PENDAHULUAN
Pada dasarnya penafsiran terhadap Al-Qur’an itu sudah terjadi dari masa Rasulullah, yaitu dari Rasulullah itu sendiri berlanjut ke sahabat lalu tabi’in serta terus berkembang sampai masa modern dan kontemporer. Penafsiran terhadap Al-Qur’an pun seringkali mengalami perbedaan satu sama lainnya.
Hal tersebut disebabkan karena kecenderungan yang dimiliki oleh seorang mufasir itu sendiri yang disesuaikan juga dengan keadaan masyarakat pada zaman mufasir tersebut. Para perintis dan pembaharuan pemikiran islam memberikan respon dengan terus mengembangkan metode tafsir berdasarkan paradigma baru yang disesuai dengan tutunan zaman.Dalam beberapa kajian terhadap kitab
tafsir, Tafsir Al-Manar karya bersama Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dianggap
sebagai peletak dasar tafsir modern. Yang demikian disebabkan banyaknya
pemikiran baru yang dikembangkan dalam tafsir kedua tokoh tersebut, yang selama
ini tidak terdapat dalam tafsir-tafsir klasik sebelumnya. Hal ini tidak berarti
bahwa tafsir ini lepas sama sekali dari tafsir-tafsir klasik sebelumnya, namun
kelebihannya, tafsir ini banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran modern yang
sesuai dengan perkembangan dan semangat zaman yang melingkupi penulisnya. Lebih
jauh sebagian penulis mengatakan, bahwa Muhammad Abduh adalah peletak dasar
tafsir al-Qur’an yang bercorak sosial-kemasyarakatan.
Oleh karena itu maka dalam kesempatan
kali ini akan diungkap secara kritis tentang
Tafsir al-Manar mulai dari mufasir, serta sistematika penyusunan,
metode, corak dan halhal yang berkaitan dengan Tafsir Al-Manar itu sendiri.
MENGENAL PENULIS KITAB TAFSIR AL-MANAR Biografi
Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kota
Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan
keluarga petani di pedesaan, sehingga saudaranya membantu ayahnya mengelola
usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh orang tuanya ditugaskan untuk
belajar, menuntut ilmu pengetahuan.[1]
Awalnya Muhammad Abduh dikirim ayahnya
ke Masjid Al-Mahdi Thantha untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun setelah
dua tahun ia kembali ke desanya dan bertani sebagaimana saudara-saudaranya yang
lain, dan kemudian dinikahkan oleh orangtuanya. Walaupun sudah menikah, ayahnya
tetap menyuruhnya untuk melanjutkan belajar, kemudian Muhammad Abduh pergi ke
desa Syibral Khit[2]
Guru utama Muhammad Abduh adalah
Jalaluddin al-Afghani. Ia banyak belajar kepada ulama ini dalam banyak hal dari
kajian agama hingga sosial dan politik. Yang demikian ini menjadikan corak
pemikirannya tidak jauh berbeda dengan Jalaludddin alAfghani, bahkan banyak
persamaan antara keduanya dan disebut sebagai penerusnya.
Karya Muhammad Abduh
Beberapa karya Muhammad Abduh antara lain:
1) Risalah Al-‘Aridat tahun
1873 M
2) Hasyiah-Syarah Al-Jalal
Ad-Dawwani lil-Aqa’id Al-Adhudhiyah tahun 1875 M. Karya ini ditulis
Muhammad Abduh ketika berumur 26 tahun. Isinya tentang aliran-aliran filsafat,
ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta berisikan kritikan pendapat-pendapat
yang salah.
3) Risalah Al-Tauhid,
karya ini berisikan tentang bidang teologi.
4) Syarah Nahjul-Balaghah,
karya ini berisikan komentar menyangkut kumpulan pidato dan upacara Imam Ali
bin Abi Thalib.
5) Menerjemahkan kitab karangan Jamaluddin Al-Afghani yaitu Ar-Raddu ‘Ala AlDahriyyin dari bahasa
Persia. Karya ini berisikan bantahan terhadap orang yang tidak memercayai wujud
Tuhan.
6) Syarah Maqamat
Badi’Al-Zaman Al-Hamazani, karya ini berisikan tentang bahasa dan sastra
arab.
7) Tafsir Al-Manar, karya
ini berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan.[3]
Biografi Muhammad Rasyid Ridha
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha lahir pada
tanggal 27 Jumadil ula tahun 1282 H atau pada tahun 1865 M. di suatu desa
bernama Kalmun salah satu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari Tripoli
(Suria). Dia merupakan bangsawan yang merupakan keturunan dari Sayyid Husain,
cucu baginda Nabi Muhammad. Muhammad Syamsuddin Al-Kalmuni, ayahnya Rasyid
Ridha merupakan ulama terkemuka di daerahnya sehingga Rasyid Ridha banyak
belajar dan terpengaruh dari ayahnya sendiri.
Semasa mudanya ia berkelana dan
menuntut ilmu sampai ke Trobluss. Ia telah akrab dengan syair sejak remaja.
Tulisannya tersebar di bukubuku dan majalah, itulah awal mula nama Rasyid Ridha
bersinar. Setelah mendapat pendidikan dari keluarganya Muhammad Rasyid Ridha
memulai pendidikan formalnya Di Madrasah Tradisional desa al-Qalamun. Setelah
menyelesaikan studinya di Madrasah Tradisional al-Qalamun ia melanjutkan ke
Madrasah Ibtidaiyyah Rasyidah di Tripoli, di sini ia belajar ilmu alat (nahwu
dan sharaf), aqidah, fiqh, geografi serta bahasa arab dan turki. Lama kelamaan
Rasyid Ridha merasa tidak nyaman belajar di madrasah tersebut, karena pala
pelajar hanya dipersiapkan untuk menjadi pelayan pemerintah, maka setahun
kemudian Rasyid Ridha pindah ke Madrasah al-wathaniyah al Islamiyah di Tripoli.
Pada tahun 1885 M sewaktu Syaikh
Muhammad Abduh berkunjung ke Beirut dalam rangka menemui temannya yaitu Syaikh
Abdullah al-Barakah yang mengajar di Madrasah al-Katuniyah Rasyid Ridha
berjumpa dengan Abduh dan sempat berdiskusi soal tafsir yang cukup representatif
pada masa itu yakni Tafsir Al-Kasyaf karya Al-Zamakhsyari, tampaknya pertemuan
ini sangat berkesan bagi pribadi Ridha. Oleh karena itu pada tahun 1898 M
Syaikh Muhammad Rasid Ridha berangkat ke Mesir dan berguru kepada ulamaulama
Mesir salah satunya kepada Syaikh Muhammad Abduh yang pada waktu itu Abduh
merupakan ulama reolusioner dalam ilmu dan ide-idenya di bidang reformasi dan
gerakan sosial. Kemudian dia menerbitkan majalah yang amat populer yaitu
Al-Manar bersamasama gurunya (Muhammad Abduh), majalah ini memuat ide-idenya
dalam reformasi keagamaan dan sosial. Oleh karena itu almanar menjadi referensi
kaum muda dalam menyusun syariah Islamiyah yang agung dengan tema-tema
kontemporer.
Karya Rasyid Ridha
Selama hidupnya, Muhammad Rasyid Ridha
telah menulis karya dalam berbagai disiplin ilmu, dari bidang fiqh hingga
tafsir. Di antara karya beliau adalah:[4]
1) Al-Hikmah al-Syar’iyah fi
Muhakamat al-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah
2) Al-Azhar dan al-Manar
3) Tarikh al-Ustadz al-Imam
4) Nida’ li al-Jins al-Lathif
5) Zikra al-Maulid al-Nabawi
6) Risalat al-Hujjah al-Islam
al-Ghazali
7) Al-Sunnah wa al-Syi’ah
8) Al-Wahdah al-Islamiyah
9) Tafsir al-Manar
Adapun guru-guru dari Rasyid Ridha antara
lain:
1) Syaikh Husein al Jisr. Beliau adalah seorang ulama ahli bahasa,
sastra, dan filsafat.
2) Syaikh Mahmud Nasyabah, seorang ulama yang ahli di bidang
hadits.
3) Syaikh Muhammad al Qawijiy, seorang ulama yang ahli dalam bidang
hadits.
4) Syaikh Abdul Ghaniy al Rafi’
5) Al Ustadz Muhammad al Husaini
6) Syaikh Muhammad Kamil Rafi’
7) Syaikh Muhammad Abduh
MENGENAL KITAB TAFSIR AL-MANAR Latar Belakang
Penyusunan
Tafsir Al-Manar adalah tafsir yang
disusun oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tafsirnya sendiri diberi judul
Tafsir Al-Qur’an al Hakim, namun karena pada awalnya kajian tafsir itu dimuat
di majalah al-manar yang dikelol oleh
Rashid Ridha, maka tafsir tersebut populer dengan nama Tafsir Al-Manar.
Tafsir Al-Manar hadir pada abad modern
yang ditulis oleh dua mufasir. Tafsir ini terdiri dari 12 jilid, mulai surah
Al-Fatihah sampai surah Yusuf ayat ke-52. Muhammad Abduh dalam kuliahnya baru
menafsirkan sampai dengan Al-Nisa ayat 125. Selanjutnya
Rasyid Ridha melanjutkan sampai dengan
surah Yusuf ayat 101. Namun tafsir Al-Manar
yang iterbitkan dalam bentuk buku seperti yang dilihat
sekarang hanya memuat penafsiran Rasyid Ridha sampai dengan ayat 52 surat
Yusuf, yaitu ayat terakhir juz 12.
Muhammad Abduh menilai kitab-kitab
tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai
pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan
diturunkannya Al-Qur’an. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut gersang dan kaku,
karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata
atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab
dan penjelasan lain menyangkut teknis-teknis kebahasaan yang dikandung oleh
redaksi ayat Al-Qur’an.
Tafsir ini pada mulanya merupakan
permintaan Rasyid Ridha kepada Muhammad Abduh, walaupun beberapa kali
ditolaknya, akhirnya Abduh bersedia mengajar tafsir dalam bentuk ceramah dan
dilaksanakan di komple al-Azhar selama kurang lebih enam tahun, Muhammad Abduh
berhasi menafsirkan Al-Quran sebanyak lima juz. Diadakannya kajian tafsir ini
karena menurut Muhammad Abduh ketika proses penafsiran ayat dilakukan melalui
ceramah akan lebih efektif daripada melalui tulisan menurutnya, pembaca hanya
mampu menyerap 20% isi tulian, sedangkan pendengar ceramah bisa menyerap 80%
isi ceramah.
Rasyid Ridha kemudian mencatat apa yang
disampaikan oleh Muhammad Abduh untuk kemudian diedit dan dikembangkan
uraiannya di lain waktu. Al-Manar pertama kali diterbitkan pada 21 Syawal 1315
H (17 Maret 1898) dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau
negara-negara Arab sekitarnya, namun juga sampai denga Eropa.
Atas desakan dari berbagai pihak,
khususnya para pembaca majalah Al-Manar, materi-materi penting yang dicatat
oleh Rasyid Ridha selama mengikuti kuliah tafsir AlAzhar itu diterbitkan dalam
majalah tersebut sejak awal Muharram 1318 H.
Sistematika Penyusunan
Muhammad Abduh (guru Rasyid Ridha)
diketahui hidup dalam lingkungan masyarakat yang tengah disentuh oleh
perkembangan Eropa. Dimana masyarakatnya kaku (jumud) dan menutup diri dari
ijtihad karena cenderung merasa cukup pada produk ulama-ulama terdahulu, sehingga
pemikiran mereka beku. Sementara di Eropa, pola kehidupannya sangat mendewakan
akal. Situasi ini mengakibatkan munculnya kelompok mayoritas (taqlid) dan
kelompok minoritas (tajdid)[5].
Kondisi ini membuat Muhammad Abduh berkeinginan untuk senantiasa menyadarkan
muslim untuk kembali pada AlQur’an dan Hadis. Melalui tulisan dan
penafsirannya, Muhammad Abduh bermaksud mengajak umat memahami Al-Qur’an dengan
fungsional akalnya.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode
Al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama tidak menuntut untuk menerima
begitu saja apa yang disampaikan, namun memaparkan masalah dan pembuktiannya
argumentasi tentang masalah tersebut bahkan menguraikan pandangan penentangnya
kemudian membuktikan kekeliruan mereka. Dengan demikian, Al-Qur’an harus
dipahami dengan akal namun juga tetap mengakui bahwa keterbatasan akal manusia
dan kebutuhan akan bimbingan Nabi saw (wahyu)[6]. Jadi
suatu hukum dapat ditetapkan sesuai kondisi yang terjadi dan juga bisa berubah
hukumnya ketika kondisinya berubah. Artinya Al-Qur’an dapat diimplementasikan
untuk kasus-kasus terkini, tanpa meninggalkan makna sebenarnya.
Adapun jika dipehatikan tafsir al-Manar
dapat dikemukakan sistematikanya sebagai berikut:[7]
1) Mufasir terlebih dahulu menyebutkan satu atau beberapa ayat yang
akan ditafsirkan.
2) Mufasir menafsirkan ayat dengan tafsir bil manqul.
3) `Sebelum mengemukakan tafsiran ayat secara luas, terlebih dahulu
dijelaskan makna kata-kata yang sulit dalam ayat itu dengan membuat judul kecil
“almufradat”.
4) Mufasir sering mengemukakan “munasabat”
antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sedangkan pada dasarnya Muhammad Rasyid
Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan gurunya, Muhammad
Abduh. Persamaannya yaitu:
1) Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang
serasi
2) Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3) Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum
4) Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat Al-Qur’an
5) Bersikap hati-hati terhadap hadis Nabi saw
6) Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat[8]
Sumber, Metode, Corak, dan Pendekatan Penafsiran
Dilihat dari sumber penafsiran, maka
sebuah tafsir tidak akan lepas dari tiga macam klasifikasi, yaitu bi al-ma’tsur, bi ra’yi dan perpaduan
antara keduanya. Adapun sumber penafsiran yang digunakan dalam tafsir Al-Manar
adalah perpaduan antara bi al-ma’tsur dan
bi ra’yi. Hal ini tampak pada
penggunaan ayat dan riwayat untuk menjelaskan satu ayat kemudian memasukkan
beberapa pendapat atau analisa pemikiran sesuai dengan nilai dan budaya
masyarakat.[9]
Sedangkan jika dilihat dari metode yang
digunakan dalam penulisan tafsir Al-Manar sendiri adalah metode tahlili, suatu
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an di mana
mufasir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam
mushaf. Adapun jika dilihat dari coraknya, karya tafsir AlManar dapat
dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak adabi-ijtima’i
atau sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan
penulis Tafsir Al-Manar dalam
muqadimahnya. Tafsir Al-Manar menggunakan pendekatan penafsiran kontekstual di
mana dalam penafsirannya didasarkan pada kesesuaian dengan sosial kultural,
perkembangan ilmu serta budaya.
Pendapat Ulama tentang Tafsir Al-Manar Pendapat yang Memuji
Hamka dalam kitabnya 'Tafsir al-Azhar"
dengan mengatakan : "Tafsir yang amat menarik hati penafsir ini buat
dijadikan contoh ialah tafsir "al-Manar" karangan Sayyid Rasyid
Ridha, berdasar kepada ajaran tafsir gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir
beliau ini, selain dari menguraikan ilmu yang berkenaan dengan agama, hadis dan
fiqhĩ, sejarah dan lain-lain, menyesuaikan ayat-ayat itu dengan bangan politik
dan kemasyarakatan, yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu dikarang.
Meskipun tafsir
itu beliau tulis hanya 12 saja, artinya tidak sampai
separuh al-Qur'an namun dia dapat dijadikan pedoman di dalam meneruskan
penafsiran "al-Azhar" ini sampai tamat. Meskipun soal-soal
kemasyarakatan dan politik dunia Islam yang waktu itu, di zaman sekarang ini
sudah banyak berubah, karena perubahan yang terjadi dalam negeri-negeri Islam,
namun dasar penafsiran yang beliau tegakkan masih tetap, hangat dan dapat
dicontoh, dan tidak basi".[10]
Menurut Subhi Sholeh dalam kitabnya
"Mabahis FI Ulumil Qur'an" mengatakan : "Adapun Kitab tafsir
al-Manar karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, merupakan tipe khusus dalam
menta'wilkan firman Allah Swt. yang pada galibnya tafsir tersebut ditulis
berdasarkan hadis-hadis pusaka kaum salaf, kemudian diusahakan penyesuaiannya
dengan zaman kita dewasa ini. Dalam banyak hal demikian itu berhasil, meskipun
penulisannya terasa kelewat teguh berpegang pada pendapat yang lemah namun
dibela dengan segala tampak jelas bahwa penulisnya secara umum memiliki
pengetahuan secara mendalam mengeiinal metode al-Qur'an yang dipelajari sebagai
Kitab Suci pembawa hidayah dan i'jaz".[11]
Pendapat yang Mengkritik
M. Quraish Shihab "Studi Kritis
Tafsir al-Manar" mengatakan : dalam karyanya "Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha adalah mufassir yang terlalu berani dalam menggunakan teori-teori seorang
mendukung untuk ilmiah penafsirannya. Sehingga terkadang dirasakan adanya usaha
menbenar-benarkan teori ilmiah, sekalipun yang belum mapan dengan ayat-ayat
al-Qur'an. menilai para mufassir, selain gurunya Muhammad Abduh. Mufassir lain
di kecam dengan amat keras dan pedas, dan terkadang nukilannya tidak sesuai dengan
maksud pendapat mufassir yang dinukil. Seperti kecamannya Fakruddin ar-Razi
yang dicap sebagai mufassirr yang kurang pengetahuannya tentang assunnah,
pendapat-pendapat para sahabat, serta tokoh- tokoh salaf di bidang tafsir dan
hadis”[12]
Menurut M. Baqir ash-Shadr “ Pedoman
Tafsir Modern” mengatakan: “ mufassir memulai aktifitas penafsirannya, dengan
tertentu, misalnya suatu ayat atau kalimat, tanpa
pemikiran, kemudian membatasi konsep Al-Quran yang
berkaitan dengan dasar pemikiran yang telah dirumuskannya. Juga penafsiran yang
kepada masyarakat islam. Dengan tujuan untuk menarik pengikut dan pendukung
mazhabnya. Hal ini bersumber dari metodologi yang dipergunakan oleh si
penafsir.[13]
Dengan demikian, bahwa setiap kitab
tafsir yang ditulis oleh para mufassir, baik itu mufassir salaf maupun khalaf,
tentunya mempunyai suatu pujian ataupun kritik yang bersumber dari para ulama.
Hal ini dikarenakan adanya pemikiran para mufassir itu didipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti latar tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, ilmu
perkembangan bahkan pendidikan, belakang pengetahuan dan kondisi sosial
masyarakatnya. Dalam telah penulis hal ini khususnya kitab tafsir yang bahas di
atas, yaitu kitab tafsir al-Manar.
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Manar
Ada beberapa kelebihan didalam tafsir
al-manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yaitu :
1) Dalam menafsirkan tafsir al-manar kan sesuai dengan pemahaman
akal secara luas.
2) Orang awam maupun intektual mudah memahami menafsirannya.
3) Dalam menafsirkan ayat, dijelaskan dengan teori- teori ilmiah
dan mudah dipahami oleh orang awam.
4) Penafsirannya menyesuaikan kehidupan masa kini.
Ada kekurangan-kekurangan di dalam tafsir
al-manar adalah :
Rasyid Ridha terlalu memperluas
jangkauan penafsiran ilmiyah,sehingga terkadang dirasakan adanya usaha untuk
membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekalipun yang belum mapan,dengan
ayat-ayat Al-Qur’an.
Dari keterangan diatas dapat diketahui
sedikit tentang kelemahan dan kelebihan tafsir al-Manar, yang jelas setiap
karya tafsir pasti ada kelebihan dan kekuranganya tersebut dikarenakan adanya
perbedaan-perbedaan pemahaman dan latar belakang orang-orang yang menjalankan
al-Qur'an.
Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang ulama,
yang dianggap sebagai peletak dasar tafsir modern. Ia memiliki banyak keahlian,
baik dalam bidang agama maupun umum (sosial). Ini dibuktikan dengan berbagai
karya yang beliau hasilkan. Muhammad Rasyid Ridha adalah ulama yang masih
keturunan Nabi Muhammad. Ia adalah murid dari Muhammad Abduh dan beberapa ulama
lain pada masa itu. Ia banyak belajar hadits dan tasawuf, hingga menguasai
keduanya. Di samping itu jua bidang-bidang kajian lain. Karya rasyid Ridha
tidka hanya dalam kajian hadits, tetapi dalam berabgai disiplin ilmu agama,
termasuk fiqh, hadits dan tafsir. Kedua ulama tersebutlah yang menulis Tafsir
al-Manar. Muhammad Abduh menenulis Tafsir al-Manar sampai pada surah al-Nisa’
ayat 126.
Kemudian diteruskan oleh Muhammad Rasyid
Ridla hingga juz 12, yaitu surah yusuf.
Dilihat dari sumber penafsiran, Tafsir
al-Manar merupakan perpaduan dari dua sumber antara bi al-Ma’tsur dan bi
al-Ra’y, atau iqtirani. Adapun dari dari segi tartib ayat Tafsir al-Manar dapat
digolongkan sebagai tafsir yang mengikuti metode tahlili, bukan nuzuli atau
maudlu’i. Hanya saja tafsir ini tidak selesai sampai surah terakhir dalam
mushaf (surah al-Nas), namun hanya sampai pada juz 12 tepatnya surah Yusuf.
Jika dilihat dari segi naz’ah Tafsir al-Manar dapat dikategorikan sebagai
tafsir yang bercorak adabi- ijtimai atau sosial-kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Athaillah.
(2006). Rasyid Ridha; Konsep Teologi
Rasional dalam Tafsir Al-Manar.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hamka. (1990). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pembimbing Massa.
Hasan, F. A. (2004). Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara Surabaya.
Junaidi, M. T.-i. (2021). Studi Kritis
Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan, dan Humaniora, Vol. 8, No. 1,
152-163.
Nazhifah, D. (2021). Tafsir-Tafsir
Modern dan Kontemporer Abad ke-19-20. Jurnal
Iman dn Spiritualitas, 211-218.
Sakirman. (2016). Konstruk Metodologi
Tafsir Modern; Telaah Terhadap Tafsir Al-
Manar, Al-Maraghi, dan Al-Mishbah. Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 271-294. Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an Studi Kritis Atas
Tafsir Al-Manar.
Tangerang: Lentera Hati.
Sobhan. (2019). Nalar Fiqh Muhammad Abduh
Tentang Ayat Hukum dalam Tafsir Al-
Manar. Ijtihad,
1-15.
[1]
Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur
Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya, 2004),
h. 297-298.
[2]
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas
Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar
(Jakarta:
Lenterahati, 2007), h. 12.
[3]
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas
Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,
h. 1115.
[4]
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas
Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,
h. 63.
[5]
Sakirman, Konstruk Metodologi Tafsir
Modern: Telaah Terhadap Tafsir Al Manar, Al Maraghi, dan Al Mishbah, (Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir)
Vol.12 No 2, 2016, hal. 283
[6]
M. Quraish Shihab, Rasional
Al-Qur’an:Studi Kritis atas Tafsir Al- Manar,
(Tangerang: Penerbit Lentera Hati), 2008, hal.22
[7]
Sobhan, Nalar Fiqh Muhammad Abduh
Tentang Ayat Hukum dalam Tafsir Al-Manar,
Jurnal Ijtihad . Volume 32, No. 1, April 2019
[8]
Sakirman, Konstruk Metodologi Tafsir
Modern: Telaah Terhadap Tafsir Al Manar, Al Maraghi, dan Al Mishbah, (Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir)
Vol.12 No 2, 2016,hal 284
[9]
Mahbub Junaidi, Studi Kritis Tafsir
Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,(Dar
el-ilmi: Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan, dan Humaniora) Vol.8 No.1,2021,
hal.157-158
[10]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz. 1 (Jakarta: Pembimbing Massa, 1990), h. 37
[11]
Subhi Sholeh, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, h. 297
[12]
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar
(Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 103.
[13]
M. Baqir Assadr, Pedoman Tafsir Modern (Cet. 1;
Jakarta: Risalah Massa, 1992), h. 18.
0 Komentar