TAFSIR AL-MANAR KARYA MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA


 
PENDAHULUAN

Pada dasarnya penafsiran terhadap Al-Qur’an itu sudah terjadi dari masa Rasulullah, yaitu dari Rasulullah itu sendiri berlanjut ke sahabat lalu tabi’in serta terus berkembang sampai masa modern dan kontemporer. Penafsiran terhadap Al-Qur’an pun seringkali mengalami perbedaan satu sama lainnya.

Hal tersebut disebabkan karena kecenderungan yang dimiliki oleh seorang mufasir itu sendiri yang disesuaikan juga dengan keadaan masyarakat pada zaman mufasir tersebut. Para perintis dan pembaharuan pemikiran islam memberikan respon dengan terus mengembangkan metode tafsir berdasarkan paradigma baru yang disesuai dengan tutunan zaman.

Dalam beberapa kajian terhadap kitab tafsir, Tafsir Al-Manar karya bersama Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dianggap sebagai peletak dasar tafsir modern. Yang demikian disebabkan banyaknya pemikiran baru yang dikembangkan dalam tafsir kedua tokoh tersebut, yang selama ini tidak terdapat dalam tafsir-tafsir klasik sebelumnya. Hal ini tidak berarti bahwa tafsir ini lepas sama sekali dari tafsir-tafsir klasik sebelumnya, namun kelebihannya, tafsir ini banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran modern yang sesuai dengan perkembangan dan semangat zaman yang melingkupi penulisnya. Lebih jauh sebagian penulis mengatakan, bahwa Muhammad Abduh adalah peletak dasar tafsir al-Qur’an yang bercorak sosial-kemasyarakatan.

Oleh karena itu maka dalam kesempatan kali ini akan diungkap secara kritis tentang  Tafsir al-Manar mulai dari mufasir, serta sistematika penyusunan, metode, corak dan halhal yang berkaitan dengan Tafsir Al-Manar itu sendiri.

MENGENAL PENULIS KITAB TAFSIR AL-MANAR Biografi Muhammad Abduh

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kota Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan, sehingga saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh orang tuanya ditugaskan untuk belajar, menuntut ilmu pengetahuan.[1]

Awalnya Muhammad Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Mahdi Thantha untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun setelah dua tahun ia kembali ke desanya dan bertani sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, dan kemudian dinikahkan oleh orangtuanya. Walaupun sudah menikah, ayahnya tetap menyuruhnya untuk melanjutkan belajar, kemudian Muhammad Abduh pergi ke desa Syibral Khit[2]

Guru utama Muhammad Abduh adalah Jalaluddin al-Afghani. Ia banyak belajar kepada ulama ini dalam banyak hal dari kajian agama hingga sosial dan politik. Yang demikian ini menjadikan corak pemikirannya tidak jauh berbeda dengan Jalaludddin alAfghani, bahkan banyak persamaan antara keduanya dan disebut sebagai penerusnya.

Karya Muhammad Abduh

Beberapa karya Muhammad Abduh antara lain:

1)      Risalah Al-‘Aridat tahun 1873 M

2)      Hasyiah-Syarah Al-Jalal Ad-Dawwani lil-Aqa’id Al-Adhudhiyah tahun 1875 M. Karya ini ditulis Muhammad Abduh ketika berumur 26 tahun. Isinya tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta berisikan kritikan pendapat-pendapat yang salah.

3)      Risalah Al-Tauhid, karya ini berisikan tentang bidang teologi.

4)      Syarah Nahjul-Balaghah, karya ini berisikan komentar menyangkut kumpulan pidato dan upacara Imam Ali bin Abi Thalib.

5)      Menerjemahkan kitab karangan Jamaluddin Al-Afghani yaitu Ar-Raddu ‘Ala AlDahriyyin dari bahasa Persia. Karya ini berisikan bantahan terhadap orang yang tidak memercayai wujud Tuhan.

6)      Syarah Maqamat Badi’Al-Zaman Al-Hamazani, karya ini berisikan tentang bahasa dan sastra arab.

7)      Tafsir Al-Manar, karya ini berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan.[3]

 

Biografi Muhammad Rasyid Ridha

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha lahir pada tanggal 27 Jumadil ula tahun 1282 H atau pada tahun 1865 M. di suatu desa bernama Kalmun salah satu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari Tripoli (Suria). Dia merupakan bangsawan yang merupakan keturunan dari Sayyid Husain, cucu baginda Nabi Muhammad. Muhammad Syamsuddin Al-Kalmuni, ayahnya Rasyid Ridha merupakan ulama terkemuka di daerahnya sehingga Rasyid Ridha banyak belajar dan terpengaruh dari ayahnya sendiri.

Semasa mudanya ia berkelana dan menuntut ilmu sampai ke Trobluss. Ia telah akrab dengan syair sejak remaja. Tulisannya tersebar di bukubuku dan majalah, itulah awal mula nama Rasyid Ridha bersinar. Setelah mendapat pendidikan dari keluarganya Muhammad Rasyid Ridha memulai pendidikan formalnya Di Madrasah Tradisional desa al-Qalamun. Setelah menyelesaikan studinya di Madrasah Tradisional al-Qalamun ia melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyyah Rasyidah di Tripoli, di sini ia belajar ilmu alat (nahwu dan sharaf), aqidah, fiqh, geografi serta bahasa arab dan turki. Lama kelamaan Rasyid Ridha merasa tidak nyaman belajar di madrasah tersebut, karena pala pelajar hanya dipersiapkan untuk menjadi pelayan pemerintah, maka setahun kemudian Rasyid Ridha pindah ke Madrasah al-wathaniyah al Islamiyah di Tripoli.

Pada tahun 1885 M sewaktu Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Beirut dalam rangka menemui temannya yaitu Syaikh Abdullah al-Barakah yang mengajar di Madrasah al-Katuniyah Rasyid Ridha berjumpa dengan Abduh dan sempat berdiskusi soal tafsir yang cukup representatif pada masa itu yakni Tafsir Al-Kasyaf karya Al-Zamakhsyari, tampaknya pertemuan ini sangat berkesan bagi pribadi Ridha. Oleh karena itu pada tahun 1898 M Syaikh Muhammad Rasid Ridha berangkat ke Mesir dan berguru kepada ulamaulama Mesir salah satunya kepada Syaikh Muhammad Abduh yang pada waktu itu Abduh merupakan ulama reolusioner dalam ilmu dan ide-idenya di bidang reformasi dan gerakan sosial. Kemudian dia menerbitkan majalah yang amat populer yaitu Al-Manar bersamasama gurunya (Muhammad Abduh), majalah ini memuat ide-idenya dalam reformasi keagamaan dan sosial. Oleh karena itu almanar menjadi referensi kaum muda dalam menyusun syariah Islamiyah yang agung dengan tema-tema kontemporer.

Karya Rasyid Ridha

Selama hidupnya, Muhammad Rasyid Ridha telah menulis karya dalam berbagai disiplin ilmu, dari bidang fiqh hingga tafsir. Di antara karya beliau adalah:[4]

1)    Al-Hikmah al-Syar’iyah fi Muhakamat al-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah

2)    Al-Azhar dan al-Manar

3)    Tarikh al-Ustadz al-Imam

4)    Nida’ li al-Jins al-Lathif

5)    Zikra al-Maulid al-Nabawi

6)    Risalat al-Hujjah al-Islam al-Ghazali

7)    Al-Sunnah wa al-Syi’ah

8)    Al-Wahdah al-Islamiyah

9)    Tafsir al-Manar

Adapun guru-guru dari Rasyid Ridha antara lain:

1)    Syaikh Husein al Jisr. Beliau adalah seorang ulama ahli bahasa, sastra, dan filsafat. 

2)    Syaikh Mahmud Nasyabah, seorang ulama yang ahli di bidang hadits.

3)    Syaikh Muhammad al Qawijiy, seorang ulama yang ahli dalam bidang hadits. 

4)    Syaikh Abdul Ghaniy al Rafi’ 

5)    Al Ustadz Muhammad al Husaini 

6)    Syaikh Muhammad Kamil Rafi’ 

7)    Syaikh Muhammad Abduh

MENGENAL KITAB TAFSIR AL-MANAR Latar Belakang Penyusunan

Tafsir Al-Manar adalah tafsir yang disusun oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tafsirnya sendiri diberi judul Tafsir Al-Qur’an al Hakim, namun karena pada awalnya kajian tafsir itu dimuat di majalah al-manar yang dikelol oleh Rashid Ridha, maka tafsir tersebut populer dengan nama Tafsir Al-Manar.

Tafsir Al-Manar hadir pada abad modern yang ditulis oleh dua mufasir. Tafsir ini terdiri dari 12 jilid, mulai surah Al-Fatihah sampai surah Yusuf ayat ke-52. Muhammad Abduh dalam kuliahnya baru menafsirkan sampai dengan Al-Nisa ayat 125. Selanjutnya

Rasyid Ridha melanjutkan sampai dengan surah Yusuf ayat 101. Namun tafsir Al-Manar

 

yang iterbitkan dalam bentuk buku seperti yang dilihat sekarang hanya memuat penafsiran Rasyid Ridha sampai dengan ayat 52 surat Yusuf, yaitu ayat terakhir juz 12.

Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut gersang dan kaku, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut teknis-teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat Al-Qur’an.

Tafsir ini pada mulanya merupakan permintaan Rasyid Ridha kepada Muhammad Abduh, walaupun beberapa kali ditolaknya, akhirnya Abduh bersedia mengajar tafsir dalam bentuk ceramah dan dilaksanakan di komple al-Azhar selama kurang lebih enam tahun, Muhammad Abduh berhasi menafsirkan Al-Quran sebanyak lima juz. Diadakannya kajian tafsir ini karena menurut Muhammad Abduh ketika proses penafsiran ayat dilakukan melalui ceramah akan lebih efektif daripada melalui tulisan menurutnya, pembaca hanya mampu menyerap 20% isi tulian, sedangkan pendengar ceramah bisa menyerap 80% isi ceramah.

Rasyid Ridha kemudian mencatat apa yang disampaikan oleh Muhammad Abduh untuk kemudian diedit dan dikembangkan uraiannya di lain waktu. Al-Manar pertama kali diterbitkan pada 21 Syawal 1315 H (17 Maret 1898) dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau negara-negara Arab sekitarnya, namun juga sampai denga Eropa.

Atas desakan dari berbagai pihak, khususnya para pembaca majalah Al-Manar, materi-materi penting yang dicatat oleh Rasyid Ridha selama mengikuti kuliah tafsir AlAzhar itu diterbitkan dalam majalah tersebut sejak awal Muharram 1318 H.

Sistematika Penyusunan

Muhammad Abduh (guru Rasyid Ridha) diketahui hidup dalam lingkungan masyarakat yang tengah disentuh oleh perkembangan Eropa. Dimana masyarakatnya kaku (jumud) dan menutup diri dari ijtihad karena cenderung merasa cukup pada produk ulama-ulama terdahulu, sehingga pemikiran mereka beku. Sementara di Eropa, pola kehidupannya sangat mendewakan akal. Situasi ini mengakibatkan munculnya kelompok mayoritas (taqlid) dan kelompok minoritas (tajdid)[5]. Kondisi ini membuat Muhammad Abduh berkeinginan untuk senantiasa menyadarkan muslim untuk kembali pada AlQur’an dan Hadis. Melalui tulisan dan penafsirannya, Muhammad Abduh bermaksud mengajak umat memahami Al-Qur’an dengan fungsional akalnya. 

Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode Al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, namun memaparkan masalah dan pembuktiannya argumentasi tentang masalah tersebut bahkan menguraikan pandangan penentangnya kemudian membuktikan kekeliruan mereka. Dengan demikian, Al-Qur’an harus dipahami dengan akal namun juga tetap mengakui bahwa keterbatasan akal manusia dan kebutuhan akan bimbingan Nabi saw (wahyu)[6]. Jadi suatu hukum dapat ditetapkan sesuai kondisi yang terjadi dan juga bisa berubah hukumnya ketika kondisinya berubah. Artinya Al-Qur’an dapat diimplementasikan untuk kasus-kasus terkini, tanpa meninggalkan makna sebenarnya. 

Adapun jika dipehatikan tafsir al-Manar dapat dikemukakan sistematikanya sebagai berikut:[7]

1)    Mufasir terlebih dahulu menyebutkan satu atau beberapa ayat yang akan ditafsirkan.

2)    Mufasir menafsirkan ayat dengan tafsir bil manqul.

3)    `Sebelum mengemukakan tafsiran ayat secara luas, terlebih dahulu dijelaskan makna kata-kata yang sulit dalam ayat itu dengan membuat judul kecil “almufradat”.

4)    Mufasir sering mengemukakan “munasabat” antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sedangkan pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:

1)    Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi

2)    Ayat Al-Qur’an bersifat umum

3)    Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum

 

4)    Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat Al-Qur’an

5)    Bersikap hati-hati terhadap hadis Nabi saw

6)    Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat[8]

Sumber, Metode, Corak, dan Pendekatan Penafsiran

Dilihat dari sumber penafsiran, maka sebuah tafsir tidak akan lepas dari tiga macam klasifikasi, yaitu bi al-ma’tsur, bi ra’yi dan perpaduan antara keduanya. Adapun sumber penafsiran yang digunakan dalam tafsir Al-Manar adalah perpaduan antara bi al-ma’tsur dan bi ra’yi. Hal ini tampak pada penggunaan ayat dan riwayat untuk menjelaskan satu ayat kemudian memasukkan beberapa pendapat atau analisa pemikiran sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat.[9]

Sedangkan jika dilihat dari metode yang digunakan dalam penulisan tafsir Al-Manar sendiri adalah metode tahlili, suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an di mana mufasir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Adapun jika dilihat dari coraknya, karya tafsir AlManar dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak adabi-ijtima’i atau sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan penulis Tafsir Al-Manar dalam muqadimahnya. Tafsir Al-Manar menggunakan pendekatan penafsiran kontekstual di mana dalam penafsirannya didasarkan pada kesesuaian dengan sosial kultural, perkembangan ilmu serta budaya.

Pendapat Ulama tentang Tafsir Al-Manar Pendapat yang Memuji

Hamka dalam kitabnya 'Tafsir al-Azhar" dengan mengatakan : "Tafsir yang amat menarik hati penafsir ini buat dijadikan contoh ialah tafsir "al-Manar" karangan Sayyid Rasyid Ridha, berdasar kepada ajaran tafsir gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari menguraikan ilmu yang berkenaan dengan agama, hadis dan fiqhĩ, sejarah dan lain-lain, menyesuaikan ayat-ayat itu dengan bangan politik dan kemasyarakatan, yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu dikarang. Meskipun tafsir

 

itu beliau tulis hanya 12 saja, artinya tidak sampai separuh al-Qur'an namun dia dapat dijadikan pedoman di dalam meneruskan penafsiran "al-Azhar" ini sampai tamat. Meskipun soal-soal kemasyarakatan dan politik dunia Islam yang waktu itu, di zaman sekarang ini sudah banyak berubah, karena perubahan yang terjadi dalam negeri-negeri Islam, namun dasar penafsiran yang beliau tegakkan masih tetap, hangat dan dapat dicontoh, dan tidak basi".[10]

Menurut Subhi Sholeh dalam kitabnya "Mabahis FI Ulumil Qur'an" mengatakan : "Adapun Kitab tafsir al-Manar karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, merupakan tipe khusus dalam menta'wilkan firman Allah Swt. yang pada galibnya tafsir tersebut ditulis berdasarkan hadis-hadis pusaka kaum salaf, kemudian diusahakan penyesuaiannya dengan zaman kita dewasa ini. Dalam banyak hal demikian itu berhasil, meskipun penulisannya terasa kelewat teguh berpegang pada pendapat yang lemah namun dibela dengan segala tampak jelas bahwa penulisnya secara umum memiliki pengetahuan secara mendalam mengeiinal metode al-Qur'an yang dipelajari sebagai Kitab Suci pembawa hidayah dan i'jaz".[11]

Pendapat yang Mengkritik

M. Quraish Shihab "Studi Kritis Tafsir al-Manar" mengatakan : dalam karyanya "Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah mufassir yang terlalu berani dalam menggunakan teori-teori seorang mendukung untuk ilmiah penafsirannya. Sehingga terkadang dirasakan adanya usaha menbenar-benarkan teori ilmiah, sekalipun yang belum mapan dengan ayat-ayat al-Qur'an. menilai para mufassir, selain gurunya Muhammad Abduh. Mufassir lain di kecam dengan amat keras dan pedas, dan terkadang nukilannya tidak sesuai dengan maksud pendapat mufassir yang dinukil. Seperti kecamannya Fakruddin ar-Razi yang dicap sebagai mufassirr yang kurang pengetahuannya tentang assunnah, pendapat-pendapat para sahabat, serta tokoh- tokoh salaf di bidang tafsir dan hadis”[12]

Menurut M. Baqir ash-Shadr “ Pedoman Tafsir Modern” mengatakan: “ mufassir memulai aktifitas penafsirannya, dengan tertentu, misalnya suatu ayat atau kalimat, tanpa

 

pemikiran, kemudian membatasi konsep Al-Quran yang berkaitan dengan dasar pemikiran yang telah dirumuskannya. Juga penafsiran yang kepada masyarakat islam. Dengan tujuan untuk menarik pengikut dan pendukung mazhabnya. Hal ini bersumber dari metodologi yang dipergunakan oleh si penafsir.[13]

Dengan demikian, bahwa setiap kitab tafsir yang ditulis oleh para mufassir, baik itu mufassir salaf maupun khalaf, tentunya mempunyai suatu pujian ataupun kritik yang bersumber dari para ulama. Hal ini dikarenakan adanya pemikiran para mufassir itu didipengaruhi oleh banyak faktor, seperti latar tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, ilmu perkembangan bahkan pendidikan, belakang pengetahuan dan kondisi sosial masyarakatnya. Dalam telah penulis hal ini khususnya kitab tafsir yang bahas di atas, yaitu kitab tafsir al-Manar.

Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Manar

Ada beberapa kelebihan didalam tafsir al-manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yaitu : 

1)    Dalam menafsirkan tafsir al-manar kan sesuai dengan pemahaman akal secara luas.

2)    Orang awam maupun intektual mudah memahami menafsirannya. 

3)    Dalam menafsirkan ayat, dijelaskan dengan teori- teori ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam.

4)    Penafsirannya menyesuaikan kehidupan masa kini.

Ada kekurangan-kekurangan di dalam tafsir al-manar adalah :

Rasyid Ridha terlalu memperluas jangkauan penafsiran ilmiyah,sehingga terkadang dirasakan adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekalipun yang belum mapan,dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Dari keterangan diatas dapat diketahui sedikit tentang kelemahan dan kelebihan tafsir al-Manar, yang jelas setiap karya tafsir pasti ada kelebihan dan kekuranganya tersebut dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan pemahaman dan latar belakang orang-orang yang menjalankan al-Qur'an.

 

Kesimpulan

Muhammad Abduh adalah seorang ulama, yang dianggap sebagai peletak dasar tafsir modern. Ia memiliki banyak keahlian, baik dalam bidang agama maupun umum (sosial). Ini dibuktikan dengan berbagai karya yang beliau hasilkan. Muhammad Rasyid Ridha adalah ulama yang masih keturunan Nabi Muhammad. Ia adalah murid dari Muhammad Abduh dan beberapa ulama lain pada masa itu. Ia banyak belajar hadits dan tasawuf, hingga menguasai keduanya. Di samping itu jua bidang-bidang kajian lain. Karya rasyid Ridha tidka hanya dalam kajian hadits, tetapi dalam berabgai disiplin ilmu agama, termasuk fiqh, hadits dan tafsir. Kedua ulama tersebutlah yang menulis Tafsir al-Manar. Muhammad Abduh menenulis Tafsir al-Manar sampai pada surah al-Nisa’ ayat 126.

Kemudian diteruskan oleh Muhammad Rasyid Ridla hingga juz 12, yaitu surah yusuf. 

Dilihat dari sumber penafsiran, Tafsir al-Manar merupakan perpaduan dari dua sumber antara bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’y, atau iqtirani. Adapun dari dari segi tartib ayat Tafsir al-Manar dapat digolongkan sebagai tafsir yang mengikuti metode tahlili, bukan nuzuli atau maudlu’i. Hanya saja tafsir ini tidak selesai sampai surah terakhir dalam mushaf (surah al-Nas), namun hanya sampai pada juz 12 tepatnya surah Yusuf. Jika dilihat dari segi naz’ah Tafsir al-Manar dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak adabi- ijtimai atau sosial-kemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA

Athaillah. (2006). Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar.

Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hamka. (1990). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pembimbing Massa.

Hasan, F. A. (2004). Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara Surabaya.

Junaidi, M. T.-i. (2021). Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan, dan Humaniora, Vol. 8, No. 1, 152-163.

Nazhifah, D. (2021). Tafsir-Tafsir Modern dan Kontemporer Abad ke-19-20. Jurnal Iman dn Spiritualitas, 211-218.

Sakirman. (2016). Konstruk Metodologi Tafsir Modern; Telaah Terhadap Tafsir Al-

Manar, Al-Maraghi, dan Al-Mishbah. Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 271-294. Shihab, M. Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur'an Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar.

Tangerang: Lentera Hati.

Sobhan. (2019). Nalar Fiqh Muhammad Abduh Tentang Ayat Hukum dalam Tafsir Al-

Manar. Ijtihad, 1-15.



[1] Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya, 2004), h. 297-298.

[2] Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta:

Lenterahati, 2007), h. 12.

[3] Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, h. 1115.

[4] Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, h. 63.

 

[5] Sakirman, Konstruk Metodologi Tafsir Modern: Telaah Terhadap Tafsir Al Manar, Al Maraghi, dan Al Mishbah, (Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) Vol.12 No 2, 2016, hal. 283

[6] M. Quraish Shihab, Rasional Al-Qur’an:Studi Kritis atas Tafsir Al- Manar, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati), 2008, hal.22

[7] Sobhan, Nalar Fiqh Muhammad Abduh Tentang Ayat Hukum dalam Tafsir Al-Manar, Jurnal Ijtihad . Volume 32, No. 1, April 2019

[8] Sakirman, Konstruk Metodologi Tafsir Modern: Telaah Terhadap Tafsir Al Manar, Al Maraghi, dan Al Mishbah, (Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) Vol.12 No 2, 2016,hal 284

[9] Mahbub Junaidi, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,(Dar el-ilmi: Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan, dan Humaniora) Vol.8 No.1,2021, hal.157-158

 

[10] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz. 1 (Jakarta: Pembimbing Massa, 1990), h. 37

[11] Subhi Sholeh, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, h. 297

[12] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 103. 

[13] M. Baqir Assadr, Pedoman Tafsir Modern (Cet. 1; Jakarta: Risalah Massa, 1992), h. 18.

Posting Komentar

0 Komentar