ASPEK SOSIAL POLITIK TAFSIR AL IBRIZ

 

Pendahuluan

 Tafsir Al-Ibriz karya K.H Bisri Mustofa merupakan hasil pemahaman dan penafsiran atas Al-Qur’an. Tafsir ini merupakan gabungan refleksi pembacaan atas Al-Qur;an dengan realitas lain yang mengitarinya. K.H Bisri mustofa menafsirkan Al-Qur’an dan kemudian dituliskan dalam sebuah buku yang disebut Kitab Tafsir Al Ibriz ini, yang mana telah melakukan kegiaatan hermeneutik.

Kegiatan hermeneutik yang dimaksud meliputi dua hal. Pertama, mufassir telah menyampaikan kehendak tuhan dalam ‘bahasa langit’kepada manusia menggunakan ‘bahasa bumi’. Kedua, mufassir menjelaskan isi sebuah teks keagamaan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang berbeda. 

Tafsir Al Ibriz ini merupakan tafsir dalam Bahasa jawa yang ditulis dengan arab pegon, karena tafsir ini memang hendak menyapa pembacanya dari kalangan muslim jawa yang sebagian besar masih tinggal di perdesaan. Pilihan Bahasa yang digunakan oleh mufassir tentu saja memiliki alasan tersendiri, bukan tanpa alasan. 

Biografi K.H. Bisri Musthafa

 K.H. Bisri Musthafa lahir di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah. Beliau adalah anak dari H. Zainal Mustofa dan Chodijah dengan nama Asli Mashadi. Namanya berubah setelah beliau menunaikan ibadah haji. Nama Mashadi berubah menjadi KH. Bisri Musthafa.

Beliau mendirikan Pondok Pesantren dengan nama Raudhah al-Talibindi Rembang sampai beliau wafat pada tanggal 16 Februari 1977.

Pemikiran KH. Bisri Mustofa dalam hal perbuatan manusia tidak bercorak jabariyah (mutlak kuasa Tuhan) melainkan bercorak qodariyah yaitu masih adanya andil usaha (ikhtiar) manusia dalam setiap keputusan dalam kehidupan yang kita jalani. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Bisri yang meskipun memiliki latar belakang pendidikan, lingkungan dan organisasi yang sifatnya modern, ia memiliki pemikiran yang dinamis dan mampu menimbang serta memutuskan suatu perkara dengan melihat berbagai faktor yang melatarbelakanginya. 

Gagasan besar dari pemikiran seorang Bisri Musthafa adalah penerapan ahlussunnah wal jama’ah di berbagai aspek dan lini kehidupan. Ide tersebut tentu dibarengi dengan aksi yang nyata oleh Bisri Musthafa. Selain menyebarluaskan ide tersebut dengan cara berdakwah bil hal (dengan memberikan contoh dan tauladan), bil lisan (berdakwah secara verbal) juga ia lakukan dengan menuangkan ide gagasan konsep ahlussunnah wal jama’ah pada karya tulis berupa buku KH. Bisri Musthafa sampai merevisi sebanyak 3 kali agar konsep ahlussunnah yang ia harapan dapat diterapkan dalam kehidupan umat dan dapat benar-benar diterima secara kontekstual dengan kondisi sosial kemasyarakatan.

Mengenai hasil karya KH. Bisri Musthafa pada umumnya mengenai masalah keagamaan yang meliputi berbagai bidang diantaranya: Ilmu Tafsir, Ilmu Hadist, Ilmu Nahwu, Sharaf, Aqidah, Syariah, Akhlaq dan sebagainya. Yang semuanya mencapai 114 judul, dalam penulisan karya-karya tersebut bahasa yang digunakan juga bervariasi. Antara lain bahasa Jawa, Arab pegon, berbahasa Indonesia bertulis arab pegon, berbahasa Indonesia bertulis huruf latin, dan ada juga yang berbahasa Arab. Karyanya yang paling monumental adalah kitab tafsir

Al-Ibriz dan kitab sulamul afham.[1]

Karakteristik Tafsir Al Ibriz

 Tafsir al-Ibriz disajikan dalam bentuknya yang sederhana. Ayat-ayat Al-Qur’an dimaknai ayat per-ayat dengan makna gandhul (makna yang ditulis dibawah kata perkata ayat al-Qur’an, lengkap dengan kedudukan dan fungsi kalimatnya, sebagai subyek, predikat atau obyek dan lain sebagainya). Bagi pembaca tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna khas pesantren dan unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat mengenali dan memahami makna dan fungsi kata per-kata. 

Tafsir al-Ibriz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab pegon). Pilihan huruf dan bahasa ini tentu melalui pertimbangan matang oleh penafsirnya. Pertama, bahasa Jawa adalah bahasa ibu penafsir yang digunakan sehari-hari, meskipun ia juga memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia atau Arab. Kedua, al-Ibriz ini tampaknya ditujukan kepada warga pedesaan dan komunitas pesantren yang juga akrab dengan tulisan Arab dan bahasa Jawa.[2] Merujuk pada kelahiran Nabi Muhammad di Makkah dan berbahasa Arab, sehingga Al-Qur’an pun diturunkan dengan bahasa Arab, maka tafsir al-Ibriz yang ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa adalah bagian dari upaya penafsirnya untuk membumikan al-Qur’an yang berbahasa langit (Arab dan Makkah) ke dalam bahasa bumi (Jawa) agar mudah dipahami.

Dari sisi sosial, tafsir ini cukup bermanfaat dan memudahkan bagi masyarakat pesantren yang nota bene adalah warga desa yang lebih akrab dengan bahasa Jawa dibanding bahasa lainnya. Dari sisi politik, penggunaan bahasa Jawa dapat mengurangi ketersinggungan pihak lain jika ditemukan kata-kata bahasa Indonesia misalnya, yang sulit dicari padanannya yang lebih halus. Bahasa Jawa memiliki tingkatan bahasa dari kromo inggil sampai ngoko kasar, yang dapat menyampaikan pesan kasar dengan ragam bahasa yang halus.[3] Gaya bahasa tafsir al-Ibriz sangat sederhana dan mudah dipahami. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko halus dengan struktur sederhana. Tutur bahasanya populer dan tidak jlimet. Meski harus diakui, jika dibaca oleh generasi sekarang kadang mengalami kesulitan karena kendala bahasa dan kebiasaan yang dianut.

Metode Penafsiran

 Berdasarkan metodologi yang disampaikan oleh Farmawi, Tafsir Al Ibriz disusun dengan metodi tahlili yaitu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat AlQur’an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat mushaf Al-Qur’an. Ditinjau dari sumbernya, kitab tafsir Al Ibriz menggunakan metode bi al ra’yi, yaitu menafsirkan ayat AlQur’an dengan didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntunan kaidah Bahasa arab. Ijtihad yang dilakukan KH. Bisri Mustofa adalah dengan memberikan makna gandhul pada setiap kalimat dalam ayat. Dalam hal ini beliau tidak menggunakan ijtihadnya secara keseluruhan, melainkan ia juga merujuk pada kitab-kitab tafsir mu’tabarah, seperti tafsir Jalalain, Tafsir Khazin, dan Tafsir Baydawi4

              Kerusakan Lingkungan dalam Al-Qur`an Tafsir Al Ibriz

1. Penyebab Kerusakan Ligkungan 

Dalam Al-Qur`an, berbagai macam penjelasan mengenai kehidupan telah disampaikan, bukan hanya pembahasan seputar ibadah dan kewajiban manusia terhadap Tuhannya, tetapi juga meliputi aspek yang menjadi bagian dari kehidupan manusia, yaitu penjelasan terkait lingkungan. Segala bentuk ciptaan, penggerakan dan pengawasan Allah terhadap kehidupan ini menunjukkan kebesaran dan kuasa Allah yang Maha Tunggal. Oleh karena itu, adanya batasan yang Allah berikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam semesta bagi kehidupan makhluk hidup perlu dijadikan menjadi sebuah pedoman. Larangan menjadi sebuah batasan tegas yang juga Allah berikan melalui firman-Nya dalam al-Qur’an. Ayat ini secara lebih lugas dan jelas memberikan isyarat bagi Manusia yang memiliki peran sebagai pemimpin di muka bumi agar tidak melampaui batas dalam memanfaatkan sumber daya alam yang telah

Allah berikan.[4] Sebagaimana dalam firman Allah dalam Q.S. Al-A`raf ayat 56:

 

 َ الۡمُحۡسِنيِۡن  مِنَ  قرَِيۡ  ب اللّٰ ِ رَحۡمَتَ  انَِّ   ؕ وَّطَمَعاً خَوۡفاً وَادۡعُوۡه ُ اصِۡلََحِهَا بَعۡد َ الۡرَۡضِ  فىِ تفُۡسِدوُۡا وَلَ

Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang berbuat kebaikan.”

“Lan sira kabeh aja padha agawe kerusakan lan kerusuhan ana ing bumi, kalawan Syirik lan nglakoni maksiat, sawise bumi mau didandani kanthi kautus utusane Pangeran. Lan sira kabeh padha nyuwuna marang Gusti Allah Ta’ala krana wedi tumibane siksane Allah Ta’ala. Lan krana kepingin rahmate Allah Ta’ala. Sejatine rahmate Allah Ta’ala iku parek karo wong-wong kang padha amal becik (padha taat)”

(Musthofa, 2015).[5]

KH. Bisri Mustofa tidak menambahkan banyak penjelasan dari tafsir ayat tersebut. Dengan demikian bahasa serta terjemahan pada ayat tersebut sudah lebih dari cukup untuk difahami. Meskipun demikian, tampak terdapat tambahan beberapa kata sebagai penjelas, misal di kalimat pertama, “kerusakan dan (kerusuhan) di muka bumi”. Kemudian diikuti penjelasan, “seperti perbuatan syirik dan melakukan perbuatan maksiat”. Hal ini menandakan maksud kerusakan serta kerusuhan tersebut yakni tidak hanya merusak secara fisik segala sesuatu di muka bumi, tapi juga merusak batin

(syirik).[6]

2. Perintah menjaga lingkungan

Dalam konteks perintah Allah kepada manusia untuk melakukan kerusakan di bumi juga ditafsirkan oleh KH. Bisri Mustofa pada Q.S Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi:

 ظَهَرََ الْفَسَادَ  فِى الْب رََِ وَالْبحَْرَِ بِمَا كَسَبَتَْ ايَْدِى النَّاسَِ لِي ذِيْقَ همَْ بَعْضََ الَّذِيَْ عَمِل وْا لَعلََّ هَمَْ يَرْجِع وْنََ

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari

(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”

Tafsir: “Terang, cetha pertelo (mengulangi kata yang memiliki makna ‘jelas’ merupakan sebuah penegasan makna sesungguhnya) kerusakan-kerusakan sing ana ing daratan lan lautan (kaya kurang udan, setitik pawitan lan liyan-liyane) sebab tindakan tangan manungso (iya iku maksiat-maksiat) supaya wong-wong iku padha bisa ngrasakake akibat sebagian sangking amal perbuatan, mbok menawa dheweke iku padha bisa bali, ateges taubat. (Jalaran manungso gelem mikir, mesti banjur bisa ngrasa: yen Allah Ta’ala kuasa nyiksa ana ing alam ndunyo sebab lakon-lakone manungsa~temtune nyiksa ing alam akhirat uga bisa).”

 Pada kata “terang,cetho pertelo” mengulangi kata yang memiliki makna ‘jelas’ merupakan sebuah penegasan makna sesungguhnya. KH. Bisri Musthofa dalam menjelaskan kata ‘kerusakan’ juga mengikutinya dengan penjelasan contoh yang ada dan dialami alam semesta yaitu seperti kurangnya hujan, berkurangnya pepohonan menunjukkan bahwa kondisi demikian adalah indikator telah terjadinya kerusakan di alam semesta akibat ulah tangan manusia. Lalu, setelah penjelasan bahwa adanya tandatanda kerusakan alam berupa kurangnya masa hujan, pepohonan, meningkatnya suhu dapat menjadi pengingat bagi manusia untuk kembali dan mengembalikan kondisi alam pada ambang normalnya dengan jalan ‘bertaubat’. Artinya, taubat adalah bentuk revitalisasi manusia terhadap kondisi alam yang berpengaruh bagi keberlangsungan kehidupan alam semesta. Oleh karena itu, perhatian manusia khususnya umat Islam dirasa memiliki tingkat kepentingan yang tinggi untuk kembali sadar dan mau memperbaiki kondisi lingkungan sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah dan hubungan yang baik dengan sesama makhluk yang ada di muka bumi.[7]

Menurut K.H Bisri Mustofa, bentuk pertaubatan manusia terhadap kesalahan yang telah dilakukannya di masa lalu yaitu dengan bertaubat, meninggalkan maksiat untuk memperoleh penghayatan yang bersih atas makna Al-Qur’an bagi kehidupan. Dalam pembahasan soal lingkungan ini, ada 2 cara memperbaiki lingkungan yang bisa dilakukan manusia, yaitu:

a.       Perbaikan lingkungan secara moral-spiritual (keimanan dan ketaqwaan) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT membebaskan manusia dari ketundukan dan pengharapan kepada makhluk. Sehingga dengan keimanan, manusia mampu mengontrol hawa nafsu keduniawian.

b.      Perbaikan lingkungan secara Teknik-intelektual (sadar lingkungan) Sadar lingkungan yang dimaksud adalah kesadaran manusia terhadap apa yang dilakukan terhadap lingkungan mereka. Manusia hidup pasti memnutuhkan air, udara dan tanah. Hanya dengan kesadaran diri masing-masing lah mereka dapat menjaga lingkungan mereka. Contohnya: tidak membuang sampah ke sungai agar tidak tersumbat dan banjir, tidak menebang pohon secara liar dan lain sebagainya.

Dengan kesalahan yang tidak hanya tentang perbuatan fisik ini, hendaknya manusia memohon ampunan dan berharap secara sungguh-sungguh kepada Allah dikarenakan rasa takut atas siksa Allah atas balasan maksiat yang telah dilakukan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada mereka yang berbuat baik lagi taat. Di kata terakhir ini, juga ditambahkan kata “taat” yang mengikuti pernyataan bahwa rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. Itu artinya, perbuatan baik yang dimaksud berlangsung secara terus-menerus tidak hanya sekali saja

Kesimpulan

 Tafsir Al Ibriz merupakan tafsir karangan K.H Bisri Mustofa. Kitab tafsir ini mempunyai karakteristik menggunakan bahasa sederhana. Tafsir al-Ibriz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab pegon). Dari sisi sosial, tafsir ini cukup bermanfaat dan memudahkan bagi masyarakat pesantren yang nota bene adalah warga desa yang lebih akrab dengan bahasa Jawa dibanding bahasa lainnya. Dari sisi politik, penggunaan bahasa Jawa dapat mengurangi ketersinggungan pihak lain jika ditemukan kata-kata bahasa Indonesia misalnya, yang sulit dicari padanannya yang lebih halus.

 Dalam penafsirannya tentang ayat-ayat lingkungan ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan merupakan dua hal yang tidak terlepas, artinya manusia dan lingkungan sangat berpengaruh bagi kehidupan keduanya.



[1] Vina Hidayatul Mufidah, “Al-Qur'an dan Budaya Jawa (Tata Cara Bermasyarakat Dalam Kitab Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthafa),” June 7, 2022.

[2] Pemikiran Politik Hasan Al Banna Rosmaladewi et al., “Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz,”

Journal.Blasemarang.Id, accessed May 4, 2023, https://journal.blasemarang.id/index.php/analisa/article/download/122/77.

[3] Konsep KH Jihad Dalam Pandangan Bisri Mustafa et al., “Konsep Jihad Dalam Pandangan K.H Bisri Mustofa,” El-Umdah 4, no. 2 (December 30, 2021): 185–98, https://doi.org/10.20414/ELUMDAH.V4I2.4247. 4  Bisri Mustofa, Al Ibriz Li Ma’rifat Tafsir Al Qur’an Al-Aziz, (Kudus, Menara, 1960), 2.

[4] “Melestarikan Lingkungan Prespektif Al Ibriz - Penelusuran Google,” accessed May 4, 2023, https://www.google.com/search?q=melestarikan+lingkungan+prespektif+al+ibriz&oq=melestarikan+lingkunga n+prespektif+al+ibriz&aqs=chrome..69i57j33i10i160.79919j0j15&sourceid=chrome&ie=UTF-8.

[5] Mufidah, “Al-Qur'an dan Budaya Jawa (Tata Cara Bermasyarakat Dalam Kitab Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthafa).

[6] Ali Abdur Rohman, Uin Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Moh Wafiq Faulal Ahsan, and Uin Sayyid Ali

Rahmatullah Tulungagung, “Relasi Manusia Dengan Alam  Dalam Tafsir Al Ibriz dan Al Misbah Man's Relationship With Nature In The Tafsir Al Ibriz and Al Misbah,” Repo.Uinsatu.Ac.Id, accessed May 4, 2023, https://doi.org/10.21274.

[7] Dinda Setya Melina, Penafsiran K.H Bisri Mustofa Tentang Ayat-Ayat Pelestarian Lingkungan, Skripsi IAIN Ponorogo 2021

Posting Komentar

0 Komentar