A. Latar Belakang
Seorang ulama
yang diduga pertama kali membukukan qira’at dan menghimpunnya menjadi salah
satu buku adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (W.224 H) dalam karyanya
al-Qira’at. Di dalam kitab ini, Abu ‘Ubaid mengangkat qira’at yang diriwayatkan
oleh 25 imam termasuk di dalamnya imam qira’at tujuh.
Namun ada juga
sebagian ulama yang yang menyatakan bahwa orang yang diduga pertama kali
membukukan qira’at adalah Yahya bin Ya’mar (W. 90 H) -salah seorang murid Abu
Aswad ad-Du’alli-, namun dalam karyanya tidak menghimpun macam-macam perbedaan
bacaan dan lebih fokus pada pemberian harakat. Sejak saat itu, ilmu qira’at
terus mengalami perkembangan menyusul berikutnya adalah Abdullah bin ‘Amir (W.
118 H), Aban bin Tsaghlab (W. 141 H), Abu ‘Amr (W. 156 H), Hamzah azZayyat (W.
156 H) dan lain sebagainya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah qiratul qur’an pada masa Tabi’in?
2. Bagimana sejarah
kodifikasi qir’atul quran ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan qiratul qur’an pada masa Tabi’in.
2. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi qiratul qur’an
BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah
Qira’atul Qur’am Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana di
ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya
qira'at, yaitu ada yang mengatakan qira'at mulai di turunkan di Makkah
bersamaan dengan turunya Al Qur'an. Ada juga yang mengatakan qira'at mulai di
turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang
yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan Bahasa Arab dan dialeknya.
Memang tidak
tercatat mengenai kapan tepatnya ilmu qira'at itu muncul. Tetapi yang jelas,
mula-mula orang yang pertama menulis tentang ilmu Qira’at tersebut adalah Abu
Ubaid Al- Qosim Ibn Salam (wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para
imam qira'at dengan bacaannya masing-masing, para tokoh lain yang turut
mempelopori lahirnya ilmu Qira’at adalah Abu Hatim Al-Sijistany, Abu Jafar
al-Thabary dan Ismail al-Qodhi.
Di zaman Sahabat, para qari dan huffaz
yang terkenal adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Ubay bin Ka'ab, Zaid
bin tsabit, Ibnu Mas'ud, Abu Darda' dan Abu Musa Al Asy'ari. Merekalah yang
dikirim oleh Khalifah Usman ke wilayah Islam bersama Mushaf Usmani yang telah
disediakan. Dari Hasil didikan para qari zaman sahabat, muncullah pakar-pakar
qira‟at generasi tabiin, dan sesudahnya.
Berikut nama-nama para pakar
qira'at dari generasi tabi‟in dibeberapa wilayah Islam didunia :
1. Makkahh – Qari-Qari' yang tinggal di Mekah antara lain ialah
Ubaid bin Umair, Atha', Thawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibnu Malikah.
2. Madinah – Qari-Qari yang tinggal di Madinah antaran lain ialah
Ibnu Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman, Ibnu Yasar, Mu’ad
bin Haris (Mu'ad AI-Qari'),
Abdurrahman bin Hurmuz, Ibnu AI-A‟raj, Muslim bin Jundub
dan Sa‟id bin Aslam.
3. Basrah terdapat para qari‟ masyhur yaitu Amir bin Abdul Qais,
Abu Aliyah, Abu Raja', Nasr bin Ashim, Yahya bin Ya'mar, Mu'adz, Jabir bin
Zaid, Al-Hasan Ibnu Sirin dan Qatadah.
4. Kufah terdapat pula pra ahli Qira'at. Diantaranya Al-Qamah,
AI-Aswad, Masruq, Ubaid, Amr bin Syarkhabil, Al-Haris bin Qais, Rabi' bin
Khatim, Abdurrahman Assulami, Zar bin Khubais, Ubaid bin Mudhailah, Abu Zar'ah
dan Ibnu Asy-Sya'bi.
5. Syam terdapat juga para qari'. Antara lain AI-Mughirah bin Abi
Syaibah Al makhzumi. Beliau termasuk salah seorang murid usman bin Affan. Dan
Khalid bin Sa‟id, salah seorang murid Abu Darda'.[2]
Pada permulaan abad pertama Hijriah,
sejumlah Ulama' dari kalangan Tabi’in membulatkan tekad dan perhatiannya untuk
menjadikan qiraat ini sebagai disiplin ilmu yang independen sebagaimana
ilmu-ilmu syari'at lainnya. Sehingga mereka menjadi Imam dan ahli qiraat yang
diikuti oleh generasi ke generasi sesudahnya. Bahkan dalam generasi tersebut
terdapat banyak
Imam yang bermunculan dan mulai sejak ini sampai sekarang
kita mengikutinya serta mempercayainya sebagai madzhab qiraat. Para ahli qiraat
tersebut di Madinah ialah abu Ja'far Yazid bin Qa'qa' dan Nafi' bin
Abdurrahman. Di Mekkah Abdullah bin Katsir al- qurosyi dan Humaid bin Qais
al-Araj. Di kufah Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-Amasyi, Hamzah bin Habib dan
Ali Kisa'i. Di basrah Abdullah bin Abu Ishaq, Isa ibn Amr, Abu Amr Ala', Asim
al-Jahdari, dan Ya'qub al-Hadrami. Kemudian di syam Abdullah bin Amir, Isma'il
bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Haris dan Syuraih bin Yazid al-Hadrami.
Qira'ah sab‟ah
menjadi masyhur pada permulaan abad kedua Hijriah. Orang-orang Basrah memakai
qiraat Abu Amr dan Ya'qub, Orang-orang Kufah memakai qiraat Hamzah dan ,Asim,
Orang orang Syam memakai qiraat Ibn Amir, Orang-orang Mekkah memakai qiraat Ibn
Kasir, dan orangorang madinah memakai qiraat Nafi'.
Pada abad
ketiga Hijriyah, Qiraat ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar
Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid
(wafat tahun 324 H) di Bhagdad. Beliaulah yang membukukan Qira'ah sa'bah atau
tujuh Qiraat dari tujuh imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah,
dan Syam. tujuh imam Qari' tersebut ialah :
1. Ibn Amir Nama lengkapnya Abu Imran Abdullah bin Amir al-Yashubi
yang merupakan seorang Qodhi di Damaskus pada masa pemerintahan Ibn Abd
al-Malik.Beliau lahir pada tahun 21 H. Beliau berasal dari kalangan tabi'in
yang belajar Qiraat dari alMughirah Ibn Abi Syihab al-Mahzumi, Usman bin Affan
dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H Damaskus. Rowi beliau yang terkenal
dalam Qiraat yaitu Hisyam (wafat tahun 245H) dan Ibn Dzakwan (wafat tahun 242
H).
2. Ibn Katsir Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Katsir
Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qiraat di Mekkah dari kalangan tabi‟in
yang pernah hidup bersama sahabat abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan
Anas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, rowinya yang terkenal adalah Al Bazy
(wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).
3. Ashim Al-Khufy Nama lengkapnya Ashim Ibn Abi Al-Najud al-Asadi.
Beliau seorang tabi'in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah. Beliau
merupakan imam qira'at Kufah yang paling bagus suaranya dalam membaca
al-qur‟an. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu‟bah (wafat tahun 193 H) dan
Hafs (wafat tahun 180 H).
4. Abu Amr Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A'la Ibn Ammar al-Bashri
yang sering juga dipanggil Yahya. Beliau merupakan satu-satunya imam qiraat
yang paling banyak guru qira‟at nya. Beliau seorang guru besar qira‟at di Kota
Bashrah yang wafat di Kuffah pada tahun 154 H. Rowinya yang terkenal ialah Abu
Amr adDury (wafat tahun 246 H) dan Ibnu Zyad as-Susy (wafat tahun 261 H).
5. Hamzah Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat
al-Fardh alThaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari
kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi‟ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa
khalifah Abu Ja‟far alManshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah
Kholaf (w. 229 H) dan Khollad (w 220 H).
6. Nafi' Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi' Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi
Na'im alLaisry. Beliau lahir di Isfahan pada tahun 70 dan wafat di Madinah pad
tahun 169 H. Perawinya adalah Qolun (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H).
7. Al-Kisa‟i Nama lengkapnya Abul Hasan Ali Ibn Hamzah Ibn Abdillah
Al-Asady. Selain imam Qori‟ beliau terkenal juga sebagai imam nahwu golongan
Kufah. Beliau wafat pada tahun 189 H di Ray Perawinya yang terkenal adalah Abd
alHaris (wafat tahun 242 h) dan Ad-Dury (wafat tahun 246 H).
Selain qiraat yang tujuh di atas,
Imam al Jazari (wafat tahun 751 H). mengumpulkan tiga qiraat yang lain dengan
qari-qarinya yaitu:
8. Abu Muhammad Ya'qub bin Ishak AlHadhrami (perawinya yang masyhur
ialah Ruwais Muhammad bin Mutawakkil dan Ra'uh bin Abdul Mukmin);
9. Abu Muhammad bin Hisyam (perawinya yang masyhur ialah. Ishak
Al-Warraq dan Idris AlMadda);
10. Abu Ja'far Yazid bin Al-Qa'qa' Al – Makhzumi (perawinya yang
masyhur ialah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz). Dengan munculnya tiga qiraat ini
maka qiraat menjadi sepuluh yang dikenal dengan sebutan "Qiraat
Asyrah" (qiraat sepuluh).
Selain qiraat yang sepuluh ini
muncullah pula empat qiraat dengan qari-qarinya;
11. Muhammad bin Mahaishiz Al-Makki,
12. Al-A'masy Al-Kufi
13. Hasan Al-Basri dan
14. Yahya Al-Yazidi
Dengan munculnya empat qiraat ini, maka
semuanya menjadi qiraat empat belas yang terkenal dengan sebutan "Qiraat
Arba’ata Asyarah " (Qiraat Empat Belas). Namun qiraat empat yang terakhir
ini adalah qiraat lemah (syaz) karena tidak tidak memenuhi syarat syarat Qiraat
yang telah ditetapkan Ulama.[3]
B. Sejarah
Kodifikas Qiratul Qur’an
Babak
kodifikasi dimulai sejak kepemimpinan Abu Bakar ash-Shidiq atas usul Umar bin
alKhattab karena dilatarbelakangi oleh gugurnya 70 shahabat penghafal al-Qur’an
dalam pertempuran di Yamamah dan media penulisan al-Qur’an yang rentan dengan
kerusakan. Abu Bakar lalu menunjuk Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh Aban bin
Sa’id bin al-‘Ash untuk menulis kembali mushaf al-Qur’an.
Mushaf hasil
kodifikasi ini, selain mengacu kepada naskah para shahabat, persaksian dua
orang saksi dan bacaan yang didengar para shahabat (sima’i), juga mengacu
kepada mushaf Zaid bin Tsabit yang telah ditashih di hadapan Nabi SAW pada
‘urdhah akhirah.
Mushaf hasil kodifikasi pertama ini,
merupakan mushaf standar yang keabsahannya disepakati. Namun, meskipun demikian
shahabat boleh membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaanyang mereka terima dari
Nabi dan sesuaidengan naskah yang berada di tanganmereka
masing-masing. Perbedaan bacaanal-Qur’an di kalangan para
shahabat tidak menimbulkan persoalan karena mereka memahami betul bahwa
perbedaan qira’at tersebut bukan hasil rekayasa atau ijtihad mereka.[4]
Kelonggaran untuk menggunakan qira’at
yang berkembang di kalangan shahabat berjalan hingga masa Umar bin alKhattab.
Para shahabat dengan qira’at masing-masing membuka halaqah pembelajaran
al-Qur’an sesuai dengan qira’at yang dikuasainya. Karena itu, masyarakat
menisbatkan bacaannya kepada masing-masing shahabat, seperti qira’at Ibn
Mas’ud, qira’at Ubay, qira’at Ibn ‘Abbas, qira’at Zaid bin Tsabit, qira’at
Mu’adz bin Jabal, qira’at Abu Musa al-‘Asy’ari dan lain sebagainya. Perbedaan
qira’at ini tidak sampai menimbulkan perselisihan karena mereka saling
menghargai dan menghormati perbedaan tersebut sematamata sebagai kemudahan yang
diberikanAllah SWT kepada mereka.[5]
Kodifikasi
kedua dilakukan pada masa Utsman bin ‘Affan disebabkan karena perbedaan qira’at
yang selama ini ada mengarah kepada pertentangan dan sikap mengkafirkan di
kalangan umat Islam. Kasus perpecahan pernah disaksikan langsung oleh
Khudzaifah bin al-Yaman antara pasukan Syam dan Irak saat penaklukan kota
Armenia dan Azerbaijan. Atas kasus ini, ia mengusulkan kepada khalifah agar
dilakukan penulisan ulang mushaf untuk dikirim ke daerah penyebaran Islam agar
menjadi pedoman yang standar. Berdasarkan usul itu, Utsman membentuk tim yang
terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Sa’id bin al-‘Ash, Abdullah bin
Zubair dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam sebagai anggota.
Sebelum menjalankan tugas, ada pesan
penting yang disampaikan oleh Utsman bin ‘Affan, yaitu: “Jika kalian berselisih
dalam soal tulisan dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dalam bahasa Quraisy,
karena al-Qur’an diturunkan (pertama kali) dengan bahasa Quraisy.” Pesan ini
disampaikan mengingat Zaid adalah orang Anshar sedangkan ketiga anggotanya
berasal dari suku Quraisy. Pesan lain khalifah adalah agar qira’at yang
diakomodir dalam mushaf adalah qira’at yang sudah dikoreksi di hadapan Nabi.
Sehingga qira’at yang sudah dinasakh atau periwayatannya ahad tidak lagi
digunakan dalam mushaf standar.[6]
Dalam
melaksanakan tugas tersebut, hampir tidak dijumpai kendala yang berarti,
kecuali hanya satu perbedaan di antara tim ketika menulis kata التابوت
,Zaid menulis dengan ta’ marbuthah التابوة ,sementara ketiga anggota timnya menulis
dengan ta biasa التابوت.
Kodifikasi kali ini, menurut athThabari (W. 310 H) sebagai upaya penyeragaman bacaan seluruh umat Islam. Ia mengemukakan bahwa mushaf ‘Utsmani yang dikirim ke berbagai wilayah Islam hanya ditulis dengan satu macam bentuk tulisan saja. Ia menegaskan bahwa ahruf sab’ah hanya terjadi pada masa Nabi SAW, khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman saja. Kemudian perselisihan umat Islam pada peristiwa Armenia membuat Utsman menetapkan satu mushaf standar yang hanya memuat satu huruf saja. Sementara enam huruf lainnya dimusnahkan. Pendapat ini didukung oleh Manna’ Khalil al-Qattan.
Namun, setelah
diadakan penelitian ternyata pendapat tersebut tidak berdasar, karena ditemukan
bukti bahwa antara beberapa mushaf ‘Utsmani yang dikirim ke beberapa daerah
Islam terdapat perbedaan. Misalnya, ditemukan dalam naskah rasm mushaf ‘Utmasni
yang dikirim ke Mekah, pada firman Allah SWT surat at-Taubah [9]:100 ditulis
dengan menambah kata منِ , sementara pada mushaf yang dikirim ke
wilayah lain ditulis tanpa منِ. Demikian pula pada firman Allah SWT surat
al-Baqarah [2]: 132, terdapat perbedaan rasm antara mushaf yang dikirim ke Syam
dan Madinah dengan mushaf yang dikirim ke kota-kota lainnya.[7]
Sementara itu,
mushaf ‘Utsmani tidak bertitk dan berbaris sehingga memungkinkan satu bentuk
tulisan dapat dibaca dengan beberapa macam bacaan. Kondisi mushaf ‘Utsmani yang
beragam ini menunjukkan pengakuannya terhadap ahruf sab’ah sebagaimana
disebutkan dalam hadis. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas qurra’, fuqaha dan
mutakallimin. Menurut Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, pendapat ath-Thabari di
atas dipengaruhi oleh pendapatnya yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
ahruf sab’ah adalah beberapa lafadz yang memiliki arti sama. Kemudian, mushaf
hasil kodifikasi pada masa ‘Utsman yang masyhur dengan sebutan mushaf ‘Utsmani
menjadi mushaf standar dan rujukan bagi seluruh umat Islam hingga kini.
Kendatipun dokumen-dokumen pribadi yang
dimiliki oleh para shahabat sudah tidak ada, namun periwayatan qira’at tetap
berlangsung melalui jalur lisan termasuk qira’at shahabat yang sudah dibakar
mushafnya. Para shahabat yang diberi otoritas mengajarkan al-Qur’an oleh Nabi
SAW seperti Abdullah bin Mas’ud,
Ubay bin Ka’ab, Abu Musa al-‘Asy’ari dan Abu Darda’. Sementara itu, khalifah
‘Utsman ketika mengirim mushaf standar ke berbagai wilayah juga disertakan para
muqri’. Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani menyebutkan bahwa shahabat yang diberi
tanggung jawab untuk narasumber mushaf kawasan Madinah adalah Zaid bin Tsabit,
mushaf kawasan Mekah dengan narasumber Abdullah bin Sa’id, mushaf kawasan Syam
dengan narasumber al Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi, mushaf kawasan Kufah
dengan narasumber ‘Amir bin Abdul Qois.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada permulaan abad pertama Hijriah,
sejumlah Ulama' dari kalangan Tabi’in membulatkan tekad dan perhatiannya untuk
menjadikan qiraat ini sebagai disiplin ilmu yang independen sebagaimana
ilmu-ilmu syari'at lainnya. Sehingga mereka menjadi Imam dan ahli qiraat yang
diikuti oleh generasi ke generasi sesudahnya.
Qira'ah sab‟ah
menjadi masyhur pada permulaan abad kedua Hijriah. Orang-orang Basrah memakai
qiraat Abu Amr dan Ya'qub, Orang-orang Kufah memakai qiraat Hamzah dan ,Asim,
Orang orang Syam memakai qiraat Ibn Amir, Orang-orang Mekkah memakai qiraat Ibn
Kasir, dan orangorang madinah memakai qiraat Nafi'.
Pada abad
ketiga Hijriyah, Qiraat ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar
Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid
(wafat tahun 324 H) di Bhagdad. Beliaulah yang membukukan Qira'ah sa'bah atau
tujuh Qiraat dari tujuh imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah,
dan Syam.
Babak
kodifikasi dimulai sejak kepemimpinan Abu Bakar ash-Shidiq atas usul Umar bin
alKhattab karena dilatarbelakangi oleh gugurnya 70 shahabat penghafal al-Qur’an
dalam pertempuran di Yamamah dan media penulisan al-Qur’an yang rentan dengan
kerusakan. Abu Bakar lalu menunjuk Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh Aban bin
Sa’id bin al-‘Ash untuk menulis kembali mushaf al-Qur’an.
Kodifikasi
kedua dilakukan pada masa Utsman bin ‘Affan disebabkan karena perbedaan qira’at
yang selama ini ada mengarah kepada pertentangan dan sikap mengkafirkan di
kalangan umat Islam. Kasus perpecahan pernah disaksikan langsung oleh
Khudzaifah bin al-Yaman antara pasukan Syam dan Irak saat penaklukan kota
Armenia dan Azerbaijan. Atas kasus ini, ia mengusulkan kepada khalifah agar
dilakukan penulisan ulang mushaf untuk dikirim ke daerah penyebaran Islam agar
menjadi pedoman yang standar. Berdasarkan usul itu, Utsman membentuk tim yang
terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Sa’id bin al-‘Ash, Abdullah bin
Zubair dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam sebagai anggota.
Kodifikasi
yang ketiga sebagai upaya penyeragaman bacaan seluruh umat Islam. Ia
mengemukakan bahwa mushaf ‘Utsmani yang dikirim ke berbagai wilayah Islam hanya
ditulis dengan satu macam bentuk tulisan saja. Ia menegaskan bahwa ahruf sab’ah
hanya terjadi pada masa Nabi SAW, khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman saja.
Kemudian perselisihan umat Islam pada peristiwa Armenia membuat Utsman
menetapkan satu mushaf standar yang hanya memuat satu huruf saja. Sementara
enam huruf lainnya dimusnahkan
B. Saran
Dari penulisan
makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, baik dari segi
penulisan maupun isi dari makalah ini. Namun penulis tetap berharap apa yang
telah ditulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
A’Tarhim, Mohd dkk, Perkembangan
Awal Ilmu Qir’at, (Jurnal Islam dan Masyrakat Kontenporari, Jld 2, 2009)
Al-Qattan, Manna' Khalil Mabahits Fi Ulum al-Qur’an.
Drajat, Amroeni. (2017). Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana).
Jamal, Khairunnas dan Afriadi Putra. (2020). Pengantar Ilmu
Qira’at. Yogyakarta: Kalimedia.
Salim, M. A. (2022). Qira’ah, Riwayah, Thariq Dan Wajh
Dalam Variasi Bacaan Al-Qur’an
(Studi Sample Riwayat Hafsh dari Imam Ashim). El-Mu'Jam.
Jurnal Kajian Al Qur'an dan AlHadis, 2(1)
Sitorus, Iwan Romadhon Asal Usul Ilmu Qira’at, (El-Afkar
Vol 7, No.1 Januari-Juni 2018)
Sholihah, Izzatus Mengenal Ilmu Qiro’at Al-Qur’an dan
Sejarah Perkembangannya, (Jurnal Samawat, Vol 05, No 1, 2021).
Widayati,Romlah, DKK, Serial
Qira’at: Buku 1 Modul Pembelajaran Ilmu Qira’at.
[1] Izzatus Sholihah, Mengenal Ilmu Qiro’at Al-Qur’an dan Sejarah
Perkembangannya, (Jurnal Samawat, Vol 05, No 1, 2021) hlm. 21
[2] Mohd A’Tarhim dkk,
Perkembangan Awal Ilmu Qir’at, (Jurnal Islam dan Masyrakat Kontenporari, Jld 2,
2009) hlm. 74
[3]
Iwan Romadhon Sitorus, Asal Usul Ilmu
Qira’at, (El-Afkar Vol 7, No.1 Januari-Juni 2018) hlm. 78
[4] Romlah Widayati, DKK,
Serial Qira’at: Buku 1 Modul Pembelajaran Ilmu Qira’at, hal 23
[5] Romlah Widayati, DKK,
Serial Qira’at: Buku 1 Modul Pembelajaran Ilmu Qira’at, hal 24
[6]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulum
al Qur’an, hal 193
[7] Izzatus Sholihah, Mengenal Ilmu Qiro’at Al-Qur’an dan Sejarah
Perkembangannya, (Jurnal Samawat, Vol 05, No
1, 2021) hlm. 25
0 Komentar