QIR’ATUL QUR’AN PADA MASA TABI’IN DAN KODIFIKASI

A. Latar Belakang 

    Sejarah perkembangan qira’at al-Qur’an tidak terlepas dari perjalanan sejarah al-Qur’an itu sendiri. Para ulama membagi tahap dan proses perkembangan ilmu qira’at menjadi dua periode, yaitu: pertama, periode riwayat syafawiyah (periwayatan melalui lisan) yaitu periode periwayatan melalui talaqqi dengan cara hafalan dan tulisan melalui kodifikasi. Periode ini di mulai sejak diutusnya Nabi SAW menjadi Rasul sampai masa penyempurnaan mushaf Utsmani dengan pemberian tanda baca oleh Abu al-Aswad ad-Du’alli (W. 69 H) pada tahun 60 Hijriyah.
Kedua, periode pembukuan qira’at yang dimulai sejak Abu Aswad melakukan upaya pemberian tanda baca. Periode ini berlangsung dari tahun 60 H sampai tahun 255 H.[1]Sejak tahun itu, ulama mulai menaruh minat melalukan pembukuan terhadap qira’at al-Qur’an yang diawali dari tahap pertumbuhan, kemudian mulai mengalami masa kematangan dan menjadi salah satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri pada abad kedua hijriyah (generasi tabi’in).

Seorang ulama yang diduga pertama kali membukukan qira’at dan menghimpunnya menjadi salah satu buku adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (W.224 H) dalam karyanya al-Qira’at. Di dalam kitab ini, Abu ‘Ubaid mengangkat qira’at yang diriwayatkan oleh 25 imam termasuk di dalamnya imam qira’at tujuh. 

Namun ada juga sebagian ulama yang yang menyatakan bahwa orang yang diduga pertama kali membukukan qira’at adalah Yahya bin Ya’mar (W. 90 H) -salah seorang murid Abu Aswad ad-Du’alli-, namun dalam karyanya tidak menghimpun macam-macam perbedaan bacaan dan lebih fokus pada pemberian harakat. Sejak saat itu, ilmu qira’at terus mengalami perkembangan menyusul berikutnya adalah Abdullah bin ‘Amir (W. 118 H), Aban bin Tsaghlab (W. 141 H), Abu ‘Amr (W. 156 H), Hamzah azZayyat (W. 156 H) dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah qiratul qur’an pada masa Tabi’in?

2.      Bagimana sejarah  kodifikasi qir’atul quran ?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui perkembangan qiratul qur’an pada masa Tabi’in.

2.      Untuk mengetahui sejarah kodifikasi qiratul qur’an 

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Qira’atul Qur’am Pada Masa Tabi’in

Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya qira'at, yaitu ada yang mengatakan qira'at mulai di turunkan di Makkah bersamaan dengan turunya Al Qur'an. Ada juga yang mengatakan qira'at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan Bahasa Arab dan dialeknya.

Memang tidak tercatat mengenai kapan tepatnya ilmu qira'at itu muncul. Tetapi yang jelas, mula-mula orang yang pertama menulis tentang ilmu Qira’at tersebut adalah Abu Ubaid Al- Qosim Ibn Salam (wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira'at dengan bacaannya masing-masing, para tokoh lain yang turut mempelopori lahirnya ilmu Qira’at adalah Abu Hatim Al-Sijistany, Abu Jafar al-Thabary dan Ismail al-Qodhi.

Di zaman Sahabat, para qari dan huffaz yang terkenal adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin tsabit, Ibnu Mas'ud, Abu Darda' dan Abu Musa Al Asy'ari. Merekalah yang dikirim oleh Khalifah Usman ke wilayah Islam bersama Mushaf Usmani yang telah disediakan. Dari Hasil didikan para qari zaman sahabat, muncullah pakar-pakar qira‟at generasi tabiin, dan sesudahnya.

Berikut nama-nama para pakar qira'at dari generasi tabi‟in dibeberapa wilayah Islam didunia :

1.      Makkahh – Qari-Qari' yang tinggal di Mekah antara lain ialah Ubaid bin Umair, Atha', Thawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibnu Malikah.

2.      Madinah – Qari-Qari yang tinggal di Madinah antaran lain ialah Ibnu Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman, Ibnu Yasar, Mu’ad bin Haris (Mu'ad AI-Qari'),

Abdurrahman bin Hurmuz, Ibnu AI-A‟raj, Muslim bin Jundub dan Sa‟id bin Aslam.

3.      Basrah terdapat para qari‟ masyhur yaitu Amir bin Abdul Qais, Abu Aliyah, Abu Raja', Nasr bin Ashim, Yahya bin Ya'mar, Mu'adz, Jabir bin Zaid, Al-Hasan Ibnu Sirin dan Qatadah.

4.      Kufah terdapat pula pra ahli Qira'at. Diantaranya Al-Qamah, AI-Aswad, Masruq, Ubaid, Amr bin Syarkhabil, Al-Haris bin Qais, Rabi' bin Khatim, Abdurrahman Assulami, Zar bin Khubais, Ubaid bin Mudhailah, Abu Zar'ah dan Ibnu Asy-Sya'bi.

5.      Syam terdapat juga para qari'. Antara lain AI-Mughirah bin Abi Syaibah Al makhzumi. Beliau termasuk salah seorang murid usman bin Affan. Dan Khalid bin Sa‟id, salah seorang murid Abu Darda'.[2]

Pada permulaan abad pertama Hijriah, sejumlah Ulama' dari kalangan Tabi’in membulatkan tekad dan perhatiannya untuk menjadikan qiraat ini sebagai disiplin ilmu yang independen sebagaimana ilmu-ilmu syari'at lainnya. Sehingga mereka menjadi Imam dan ahli qiraat yang diikuti oleh generasi ke generasi sesudahnya. Bahkan dalam generasi tersebut terdapat banyak

 

Imam yang bermunculan dan mulai sejak ini sampai sekarang kita mengikutinya serta mempercayainya sebagai madzhab qiraat. Para ahli qiraat tersebut di Madinah ialah abu Ja'far Yazid bin Qa'qa' dan Nafi' bin Abdurrahman. Di Mekkah Abdullah bin Katsir al- qurosyi dan Humaid bin Qais al-Araj. Di kufah Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-Amasyi, Hamzah bin Habib dan Ali Kisa'i. Di basrah Abdullah bin Abu Ishaq, Isa ibn Amr, Abu Amr Ala', Asim al-Jahdari, dan Ya'qub al-Hadrami. Kemudian di syam Abdullah bin Amir, Isma'il bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Haris dan Syuraih bin Yazid al-Hadrami.

Qira'ah sab‟ah menjadi masyhur pada permulaan abad kedua Hijriah. Orang-orang Basrah memakai qiraat Abu Amr dan Ya'qub, Orang-orang Kufah memakai qiraat Hamzah dan ,Asim, Orang orang Syam memakai qiraat Ibn Amir, Orang-orang Mekkah memakai qiraat Ibn Kasir, dan orangorang madinah memakai qiraat Nafi'. 

Pada abad ketiga Hijriyah, Qiraat ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H) di Bhagdad. Beliaulah yang membukukan Qira'ah sa'bah atau tujuh Qiraat dari tujuh imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. tujuh imam Qari' tersebut ialah :

1.      Ibn Amir Nama lengkapnya Abu Imran Abdullah bin Amir al-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di Damaskus pada masa pemerintahan Ibn Abd al-Malik.Beliau lahir pada tahun 21 H. Beliau berasal dari kalangan tabi'in yang belajar Qiraat dari alMughirah Ibn Abi Syihab al-Mahzumi, Usman bin Affan dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H Damaskus. Rowi beliau yang terkenal dalam Qiraat yaitu Hisyam (wafat tahun 245H) dan Ibn Dzakwan (wafat tahun 242 H).

2.      Ibn Katsir Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Katsir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qiraat di Mekkah dari kalangan tabi‟in yang pernah hidup bersama sahabat abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Anas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, rowinya yang terkenal adalah Al Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).

3.      Ashim Al-Khufy Nama lengkapnya Ashim Ibn Abi Al-Najud al-Asadi. Beliau seorang tabi'in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah. Beliau merupakan imam qira'at Kufah yang paling bagus suaranya dalam membaca al-qur‟an. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu‟bah (wafat tahun 193 H) dan Hafs (wafat tahun 180 H).

4.      Abu Amr Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A'la Ibn Ammar al-Bashri yang sering juga dipanggil Yahya. Beliau merupakan satu-satunya imam qiraat yang paling banyak guru qira‟at nya. Beliau seorang guru besar qira‟at di Kota Bashrah yang wafat di Kuffah pada tahun 154 H. Rowinya yang terkenal ialah Abu Amr adDury (wafat tahun 246 H) dan Ibnu Zyad as-Susy (wafat tahun 261 H).

5.      Hamzah Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh alThaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi‟ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja‟far alManshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah Kholaf (w. 229 H) dan Khollad (w 220 H).

6.      Nafi' Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi' Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na'im alLaisry. Beliau lahir di Isfahan pada tahun 70 dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Perawinya adalah Qolun (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H).

7.      Al-Kisa‟i Nama lengkapnya Abul Hasan Ali Ibn Hamzah Ibn Abdillah Al-Asady. Selain imam Qori‟ beliau terkenal juga sebagai imam nahwu golongan Kufah. Beliau wafat pada tahun 189 H di Ray Perawinya yang terkenal adalah Abd alHaris (wafat tahun 242 h) dan Ad-Dury (wafat tahun 246 H).

Selain qiraat yang tujuh di atas, Imam al Jazari (wafat tahun 751 H). mengumpulkan tiga qiraat yang lain dengan qari-qarinya yaitu:

8.      Abu Muhammad Ya'qub bin Ishak AlHadhrami (perawinya yang masyhur ialah Ruwais Muhammad bin Mutawakkil dan Ra'uh bin Abdul Mukmin);

9.      Abu Muhammad bin Hisyam (perawinya yang masyhur ialah. Ishak Al-Warraq dan Idris AlMadda);

10.  Abu Ja'far Yazid bin Al-Qa'qa' Al – Makhzumi (perawinya yang masyhur ialah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz). Dengan munculnya tiga qiraat ini maka qiraat menjadi sepuluh yang dikenal dengan sebutan "Qiraat Asyrah" (qiraat sepuluh).

Selain qiraat yang sepuluh ini muncullah pula empat qiraat dengan qari-qarinya;

11.  Muhammad bin Mahaishiz Al-Makki,

12.  Al-A'masy Al-Kufi

13.  Hasan Al-Basri dan

14.  Yahya Al-Yazidi

Dengan munculnya empat qiraat ini, maka semuanya menjadi qiraat empat belas yang terkenal dengan sebutan "Qiraat Arba’ata Asyarah " (Qiraat Empat Belas). Namun qiraat empat yang terakhir ini adalah qiraat lemah (syaz) karena tidak tidak memenuhi syarat syarat Qiraat yang telah ditetapkan Ulama.[3]

B. Sejarah Kodifikas Qiratul Qur’an

Babak kodifikasi dimulai sejak kepemimpinan Abu Bakar ash-Shidiq atas usul Umar bin alKhattab karena dilatarbelakangi oleh gugurnya 70 shahabat penghafal al-Qur’an dalam pertempuran di Yamamah dan media penulisan al-Qur’an yang rentan dengan kerusakan. Abu Bakar lalu menunjuk Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh Aban bin Sa’id bin al-‘Ash untuk menulis kembali mushaf al-Qur’an. 

Mushaf hasil kodifikasi ini, selain mengacu kepada naskah para shahabat, persaksian dua orang saksi dan bacaan yang didengar para shahabat (sima’i), juga mengacu kepada mushaf Zaid bin Tsabit yang telah ditashih di hadapan Nabi SAW pada ‘urdhah akhirah. 

Mushaf hasil kodifikasi pertama ini, merupakan mushaf standar yang keabsahannya disepakati. Namun, meskipun demikian shahabat boleh membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaanyang mereka terima dari Nabi dan sesuaidengan naskah yang berada di tanganmereka

 

masing-masing. Perbedaan bacaanal-Qur’an di kalangan para shahabat tidak menimbulkan persoalan karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qira’at tersebut bukan hasil rekayasa atau ijtihad mereka.[4]

Kelonggaran untuk menggunakan qira’at yang berkembang di kalangan shahabat berjalan hingga masa Umar bin alKhattab. Para shahabat dengan qira’at masing-masing membuka halaqah pembelajaran al-Qur’an sesuai dengan qira’at yang dikuasainya. Karena itu, masyarakat menisbatkan bacaannya kepada masing-masing shahabat, seperti qira’at Ibn Mas’ud, qira’at Ubay, qira’at Ibn ‘Abbas, qira’at Zaid bin Tsabit, qira’at Mu’adz bin Jabal, qira’at Abu Musa al-‘Asy’ari dan lain sebagainya. Perbedaan qira’at ini tidak sampai menimbulkan perselisihan karena mereka saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut sematamata sebagai kemudahan yang diberikanAllah SWT kepada mereka.[5]

Kodifikasi kedua dilakukan pada masa Utsman bin ‘Affan disebabkan karena perbedaan qira’at yang selama ini ada mengarah kepada pertentangan dan sikap mengkafirkan di kalangan umat Islam. Kasus perpecahan pernah disaksikan langsung oleh Khudzaifah bin al-Yaman antara pasukan Syam dan Irak saat penaklukan kota Armenia dan Azerbaijan. Atas kasus ini, ia mengusulkan kepada khalifah agar dilakukan penulisan ulang mushaf untuk dikirim ke daerah penyebaran Islam agar menjadi pedoman yang standar. Berdasarkan usul itu, Utsman membentuk tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Sa’id bin al-‘Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam sebagai anggota.

Sebelum menjalankan tugas, ada pesan penting yang disampaikan oleh Utsman bin ‘Affan, yaitu: “Jika kalian berselisih dalam soal tulisan dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dalam bahasa Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan (pertama kali) dengan bahasa Quraisy.” Pesan ini disampaikan mengingat Zaid adalah orang Anshar sedangkan ketiga anggotanya berasal dari suku Quraisy. Pesan lain khalifah adalah agar qira’at yang diakomodir dalam mushaf adalah qira’at yang sudah dikoreksi di hadapan Nabi. Sehingga qira’at yang sudah dinasakh atau periwayatannya ahad tidak lagi digunakan dalam mushaf standar.[6]

Dalam melaksanakan tugas tersebut, hampir tidak dijumpai kendala yang berarti, kecuali hanya satu perbedaan di antara tim ketika menulis kata التابوت ,Zaid menulis dengan ta’ marbuthah التابوة ,sementara ketiga anggota timnya menulis dengan ta biasa التابوت.

Kodifikasi kali ini, menurut athThabari (W. 310 H) sebagai upaya penyeragaman bacaan seluruh umat Islam. Ia mengemukakan bahwa mushaf ‘Utsmani yang dikirim ke berbagai wilayah Islam hanya ditulis dengan satu macam bentuk tulisan saja. Ia menegaskan bahwa ahruf sab’ah hanya terjadi pada masa Nabi SAW, khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman saja. Kemudian perselisihan umat Islam pada peristiwa Armenia membuat Utsman menetapkan satu mushaf standar yang hanya memuat satu huruf saja. Sementara enam huruf lainnya dimusnahkan.  Pendapat ini didukung oleh Manna’ Khalil al-Qattan. 

Namun, setelah diadakan penelitian ternyata pendapat tersebut tidak berdasar, karena ditemukan bukti bahwa antara beberapa mushaf ‘Utsmani yang dikirim ke beberapa daerah Islam terdapat perbedaan. Misalnya, ditemukan dalam naskah rasm mushaf ‘Utmasni yang dikirim ke Mekah, pada firman Allah SWT surat at-Taubah [9]:100 ditulis dengan menambah kata منِ , sementara pada mushaf yang dikirim ke wilayah lain ditulis tanpa منِ. Demikian pula pada firman Allah SWT surat al-Baqarah [2]: 132, terdapat perbedaan rasm antara mushaf yang dikirim ke Syam dan Madinah dengan mushaf yang dikirim ke kota-kota lainnya.[7]

Sementara itu, mushaf ‘Utsmani tidak bertitk dan berbaris sehingga memungkinkan satu bentuk tulisan dapat dibaca dengan beberapa macam bacaan. Kondisi mushaf ‘Utsmani yang beragam ini menunjukkan pengakuannya terhadap ahruf sab’ah sebagaimana disebutkan dalam hadis. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas qurra’, fuqaha dan mutakallimin. Menurut Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, pendapat ath-Thabari di atas dipengaruhi oleh pendapatnya yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah beberapa lafadz yang memiliki arti sama. Kemudian, mushaf hasil kodifikasi pada masa ‘Utsman yang masyhur dengan sebutan mushaf ‘Utsmani menjadi mushaf standar dan rujukan bagi seluruh umat Islam hingga kini.

Kendatipun dokumen-dokumen pribadi yang dimiliki oleh para shahabat sudah tidak ada, namun periwayatan qira’at tetap berlangsung melalui jalur lisan termasuk qira’at shahabat yang sudah dibakar mushafnya. Para shahabat yang diberi otoritas mengajarkan al-Qur’an oleh Nabi

SAW seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa al-‘Asy’ari dan Abu Darda’. Sementara itu, khalifah ‘Utsman ketika mengirim mushaf standar ke berbagai wilayah juga disertakan para muqri’. Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani menyebutkan bahwa shahabat yang diberi tanggung jawab untuk narasumber mushaf kawasan Madinah adalah Zaid bin Tsabit, mushaf kawasan Mekah dengan narasumber Abdullah bin Sa’id, mushaf kawasan Syam dengan narasumber al Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi, mushaf kawasan Kufah dengan narasumber ‘Amir bin Abdul Qois.

 BAB III PENUTUP 

A. Kesimpulan

Pada permulaan abad pertama Hijriah, sejumlah Ulama' dari kalangan Tabi’in membulatkan tekad dan perhatiannya untuk menjadikan qiraat ini sebagai disiplin ilmu yang independen sebagaimana ilmu-ilmu syari'at lainnya. Sehingga mereka menjadi Imam dan ahli qiraat yang diikuti oleh generasi ke generasi sesudahnya.

Qira'ah sab‟ah menjadi masyhur pada permulaan abad kedua Hijriah. Orang-orang Basrah memakai qiraat Abu Amr dan Ya'qub, Orang-orang Kufah memakai qiraat Hamzah dan ,Asim, Orang orang Syam memakai qiraat Ibn Amir, Orang-orang Mekkah memakai qiraat Ibn Kasir, dan orangorang madinah memakai qiraat Nafi'.

Pada abad ketiga Hijriyah, Qiraat ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H) di Bhagdad. Beliaulah yang membukukan Qira'ah sa'bah atau tujuh Qiraat dari tujuh imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam.

Babak kodifikasi dimulai sejak kepemimpinan Abu Bakar ash-Shidiq atas usul Umar bin alKhattab karena dilatarbelakangi oleh gugurnya 70 shahabat penghafal al-Qur’an dalam pertempuran di Yamamah dan media penulisan al-Qur’an yang rentan dengan kerusakan. Abu Bakar lalu menunjuk Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh Aban bin Sa’id bin al-‘Ash untuk menulis kembali mushaf al-Qur’an.

Kodifikasi kedua dilakukan pada masa Utsman bin ‘Affan disebabkan karena perbedaan qira’at yang selama ini ada mengarah kepada pertentangan dan sikap mengkafirkan di kalangan umat Islam. Kasus perpecahan pernah disaksikan langsung oleh Khudzaifah bin al-Yaman antara pasukan Syam dan Irak saat penaklukan kota Armenia dan Azerbaijan. Atas kasus ini, ia mengusulkan kepada khalifah agar dilakukan penulisan ulang mushaf untuk dikirim ke daerah penyebaran Islam agar menjadi pedoman yang standar. Berdasarkan usul itu, Utsman membentuk tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Sa’id bin al-‘Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam sebagai anggota.

Kodifikasi yang ketiga sebagai upaya penyeragaman bacaan seluruh umat Islam. Ia mengemukakan bahwa mushaf ‘Utsmani yang dikirim ke berbagai wilayah Islam hanya ditulis dengan satu macam bentuk tulisan saja. Ia menegaskan bahwa ahruf sab’ah hanya terjadi pada masa Nabi SAW, khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman saja. Kemudian perselisihan umat Islam pada peristiwa Armenia membuat Utsman menetapkan satu mushaf standar yang hanya memuat satu huruf saja. Sementara enam huruf lainnya dimusnahkan

B. Saran

Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Namun penulis tetap berharap apa yang telah ditulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

A’Tarhim, Mohd dkk, Perkembangan Awal Ilmu Qir’at, (Jurnal Islam dan Masyrakat Kontenporari, Jld 2, 2009)

Al-Qattan, Manna' Khalil Mabahits Fi Ulum al-Qur’an.

Drajat, Amroeni. (2017). Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana).

Jamal, Khairunnas dan Afriadi Putra. (2020). Pengantar Ilmu Qira’at. Yogyakarta: Kalimedia.

Salim, M. A. (2022). Qira’ah, Riwayah, Thariq Dan Wajh Dalam Variasi Bacaan Al-Qur’an

(Studi Sample Riwayat Hafsh dari Imam Ashim). El-Mu'Jam. Jurnal Kajian Al Qur'an dan AlHadis, 2(1)

Sitorus, Iwan Romadhon Asal Usul Ilmu Qira’at, (El-Afkar Vol 7, No.1 Januari-Juni 2018)

Sholihah, Izzatus Mengenal Ilmu Qiro’at Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya, (Jurnal Samawat, Vol 05, No 1, 2021).

Widayati,Romlah, DKK, Serial Qira’at: Buku 1 Modul Pembelajaran Ilmu Qira’at.



[1] Izzatus Sholihah, Mengenal Ilmu Qiro’at Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya, (Jurnal Samawat, Vol 05, No 1, 2021) hlm. 21

[2] Mohd A’Tarhim dkk, Perkembangan Awal Ilmu Qir’at, (Jurnal Islam dan Masyrakat Kontenporari, Jld 2, 2009) hlm. 74

[3] Iwan Romadhon Sitorus, Asal Usul Ilmu Qira’at, (El-Afkar Vol 7, No.1 Januari-Juni 2018) hlm. 78

[4] Romlah Widayati, DKK, Serial Qira’at: Buku 1 Modul Pembelajaran Ilmu Qira’at, hal 23

[5] Romlah Widayati, DKK, Serial Qira’at: Buku 1 Modul Pembelajaran Ilmu Qira’at, hal 24

[6] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulum al Qur’an, hal 193

[7] Izzatus Sholihah, Mengenal Ilmu Qiro’at Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya, (Jurnal Samawat, Vol 05, No

1, 2021) hlm. 25

Posting Komentar

0 Komentar