A. Latar Belakang
Dari berbagai aspeknya, Al-Qur’an sebagai pedoman bagi umat manusia senantiasa dipelajari sejak zaman klasik hingga modern. Mulai dari aspek historis turunnya, sejarah dibukukannya, penafsirannya, aspek kandungan maknanya, aspek gramatikanya sampai pada aspek cara membacanya (qira’at). Dalam ilmu qira’at terdapat beraneka ragam cara membaca (qira’at) Al-Qur’an.
Bangsa Arab adalah
masyarakat dari berbagai suku yang tersebar di tanah Arab, oleh karena itu
mereka memiliki dialek yang berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek
tersebut tentunya tergantung pada letak geografis dan sosial budaya
masing-masing suku. Alasan utamanya karena pekerjaan kaum Quraisy adalah
berdagang. Secara tidak langsung berarti bahwa kaum Quraisy mengadopsi dialek
dan bahasa kaum pendatang di Quraisy.
Dikarenakan adanya
perbedaan dialek, hal itu berakibat pada munculnya bermacam-macam bacaan (qira’at) dalam membaca ayat-ayat
Al-Qur’an. Sehingga dapat dipahami alasan Allah swt. menurunkan Al-Qur’an
dengan menggunakan bahasa Quraisy atau bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh
orang Arab adalah untuk mempermudah mereka dalam memahaminya.
B. Rumusan Masalah
a. Apa saja perbedaan varian qiraat?
b. Apa sebab dari perbedaan varian-varian qiraat?
C. Tujuan
a. Mengetahui dan memahami perbedaan varian-varian qiraat
b. Mengetahui dan memahami sebab adanya perbedaan varian-varian
qiraat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk-bentuk Perbedaan Qiraat
1. Perbedaan
dalam I’rab atau harakat kalimat
tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat serta yang dapat merubah maknanya.
Misalnya dapat dalam Qs. An-Nisa
(4): 37 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ۨال ذ يرٌ ن ٓ ٌ ن ٍَو ن ْ
َ ٌْن و وسَ ن ْ الٌٕذس ض بيسن ْو ن ي َ نىحّو و ن ْ
ِآ الٰجٰى وه و هاللّٰو ي ن ف نض ي
ٖۗه ال نعح دٔن س ين ىٰي ف يسٌ ن ٓ عر البًس ُّ يهٍ نًٕ س
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang kikir,
menyuruh orang (lain) berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah
dianugerahkan Allah kepada mereka. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
kafir itu azab yang menghinakan.
Kata
يبس نْو ن ي yang berarti kikir dapat dibaca fathah
pada huruf ba-nya, sehingga dapat
dibaca bil-bakhli tanpa perubahan
makna.
Perubahan I’rab dan harakat yang dapat merubah maknanya misalnya dalam Qs.
Saba’ (34):19 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
ف مسٌو ن ال
ز ذبٕ س بٰ يعن د بٍ ن ٓ ال نسف سي زٔ س ظ ٍون
ال ال نفو س وه ن ف جع نٰ وه ن ال
حسي دن ث َ ِذ ص نلٰ وه ن وو ذ و ّ ذصٖۗ ق الي ذ يف ن ذٰ ي ه لٰٰ ث يُ وى ي ّ ذس ز
ش وىْ ن ز
Artinya: Mereka berkata, “Ya Tuhan kami,
jauhkanlah jarak perjalanan kami,” dan (mereka) menzalimi diri sendiri. Kami
jadikan mereka buah bibir dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
dan kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar lagi sangat bersyukur.
Kata بٰ يعد ن
artinya jauhkanlah, yang kedudukannya sebagai fi’il amr, boleh juga dibaca ba’ada
yang kedudukannya menjadi fi’il madhi,
sehingga maknanya berubah “telah jauh”.[1]
2. Perbedaan
pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab
dan bentuk tulisan, sedang makna berubah. Misalnya dalam Qs. Al-Baqarah (2):
259 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
… ل س ي ب ن ذ يثن ث يسئ
ة عس َ ف س ن وظ نس اليٌٰى طع سي
ه ش سال يب ه ٌ ن
ح سٕ ذ نه َال ن وظ نس اليٌٰى يحّ س يز ٖۗ
ن َ ي ٕنج ع ه الٌٰ ةً يٍُٕذس يض
َالن وظن س اليٌ ى ال ن يع ظس ي وٍ ن ف ٔو ن
يش وص هس ثو ذ نى وسن هس نحّ
ًس ٖۗ ف ٍ ذس جْ ذ ٓ ٌ هٗ ۙ ل س ي ال نعٍ و ال ذ هاللّٰ عٍٰى وو ي ش ن ء ل يدٌ ن س
Artinya: … Allah berfirman,
“Sebenarnya engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan
minumanmu yang belum berubah, (tetapi) lihatlah keledaimu (yang telah menjadi
tulang-belulang) dan Kami akan menjadikanmu sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi
manusia. Lihatlah tulang-belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya
kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging (sehingga hidup kembali).”
Maka, ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Aku mengetahui bahwa Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Kata ٔو ن يش وص هس “Kami menyusun
kembali” ditulis dengan huruf zay
diganti dengan huruf ra’, sehingga
berubah bunyi menjadi nunsyiruha yang
berarti “Kami hidupkan kembali”.
3. Perbedaan
pada perubahan kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tapi makna tidak
berubah. Misalnya dalam Qs. Al-Qari’ah (101): 5 Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman
ج وىْ ن و ال ن يجْ س وي وس ن يع نه ي ال ن ّ نفو ن يشٖۗ
Artinya: dan gunung-gunung seperti bulu yang berhamburan.
Kata
وس ن يع نه ي
“bulu-bulu” kadang dibaca ka
ash-shufi “bulu-bulu domba”. Perubahan ini berdasarkan ijmak ulama, namun
tidak dibenarkan karena bertentangan dengan mushaf Usmani.[2]
4. Perbedaan dalam segi huruf. Perbedaan ini kadang-kadang membawa
perubahan makna, tetapi bentuknya tetap, seperti:
Ya’lamuna
berarti mereka mengerti Ta’lamuna berarti kamu mengerti Dan
kadang-kadang bentuknya berubah tetapi maknanya tetap, seperti:
:
jalan
الٌٌصسالط |
: jalan الٌٌسسالط |
: yang menguasaiالٌ صٍ طسَالٌّصٍطسَْ |
: yang menguasai الٌ سٍ طسَالٌّسٍطسَْ |
Dua lafal tersebut di atas, masing-masing
berubah dari huruf shad menjadi huruf
sin.[3]
5. Perbedaan lahjah
(dialek). Perbedaan dalam membaca fathah dan imalah, seperti pada Qs. Taha (20): 9 Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman
ه ن ال جٰى ه ح يد ن وث و ن
سٰى ۘ
Pada kata-kata ال جٰى ه dan و ن سٰى pada ayat tersebut di
atas dapat dibaca dengan fathah yang jelas, dan dapat juga dibaca dengan imalah, yaitu fathah semu kasrah.[4]
6. Perbedaan isim dari segi ifrad,
tasniyah, jama’, tazkir atau ta’nis, misalnya dalam surah Al-Mu'minun
(23):8
َال ذ يرٌ ن ٓ وه ن ي ٰلِٰ يح يه ن َ ع نه يد يه ن زال وعْ ن ْ ۙ
Lafal يلِ ٰ ٰ
يح يه ن berbentuk jama’,
dapat dibaca dengan bentuk mufrad, yaitu يلِ
ٰ حهُ.
7. Perbedaan karena adanya tambahan atau pengurangan suatu huruf,
contohnya dalam surah At-Taubah (9): 100
… َال عدذ
وهن ج ه ث ج نج يسن ي ج نحح هس ال نل نهٰ
وس خٰ ي يدٌ ن ٓ يف ن هسْٓ ال بداًل ٖۗذٰ
ي ه ال نفْ ن وش ال ن ع يظٍ ن و
Dapat dibaca dengan menambahkan huruf jar ( ي ن) sehingga menjadi:
َال عدذ
وهن ج ه ث ج نج يس ني ين ج نحح هس ال نل نهٰ وس خٰ ي يدٌ ن ٓ يف ن هسْٓ
ال بداًل ٖۗذٰ ي ه ال نفْ ن وش ال ن ع يظٍ
ن و
8. Perbedaan karena mendahulukan suatu kata atau mengakhirkannya,
contohnya Qs.
At-Taubah (9):111
… وم س يجٍو ن ْ يف ن سْ ي
ن ي هاللّٰي فٍ ن محو
و ن ْ َ
و نمح ٍو
ن ْ َ نعداًل عٍ ن يه
حمًّس يفى ال حْذ ن زٰى ي ة َال ن
يلٔ ن يجٍ ن ي َال نمو نسالْٰ ٖۗي …
Artinya: …Mereka berperang di jalan Allah
sehingga mereka membunuh atau terbunuh. (Demikian ini adalah) janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an... Dapat dibaca menjadi:
…وم س يجٍو ن ْ في ن سْ ي ن ي هاللّٰي فٍون مح ٍون ْ َ نمحو و ن ْ َ نعداًل
عٍ ن يه حمًّس يفى ال حْذ ن زٰى
ية َال ني لٔ ن يجٍ ن ي َال نمو نسالْٰ ٖۗي …
Artinya: …Mereka berperang di jalan Allah
sehingga mereka terbunuh atau membunuh. (Demikian ini adalah) janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil, dan Al-Qur’an...
Akan
tetapi terkadang hal ini menimbulkan bacaan yang syadz.
Contohnya adalah ketika Abu Bakar al-Sijistani membaca
ٖۗ
جسۤ
ء نت س نى سةو ال ن ّ ن يت
يبس ن ح يكُ ((Seketika
itu) datanglah sakratul maut dengan sebenarbenarnya. Qāf (50):19) menjadi جسۤ ء
نت س نى سةون ح يكُ يبس
ال ن ّ ن ي ت
(datanglah sakarah al-haq karena mati).
9. Perbedaan
dalam membaca huruf hamzah, dan tashil (tidak mengucapkan huruf hamzah), misalnya: ل دنال نف ح
huruf hamzah dalam kata itu dibaca
dengan jelas, tetapi dapat juga tidak dibaca. Yaitu dengan cara memindahkan
tanda fathah yang ada pada huruf hamzah kepada huruf dal yang terletak pada akhir kata yang pertama, yaitu qad. Maka menjadi seperti ل د ال نف
ح. Dan beberapa perbedaan lainnya.
B. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan
1. Latar Belakang Sejarah
Qira’at sebetulnya
sudah muncul sejak zaman Nabi saw., meskipun pada saat itu qira’at bukanlah
sebuah disiplin ilmu, karena perbedaan para sahabat dalam membaca Al-Qur’an
dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw., sedangkan Nabi tidak pernah
menyalahkan para sahabat yang berbeda itu. Sehingga tidak fanatik terhadap
lafaz yang digunakan atau yang pernah didengar Nabi.
Pendapat ini dapat diperkuat oleh riwayat-riwayat sebagai
berikut:
a. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra
berkata
“Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca
Al-Qur’an surah Al-Furqan, aku mendengar bacaannya mengandung beberapa huruf
yang belum pernah dibacakan oleh Rasulullah saw. kepadaku, sehingga setelah
selesai shalatnya aku bertanya kepadanya: Siapa yang membacakan ini kepadamu?
Ia menjawab Rasulullah yang membacakan kepadaku! Setelah itu aku mengajaknya
untuk menghadap pada Rasulullah: Aku mendengar laki-laki ini membaca surah
AlFurqan dengan beberapa huruf yang belum pernah Engkau bacakan, sedang
Engkau
sendiri yang telah membacakan surah Al-Furqan kepadaku!
Rasulullah menjawab: Begitulah surah ini diturunkan”.
b. Imam Muslim dengan sanad dari Ubai bin Kaab berkata: Ketika aku
berada di masjid tiba-tiba masuklah seorang laki-laki untuk shalat dan membaca
bacaan yang aku ingkari, setelah itu masuk lagi laki-laki lain, bacaannya
berbeda dengan laki-laki yang pertama. Setelah kami selesai shalat kami menemui
Rasulullah, lalu aku bercerita tentang hal tersebut, kemudian Rasulullah
memerintahkan keduanya untuk membaca, maka Rasulullah saw. mengatakan kepadaku:
“Hai Ubay, sesungguhya aku diutus membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”.[5]
Kedua riwayat tersebut
membuktikan bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an yang diucapkan oleh masing-masing
sahabat berbeda, kemudian Rasulullah tidak menyalahkan para sahabat dan memberi
jawaban yang sama yaitu Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf. Untuk mengetahui apakah
qira’at itu benar atau tidak harus
memenuhi tiga syarat yaitu pertama, sesuai dengan kaidah bahasa Arab; kedua,
sesuai dengan mushaf Usmani; dan ketiga, sanad-sanadnya shahih. Oleh karena
itu, apabila suatu qira’at tidak
memenuhi salah satu diantara tiga syarat tersebut, maka qiraat tersebut tidak sah atau lemah. Orang yang pertama kali
menyusun qira’at adalah Abu Ubaidah
al-Kasim bin Salam, kemudian menyusullah ulama-ulama lain, namun diantara
mereka berbeda dalam menetapkan jumlah syarat-syarat qira’at yang benar.
2. Latar Belakang Cara Penyampaian
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa setelah para sahabat tersebar, maka mereka membacakan qira’at Al-Qur’an kepada murid-muridnya
secara turun temurun. Pada akhirnya murid-murid lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qira’at imam-imam yang lain. Hal
tersebut mendorong beberapa ulama merangkum beberapa bentuk-bentuk perbedaan
cara
melafazkan
Al-Qur’an seperti yang disebutkan sebelumnya.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terdapat beberapa bentuk
perbedaan yang menyebabkan adanya perbedaan qiraat,
di antaranya meliputi perbedaan dalam I’rab
atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat serta perbedaan
dalam I’rab atau harakat yang dapat
merubah maknanya; Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisan, sedang makna
berubah; Perbedaan pada perubahan kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan,
tapi makna tidak berubah; Perbedaan dalam segi huruf; Perbedaan lahjah (dialek); Perbedaan isim dari
segi ifrad, tasniyah, jama’, tazkir atau ta’nis; Perbedaan karena adanya tambahan atau pengurangan suatu
huruf; Perbedaan karena mendahulukan suatu kata atau mengakhirkannya; Perbedaan
dalam membaca huruf hamzah, dan tashil; Dan berbagai perbedaan lainnya.
Adapun adanya perbedaan
tersebut disebabkan oleh latar belakang sejarah dan latar belakang cara
menyampaikan bacaan Al-Quran. Sebab latar belakang sejarah ialah ketika para
sahabat membaca Al-Qur’an dengan lafadz yang berbeda-beda dan ketika ditanyakan
langsung pada Nabi saw., Nabi tidak pernah menyalahkan para sahabat yang
berbeda itu. Sementara sebab latar belakang penyampaiannya adalah ketika para
sahabat membacakan qira’at Al-Qur’an
kepada murid-muridnya secara turun temurun, lalu murid-muridnya lebih suka
mengemukakan qira’at gurunya dari
pada mengikuti qira’at imam-imam yang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. 2018. “Pengantar
Ulumul Quran”. Bandung: Cv. Pustaka Setia
Jamal, Khairunnas dan
Afriadi Putra. 2020. “Pengantar Ilmu
Qiraat”. Yogyakarta: Kalimedia
Qur’an Kemenag. https://quran.kemenag.go.id/ diakses pada 5 Mei 2023
Umar, Ratnah. 2019. “Qira’at
Al-Qur’an: Makna Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’aat”. Jurnal
al-Asas. vol. 3. no. 2. IAIN Palopo
Zumrodi.
2014. “Qira’at Sab’ah: Pemaknaan dan
Varian Bacaannya”. Hermeunetik. Vol. 8.
No.1. STAIN Kudus
[1]
Ratnah Umar, Qira’at Al-Qur’an: Makna
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at,
2019, Jurnal al-Asas, vol. 3, no. 2, IAIN Palopo, 39.
[2]
Ratnah Umar, Qira’at Al-Qur’an: Makna
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at, 40.
[3]
Zumrodi, Qira’at Sab’ah: Pemaknaan dan
Varian Bacaannya, 2014, Hermeunetik, vol. 8,
no. 1, STAIN Kudus, 78.
[4]
Zumrodi, Qira’at Sab’ah: Pemaknaan dan
Varian Bacaannya, 80.
[5]
Ratnah Umar, Qira’at Al-Qur’an: Makna
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at, 38.
[6]
Ratnah Umar, Qira’at Al-Qur’an: Makna
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at, 39.
0 Komentar