir, tahun 1287 H/ 1826 M, dan wafat pada tahun 1358/1940 M. Thantawi Jawhari dilahirkan dalam sebuah keluarga petani, sehingga aktifitas masa kecilnya sering membantu oaring tuanya sebagai petani, namun ia adalah salah seorang pemikir dan cendekiawan Mesir ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof Islam.

 Thantawi sebagai penulis menghabiskan umurnya untuk mengarang dan menerjemahkan buku tidak kurang dari 37 tahun lamanya. Sekitar 30 Kitab Tafsir dari hasil karangan beliau dan salah satu yang terkenal adalah Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an. Dari kitab tersebut dapat diketahui diantaranya corak ilmi, menggunakan metode tahlili, bersumber dari bil ra’yi, dan sistematika dari kitab tersebut salah satunya beliau menerangan tingkatantingkatan ayat makkiyah dan madaniyyah serta penggolongan suratnya.

 Adapun kelebihan dan kekurangan pada setiap kitab tafsir akan selalu ada, dan salah satu diantaranya yaitu pada kitab ini dilengkapi dengan riwayat serta gambar yang cukup lengkap untuk memudahkan pemahaman para pembaca. Namun beberapa ulama juga menentang penafsiran ilmi tersebut, jika dilihat sekilas itu dapat menjadi sebuah kekurangan untuk kitab tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Armainingsih, Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik : Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syeikh Thantawi Jawhari,” Journal At Tibyan, I.1 (2016), 144

Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung dalam Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim

(Perspektif Sains Modern),” Skripsi - UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG, 2016

Fahimah, S., & Lestari, D. A. (2023). Al-Jawahir Fi Tafsiril Al-Qur’anil Karim Karya Thantawi Jawhari: Kajian Tafsir Ilmi. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 6(1), 136149.

Hani, Syarifah Ummi, Lukman Nul Hakim, dan R A Erika Septiana, “Corak Ilmiah Jawhari Thantawi dalam Kitab Tafsir Al-Jawahir (Studi Tahlili Qs. An Nahl: 68-69) Syarifah,” Al-Iklil Jurnal Dirasah Al-Qur’an dan Tafsir, 1.1 (2022), 67–77

https://makalahtafsirjawahir.blogspot.com/2016/01/makalah-tafsir-al-jawahir-tafsirhadits.html?m=1 (diakses pada tanggal 5 Desember 2023)

Idris, Muhaiman, Abdul, “Dakhil al-‘Ilmi dalam Kitab al-Jawahir fii Tafsir Al-Qur’an Karya Thantawii Jawhari.,” Al-Thiqah: Jurnal ilmu Keislaman, 2.2 (2019), 56–62

Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu,

1350 H) juz, 1, h. 3, bandingkan Abdussalam, Sains dan Dunia Islam (Bandung, Pustaka, 1983)

Thantawi Jawhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, juz 25, Studi Tafsir Saintifik: AlJawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim.

Muhammad Ali al- Iyazi, Al- Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, h. 432, Program Pascasarjan IAIN Gunung Djati, Jurnal Teks, Jurnal Studi Qur’an

Kunut, Nuradila, “Penafsiran Thantawi Jawhari dalam Surah Yunus Ayat 3 dan Al-Fatihah Ayat 3,” Al-Mustafid: Journal of Quran and Hadith Studies, 1.1 (2022), 31–38 <https://doi.org/10.30984/mustafid.v1i1.469>

 

 



[1] Armainingsih Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik : Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Syeikh Tantawi Jauhari,” Journal At Tibyan, I.1 (2016), 144. hal. 2

[2] Abdul Idris, Muhaiman, “Dakhil al-‘Ilmi dalam Kitab al-Jawahir fii Tafsir al-Qur’an Karya Tantawii Jawhari.,” Al-Thiqah: Jurnal ilmu Keislaman, 2.2 (2019), 56–62. hal. 1

[3] Ibid, hal. 2-3

[4] Syarifah Ummi Hani, Lukman Nul Hakim, dan R A Erika Septiana, “Corak Ilmiah Thantawi Jauhari dalam

Kitab Tafsir Al-Jawahir (Studi Tahlili Qs. An Nahl: 68-69) Syarifah,” Al-Iklil Jurnal Dirasah Al-Qur’an dan Tafsir, 1.1 (2022), 67–77. hal. 5

[5] Nuradila Kunut, “Penafsiran Tantawi Jauhari dalam Surah Yunus Ayat 3 dan Al-Fatihah Ayat 3,” Al-Mustafid:

Journal of Quran and Hadith Studies, 1.1 (2022), 31–38 <https://doi.org/10.30984/mustafid.v1i1.469>. hal. 3

[6] Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung dalam Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Perspektif Sains

Modern),” Skripsi - UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG, 2016. hal. 116-119  7 Fuad Taufiq Imron. hal. 123

[7] Ibid, hal. 125

[8] Muhammad Nur Ikhwan, Tafsir Ilmi Memahami al-Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modem, hal. 33 10 Muhammad Husein al-Dhahabi, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an (Yogyakarta: CV. Rajawali, 1986), hal. 356.

[9] Muhammad Husein al-Dhahabi, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, hal. 12

[10] Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1350 H) juz, 1, hal. 3, bandingkan Abdussalam, Sains dan Dunia Islam (Bandung, Pustaka, 1983), hal. 16.

[11] Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, juz 25, Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim.

[12] Muhammad Ali al-Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, h. 432, Program Pascasarjan IAIN Gunung Djati, Jurnal Teks, Jurnal Studi Qur’an, hal. 151-153.

Posting Komentar

0 Komentar