TEOLOGI POLITIK DALAM TAFSIR FATH AL-QADIR

 

Pendahuluan

 Politik merupakan bagian dari ajaran Islam sehingga apabila diabaikan tidak hanya menimbulkan sektoralisasi ajaran Islam namun juga dapat mengakibatkan kemunduran dan kehinaan umat Islam. Islam sebagai agama memiliki nilai-nilai dan ajaran yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Dalam Islam pemerintah dianggap sebagai amanah dari Allah SWT dan memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam sejarahnya Islam telah memainkan peran penting dalam pengembangan berbagai sistem pemerintahan dan politik. Hal tersebut tercermin dalam diri Nabi Muhammad yang tidak hanya dikenal sebagai pemimpin agama melainkan juga pemimpin politik. Dalam sejarah Islam Nabi Muhammad dianggap sebagai teladan bagi para pemimpin politik. Pemahaman dan praktik politik Nabi Muhammad menjadi teferensi bagi para pemimpin Islam dalam memimpin masyarakat dan negara. Sepeninggal Nabi Muhammad muncul konsep khilafah yang diterapkan pada masa kekhalifahan Islam. Konsep ini mengacu pada sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah atau pemimpin umat Islam.

Dalam hal ini politik yang akan dibahas ialah teologi politik Imam Asy-Syaukani yang tercantum dalam kitab tafsir beliau yaitu Kitab Tafsir Fath Al-Qadir. Imam Asy-Syaukani sendiri ialah seorang ulama yang hidup pada abad ke-18 di Yaman. Beliau dikenal sebagai sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam bidang teologi dan fikih Islam. Dalam teologi politik beliau menekankan pentingnya pemerintahan yang adil dan bijaksana yang memperhatikan hak-hak rakyat dan membatasi kekuasaannya. Beliau juga menolak kekuasaan absolut  dan memperingatkan tentang bahaya tirani. 

Terdapat jargon dengan bunyi al-Islam din wa siyasah (Islam merupakan agama sekaligus berdimensi politik). Namun dalam perkembangannya topik dari jargon tersebut menjadi salah satu diskursus yang kontroversial dan belum tuntas. Timbulnya kontroversi tersebut tidak lepas dari watak ajaran Islam yang sangat elastis dan interpretatif. Selain itu umat Islam juga belum memiliki konsep ketatanegaraan yang jelas dang kongkret. Masalah inilah yang akhirnya menimbulkan penafsiran beragam baik terhadap nas sendiri maupun terhadap praktik politiknya.[1] Maka dari itu dirasa perlu untuk memahami politik Islam melalui penafsiran Al-Qur’an yang akan diambil melalui Kitab Tafsir Fath Al-Qadir karya Imam AsySyaukani.

Biografi Imam Asy-Syaukani

Muhammad ibn Ali Muhammad ibn Abdullah Asy-Syaukani, beliau di lahirkan pada hari senin, 28 Dzulqodah atau bertepatan dengan tahun 1173 H dan beliau wafat pada hari selasa, 27 Jumadil akhir 1250 H di usia sekitar 78 tahun. Ia dikenal dengan sebutan AsySyaukani karena dinisbatkan kepada Syaukan, nama satu desa yang berada di As-Suhamiyah, lalu beliau di besarkan di kota  Shan’a, yang sekarang ini menjadi ibu kota Republik Yaman.

Beliau menimba ilmu dari para ulama yang sezaman dengannya yaitu tentang Fath Al Bari, Syarh An-Nawawi atas kitab Muslim,Syarh Umdah Al Ahkam, Tanqih fi Ulum Al Hadis,

Alfiyatul Iraqi, Nuhbah Al Fikr. Dalam bidang bahasa ia pernah belajar sharah Al-Jauhari, AlQamus karangan dari Al-Fairus Abadi dan selainnya.

Asy-Syaukani dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, sejarah, ilmu kalam, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya. Beliau juga menghafal Al-qur’an yang ia pelajari dari para syekh ahli qiraat yang berada di shan’a, beliau juga menghafal banyak kitab-kitab berbagai disiplin ilmu. Ada sebuah catatan yang ia hafal yaitu : Kitab Al-Azhar karangan Imam AlMahdi membahas tentang fiqih Zaidiyah dan Mukhtashar Al- Ushaifiri.

Selain itu juga menuntut ilmu pada syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Harazi, ia belajar nahwu selama tiga belas tahun, belajar ilmu bahasa arab kepada Syaikh Isma’il bin Al-Hasan,

Abdullah bin Isma’il An-Nahmi, Al-Qasim bin Yahya Al Haulani, Al Hasan bin isma’il Al- Maghribi, Abdurrahman bin Hasan Al- Akwa, Kemudian ilmu Hadis Al-Bukhari, Shahih

Muslim,Shahih At Tirmudzi dan Al-Muwathta, pada Ali bin Ibrahim bin Ahmad, Sunan AnNasa’I, Sunan ibnu Majah.

 

Beliau tidak hanya mengamalkan ilmu-ilmunya dengan cara mengajar saja, Namun juga dituangkan dalam berbagai karya tulis, sudah tercatat sebanyak 18 buah karya tulisannya yang diterbitkan dalam bentuk buku dan 146 buah karya tulisan yang lain dalam wujud manuskrip.  Adapun karya-karya tulis utama dari Asy-Syaukani, antara lain : kitab tafsir Fath Al-Qadir, kitab Nail Al-Autar, kitab Tuhfat Az- Zakirin, dan lainnya sebagainya. Hampir semua karya tulis Asy-Syaukani diselesaikan sebelum usia 36 tahun. Produktivitasnya kini mulai berkurang sejak Asy-Syaukani diangkat sebagai hakim di San’a pada masa pemerintahan Al-Imam Mansur Ali ibn Abbas (1775-1809 M). Pada masa pemerintahan al-Mahdi Abdullah

(1815-1835 M),  Asy-Syaukani menjabat sebagai Menteri dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri.[2]

Kitab Tafsir Fath al-Qadir yang akan ditelaah ini terdiri dari lima jilid. Kitab ini telah memiliki dua keistimewaan. Yakni uraiannya menggabungkan antara metode riwayah dan metode dirayah. Diidentifikasi riwayah, karena tafsir ini telah menggunakan ayat-ayat alQur’an, hadis-hadis Rasulullah SAW, dan pendapatan para sahabat dalam menjelaskan isi kandungan ayat al-Qur’an.  Diidentifikasi dirayah, karena tafsir ini menggunakan kaidahkaidah kebahasaan dalam menganalisis ayat-ayat al-Qur’an.

Adapun Metode yang digunakan ialah metode tahlili. Hal ini dapat di lihat dengan jelas dari sistematika penulisan kitab tafsir tersebut yang dilakukan berdasarkan urutan ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam  Al-Qur’an itu sendiri, Yaitu dimulai dengan surah AlFatihah, sesuai dengan urutan Al-Fatihah, sesuai dengan urutan ayat-ayatnya hingga surah AnNas, yang sesuai juga dengan urutan ayat-ayatnya.Kemudian Asuy-Syaukani mengemas tulisan tafsirnya kedalam lima jilid besar dengan sisematika Mushafi, yang didasarkan pada tartib susunan ayat-ayat Al-Qur’an.

Corak penafsiran Asy-Syaukani adalah corak fiqhi (al-Tafsir al-Fiqhi). Tafsir dengan corak fikih adalah penafsiran Alquran yang dibangun berdasarkan wawasan dalam bidang fikih sebagai basisnya. Dengan kata lain, bahwa tafsir tersebut berada di bawah pengaruh ilmu fikih, karena fikih sudah menjadi minat dasar mufassirnya sebelum ia melakukan penafsiran.[3]

Teologi Politik

 

Teologi politik adalah cabang teologi yang mempelajari hubungan diantara keduanya agama dan kekuatan politik. Ini membutuhkan pertimbangan konsep yang berbeda dan prinsipprinsip agama yang dapat di terapkan dalam dunia politik, serta adat istiadat dimana agama dapat mempengaruhi tindakan politik dan ketertiban umum. Di dalam konteks ini, teologi politik telah berurusan dengan konsep-konsep seperti otoritas, keadilan, kebebasan, kebijaksanaan, tanggung jawab sosial dan hak asasi manusia.

Sejarah teologi politik di mulai pada zaman kuno, seperti agama dan politik di pandang sebagai entitas yang tidak dapat di pisahkan. Meskipun ada perbedaan agama di berbagai daerah, tetapi konsep teologi politik sering kali berkait dengan ide-ide filsuf  Yunani kuno seperti plato dan Aristoteles.

Lahirnya teologi politik modern dapat di lacak pada abad ke-16, ketika reformasi protestan terjadi di eropa. Reformasi ini telah diperdebatkan ) peran agama dalam politik dan para teolog protestan dimulai mempertanyakan hubungan antara greja dan negara. Seiring waktu pikiran ini telah berkembang menjadi disiplin tersendiri yang berhubungan dengan bagaimana agama dapat mempengaruhi politik dan sebaliknya.

Pada abad ke-20, teologi politik tumbuh dna berkembang mempengaruhi gerakan sosial dna politik di seluruh dunia. Berapa pemikir siswa terkemuka yang mempelajari teologi politik pada saat itu termasuk Karl Barth, Diettrich Bonhoeffer dan Reonhold Niebuhr. Mereka bertanya bagaimana dengan agama dapat memberikan wawasan tentang keadilan sosial dan kemanusiaan dalam kontes politik yang kompleks. Secara umum, Sejarah teologi politik mencerminkan dinamika teologi hubungan yang kompleks antara agama dan politik  dalam masyarakat. Padahal konsepnya sudah sangat berkembang selama Ribuan tahun tetapi teologi politik tetep menjadi topil hangat penting dalam diskusi tentang kekuasaan Otoritas dan pengaruh agama.

Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Kepemimpinan dan Musyawarah

Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan terma pemimpin adalah pemegang kendali kekuasaan dalam kaitannya dengan kenegaraan. Adapun terma musyawarah ialah proses bertukar pendapat untuk memperoleh kebenaran. Al-Qur’an menggunakan terma khalifah, ulul al-amri, imam dan malik untuk menunjukkan pengertian pemimpin.  

1. Khalifah (خليفة)

Kata kerja bentuk pertama   خلف-يجلف digunakan untuk arti “menggantikan”. Pengertian mengganti disini bisa merujuk pada pergantian generasi atau pergantian jabatan pimpinan.

Namun terdapat satu hal yang perlu diperhatikan bahwa konsep yang ada pada verba خلف selain bermakna pergantian generasi dan pergantian jabatan kepemimpinan juga berkonotasi fungsional. Artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi menjalankan fungsi dan tugas tertentu.[4] Adapun kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-Qur’an yaitu pertama dalam surah Al-Baqarah ayat 30[5]

 وَإذْ قالَ ربكَ للْمَلََئكَةِ إنِّ جَاعِلٌ فِ الْْرضِ خَليفَة …﴿ ٣٠

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Terdapat perbedaan dalam mengartikan kata   خَلِيفَة ada yang mengartikannya dengan Adam. Namun adapula yang mengatakan bahwa maknanya adalah setiap yang menjabat khalifah

di bumi. Pendapat pertama dikuatkan dengan dengan firman-Nya   خَلِيفَة bukan خَلََئِفََ (jamak dari   خَلِيفَة) dan itu cukup dengan Adam tanpa perlu menyebutkan yang setelahnya.[6]

 Dan yang kedua surah As-Shad ayat 26 يََ دَاوُودُ إنََّّ جَعَلْناكَ خَليفَة  فِ الْْرضِ فاحْكُمْ بَيَْْ الناسِ بِِلْْقِِ وَلََ تَ تبعِ الْْوَىٰ فَ يضِلكَ عَنْ سَبيلِ الَّلِّ   

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. 

 Lafadz   جَعَلْناَكَ خَلِيفَة dapat diartikan (menjadikan kamu khalifah) bagi nabi-nabi sebelummu agar engkau memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.[7]              

2. Ulul al-Amri (اولوالامر)

Kata الامر merupakan bentuk masdar dari kata kerja امر-يامر maknanya adalah menyuruh atau menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian dapat ditafsirkan istilah اولوالامر sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk memerintahkan sesuatu,

 

orang yang bersangkutan juga memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan keadaan.[8]  Ulil amri terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 59  ﴾٥٩ ﴿… يََ أيُّ هَا الذِينَ آمَنوا أطِيعوا الَّلَّ وَأطِيعوا الرسُولَ وَأوِلِ الْْمْ رِ مِنْكُم  

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.

Sa’id bin Manshur, Ibnu Abu Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Al Mundzir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Hirairah, ia berkata وَأوُلِي الْْمَْرِ مِنْكُم (dan ulil amri

diantara kamu) adalah para pemimpin. Dalam lafadz lainnya “yaitu para komandan pasukan”.[9]

 Dan surah An-Nisa ayat 83  وَلوْ ردُّوهُ إلََ الرسُولِ وَإلََٰ أولِ الْْمْ رِ مِنْ هُمْ …﴿ ٨٣

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka

Maksud dari ayat di atas adalah para ahli ilmu dan cerdik-cendikia yang menjadi rujukan mereka atau para pemimpin mereka.[10]

Imam Al-Syaukani menjelaskan bahwa ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan syar’i bukan kekuasaan taghut. Wajib mentaati perintah dan larangan mereka selama bukan kemaksiatan, karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah. Dari pendapat tersebut di atas terdapat indikasi bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah setiap pemimpin muslim yang memiliki kekuasaan syar’i yang menjalankan syari’at Islam dalam pemerintahannya, mereka wajib ditaati hanya dalam ketaatan bukan kemaksiatan.[11]

3. Imam (امامَ(

Para ahli mendefinisikan kata امامَ sebagai setiap orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai masalah. Imam Asy-Syaukani mengartikannya sebagai pemimpin umat dan sebagai pedoman. Sebagai pedoman seorang pemimpin harus bersifat adil, konsisten dalam menjalankan syari’at Islam dan harus benar-benar menghindari

 

penganiayaan dan kesewenang-wenangan terhadap rakyat dan pengikutnya. Kata imam terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 124

 … قَالَ إنِّ جَاعِلكَ للناسِ إمَا م ا…﴿ ١٢٤

Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".

 

4. Malik (ملك)

Istilah ملك berarti seseorang yang memiliki kewenangan untuk memerintah sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitannya dengan suatu pemerintahan. Tegasnya istilah ini adalah sebutan bagi setiap orang yang memiliki kemampuan dalam bidang politik pemerintahan seorang raja misalnya. Terma malik tetdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 247

 وَقالَ لَُْمْ نَبيُّ هُمْ إنَّ الَّلَّ قدْ بَ عَثَ لكُمْ طالوتَ مَل كا ۚ َ …﴿ ٢٤٧

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu".

Menurut Imam Asy-Syaukani syarat untuk menjadi seorang pemimpin tidak dilihat dari kebangsawanan maupun kekayaannya melainkan dilihat dari pengetahuannya yang luas terkait pemerintahan, kondisi fisik yang sehat dan prima, memiliki komitmen dan kepedulian terhadap nasib dan kemaslahatan rakyat, serta benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah dibuktikan dengan perbuatannya sehari-hari. 

Adapun kewajiban pemimpin menurut Asy-Syaukani ialah mencakup lima kepentingan pokok  (mabadi’ khamsah). Kelima kepentingan tersebut ialah: agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Selain kewajiban yang harus dipenuhi kepada rakyatnya, pemimpin juga memiliki hak atas rakyatnya, dalam hal ini adalah loyalitas masyarakat kepadanya. Kesetiaan dan kepatuhan masyarakat diwujudkan dalam berbagai sikap, seperti patuh dan loyal terhadap kebijakan serta taat pada peraturan dan ketentuan. Mereka juga harus rela membantu pemimpinnya dalam segala upaya dan program kebajikannya.

Menurut pendapat Asy-Syaukani pemimpin umat Islam haruslah orang yang benarbenar beriman kepada Allah sehingga orang yang tidak percaya sama sekali tidak dibenarkan sebagai pemimpin umat Islam, khususnya orang munafik. Kewajiban untuk taat kepada pemimpin juga tidak sah jika yang bersangkutan melakukan maksiat. Indikasi orang yang maksiat adalah orang tersebut tidak mau lagi mengingat Allah. Juga diberlakukan kepada orang yang bertindak melebihi batas. Orang yang melampaui batas disini adalah orang-orang musyrik yang suka merusak alam dan tidak pernah peduli untuk memperbaikinya.[12]

Pembahasan selanjutnya yakni musyawarah, salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang memuat terma musyawarah terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159

فبمَا رحْْةٍ مِنَ الَّلِّ لنْتَ لَْمْ ۖ  وَلوْ  كُنْتَ فظا غليظَ القَلْبِ لََنْ فَضُّوا مِنْ حَوْلكَ ۖ  فاعْفُ عنْ هُمْ وَاسْتَ غفِرْ  لَْمْ وَشَاورهُمْ فِ الْْمْرِ ۖ  فإذا عَزمْتَ فَ تَ وكَّلْ عَلى الَّلِّ ۚ  إنَّ الَّلَّ يُُِبُّ المُتَ وكِليَْ ﴿ ١٥٩

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Terma musyawarah oleh Asy-Syaukani diartikan saling memberi dan saling mengambil pendapat dalam suatu pertemuan. Dalam proses bertukar pendapat itu, akan diperoleh mutiaramutiara berharga dan pikiran-pikiran cemerlang yang mungkin tidak didapatkan dalam berfikir sendirian. Unsur-unsur etika yang harus diperhatikan dalam musyawarah ialah menghargai pimpinan musyawarah dan menghargai pendapat orang lain. Setiap anggota mushawarah harus meminta izin kepada pimpinan musyawarah untuk berbicara dan untuk keperluan lainnya. Setiap anggota musyawarah harus menghargai pendapat orang lain, terlepas dari bagustidaknya pendapat tersebut.

Menurut Asy-Syaukani, pimpinan musyawarah mempunyai kewenangan untuk mengatur jalannya musyawarah. Keputusan untuk memberi izin kepada anggota musyawarah yang mempunyai keuzuran untuk meninggalkan musyawarah, atau memperkenankan atau menolak permohonan anggota mushawarah untuk angkat bicara, tergantung pada situasi dan kondisi. Materi-materi yang dimusyawarahkan, menurut Asy-Syaukani, meliputi masalahmasalah umum yang menyangkut perang dan damai, yang menyangkut kesejahteraan dan kemaslahatan orang banyak, dan lain sebagainya yang tidak diatur oleh wahyu dan sunnah.

 

Adapun masalah-masalah yang sudah jelas petunjuknya dalam wahyu dan sunnah, tidak perlu dimusyawarahkan lagi.[13]

Kesimpulan

 Muhammad ibn Ali Muhammad ibn Abdullah Asy-Syaukani, beliau di lahirkan pada hari senin, 28 Dzulqodah atau bertepatan dengan tahun 1173 H dan beliau wafat pada hari selasa, 27 Jumadil akhir 1250 H di usia sekitar 78 tahun. Asy-Syaukani dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, sejarah, ilmu kalam, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya. Kitab tafsir karya beliau yakni Fath al-Qadir yang memiliki dua keistimewaan. Yaitu uraiannya menggabungkan antara metode riwayah dan metode dirayah sedangkan metodenya adalah tahlili dan coraknya adalah fiqhi.

 Teologi politik adalah cabang teologi yang mempelajari hubungan diantara keduanya agama dan kekuatan politik. Ini membutuhkan pertimbangan konsep yang berbeda dan prinsipprinsip agama yang dapat di terapkan dalam dunia politik, serta adat istiadat dimana agama dapat mempengaruhi tindakan politik dan ketertiban umum.

 Al-Qur’an menggunakan terma khalifah, ulul al-amri, imam dan malik untuk menunjukkan pengertian pemimpin. Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa terma  khalifah adalah pergantian generasi atau pergantian jabatan pimpinan, ulul al-amri diartikan institusi kepemimpinan, terma imam diartikan sebagai pemimpin umat Islam yang dapat diteladani, sedangkan terma malik diartikan sebagai orang yang memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahan

 Syarat seorang pemimpin adalah memiliki pengetahuan yang luas terkait pemerintahan, kondisi fisik yang sehat dan prima, memiliki komitmen dan kepedulian terhadap nasib dan kemaslahatan rakyat, serta benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah dibuktikan dengan perbuatannya sehari-hari. Terma musyawarah oleh Asy-Syaukani diartikan saling memberi dan saling mengambil pendapat dalam suatu pertemuan. Unsur-unsur etika yang harus diperhatikan dalam musyawarah ialah menghargai pimpinan musyawarah dan menghargai pendapat orang lain.

 

 

Daftar Pustaka

Arief, Ahmad Fahmy, “Political thought of Al-Imam Al-Syaukaniy in the Tafseer book Fathul Qadir”, Advance Research Journal of Multidisciplinary Discoveries 38.2 (2019)

Asy-Syaukani, Imam, Tafsir Fathul Qadir Jilid 1, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka

Azzam, 2008)

Asy-Syaukani, Imam, Tafsir Fathul Qadir Jilid 2, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka

Azzam, 2008)

Asy-Syaukani, Imam, Tafsir Fathul Qadir Jilid 3, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka

Azzam, 2008)

Asy-Syaukani, Imam, Tafsir Fathul Qadir Jilid 9, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka Azzam, 2008)

Hanafi, Yusuf, “Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath Al-Qadir: Pembacaan atas Konsep

Ketatanegaraan dalam Al-Qur’an yang Ditulis al-Shawkany”, Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 11.2 (2012)

Ilyas, Rahmat, “Manusia Sebagai Khalifah Dalam Perspektif Islam”, Mawa Izh Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 7.1 (2016)

Luthfiah, Siti, Solahudin dan Aceng Zakaria, “Ulul Amri dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir

Tematik Ayat-ayat Tentang Ulil Amri”, Cendika Muda Islam Jurnal Ilmiah 1.2 (2021)

Maryono, Muhammad, “Ijtihad Al-Syaukani Dalam Tafir Fath Al-Qadir : Telaah Atas Ayat-

Ayat Poligami,” Al- ’Adalah, 10.2 (2011)



[1] Yusuf Hanafi, “Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath Al-Qadir: Pembacaan atas Konsep Ketatanegaraan dalam Al-Qur’an yang Ditulis al-Shawkany”, Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 11.2 (2012), hlm. 146.

[2] Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid 1, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka Azzam, 2008), hlm. 31-38.

[3] Muhammad Maryono, “Ijtihad Al-Syaukani Dalam Tafir Fath Al-Qadir : Telaah Atas Ayat-Ayat Poligami,” Al- ’Adalah, 10.2 (2011). hlm. 148

[4] Ahmad Fahmy Arief, “Political thought of Al-Imam Al-Syaukaniy in the Tafseer book Fathul Qadir”, Advance Research Journal of Multidisciplinary Discoveries 38.2 (2019), hlm. 8-9.

[5] Rahmat Ilyas, “Manusia Sebagai Khalifah Dalam Perspektif Islam”, Mawa Izh Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 7.1 (2016), hlm. 170-171.

[6] Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid 1, hlm. 249.

[7] Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid 9, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka Azzam, 2008), hlm. 651.

[8] Ahmad Fahmy Arief, “Political thought of Al-Imam Al-Syaukaniy in the Tafseer book Fathul Qadir”, hlm. 9.

[9] Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid 2, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka Azzam, 2008), hlm. 906.

[10] Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid 3, Terj. Sayyid Ibrahim Shaddiq, (Pustaka Azzam, 2008), hlm. 2.

[11] Siti Luthfiah, Solahudin dan Aceng Zakaria, “Ulul Amri dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir Tematik Ayatayat Tentang Ulil Amri”, Cendika Muda Islam Jurnal Ilmiah 1.2 (2021), hlm. 186.

[12] Ahmad Fahmy Arief, “Political thought of Al-Imam Al-Syaukaniy in the Tafseer book Fathul Qadir”, hlm. 9-11

[13] Yusuf Hanafi, “Pemikiran Politik dalam Tafsir Fath Al-Qadir: Pembacaan atas Konsep Ketatanegaraan dalam Al-Qur’an yang Ditulis al-Shawkany”, hlm. 154.

Posting Komentar

0 Komentar