Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku pastinya mempunyai format dialek (lahjah) yang berbeda satu sama lain. Perbedaan dialek ini tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural masing-masing suku.
Namun di samping itu, mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi dan melakukan bentuk-bentuk interaksi yang lain. Di sisi lain, perbedaan dialek (lahjah) ini akhirnya membawa konsekuensi lahirnya berbagai macam bacaan (qira’at ) dalam melafazkan Al-Qur’an. Hal ini sebenarnya bersifat alami dan merupakan fakta sejarah dari umat Islam itu sendiri. Artinya ini merupakan fenomena yang tak dapat dihindari. Oleh karena itu Rasulullah saw. sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur’an itu dengan berbagai macam qira’at .Adanya perbedaan qira’at dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
dengan substansi lafaz atau kalimat adakalanya mempengaruhi makna suatu lafaz
atau kalimat dan adakalanya tidak. Karena terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mengkaji Al-Qur’an.
Yaitu: (1) Sebab umum yang meliputi persoalan i’rab, musytarak, hakikat-majaz, ‘am-khas, mutlaq-muqayyad,
mujmalmubayyan, amr-nahi, dan
naskh-mansukh; (2) Sebab yang khusus yang meliputi perbedaan dalam hal
kritik sanad dan matan, pengambilan sumber hukum, serta perbedaan aqidah dan
mazhab. Jadi walaupun qira’at bukan
satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbat (penetapan hukum), namun tidak
dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’at
tersebut berpengaruh besar terhadap penafsiran dan produk hukum yang
dihasilkan oleh para ulama.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Qira’at?
2. Bagimana Validitas Keshahihan Qira’at?
3. Bagaimana Pengaruh Perbedaan Qira’at dalam Penafsiran Al-Qur’an
dan Istinbath Hukum? 4. Bagaimana Hikmah Perbedaan Qira’at?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi Qira’at.
2. Untuk mengetahui Validitas Keshahihan Qira’at.
3. Untuk mengetahui Pengaruh Perbedaan Qira’at dalam Penafsiran
Al-Qur’an dan Istinbath Hukum
4. Untuk mengetahui Hikmah Perbedaan Qira’at.
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Qira’at
Secara etimologis, pengucapan qira’at
merupakan bentuk masdar dari akar kata qara'a-yaqra'u-qira’at
an wa qur'anan, yang berarti membaca. Dari kata dasar inilah lahir kata
Qur’an (qura’n) dan qira'áh. Kedua
kata ini memiliki arti; Pertama, menghimpun dan menggabungkan yakni menghimpun
dan menggabungkan antara satu dengan yang lainnya. Kedua, membaca (al-tilawat), yang berarti kalimat
tertulis, seperti ungkapan (mengucapkan atau membunyikan huruf) dari buku yang
telah saya baca. Kata qira’at bersifat tunggal, meskipun ditempatkan dalam
bentuk jamak dalam kajian ilmu Al-Qur’an karena pembahasannya mencakup banyak
jenis qira’at (bacaan). Adapun secara terminologi, pengertian qira’at
dikemukakan oleh para ahli ulum Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Badr al-Din al-Zarkasyi mengatakan bahwa qira’at adalah
pengucapan Al-Qur’an, baik itu tentang huruf atau cara mengucapkannya, seperti takhfif dan tasykil, dll.
2. Abdul Hadi al-Fadli berpendapat bahwa qira’at adalah ilmu untuk
mengetahui pengucapan lafadz-lafadz dalam Al-Qur’an.Para ahli qira’at sepakat
dan berpendapat, baik membuang huruf (hafiz)
atau menugaskan huruf (isbat),
Memberi harakat (washal), huruf
pengganti (ibdal) dan simbol lain
yang dapat diperoleh dengan mendengar.
3. Menurut al-Zarqani, sekolah bacaan qira’at yang diselenggarakan
oleh Imam, Qira’at berbeda dengan qira’at lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an,
yang konsisten dalam cara periwayatan dan periwayatan, baik itu surat-surat.
pengucapannya masih berupa pengucapan berbagai bentuk bacaan.
Definisi yang disampaikan oleh ‘Abdul
Fattah al-Qadhi juga memberi pendapat yang lebih mudah dipahami dalam Al-Budur Al-Zahirah, yang juga dikutip
oleh Ahmad Fathoni dalam bukunya Kaidah Qira’at Tujuh yaitu alasannya mencakup
dua hal pokok ilmu qira’at yaitu cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an baik yang
disepakati maupun yang diikhtilafkan oleh para Imam qira’at, dan mencakup pentingnya
sanad yang mutawatir sampai kepada Nabi SAW sebagai syarat diterimanya qira’at.[2]
B. Validitas Keshahihan Qira’at
Jejak-jejak perbedaan qira’at tersebar
dalam kitab-kitab tafsir, seperti dalam Tafsir Ibnu Abbas yang juga menjelaskan
qira’at. Bahkan tafsir-tafsir karya mufassir nusantara pun banyak menyebutkan
qira’at dalam kitabnya, mulai dari Tarjuman al-Mustafid, Malja al Thalibin
karya Kiai Sanusi hingga Mushaf qira’at Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Penggunaan qira’at dalam kitab tafsirnya ini menunjukan
betapa pentingnya qira’at dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Mengingat banyaknya
ragam qira’at yang beredar dikalangan umat Islam yang diriwayatkan oleh para
qâri’, Maka untuk menentukan kualitas qira’at, para ulama membuat validitas
berupa syarat-syarat, sebagai ketentuan untuk dijadikan acuan ketika menilai
shahih atau tidaknya sebuah qira’at. Validitas ini meliputi:
1. Qira’at itu harus memiliki rangkaian sanad yang shahih dan
bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
2. Redaksi dari qira’at itu harus sesuai dengan kaidah bahasa
Arab.
3. Bentuk tulisannya harus sesuai dengan salah satu rasm (gambaran
dari tulisan) mushaf Utsmani. Diantara ulama yang menetapkan tiga validitas ini
adalah syaikh al-Makki ibn Abi Talib.
Validitas ini dipopulerkan oleh Ibnu
al-Jazari yang dicantumkan dalam bait “Thayyibah
al-Nasyr” yang artinya adalah: “Setiap qira’at” apabila sesuai dengan
kaidah nahwu (bahasa), sesuai dengan rasm Utsmani, dan memiliki sanad shahih
maka wajib diakui ke Quranannya. Inilah tiga rukun yang harus dipenuhi,
sekiranya tidak terpenuhi tiga syarat tersebut maka qira’at itu dianggap syadz.
Hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qira’at atau
tidak, adalah bahwa ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qira’at yang
mutawatir. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika terdapat
qira’at tidak memenuhi kategori di atas maka tidak diterima.[3]
Berdasarkan ketiga persyaratan ini dan
ditambah dengan dasar keterlibatan jumlah sanad dalam periwayatan qira’at yang
bersambung sampai kepada Nabi saw, maka para ulama kemudian mengklasifikasikan
qira’at Al-Qur’an tersebut kepada beberapa macam, yaitu :[4]
1. Mutawatir, yaitu
qira’at yang diriwayatkan oleh periwayat yang banyak dari periwayat yang banyak
pula dan mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Sanad seperti itu terus
mengalami persambungan sampai kepada Rasulullah. Dalam penilaian jumhur ulama,
qira’at yang tujuh masuk dalam kelompok ini. Qira’at seperti ini oleh para
ulama Al-Qur’an dan Ahli Hukum Islam telah disepakati bahwa qira’at ini dapat
dijadikan pegangan dan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Masyhur, yaitu qira’at
yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
Qira’at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm Utsmani. Qira’at ini
populer di kalangan ahli qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai qira’at
yang salah atau aneh. Karena itu baik al-Zarqaniy maupun Subhi alShalih
misalnya menyatakan bahwa qira’at yang masyhur sah bacaannya dan wajib
menyakininya dan tidak boleh sama sekali mengingkari sedikitpun dari
padanya.
3. Ahad, yaitu qira’at
yang sah sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani dan ketentuan kaidah bahasa
Arab serta tidak mencapai derajat masyhur. Qira’at ini tidak sah untuk dibaca
sebagai Al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya.
4. Syadz yaitu
qira’at yang sanadnya tidak shahih atau
qira’at yang tidak memenuhi tiga syarat
sah untuk diterimanya qira’at . Qira’at
pada tingkatan ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan yang sah.
5. Maudhu’ yaitu
qira’at buatan dan tidak bersumber dari
Nabi Saw.
6. Mudraj, yaitu qira’at
yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan
sebagai bentuk penafsiran bagi ayat Al-Qur’an.
C. Pengaruh Perbedaan Qira’at dalam
Penafsiran Al-Qur’an dan Istinbath Hukum
Sesungguhnya perbedaan qira’at telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Hal
ini jelas terungkap dalam banyak hadis sahih yang menyiratkan bahwa Nabi
Muhammad Saw telah mengizinkan perbedaan qira’at, agar tidak memberatkan para
sahabat. Menurut al-Azami perbedaan ini sesungguhnya untuk mempermudah bagi
orang yang sulit melafalkan bahasa Arab Quraisy. Mengingat di jazirah Arab,
banyak dialek besar lainnya, dan banyak sahabat yang dipengaruhi oleh dialek
bahasa kabilah-kabilah, oleh karena itu Nabi memperbolehkan Al-Qur’an dibaca
dalam dialek lain. Diantara yang mashur ahli qira’at diantaranya: Ubay bin Kaab, Ali bin Abi
Thalib, Ibn Maud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari. Akibat logis dari
keragaman Bahasa dan dialek tersebut, munculnya perbedaan bacaan (qira’at ) dalam melafalkan Al-Qur’an.
Pada mulanya keragaman bacaan tersebut dianggap mengancam persatuan umat dan
kelestarian Al-Qur’an itu sendiri, namun belakangan perbedaan bacaan ini
menjadikan Al-Qur’an begitu kaya dengan nilai-nilai kearifan, baik dalam perspektif
budaya maupun dalam perspektif sains.
Validitas qira’at yang sahih disebutkan oleh As-Suyuthi
menurutnya qira’at yang sahih adalah
qira’at yang sesuai dengan kaidah bahasa
Arab, kemudian sesuai dengan mushaf Usmani dan riwayatnya melalui sanad yang
sahih. Subhi al-Salih telah mengkategorikan perbedaan qira’at Al-Qur’an ke dalam tujuh aspek, yaitu;
perbedaan irab, perbedaan huruf,
perbedaan mufrad dan jama, substitusi sebuah kata dengan
sinonimnya, perbedaan taqdim-takhir, perbedaan ziyadah-nuqsan, dan
perbedaan dialek.
Dari pernyataan tersebut, dapat
dipahami bahwa perbedaan qira’at terbagi
dua; pertama, aspek linguistik seperti irab,
takhfif, tasydid, dan mad, inilah yang jadi mayoritas. Kedua, aspek tafsiri,
yaitu perbedaan qira’at yang
mengakibatkan perbedaan penafsiran Al-Qur’an. Bagian yang kedua ini hanya
minoritas saja.
Fathullah Munadi mengungkap keragaman
membaca redaksi Al-Qur’an pada Mushaf Qira’at
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam Sejarah Qira’at Nusantara, ia baru mendisplay perbedaan
bacaan dalam mushaf, tanpa menjelaskan perbedaan terhadap penafsiran, karena
memang beberapa ayat yang berbeda qira’at
tersebut dianggap tidak mengubah penafsiran atau penerjemahan.
Penelitian yang lain bahkan menemukan bahwa perbedaan qira’at tersebut
berfungsi saling melengkapi, layaknya dari perilaku membasuh dan mengusap kaki,
dalam perspektif sains menyempurnakan kebersihan kaki dimana kulit luar banyak
ditempeli mikroba, sehingga membasuh dengan mencuci menjadi lebih efektif dalam
proses membersihkan diri.
Farid Esack secara tegas berpendapat
bahwa qira’at tidak memengaruhi
penafsiran al-Quran. Sesungguhnya perbedaan qira’at di beberapa tempat
memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap penafsiran, dan pengaruh
tersebut bersifat positif. Apa yang dikemukakan oleh penulis ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilaporkan Halimah, Ismail Hashim, Miftah Khilmi,
walaupun mereka membatasi penelitiannya dalam masalah ayat-ayat hukum saja.
Penelitian lain mengungkapkan bahwa qira’at sangat mempengaruhi penafsiran
bahkan mempengaruhi tradisi keagamaan masyarakat muslim khususnya yang
berkaitan dengan fiqh, mereka sangat bergantung pada qira’at ketika mengambil
keputusan. Hal ini karena fiqh hingga saat ini cukup dominan dalam mengatur
pola tatanan kehidupan muslim.
Penulis menemukan implikasi yang lebih
luas dari perbedaan qiraat bukan hanya berkaitan dengan produksi hukum, tetapi
secara umum berimplikasi terhadap penafsiran pada ayat-ayat lainnya, baik yang
bermuatan teologis ataupun yang mengadung muatan moral. Sehingga perbedaan
qiraat berimplikasi membentuk pemahaman atau bahkan keyakinan setiap muslim.
Setidaknya ada sepuluh pola jika dikaitkan dengan peran atau fungsi qiraat
terhadap penafsiran Alquran, diantaranya : [5]
1. Takhyir, dengan adanya
perbedaan qiraat pada suatu ayat, maka kaum muslimin dapat memilih qiraat yang
tafsirnya mereka anggap sesuai dengan keadaan dan kondisi keimanan.
2. Bayan lafz al-garib aw
al-mubham, adanya perbedaan qiraat pada suatu ayat dapat membantu
menjelaskan arti lafadz yang maknanya masih samar-samar.
3. Sabab wa musabbab,
dengan adanya perbedaan qiraat pada suatu ayat, dapat mengetahui adanya
hubungan sebab-akibat antara suatu perkara dengan perkara lainnya dalam
Alquran.
4. Isyarah latifah,
dengan adanya perbedaan qiraat pada suatu ayat, maka ditemukanlah isyarat yang
halus di dalam sebuah ayat. Isyarat ini merupakan hal yang tersirat dan
tersembunyi, yang hanya ditangkap dan dipahami oleh yang terpilih, yakni para
ulama, khususnya mufasir.
5. Amm wa khash, dengan
adanya perbedaan qiraat pada suatu ayat, maka dapat diketahui hubungan atau
pengaruh umum-khusus antara kedua qiraat yang berbeda tersebut.
6. Tanawwu al-ibadah, dengan
adanya perbedaan qiraat pada suatu ayat, maka umat Islam dapat mengetahui
keberagaman cara melaksanakan ibadah.
7. Tanawwu al-syart,
dengan adanya perbedaan qiraat pada suatu ayat, maka dapat diketahui perbedaan
syarat beribadah.
8. Tanawwu al-hal, dengan
adanya perbedaan qiraat pada suatu ayat, maka dapat dipahami memahami perbedaan
konteks yang diceritakan oleh suatu ayat.
9. Tafsir baḍuhu ala baḍ,
dengan adanya perbedaan qiraat kedua lafal yang berbeda dapat saling melengkapi
(complementary) dan saling menjelaskan antara satu dengan yang lain.
10. Ikhtilaf fi mas’alat
al-kalam, dengan adanya perbedaan qiraat, timbullah perbedaan pandangan
antara Ahl Sunnah wa al-Jamaah dan Mutazilah.
Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin
Asyur al-Tunisi (1296-1393 H/ 18791973 M). Dalam muqaddimah kitab tafsirnya
membahas tentang Qira’at dan pengaruhnya terhadap penafsiran Al-Qur’an. Menurut
Ibn Asyur hubungan antara Qira’at dan tafsir dapat dikelompokkan menjadi:
pertama, Qira’at yang tidak berimplikasi pada penafsiran dan kedua, qira’at
yang berimplikasi pada penafsiran.
1. Perbedaan Qira’at yang tidak berpengaruh dalam istinbath hukum.
Contoh QS.
al-Ahzab ayat 49 : [6]
يََٰٓأيَهَُّا ٱلذَِّينَ ءَامَنوَُٰٓا۟ إِذاَ نكََحْتمُُ ٱلْمُؤْمِ
نتَِ ثمَُّ طَلقَّْتمُُوهُنَّ مِن قبَْلِ
أنَ تمََسُّوهُنَّ فمََا لكَُمْ عَليَْهِنَّ
مِنْ عِدةٍَّ تعَْتدَوُّنهََا ۖ فمََت عِوُهُنَّ وَسَ رِحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلً
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang
istri yang diceraikan oleh suaminya sebelum digauli (disetubuhi), maka tidak
ada masa ‘iddah baginya. Masa ‘iddah adalah masa menunggu seorang istri yang
telah diceraikan suaminya, dalam masa itu istri tidak dibolehkan menikah dengan
laki-laki lain. Dalam ayat di atas terdapat perbedaan bacaan dari lafadz (مِن
قَبْلِ أنَ تمََسُّوهُن) Jumhur ulama membaca
sesuai dengan teks. Sementara Hamzah dan al-Kisa’i membaca min qabli ‘an
tumasahunna (مِن قَبْلِ أنَ ت مَُ اسُّوهُن)
(dengan menambahkan huruf alif dan di dhammah huruf ta’(ت).
Kata lain dalam ayat di atas adalah
lafadz (تعَْتدَُّونهََا) dengan mentasydidkan huruf dal (د). Jumhur ulama
membaca sesuai dengan teks. Sementara Ibnu Katsir, Hamzah, al-Kisa’i, Abu
‘Amer, Ibnu ‘Asim dan Nafi‘ membaca ta‘tadunaha ( تعَْتدَُ ونَهَا( dengan mentakhfifkan huruf dal. Perbedaan qira’at
tersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum, yakni istri yang
diceraikan oleh suaminya tidak ada ‘iddah baginya apabila belum digauli
(disetubuhi) oleh suaminya.
2. Perbedaan Qira’at yang berpengaruh
terhadap istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 222 : [7]
وَيَسْـلَٔوُنكََ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قلُْ هُوَ أذَىً فَ ٱعْتزَِلوُ ا۟ ٱلنِ سَا
ءََٰٓ فىِ ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلََ
تقَْرَبوُهُنَّ حَت ىَّ يطَْهُرْنَ ۖ فَإذِاَ تطََهَّرْنَ فَأتْوُهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أمََرَكُمُ ٱللَّّ ُ ۚ إنَِّ ٱ للَّّ َ يحُِبُّ ٱلت وََّّبيِنَ وَيحُِبُّ
ٱلْمُتطََ هِرِينَ
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
Ayat di atas adalah larangan Allah
terhadap suami untuk berhubungan intim dengan istrinya yang sementara haid.
Dalam ayat tersebut di atas terdapat perbedaan bacaan pada lafadz ayat ( يَطْهُرْنَ)
dengan bacaan takhfif yakni di sukun huruf tho’ ( ط), dhamma huruf ha’
hamzah (ها(.
al-Kissa’i dan ‘Ashim membacanya ayat yaththahharna
( يَ ط ه رْنَ)
bertasydid huruf tho (ط( dan ha (ها( serta menasab kedua huruf tesebut
( ط dan ها(. Sedangkan, Ibn
Kathir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir menurut riwayat Hafsah membacanya seperti
yang tertulis dalam teks tersebut.
Pembacaan ayat di atas berbeda-beda,
sehingga menghasilkan hukum yang berbeda-beda yang terkandung di dalamnya.
Bacaan pertama adalah takhfif lafadz (يَطْهُرْ نَ)
yang berbunyi bahwa suami diharamkan melakukan hubungan intim dengan istri pada
saat haid sampai haid berhenti dan istri mandi. Pandangan ini dianut oleh Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad. Dalam bacaan kedua dengan lafadz tasydid ( يَ ط ه رْنَ), menurut Imam Abu
Hanifah, ayat di atas berarti bahwa suami dilarang berhubungan seks sebelum
istrinya suci, yang berarti menghentikan pendarahan menstruasi. Secara
bersamaan, Al-Tabari dan al-Zamakhsyari menjelaskan bacaan keduanya, yaitu kata
yaththaharna dan hatta yaghtasilu yang
artinya mandi. Penafsiran ini mengarah pada hukum bahwa suami tidak boleh
berhubungan seks dengan istrinya sampai darah haid dan mandi (mandi hadas atau
junub) berhenti. Oleh karena itu, suami dapat berhubungan seks dengan istrinya
karena sudah berhenti haid dan sudah mandi. Jika dua qira’at memiliki makna
yang berbeda, tetapi tidak ada kontradiksi yang jelas di antara keduanya, dan
keduanya merujuk pada esensi yang sama, maka kedua qira’at tersebut saling
melengkapi. Perbedaan antara kedua qira’at tersebut tidak bertentangan makna,
dan keduanya termasuk dalam qira’at Sahih. [8]
D. Hikmah Perbedaan Qira’at
Selain perbedaan pandangan tentang
perbedaan qira’at, tidak dapat dipungkiri banyak hikmah dari perbedaan qira’at,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kemudahan dan kemudahan bagi seluruh umat Islam.
2. Tunjukkan keajaiban Al-Qur'an dari isinya, karena qira’at yang
berbeda dapat menggantikan posisi banyak ayat dalam qira’at tanpa
kompresi.
3. Dapat membantu menjelaskan maksud dan makna ayat-ayat Al-Qur'an,
termasuk qira’at Mutawatir, Masyhûr dan Syadzdzah.
4. Inilah kemuliaan dan keutamaan umat Muhammad SAW terhadap umat
kehidupan sebelumnya. Karena dibandingkan dengan Al-Qur'an yang diturunkan
dalam sab'ah ahruf, kitab-kitab sebelumnya mungkin hanya muncul dalam satu
aspek dan satu
qira’at
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara singkat, qira’at berarti bacaan
yang dalam konteks Al-Qur’an berarti bacaan Al-Qur’an. Pelafalan Al-Qur’an
tentunya berpengaruh terhadap bagaimana penafsiran dari maknanya nanti. Namun
seiring berjalannya waktu, perbedaan qira’at tidak dapat dipungkiri adanya, ada
beberapa ulama besar membagi qira’at menjadi beberapa bagian. Namun nyatanya,
perbedaan qira’at ini bukanlah suatu masalah besar yang harus diperdebatkan.
Melainkan menuai beberapa hikmah yang sangat indah dibaliknya.
Mengingat banyaknya ragam qira’at yang
beredar dikalangan umat Islam yang diriwayatkan oleh para qari’, maka para
ulama membuat validitas berupa syarat-syarat, sebagai ketentuan untuk dijadikan
acuan ketika menilai shahih atau tidaknya sebuah qira’at. Validitas ini
meliputi: qira’at itu harus memiliki rangkaian sanad yang shahih dan bersambung
sampai kepada Rasulullah SAW, redaksi dari qira’at itu harus sesuai dengan
kaidah bahasa Arab; Bentuk tulisannya harus sesuai dengan salah satu rasm
(gambaran dari tulisan) mushaf Utsmani. Diantara ulama yang menetapkan tiga
validitas ini adalah syaikh al-Makki ibn Abi Talib.
Perbedaan qira’at ini ada yang
berpengaruh dan tidak berpengaruh pada Istinbath hukum Islam, bahkan memberikan
hikmah menjadi keringanan dan kemudahan bagi umat Islam secara keseluruhan.
Serta menunjukkan kemukjizatan Al Qur’an dari segi isinya, karena
bermacam-macam qira’at dapat menggantikan kedudukan ayat-ayat yang bisa menjadi
banyak jika tidak dipadatkan dalam qira’at. Dan tentunya dapat membantu dalam
menafsirkan maksud dan makna ayat Al Qur’an, baik untuk qira’at Mutawatir,
Masyhur maupun Syadzdzah.
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi
dari makalah ini. Namun penulis tetap berharap apa yang telah ditulis ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, dan Fikri Hamdani, “Implikasi Perbedaan Qiraat Dalam
Istinbat Hukum (Analisis Qiraat
Dari Segi Mutlaq Dan Muqayyad,” Farabi, 17.2 (2020), 163–79
Latif, Hilmah, “Perbezaan Qira’ah Dan Penetapan Hukum,” Al-Quran, 8.2 (2013), 65–79
Muhammad Esa Prasastia Amnesti, dan
Ahmad Yusam Thobroni, “Perbedaan Qira’at Shahih dalam Penafsiran Al-Qur’an dan
Istinbath Hukum,” Literature review,
2.November (2021), 33–37
Muhammad Irham, “Implikasi Perbedaan Qiraat,” Studi Al-Qur’an Dan Tafsir, 5.1 (2020),
1–9
Web, Tafsir. “Surat Al-Ahzab ayat 72 Arab,
Latin, Terjemahan dan Tafsir”, https://tafsirweb.com/7661-surat-al-ahzab-ayat-49.html,
(Diakses pada 12 Juni 2023, pukul 00:14 WIB)
Web, Tafsir. “Surat Al-Baqarah ayat 222
Arab, Latin, Terjemahan dan Tafsir”, https://tafsirweb.com/857-surat-al-baqarah-ayat-222.html,
(Diakses pada 12 Juni
2023, pukul 00:36 WIB)
[1] Basri dan Fikri Hamdani,
“Implikasi Perbedaan Qiraat Dalam Istinbat Hukum (Analisis Qiraat Dari Segi
Mutlaq Dan Muqayyad,” Farabi, 17.2
(2020), 163–79. hlm. 2
[2] Muhammad Esa Prasastia
Amnesti dan Ahmad Yusam Thobroni, “Perbedaan Qira’at Shahih dalam Penafsiran
Al-Qur’an dan Istinbath Hukum,” Literature
review, 2.November (2021), 33–37. hlm. 3
[3] Muhammad Esa Prasastia
Amnesti dan Ahmad Yusam Thobroni, “Perbedaan Qira’at Shahih dalam
Penafsiran Al-Qur’an dan Istinbath Hukum,” Literature review, 2.November (2021),
33–37, hlm. 5
[4]
Hilmah Latif, “Perbezaan Qira’ah Dan Penetapan Hukum,” Al-Quran, 8.2 (2013), 65–79. hlm. 4-5
[5]
Muhammad Irham, “Implikasi Perbedaan Qiraat,” Studi Al-Qur’an Dan Tafsir, 5.1 (2020), 1–9. hlm. 2
[6] Tafsir Web, “Surat
Al-Ahzab ayat 72 Arab, Latin, Terjemahan dan Tafsir”, https://tafsirweb.com/7661surat-al-ahzab-ayat-49.html,
(Diakses pada 12 Juni 2023, pukul 00:14 WIB)
[7] Tafsir Web, “Surat
Al-Baqarah ayat 222 Arab, Latin, Terjemahan dan Tafsir”, https://tafsirweb.com/857surat-al-baqarah-ayat-222.html,
(Diakses pada 12 Juni 2023, pukul 00:36 WIB)
[8] Muhammad Esa Prasastia
Amnesti dan Ahmad Yusam Thobroni. hlm. 5-7
0 Komentar