TAFSIR MEDIA SOSIAL DAN KONTESTASI POLITIK

 


A. Pendahuluan

Sejarah telah memperlihatkan bahwa Al-Qur’an terus berkembang pada setiap zamannya, sebagai tanda keberadaan dari kemajuan teknologi zaman itu sendiri. Dari mulai hanya Al-Qur’an hanya ditulis, berkembang lalu dibukukan, diterbitkan, dibuat audio, video, hingga bisa disebar luaskan dengan bebas melalui internet. 

Jadi keduanya selalu memberi timbal balik, yaitu teknologi selalu membawa Al-Qur’an kepada inovasi baru, dan perubahan Al-Qur’an itu sendiri mempengaruhi persepsi manusia terhadapnya.

Pada sisis lain negara Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama

Islam di dunia, tak heran jika banyak literatur Al-Qur’an yang beredar di Indonesia. Jadi tak heran juga pada saat era digital ini, banyak konten tentang kajian Al-Qur’an, terjemahan, bahkan sampai dengan tafsirnya. Namun mirisnya data menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat baca yang rendah yaitu urutan terbawah dari 61 negara, disamping itu juga ada sebuah artikel yang merilis data, bahwa ada 63 juta penduduk Indonesia adalah pengguna aktif internet dan 95% darinya menggunakannya untuk bermain sosial media[1].

Demikian daripada itu dapat disimpulkan, bahwa membaca kajian Al-Qur’an digital lebih diminati oleh penduduk Indonesia pada saat ini.

 

 

B. Pembahasan 

Sekarang ini kita sudah berada di era media sosial, dimana dengan mudahnya kita memberi atau mendapatkan suatu informasi melalui media sosial. Tantangan kita di masa ini adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan media sosial sebagai wadah membumikan Islam dan Al-Qur’an kepada para pengguna sosial. Dulu untuk mendapatkan suatu kajian ilmu kita harus pergi ke suatu majelis untuk mendengarkan cermah dari para ustadz, sekarang dengan mudah kita bisa mendapatkannya hanya melalui smartphone kita, dimanapun dan kapanpun kita mau.

Beragam aplikasi yang bisa kita gunakan, seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube ataupun Telegram Channel. Semua itu hendaknya kita bisa memakainya dengan bijak, seperti untuk sarana dakwah, ataupun untuk menebar segala kebaikan. Namun terlepas dari itu ada juga dampak negatif dari adanya media sosial yang di dampakan oleh pengguna yang tidak bijak. Seperti  kita sulit untuk  membedakan mana ustadz sungguhan ataupun yang bukan, karena di media sosial siapa saja bisa menjadi ustadz dadakan. Alhasil media sosial juga dipakai untuk menyebarkan hoaks, ajaran islam yang tidak ramah, saling hujat, dan sedikit susah untuk melihat mana yang benar dan mana yang salah[2].

Penafsiran ayat suci Al-Qur’an akan terus mengalami perkembangan, terlebih dengan adanya media sosial. Bisa kita lihat perbedaaan antara hasil penafsiran di dalam kitab dengan penafsiran di media sosial media. Kebanyakan penafsiran di media sosial menggunakan metode penafsiran tahlili, yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat dan makna terkait, dan mecantumkan juga asbabun nuzul nya jika memang diperlukan, serta memeberi penjelasan mendalam terhadapnya. Penafsiran di media sosial tentunya akan banyak melahirkan berbagai perspektif tafsirannya karena dengan melihat berbagai komentar yang ditulis oleh para pengikut akun si penulis3.

Salah satunya ada Nadhirsyah Hosen atau yang lebih kita kenal dengan Gus Nadir, ia adalah salah satu dosen aktif  Monash University di fakultas hukum. Selain itu beliau merupakan tokoh yang aktif menulis tafsir di media sosial, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram nya. Konten yang ia tuangkan di media sosialnya memiliki pembahasan yang beragam, seperti tafsir Alquran, sejarah politik Islam dan hukum[3]. Dan wacana yang ditulisnya lebih kepada isu-isu fiqih (Islam kontemporer), dan kajian sosial-kemanusiaan. Beliau memanfaatkan medsos untuk menjawab problem-problem keIslaman, belaiu juga mengutip dari para mufassir klasik-kontemporer, seperti Ibn Abbas, Imam At-Thabari, Imam al-Qurthubi, Imam al-Mawardi hingga Wahbah Zuhaili[4].

Tulisan Nadhirsyah Hosen sendiri seringkali menuai berbagai tanggapan dan komentar dari para follower nya, seperti tulisannya tentang tafsir “Kata Awliya dalam Qs. Al-Maidah [5]: 51”.

Tafsir Kata Awliya dan Asbabun Nuzul dalam Qs. Al-Maidah [5]: 51

Tema ini sempat ramai diperbincangkan karena bertepatan dengan pidato dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ,Gubernur DKI Jakarta 2014-2017, dimana dalam pidatonya mengutip Qs. Al-Maidah [5]:51 dan mengatakan, 

“jadi saya ingin cerita ini supaya Bapak Ibu semangat, jadi kalau sepikiran, aa nanti kalo gak kepilih pasti Ahok programnya bubar, Gak saya sampai Oktober 2017.  Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil Bapak Ibu gak bisa pilih saya ya karena dibohongin pake surat al-Maidah 51 macem-macem itu”. 

Melalui pidatonya itu terlihat jelas dia menyebutkan bahwa Qs. Al-Maidah dipergunakan seseorang untuk membohongi masyarakat dalam hal pemilihan kepala daerah.  Padahal dirinya sendiri yang menggunakannya untuk kepentingan pilkada, karena saat itu dirinya terdaftar sebagai cagub Jakarta. Dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok ini menuai banyak pendapat pro dan kontra di kalangan umat Muslim, pernyataan yang telah tersebar luas di internet ini tak hanya membuat gempar warga DKI Jakarta saja, tapi bahkan seluruh Indonesia. Menurut MUI Ahok telah menghina kitab suci Al-Qur’an dan para ulama[5].

Lalu apakah benar Al-Maidah ayat 51 melarang kita memilih non-Muslim sebagai pemimpin? 

يٰآٰيَُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنوُْا لََ تتَخَِّذوُا الْيهَُوْدَ وَالنصَّٰرٰٰٓى اوَْلِياَۤءَ ۘ بعَْضُهُمْ اوَْلِياَۤءُ بعَْ ٍۗض وَمَنْ

 يَّتوََلهَُّمْ ِّمِنْكُمْ فاَِنهَّٗ مِنْهُمْ ٍۗ انَِّ هاللَّٰ لََ يهَْدِى الْقَوْمَ الظهلِمِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya, sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai awliya, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka”[6].

Menurut Nadhirsyah Hosen dalam bukunya(Tafsir Al-Quran di Medsos : Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci Pada Era Media Sosial), pada konteks asbabun nuzul dan tafsir klasik at-Thabary dan Ibn Katsir tidak menunjukkan kata “awliya”sebagai pemimpin, tapi lebih kepada sekutu ataupun aliansi. Berikut penjelasan tafsir Ibn Katsir tentang asbabun nuzul Qs. Al-Maidah ayat 51[7]:

Asaddi mengatakan bahwa turunnya ayat ini berkaitan dengan dua orang lelaki, yang mana keduanya mengatakan kepada kawan lainnya setelah perang Uhud, “Sesungguhnya aku akan datang kepada orang Yahudi itu, lalu aku akan berlidung kepadanya dan masuk agamaYahudi, mungkin ia akan berguna bagiku jika kelak terjadi sesuatu hal padaku. Adapun yang lainnya juga menyatakan bahwa aku akan datang kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu aku akan berlindung kepadanya dan masuk ke agama Nasrani. Demikianlah ayat tersebut turun. Ibn Katsir tidak menganggap kata awliya bukan sebagai pemimpin, tetapi semacam sekutu atau aliansi.

Nadhirsyah Hosen dalam bukunya merujuk kepada 10 kitab tafsir, diantaranya ialah

Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Tafsir Jalalain, Tafsir Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir Al-Khazin, Tafsir Al-Biqa’I, Tafsir Muqatil, Tafsir Al-Durr AlMansyur (dan termasuk Ibn Katsir yang sudah dijelaskan di atas) beliau menyimpulkan, bahwa tidak ada yang menafsirkan kata”awliya” dalam Qs. Al-Maidah ayat 51 sebagai pemimpin.  

Jika kita lihat, Gus Nadhir berusaha mencari korelasi realitas sosial masa kini dengan teks itu sendiri atau memahaminya dengan lebih kontekstual. Menurutnya penting untuk memperhatikan sosio-historis dalam penafsiran, bahkan bukan hanya dalam perihal keagamaan untuk memilih pemimpin, tapi seperti aspek penegak keadilan juga, karena ada keberpihakan tuhan di dalamnya[8].

Namun penafsiran Nadhirsyah Hosen tak haya berhenti di situ saja, banyak para followers nya yang berkomentar dan mengaitkannya dengan pengartian kata awliya  pada Qs. An-Nisa ayat 144, kebanyakan dari mereka berasumsi bahwa ayat tersebut menjadi penguat dari Qs. Al-Maidah ayat 51 yang melarang untuk menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin. Kemudian Nadhirsyah Hosen menanggapi komentar-komentar mengenai Qs. An-Nisa tersebut melalui postingan facebook nya.

Menurut Ibn Katsir, “Allah melarang menjadikan non muslim menjadi awliya, sebenarnya yang dimaksud dalam ayat ini adalah menjadikan mereka sahabat yang setia, tulus, sehingga dikhawatirkan bisa membocorkan rahasia-rahasia orang mukmin”. Jadi yang dimaksud kata awliya pada Qs. Al-Maidah ayat 51 dan Qs. An-Nisa ayat 144, ialah bukan larangan menjadikan  mereka sebagai pemimpin, tapi yang dimaksud ialah larangan menjadikannya teman. Tetapi konteks disini bukanlah berteman sehari-hari. Melainkan bersekutu dan beraliansi, menjadikan mereka tempat pelindung, hingga meninggakan orag Islam.

Terjadi banyak keberagaman dalam menafsirkan kata awliya ini, seperti akun facebook yang bernama Alfitri asal Pekan Baru (alumni Pendidikan Islam di UIN Syarif Kasim Riau), jika dilihat dari linimasanya ia mempunyai kecenderungan terhadap politik. Ia mengkritik tulisan Nadhirsyah Hosen yang menyatakan bahwa Al-Maidah ayat 51 tidak ada hubungannya dengan mengangkat seorang pemimpin. Lalu Alfitri menyanggahnya dengan mengatakan, “memang konteksnya tidak  disebutkan  seperti  itu  tapi  hukum  dalam  ayatnya  yang  bersangkutan dengan  mengangkat  pemimpin  dari  orang  kafir  sebagaimana  ayat  ini  dipakai oleh Khalifah Umar ketika memecat seorang juru tulis Abu Musa”. Lewat kritiknya ini bisa disimpulkan, bahwa Alfitri memiliki pandangan yang berbeda dengan Nadhirsyah Hosen[9].

Memahami Kisah Umar bin Khattab dan Abu Musa Al-Asy’asri

Salah satu komentar yang ditulis oleh akun yang bernama Erizal Bin Katab mengenai tulisan Nadhirsyah Hosen yang berjudul “tafsir Qs. An-Nisa atyat 138-139 bukan mengenai pilkada”, ia juga mencatumkan dari suatu sumber yang mengatakan bahwa itu mengenai khalifah Umar melarang Abu Musa menjadikan non muslim menjadi juru tulis, pernyataan ini diambil dari kitab Ibn Katsir dan juga digunakan oleh beberpa pihak tertentu untuk meyerang kandidat di dalalam masa pilkada.

Terlebih dahulu Nadhirsyah Hosen menjelaskan kronologi dari kisah tersebut yang bersumber dari tafsir Ibn Katsir yang diriwayatkan dari Ibn Abi Hatim, juga bersumber dari beberapa kitab lainnya juga seperti tafsir Al-Darr Al-Mansur. Jadi pada saat itu Umar bin

Khattab sedang menjabat sebagai khalifah, ia meminta laporan rutinan kepada Abu Musa (selaku gubernur), lalu Abu Musa membawanya untuk menghadap Umar di Madinah. Kahlifah Umar yang begitu kagum akan kerapihan laporan dari sekrtaris Abu musa, lalu Umar pun menyuruh Abu Musa untuk mengajak sekretarisnya itu ke dalam masjid untuk menemuinya. Namun Abu Musa berkata sekretarisnya ini tidak bisa masuk ke dalam Masjid Nabawi[10].

Lalu Khalifah Umar pun bertanya, “Kenapa? Apakah dia dalam kondisi junub?”

Abu Musa pun menjawab, “Bukan, karena dia orang Nasrani”.

Umar pun sangat marah kepada Abu Musa dan menyuruhnya untuk mengusir sekretaris itu. Lalu Umar membcakan Qs. Al-Maidah ayat 51. Perlu kita ketahui alasan pasti kenapa khalifah Umar ini marah, Pertama karena Abu Musa mengajak sekretarisnya itu ke dalam Madinah, yang jelas-jelas kota itu telah dikhusukan untuk umat Islam saja, dan ketika Umar menyuruh Abu Musa untuk mengusirnya, maksudnya ialah usirlah ia dari Madinah, disusul dengan perkataan Umar, “Jangan bawa mereka mendekati seseuatu yang Allah sendiri telah menjauhkannya”. Jadi alasan Umar bukan semata-mata karena orang Nasrani itu yang memiliki jabatan tersebut.

Juga alasan yang kedua karena rasa ketergantungan Abu Musa kepada sekretarisnya ini yang orang Nasrani, padahal  saat itu Umar sedang melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non muslim, dan juga dikhawatirkannya orang ini mempunyai potensi membocorkan rahasia ke negara yang sedang melakukan ekspansi dakwah.

C. Kesimpulan

 Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sekarang kita dapat dengan memudah meangakses segala apapun lewat media sosial, sama halnya kita juga mudah dalam menjumpai berbagai penafsiran Al-Qur’an. Namun kita juga harus bijak dan selektif juga dalam menggunakannya. 

Salah stu tokoh aktif yang menuliskan tafsiran Al-Qur’an di medsos adalah Nadhirsyah Hosen, yang kebanyakan membahas wacana-wacana yang sedang ramai diperdebatkan pada saat itu, seperti kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Ttjahaja Purnama (Ahok). Gus Nadhir pun mengambil suara mengenai penafsiran Qs. Al-Maidah melalui medsosmya (laman facebook), yang bersumber dari berbagai kitab tafsir klasik kontemporer.

Banyak pro kontra dalam hal tersebut, sehubunagan tafsir media sosial yang cepat di respon oleh para pegguna dengan waktu yang cepat, Nadhirsyah Hosen pun menuai banyak komentar, dan tak sedikit juga yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai penafsirannya.

 

D. Daftar Pustaka

Fadhli Lukman. (2016),  Tafsir Sosial Media di Indonesia”. Nun: Jurnal Studi Al-Qur’an  dan Tafsir. Vol. 2, No. 2.

 

Helmy Zakariya. (2017). “Ragam Penafsiran Netizen Tentang Pemimpin Non-Mslim”,      Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society. Vol. 2, No. 2.

 

Kemenag, Al-Qur’an/5:51.

 

Mabrur. (2020), “Era Digital dan Tafsir Qur’an Nusantara”. Prosiding Konferensi Integrasi  Interkoneksi Islam dan Sains”. Vol. 2, No.1.

 

Mutmaynaturihza. (2018). “Dialektika Tafsir Media Sosial di Indonesia”. Hermeneutika:             Jurnal Ilmu Al Qur’an dan Tafsir. Vol. 12, No.1.

 

Nadirsyah Hosen. (2019).  “Tafsir Al-Qur;an di Medsos”. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

 

Silvina Mayasari. (2017).Konstruksi Media Terhadap Berita Kasus Penistaan Agama Oleh         Basuki Tjahaja Purnama”, Jurnal Komunikasi. Vol.8, No.2.

 



[1] Fadhli Lukman, “Tafsir Sosial Media di Indonesia”, Nun: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 2, No. 2, (2016), hal. 118.

[2] Nadirsyah Hosen, “Tafsir Al-Qur;an di Medsos”, Yogyakarta: Bentang Pustaka, (2019).  3 Mutmaynaturihza, “Dialektika Tafsir Media Sosial di Indonesia”, Hermeneutika: Jurnal Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, Vol. 12, No.1, (2018), hal. 193.

[3] Mutmaynaturihza, “Dialektika Tafsir Media Sosial di Indonesia”, Hermeneutika: Jurnal Ilmu Al

Qur’an dan Tafsir, Vol. 12, No.1, (2018), hal. 193.

[4] Mabrur, “Era Digital dan Tafsir Qur’an Nusantara”, Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi

Islam dan Sains”, Vol. 2, No.1, (2020), hal. 208.

[5] Silvina Mayasari, Konstruksi Media Terhadap Berita Kasus Penistaan Agama Oleh Basuki Tjahaja Purnama”, Jurnal Komunikasi, Vol.8, No.2, (2017), hal. 9.

[6] Kemenag, Al-Qur’an/5:51.

[7] Nadirsyah Hosen, “Tafsir Al-Qur;an di Medsos”, Yogyakarta: Bentang Pustaka, (2019).

[8] Mabrur, “Era Digital dan Tafsir Qur’an Nusantara”, Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi

Islam dan Sains”, Vol. 2, No.1, (2020), hal. 2011.

[9] Helmy Zakariya, “Ragam Penafsiran Netizen Tentang Pemimpin Non-Mslim”, Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society, Vol. 2, No. 2, (2017), hal. 176.

[10] Nadirsyah Hosen, “Tafsir Al-Qur;an di Medsos”, Yogyakarta: Bentang Pustaka, (2019).

Posting Komentar

0 Komentar