TAFSIR AL-BAYANI LIL AL-QUR’AN AL-KARIM KARYA AISYAH BINTI ABDURAHMAN


Pendahuluan

Pada perkembangan zaman seperti saat ini, segala hal telah berubah dari sebelumnya, termasuk juga dengan tafsir Al-Qur’an. Meskipun Al-Qur’an itu statis, namun zaman adalah dinamis, sehingga kegiatan penafsiran Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir sampai akhir zaman. 

Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk memantapkan pemahaman manusia mengenai Al-Qur’an yang shahih li kulli zaman wa makan. spirit Al-Qur’an sebagai petunjuk manusia perlu menjadi pegangan para mufassir. Sudah dikenal sebelumnya mengenai Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang terkenal dengan kajian kitab tafsir modernnya. Yang selanjutnya muncullah penerus dari keduanya, diantaranya; Ammin 

Al-Khulli, Aisyah Bintu Abdurrahman (Bintu Syathi’), Ahmad Khalaf Allah, Syukri ‘Ayyad, Nasr Hamid abu Zaid dan lain sebagainya. 

Dari apa yang disebutkan sebelumnya, maka dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk meneliti salah satu dari mereka, yaitu Aisyah Bintu Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Bintu Syathi’. Ketertarikan penulis terhadapnya, selain karena ia merupakan tokoh kontemporer dalam tafsir, juga ia tercatat sebagai tokoh perempuan pertama yang menuliskan kitab tafsir yang berjudul Al-Bayani Lil Al-Qur’an Al-Karim.

PEMBAHASAN Biografi Aisyah Binti Abdurahman dan Karya-Karyanya

Bintu Syathi’ bernama asli Prof. Dr. ‘Aishah ‘Abd al-Rahman, seorang mufassirah yang serius menggeluti ranah tafsir al-Qur’an dan sastra Arab. Lahir pada tanggal 6 November 1913 bertepatan dengan tanggal 6 Dzulhijjah 1331 H, di sebuah desa Dhimyath, sebuah kota pelabuhan di Delta Sungai Nil, bagian Utara Mesir. Bintu Syathi’ bertumbuh-kembang dengan keluarga akademisi yang religius dan berkecukupan. Semasa kecilnya ia hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis, mapan, dan berpendidikan. Ayahnya bernama Syeikh Muḥammad ‘Ali ‘Abd al-Rahman dan ibunya bernama Faridah ‘Abd al-Salam Muntasir. Ayahnya seorang alumnus Universitas AlAzhar, seorang tokoh sufi yang konservatif dan juga seorang pengajar di Dhimyath Religious Institute, berasal dari daerah Shubra Bakhum dari wilayah Manufiyah. Kakek dari garis keturunan sang ibu yaitu Shaykh Ibrahim ad-Damhuji al-Kabir, adalah seorang ulama besar (Syeikh) di Universitas al-Azhar. Nama pena Bintu Syathi’ memiliki arti anak perempuan pinggiran (sungai). Penggunaan nama samaran tersebut, berawal dari semasa belia ia senantiasa gemar membaca dan belajar di pinggiran sungai Nil. Ia senantiasa menyamatkan namanya sebagai Bintu Syathi’ selama perjalanannya sebagai seorang penulis. Ia merintis karirnya kepenulisan pada bidang sastra sejak lama, dengan sering menulis esai bidang bahasa dan puisi-puisi sastra. 

Bintu Syathi’ pernah menjabat sebagai redaktur women's magazine pada majalah alNahdhah al-Nisaiyyah (Women Awakening Magazine) pada tahun 1933. Bintu Syathi’ memulai pendidikannya sejak berumur 5 tahun, pada tahun 1918. Beliau menuntaskan S1 Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab Universitas Fuad I (sekarang Universitas Kairo) pada tahun 1936 dan bergelar sarjana (Lc./Licence). Kemudian Bintu Syathi’ berhasil meraih gelar Magister Pada tahun 1941 dan gelar Ph.D pada 1950 pada bidang dan fakultas di Universitas yang sama. Desertasinya berjudul al-Gufran li Abi al-A’la alMa’ari tentang Critical Research on Risalah al Ghufran (Treatise on Forgiveness) dengan penguji Thaha Husain. 

Bintu Syathi’ adalah seorang maha guru bahasa dan sastra arab pada fakultas dirasat li al-banat Universitas ‘Ayn al-Syams di kota Cairo. Karya fenomenalnya adalah alTafsir al-Bayani Lil al-Qur’an al-Karim, tafsir Bintu Syathi’ ini direspon oleh banyak cendekiawan muslim lainnya, sehingga ia beberapa kali mendapat tawaran sebagai dosen tamu di beberapa Universitas dan juga sebagai narasumber seminar di luar negeri seperti Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez, Khartum. Perhatiannya untuk berkutat dalam tafsir lughawy (linguistic), termotivasi oleh Prof. Amin al-Khulli, beliau adalah seorang dosen yang fokus pada dunia kebahasaan di Universitas Cairo yang kemudian menjadi suaminya. Di usia 85 tahun, Bintu Syathi meninggal dunia pada Selasa, 1 Desember 1998, disebabkan oleh serangan jantung. Meski Bintu Syathi sudah tidak tiada, namun sumbangsihnya bagi perkembangan ilmuilmu keislaman khususnya bidang tafsir akan terus dikenang dan mewarnai dunia intelektualitas keislaman. Berikut beberapa karya Bintu Syathi’;[1]

1.        Al-Tafsir al-Bayani li Al-Qur’an al-Karim

2.        Al-I‘jaz al-Bayani wa Masa’il Ibn al-Azraq 

3.        Al-Qur’an wa al-Tafsir al-‘Ashri

4.        Nisa’ al-Nabi Radhiyallah ‘an-hum 

5.        Al-Hayah al-Insaniyah ‘inda Abi al-‘Ala  

6.        Qiyam Haditsah li al-Adab al-‘Arabi al-Qadim wa al-Mu‘ashir

7.        Lughatuna wa al-Hayah 

8.        Turatsuna bayn Madhi wa Hadhir 

9.        Al-Khunasa’: al-Sya‘irah al-‘Arabiyah al-Ula 

10.    Ardh al-Mu‘jizat Rihlah fi Bilad al-‘Arab

Latar Belakang Penulisan

Adapun latar belakang penulisan tafsir ini, agaknya sangat erat kaitannya dengan latar belakang keluarga, pendidikan, dan karir yang melingkupi seorang Bintu Syathi’. Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang membuatnya

 

resah, hingga pada akhirnya kitab tafsir ini muncul dihadapan kita. Setidaknya ada tiga faktor penyebab keresahannya, antara lain: 

Pertama, Bintu Syathi’ melihat bahwa para penggiat sastra hanya memusatkan kajiannya seputar teks-teks syair, puisi, pidato, dan semacamnya. Padahal, menurutnya, jika para penggiat sastra Arab menginginkan hal yang maksimal dalam kajiannya, maka objek kajian yang seharusnya dipakai adalah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan kitab terbesar yang dimiliki oleh orang Arab, mu’jizatnya bersifat jelas dan kekal, serta perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Al-Qur’an merupakan yang memiliki level tinggi. 

Kedua, ia melihat keminiman mufassir menggunakan pendekatan sastra bahasa, dalam hal ini bahasa Arab ketika hendak menafsirkan Al-Qur’an. Tafsir yang ada masih taqlid dan hanya mengambil atsar dari para pendahulu sehingga hasil penafsiran dari tafsir tersebut sama dengan para pendahulu. 

Ketiga, ketika guru sekaligus suaminya, Amin Al-Khuly melakukan pembaharuan dan keluar dari sistem taqlid kepada para mufassir terdahulu, yaitu dengan cara mengembalikan teks yang membutuhkan penafsiran ke dalam bahasa aslinya, dengan berpijak kepada ma fi Al-Qur’an dan ma hawla Al-Qur’an, yang mana hal tersebut diajarkan kepada Bintu Syathi’.[2]

Corak dan Metode Penafsiran 

Kitab Tafsir Al-Bayani lil Al-Qur’an Al-Karim ini memiliki corak adabi atau biasa dikenal dengan corak bayani dengan metode yang digunakan ialah metode maudhu’i (tematik).[3] Perlu diingat, bahwa metode tematik yang dimaksudkan disini bukan seperti

 

yang lazim digunakan; lintas surat, melainkan tematik yang terbingkai dalam satu surat.[4] Dapat disimpulkan Bintu Syathi’ dalam penafsirannya mengacu kepada metode pembaharu yang diusung oleh sang suami, yang mana Amin Al-Khulli menawarkan dua cara pendekatan terhadap Al-Qur’an, yaitu:[5]

1.      Kajian seputar Al-Qur’an (dirasah ma hawla Al-Qur’an); yang meliputi dua bagian yaitu kajian khusus dan kajian umum. Pertama, kajian khusus ini terfokus pada pembahasan mengenai proses turunnya Al-Qur’an, penghimpunan dan pekembangannya dimasyarakat Arab seperti variasi bacaan (qira’at) dan sebagainya atau biasa dikenal dengan ‘Ulumul Qur’an. Kedua, kajian umum meliputi aspek sosial-histori Al-Qur’an; situasi intelektual, kultural dan geografis masyarakat arab pada abad ke tujuh saat Al-Qur’an itu diturunkan.

2.      Kajian mengenai Al-Qur’an itu sendiri (dirasah ma fi Al-Qur’an); mulai kepada pembahasan mengenai kosa kata dan kebahasaan. Yangmana mencangkup beberapa tahapan diantaranya; pertama, meneliti entri-linguistik suatu lafal yang akan ditafsirkan. Kedua, mengamati makna-makna etimologis yang terkait dengan entri tersebut. Ketiga, setelah meneliti lafal dan mengamati makna etimologisnya, maka selanjutnya perlu adanya pengurutan pengertian etimologis tersebut berdasarkan kedekatannya dengan masa nabi, hingga akhirnya sampai kepada proses pengunggulan (Tarjih). Keempat, Setelah menentukan pengertian etimologis, selanjutnya mencari lokasi-lokasi penggunaan lafal tersebut dalam Al-Qur’an. Kelima, perlu menggabungkan makna etimologis dengan makna fungsional yang ditemukan dalam Al-Qur’an, agar menemukan pemahaman mengenai penggunaan kata tersebut. Keenam, Dengan pemahaman yang diperoleh, penafsir dapat melanjutkan untuk menafsirkan lafal tersebut dalam

 

konteks ayat yang sedang dijadikan obyek penafsiran. Dan yang terakhir, Selain pemahaman kosakata, juga harus meneliti susunan kata (murakkabat) dalam AlQur’an yang dapat dibentu dengan ilmu-ilmu bahasa dan sastra seperti nahwu, shorof, balaghah dan sebagainya. 

Dengan apa yang telah ditawarkan diatas, Bintu Syathi’ mengembangkan dua metode tersebut kepada empat langkah penafsiran, yaitu:[6]

1.      Mengumpulkan surat dan ayat yang berkaitan dengan topik yang dikaji dengan menggunakan pendekatan tematik. Bintu Syathi’ disini menggunakan prinsip yaitu Al-Qur’an yufassir ba’duhu ba’da (sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian yang lain). 

2.      Surat dan ayat disusun berdasarkan tartib al-nuzul, sehingga dapat mengetahui asbab al-nuzulnya. Menurut Bintu Syathi’ asbab al-nuzul tidak dipandang sebagai penyebab turunya Al-Qur’an melainkan hanya sebagai gambaran mengenai keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan tersebut. Maka diharapkan dengan hal tersebut, tidak akan terjadi perdebatan para ulama mengenai asbab al-nuzul karena memang lebih menitikberatkan kepada generalisasi kata atau dalam prinsip Bintu Syathi’ disebutkan al-ibrah bi ‘umum al-lafzi la bi khusus al-sabab (ungkapan suatu redaksi itu sesuai dengan keumuman lafalnya bukan karena kekhususan sebabnya). 

3.      Untuk memperoleh pemahaman Al-Qur’an maka perlu adanya penelusuran mengenai kosa kata yang terdapat dalam A-Qur’an itu sendiri. Karena Bintu Syathi’ meyakini bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an tidak memiliki sinonim.[7] Hal tersebut dapat dilakukan melalui pengumpulan seluruh bentuk kata di dalam Al-

 

Qur’an dan mengkaji konteks spesifik kata tersebut. Bintu Syathi’ menggunakan prinsip munasabah baina ayat untuk mengetahui pemaknaan ayat secara general. 

4.      Untuk mengartikan pemaknaan yang sulit, perlu kembali kepada Maqashid syari’ah dan juga pendapat para mufassir yang lain, perlu diperhatikan, bahwa hanya kepada pendapat yang sesuai dengan maksud nash tersebut; dalam artian di dalamnya tidak mengandung kisah israiliyyat dan juga hal-hal yang berbau bid’ah, karena menurut Bintu Syathi’ hal tersebut merupakan upaya untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an.  

Sumber Penafsiran 

Sumber penafsiran kitab ini adalah perpaduan antara bil Ma’tsur dan bil Ra’yi. pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan salah satu prinsip yang dipegang oleh Bintu Syathi’[8] dan didukung juga dengan adanya kutipan yang diambil dari pendapat mufassir klasik sebagai rujukan; Ath-Thabari, Al-Zamakhsyari, Fahruddin Ar-Razi, dan sebagainya.[9] Walaupun demikian, Bintu Syathi’ bukan sekedar mencontoh atau menyontek pendapat-pendapat tersebut melainkan adanya analisis mendalam mengenai kekurangan dan kelebihannya, baru setelah itu Bintu Syathi’ memaknai dengan argumentasinya sendiri.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Kitab Tafsir Al-Bayani lil Al-Qur’an Al-Karim ini diataranya sebagai berikut:[10]

 

1.      Pada jilid pertama yaitu dari surat Ad-Dhuha, Al-Insyirah, Al-Zalzalah, Al-

‘Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur.[11]

2.      Jilid kedua terdiri dari surat Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Asarh, Al-Lail, Al-Fajr, Al-

Humazah, yang terakhir Al-Maun.[12]

3.      Sistematika penulisan kitab tafsir Al-Bayani lil Al-Qur’an Al-Karim ini ialah Bintu Syathi’ menyebutkan muqaddimah dipermulaan kitab, lalu menyebutkan surat secara utuh sesuai turun pewahyuan, setelah itu beliau menjelaskan riwayatriwayat mengenai penggolongan surat. Seperti dalam penafsiran surat Ad-Dhuha beliau menyebutkan riwayat dari Sayyidah Khadijah yang menyatakan bahwa surat tersebut termasuk kedalam golongan Makiyyah. Dan juga didahului penndapat dari para mufassir pendahulu, seperti pendapat Muhammad Abduh mengenai makna kata dhuha.[13] 

4.      Menyebutkan riwayat Asbab al-Nuzul jika ada.

5.      Adanya pengumpulan penggunaan kata yang sama pada ayat-ayat Al-Qur’an yang lain, sebagai contoh kata ad dhuha yang juga digunakan dalam QS. AnNaziat: 29 dan 46, QS. Al-A’raf, dan Thaha: 59.[14]

6.      Yang terakhir beliau menyampaikan argumentasisnya terhadap pendapatpendapat para ulama yang telah dipaparkan, dan menjelaskan ayat-ayat dalam surat secara rinci.[15]

 

Komentar Terhadap Bintu Syathi’ dan Kitabnya

Disamping hal yang telah dipaparkan, sebuah karya tafsir tidak akan lepas dari kritikan pihak eksternal, kritakan-kritikan tersebut diantaranya sebagai berikut:[16]

1.      Metode yang digunakan Bintu Syathi’ dianggap akan menggeser makna ayat, mengingat jarak waktu yang lama dari masa turunnya Al-Qur’an. Sehingga gayagaya bahasa pada ayat permulaan wahyu harus sama dengan yang turun dikemudian. 

2.      Para mufassir klasik tidak sepenuhnya sepakat tentang Asbab al-Nuzul, dikarenakan riwayat mengenai hal itu dapat menimbulkan perbedaan penafsiran dan muncul kekacauan akibat perbedaan tersebut. 

3.      Kritik terakhir terhadap metode yang digunakan oleh Bintu Syathi adalah bahwa bahasa Arab yang digunakan pada zaman Rasulullah SAW memiliki variasi bahasa yang terdokumentasikan dalam syair-syair. Dari syair-syair ini, dapat ditemukan indikasi bahwa bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an mungkin berbeda dari bahasa yang digunakan dalam konteks lain. Oleh karena itu, jika seorang mufassir mencoba untuk memahami dan menafsirkan kata-kata dalam Al-Qur’an dengan menghubungkannya ke bahasa lain, hal ini bisa membuka peluang bagi elemen-elemen asing untuk menjelaskan setiap kata yang asing, yang mungkin akan mempengaruhi pemahaman teks Al-Qur'an. Dengan kata lain, mencoba mengaplikasikan bahasa yang berbeda dalam penafsiran Al-Qur'an dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya distorsi atau ketidakakuratan dalam pemahaman terhadap pesan asli Al-Qur'an.

Keistimewaan dan Kelemahan Kitab Tafsir Al-Bayani Lil Al-Qur’an Al-Karim 1. Keistimewaan 

a.       Metode yang digunakan oleh Bintu Syathi lebih relevan dan realistis untuk diterapkan karena dapat memahami konteks Al-Qur’an dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakat saat ini. 

 

b.      Dalam kitab tafsirnya tetap memaparkan pendapat para ulama/ mufassir terdahulu yang juga disertai dengan pemfilteran/ koreksi terhadap pendapat tersebut. 

c.       Disusun berdasarkan kronologi pewahyuan.

2.      Kelemahan 

a.       Jika pemahaman lafadz Al-Qur’an dikaji melalui bahasa induknya yaitu Bahasa Arab yang juga terdapat pada syair-syair atau prosa Arab; yang mungkin terdapat kata yang tidak digunakan dalam Al-Qur’an. maka dari hal tersebut, dapat membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman Al-Qur’an itu sendiri. 

b.       Bintu Syathi’ kurang konsisten dengan metode yang ditawarkan; mengkaji tema tertentu, melainkan lebih kepada analisis semantik. Faktanya, ketika Bint alSyathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan kata-kata yang mirip dengan kata yang sedang dikaji, lalu menganalisisnya dari segi bahasa (semantik). Di sinilah dia banyak mendapatkan kritik karena tidak selalu konsisten dengan metodenya yang telah diajelaskan. Oleh karena itu, meskipun metodenya yang tematik sangat baik dan rumit, ia tidak diakui sebagai pencetus metode tematik.[17]

KESIMPULAN 

Bintu Syathi’ bernama asli Prof. Dr. ‘Aishah ‘Abd al-Rahman, seorang mufassirah yang serius menggeluti ranah tafsir al-Qur’an dan sastra Arab. Salah satu kitabnya yaitu Kitab Tafsir Al-Bayani Lil Al-Qur’an Al-Karim, yang mana metode yang digunkan merupakan sebuah tindak lanjut dari metode Amin al-Khulli; suaminya. Selanjutnya, corak atau kecenderungan adalah pada aspek Adabi, atau bayani. 

REFERENSI

Amalia, N. N., & Lum’ah, D. D. (2023). “Tafsiran Lafadz Khusyu’ perspektif Aisyah Bintu Syathi’ (Tinjauan Kitab Al-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’anil Karim).” Al-Fahmu:

Jurnal Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir, 2(2), 176-185.

 

Choiroh, W. N. (2023). “Tafsir Linguistik Bintu Syathi’.” Al-Mustafid: Journal Of Quran And Hadith Studies, 2(1), 23-36.

Dini, D. T. H. S. D. (2020). “Studi Terhadap Metodologi Kitab Tafsir Al Tafsir Al Bayani Lil Quran Al Karim Karya Aisyah Bint Syathi.” Al-Wajid: Jurnal Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, 1(2).

Faradits, A. (2022). “Studi Kritis Atas “Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim “Karya ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu Syati’(W. 1998 M.).” At-Tahfidz: Jurnal Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir, 4(1), 57-73.

Ramadhani, W. (2018). “Bintu Syati’dan Penafsirannya Terhadap Surah Al-‘Asr Dalam Kitab At-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’anil Karim.” Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur'an Dan Tafsir, 3(2), 265-281.

Septiana, N. (2019). “Pendekatan Aisyah Abdurrahman (Bint Syati’) Dalam Al-Tafsir AlBayani.” Pancawahana: Jurnal Studi Islam, 14(1), 68-77.



[1] Dini Tri Hadayatus Sya'dyya. “Studi Terhadap Metodologi Kitab Tafsir Al Tafsir Al Bayani Lil Qur’an Al Karim Karya Aisyah Bint Syathi”. Al-Wajid: Jurnal Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, 1(2), 2020. 

[2] Agnia Faradits. Studi Kritis Atas “Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim “Karya ‘Aisyah

‘Abdurrahman Bintu Syati’(W. 1998 M.)”. At-Tahfidz: Jurnal Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir, 4(1), 2022, 6364

[3] Alasan penggunaan corak lughawy karena memang menurut Al-Khulli Al-Qur’an merupakan kitab bahasa Arab tersbesar dan teragung, maka perlu adanya pendalaman mengenai kebahasaan untuk memahaminya. Sehubungan dengan itu metode maudhu’i ini merupakan pendukung; memperlihatkan aspek kebahasaan dalam penafsiran untuk mencapai apa yang menjadi prisipnnya diawal. (Wahyuni Nuratul Choiroh. “Tafsir Linguistik Bintu Syathi’”. Al-Mustafid: Journal Of Quran And Hadith Studies, 2(1), 2023, 29-30

[4] Sebenarnya dalam hal ini, Al-Khulli mengidealkan bentuk metode lintas surat; menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama bermuara pada tema tertentu, namun dalam perealisasiannya Bintu Syath’ menggunakan metode tematik yang terbingkai dalam satu surat; membahas keseluruhan ayat-ayat dalam satu surat yang menjelaskan korelasi berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat tersebut nampak utuh dan cermat. (Fuad Thohari. “Tafsir Berbasis Linguistik “Al-Tafsir Al-

Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim “Karya ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu Syati’”. Adabiyyat, 8(2), 2009, 237). 

[5] Wali Ramadhani. “Bintu Syati’Dan Penafsirannya Terhadap Surah Al-‘Asr Dalam Kitab At-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’Anil Karim”. Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur'an dan Tafsir, 3(2), 2018, 270-271.

[6] Nanda Septiana. “Pendekatan Aisyah Abdurrahman (Bint Syati’) dalam Al-Tafsir AlBayani”. Pancawahana: Jurnal Studi Islam, 14(1), 2019, 72-73.

[7] Seperti contoh, pada kata aqsama dan halafa. Yang secara umum dimaknai sama; bersumpah. Namun bintu Syathi’ menjelaskan lebih lanjut yaitu kata aqsama lebih kepada jenis sumpah sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sedangkan pada kata halafa menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar. (Fuad Thohari. “Tafsir Berbasis Linguistik “Al-Tafsīr Al-Bayāni Li Al-Qur’ān Al-Karīm “Karya ‘Āisyah ‘Abdurrahmān Bintu Syāti’”,… 240-241)

[8] Tiga hal yang menjadi prinsip Bintu Syathi’ diantaranya; Menanfsirakan ayat dengan penjelasan ayat lainnya (bil Ma’tsur), memposisikan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang memiliki kebahasaan yang khas sehingga harus diperlajari keseluruhaannya, menyepakati bahwa Al-Qur’an memiliki susunan yang kronologis yang dapat menjelaskan mengenai sejarah. 

[9] Alasan penggunaan kitab Thabari sebagai salah satu rujukan utama karena kitab ini dianggap sebagai kitab tafsir bil Ma’tsur yang paling lengkap, sedangkan kitab Al-Kassyaf karena gramatikal kebahasaannya yang baik, dan untuk kitab Mafatihul Al-Ghaib sendiri dikenal dengan pembahasannya yang berfokus pada teologi. (Fuad Thohari. “Tafsir Berbasis Linguistik “Al-Tafsīr Al-Bayāni Li Al-Qur’ān Al-Karīm “Karya ‘Āisyah ‘Abdurrahmān Bintu Syāti’”,… 241-143)

[10] Amalia, N. N., & Lum’ah, D. D. “Tafsiran Lafadz Khusyu’Perspektif Aisyah Bintu Syathi’(Tinjauan Kitab al-Tafsir al-Bayani Lil Qur’anil Karim).” Al-Fahmu: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 2(2), 2023, 181.

[11] Tujuh surat edisi pertama ini ditemukan tema yang sama diantara ayat-ayat tersebut, diantaranya; ilustrasi huru-hara Kiamat, nuansa hari kiamat, moralitas dan kepedulian kepada sesama, dan deskripsi tentang misi sebagai seorang Rasul. (Fuad Thohari. “Tafsir Berbasis Linguistik “Al-Tafsir Al-Bayani Li

Al-Qur’an Al-Karam “Karya ‘Aisyah ‘Abdurrahmān Bintu Syati’”,… 239)

[12] Menurut Analisis J.J.G Jansen pemilihan 14 ayat tersebut karena termasuk kepada surah Makiyyah, yang mana memiliki material yang bersifat umum dan universal serta berisi dasar-dasar akidah. (Wali Ramadhani. “Bintu Syati’Dan Penafsirannya Terhadap Surah Al-‘Asr Dalam Kitab At-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’Anil Karim”,… 269.)

[13] Muhammad Abduh menyatakan bahwa kata dhuha tersebut mengisyaratkan terangnya wahyu pada hati Rasulullah saw, seperti halnya waktu dhuha yang membuat kehidupan semakin kuat dan membuat tumbuhan semakin hidup. Lalu dilanjutkan dengan sumpah atas malam hari mengisyaratkan bahwa agar semua jiwaa beristirahat untuk mempersiapkan hari esok. 

[14] Dini Tri Hadayatus Sya'dyya. “Studi Terhadap Metodologi Kitab Tafsir Al Tafsir Al Bayani Lil Quran Al Karim Karya Aisyah Bint Syathi”,… 154. 

[15] Nabila Nailil Amalia & Diana Durrotul Lum’ah. “Tafsiran Lafadz Khusyu’Perspektif Aisyah Bintu Syathi’(Tinjauan Kitab al-Tafsir al-Bayani Lil Qur’anil Karim).” Al-Fahmu: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 2(2), 2023, 180. 

[16] Dini Tri Hadayatus Sya'dyya. “Studi Terhadap Metodologi Kitab Tafsir Al Tafsir Al Bayani Lil Quran Al Karim Karya Aisyah Bint Syathi”,… 155-156. 

[17] Nanda Septiana. “Pendekatan Aisyah Abdurrahman (Bint Syati’) dalam Al-Tafsir Al-Bayani”,… 76.  

Posting Komentar

0 Komentar