KAJIAN TOKOH ILMU QIRA’AH KONTEMPORER DI INDONESIA

 

A. Latar Belakang

Dalam membaca Al-Qur`an terdapat berbagai macam versi Qira`at (bacaan) yang untuk dapat membacanya tidak hanya didapatkan dari membaca buku saja tetapi juga harus musyâfahah (berhadapan) dengan guru yang mahir dan mengerti di dalam dan Ilmu Qira`at ini.

Ilmu Qira`at itu sendiri adalah ilmu tentang perbedaan cara melafazkan Al-Qur`an baik yang menyangkut dengan huruf maupun cara pengucapan tersebut. Selain itu juga ada definisi lain tentang Ilmu Qira`at yaitu ilmu yang mempelajari tata cara menyampaikan/membaca kalimatkalimat Al-Qur`an dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang menukilkannya.

Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat belum ada istilah Ilmu Qira`at, sebagaimana belum ada nama untuk Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Mantiq, Ilmu Balaghah, Ilmu Tauhid, Fikih dan lain sebagainya. Munculnya nama-nama tersebut hasil ijtihad dari tabi’in dan tabi’ at-tabi’in. Hukum belajar Ilmu Qira`at sendiri adalah fardhu kifayah, tetapi menerapkannya pada bacaan Al-Qur`an merupakan fardhu ‘ain bagi setiap muslim agar tidak keliru membaca kalimat-kalimat Al-Qur`an.

Dalam kesempatan ini penulis akan menulis mengenai tokoh Qiro’ah kontemporer di Indonesia. Mengenai topik tersebut tentu saja ada hal yang < dapat dikesampingkan dalam mengurai beberapa point penting yang mengitarinya, seperti halnya sejarah masuknya Qiro’at di Nusantara itu sendiri. Sebelum mengenal lebih jauh perkembangan Qira’at yang ada di Nusantara, mula-mula harus diketahui masuknya Islam dan penyebaran Islam di Nusantara seperti yang tertuang dalam buku Sejarah Al-Qur’an karya Abu bakar Aceh yang mana telah ia tuturkan bahwa Islam masuk melalui para pedagang Arab, Persia dan India yang kemudian menikah dengan orang Nusantara berjangka waktu selama abad ke-7 M sampai dengan abad ke 15.[1]

Setelah Islam masuk ke dalam Nusantara melewati perdagangan dan mereka mulai mengajarkan sedikit demi sedikit mengenai pelajaran terkait dengan al-Qur’an. Wi66*3rr masa itu baik pedagang Arab dan India, musafir dari Persia sangat mempengaruhi penyebaran Islam

 

beserta pengajaran al-Qur’an (keragaman Qira’at) yang mereka ajarkan kepada masyarakat Nusantara.

Metode pengajaran al-Qur’an di Nusantara terbagi atas dua macam: pertama, diberikan di rumah atau langgar. Proses pengaj8’aran dilakukan dengan Guru membaca dan murid menuruti bacaan gurunya itu sambil melihat dan menunjuk kepada huruf-huruf hijaiyah yang dibacanya itu. Sesudah beberapa kali dan beberapa lama murid-murid membaca pelajarannya, masing-masing membaca pelajarannya sendiri- sendiri, sehingga suaranya kadang-kadang menggemparkan langgar itu, maka kemudian datanglah seorang kepada gurunya atau pembantu gurunya, untuk didengarkan bacaannya.

Demikianlah berturut-turut sampai murid-murid pandai membaca al Qur’an. Kedua, di berikan dipesantren atau madrasah. Dapat juga disebutkan disini, beberapa guru al-Qur’an yang besar jasanya dibeberapa wilayah yang ada di Nusantara, seperti: Hasannudin, Pangeran Jambu Karang, Sunan Geseng, Sunan Tembayat, Sunan Ngunjung, Sunan Panggung, Syekh Abdul Muhji dll. Beberapa ulama ini merupakan pembuka sistem pengajaran al-Qur’an pada masa awal sebelum Qira’at dipelajari secara mendalam. Demikian dua metode ini menjadi salah satu bukti bahwa Islam masuk ke Nusantara berhubungan erat dengan penyebaran alQur’an (keragaman qira’at) di Nusantara.

B. Rumusan Masalah

a.       Bagaimana kekhasan pemikiran qira’at Syekh Mahfudz At Tarmasi, KH. Muhammad Moenawir, KH. M. Arwani Amin Said KH. Muhammad Syafî Hadzami, KH. Ahsin Sakho?

b.      Bagaimana sistem penerapan Qira’at Syekh Mahfudz At Tarmasi, KH. Muhammad Moenawir, KH. M. Arwani Amin Said KH. Muhammad Syafî Hadzami, KH. Ahsin Sakho?

C. Tujuan

a.       Untuk mengetahui kekhasan pemikiran qira’at Syekh Mahfudz At Tarmasi, KH. Muhammad Moenawir, KH. M. Arwani Amin Said KH. Muhammad Syafî Hadzami, KH. Ahsin Sakho. 

b.      Untuk mengetahui sistem penerapan Qira’at kekhasan pemikiran qira’at Syekh Mahfudz At Tarmasi, KH. Muhammad Moenawir, KH. M. Arwani Amin Said KH.

Muhammad Syafî Hadzami, KH. Ahsin Sakho.

 

BAB II

PEMBAHASAN

Tokoh-tokoh Qira’ah Kontemporer di Indonesia

1. Syekh Mahfudz At-Tarmasi

Nama lengkap Syekh Mahfuzh adalah Muhammad Mahfuzh bin Abdulah bin Abdul [2]Manan bin Diman Dipomenggolo at-tarmasi al-Jawi. Ia dilahirkan di desa Tremas, kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, pada tanggal 12 Jumadil Ula (25 Rajab) tahun 1258H. Syekh Mahfuzh adalah anak tertua dari ke 8 saudaranya keturunan KH. Abdullah (1862-1894), salah seorang putra Kyai Abdul Manan (1830-1862). Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Tremas.

Sejak kecilnya beliau mendapatkan pendidikan agama yang cukup bagus, dikarenakan beliau juga hidup di Lingkungan pesantren yang diasuh oleh kakeknya tersebut. Sebagai putra seorang ulama besar, Mahfuzh memang dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi ulama besar penerus perjuangan leluhurnya, terutama di Pesantren Tremas.

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Syeikh Ahmad Khatib asSambasi (1875 M), seorang ulama asal Sambas (Kalimantan Barat) yang menetap di Mekah hingga wafatnya tahun 1875 M. Ulama ini dikenal sebagai seorang sufi yang berhasil menyatukan dua tarekat, yakni Qadriyah dan Naqsabandiyah, menjadi tarekat baru yang disebut Tarekat Qadriyah wan Naqsabandiyah. Diantara murid muridnya yang terkenal adalah Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Abdul Karim alBantani, dan Syeikh Muhammad Khalil (asal Bangkalan Madura). Mereka adalah sahabat senior dan guru dari Mahfudz at-Tarmasi, karena umurnya rata-rata lebih tua dan telah lama berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas.

Gurunya yang lain dari kalangan al-Jawi adalah Syeikh Abdul Ghani Bima (asal Sumbawa) yang wafat sekitar tahun 1270-an H, Syeikh Nahrawi, Syeikh Abdul Hamid, Syeikh Yusuf Sumbulawani, Syekh Nawawi al-Bantani, dan beberapa yang lain. Secara lebih khusus, Syeikh Mahfudz at-Tarmasi memperdalam Qira’at Ashim riwayat Hafsh, ilmu tajwid dan sebagian isi kitab Syarh Ibn al-Qashih ala ash-Syâthibiyah kepada Syekh Ahmad al-Minsyawi (w. 1314 H). Kemudian belajar ilmu qira’at sepuluh dan empat belas kepada Syekh Muhammad asy-Syarbini adDimyathi (w. 1321 H). Dari Syekh asy-Syarbini inilah beliau belajar dan

 

mengkhatamkan kitab Syarh Ibn al-Qashih ‘ala ash-Syathibiyah, Syarh ad Durrah al-Mudhîyah fî ‘Aqdi Ahli al-Firqah al-Mardhiyah karya Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini (w.1188 H), Syarh Thaybah an-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr karya Ahmad bin Muhammad bin al-Jazari, ar-Rawdh an-Nadhir karya al-Mutawalli, Ithâf al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyar karya al-Banna‟, Tafsir al-Baidhawi dan beberapa kitab Tahrirat Syathibiyah. 

Sebagai seorang ulama besar dan ternama di tanah suci Mekah, Syeikh Mahfudz banyak mempunyai murid, baik dari kalangan al-Jawi sendiri maupun dari belahan dunia lainnya, termasuk orang-orang Arab. Di antara muridnya dari Indonesia (al-Jawi) yang paling terkenal adalah KH. Hasyim Asy‟ari (1817-1947 M), dari Tebu Ireng Jombang, KH. Wahab Hasbullah (1888-1971 M) dari Tambakberas Jombang (keduanya pendiri NU), Muhammad Bakir bin Nur (1887-1943M) dari Jogjakarta, K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959 M), Mu’ammar bin Kiai Baidawi dari Lasem, dan Ma’sum bin Muhammad, dari Lasem (1870-1972 M), KH. Asnawi Kudus, KH. Dalhar Watucongol. Setelah bermukim dan mengajarkan ilmu di Mekah selama 40 tahun, Syekh Mahfuzh wafat pada hari Rabu, tanggal1 Rajab, tahun 1338 H, bertepatan dengan 20 Maret tahun 1920 M. Sejak berangkat ke Makkah, ia berharap agar akhir hidupnya berada di sana. Ia pun dimakamkan di Ma’la, Mekah, berdampingan dengan makam Sayidah Khadijah, Istri Nabi Saw. Lokasi tersebut berada dalam pemakaman keluarga gurunya, Sayyid

Abu Bakr Muhammad Shata.[3]

2. KH. Muhammad Moenawir

Beliau adalah Muhammad Moenawir bin KH. Abdullah Rasyad bin KH. Hasan Bashari. Putra Kedua dari pasangan KH. Abdullah Rasyad dan Ibu Khadijah. Belajar kepada KH. Khalil

(Bangkalan), beliau juga belajar kepada KH. Abdullah (Bantul), KH. Shalih (Semarang), KH. Abdurrahman (Magelang). Pada tahun 1888, beliau memutuskan untuk meneruskan pendidikan studinya ke Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwarah. Di Makkah, beliau berkonsentrasi pada ilmu bidang Al Qur’an dengan berguru kepada : Syaikh Abdullah Sunqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Abdus Syakur, Syaikh Manshur, Syaikh Ibrahim Huzaimiy, Syaikh Muqriy, Syaikh Yusuf Hajar. Sdangkan selama di Madinah selam 5 tahun beliau mempelajari ilmu tauhid, ilmu fiqh, bahasa, dll. Selain mampu menghafal Al Qur’an secara sempurna, beliau juga menguasai ilmu Qira’ah sab’ah dengan baik serta mendapatkan riwayat sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah.

 

Sanad Qira‟at beliau merupakan riwayat Qira’at Ashim riwayat Hafsh thariq Ubaid bin al Shabbah. Pada tahun 1909, beliau membuka sebuah pengajian al Quran di surau kecil miliknya yang terdapat di daerah Kauman-Yogyakarta. Pada akhir tahun 1909, beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah pesantren di Krapyak. Di pesantren inilah, beliau mengajarkan pengetahuan agama ynag dimiliki teristimewa pada bidang al Qur’an. Setelah 33 tahun pesantren tersebut berdiri, beliau telah mencetak kader-kader yang siap meneruskan mata rantai sanad qira‟at yang beliau miliki. Di antaranya adalah : KH. Muhammad Arwani Amin (Kudus), KH. Badawi (Kaliwungu), KH. Zuhdi (Nganjuk), KH. „Umar (Solo), KH. „Umar (Cirebon), KH. Muntaha (Kalibeber-Wonosobo), KH. Syathibiy (Kutoarjo), KH. Hasbullah (Wonokromo-Yogyakarta), KH. Muhyiddin (Jejeran-Yogyakarta), KH. Aminuddin (Kroya). Di antara murid beliau tersebut, yang paling terkenal memberikan sanad Al Qur‟an adalah : KH.

Muhammad Arwani Amin (Kudus), KH. Badawi (Kaliwungu), KH. Umar (Mangkuyudan-

Solo). KH. Muhammad Moenawir wafat pada tanggal 06 Juli 1942/11 Jumadil Akhir 1360.[4]

3. KH. M. Arwani Amin Said

KH. M. Arwani Amin Said dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 5 Rajab 1323 H atau pada 5 September 1905 M di Kajeksan, Kudus, Jawa Tengah. Beliau putra dari pasangan H. Amin Said dan Hj. Wanifah. KH. Arwani memiliki 12 saudara, antara lain: Muzainah, Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da‟in, Ahmad Malikh, I‟anah, Ni‟mah, Muflikhak dan Ulya. Beliau lahir di lingkungan yang saat taat beragama, kakek dari ayah beliau adalah salah satu ulama besar di Kudus yaitu KH. Imam Haramain, sedangkan nasab dari ibu sampai pada pahlawan nasional yaitu Pangeran Diponegoro. KH. Arwani memiliki empat orang anak yaitu Ummi, Zukhali Uliya, KH. M. A. Ulin Nuha Arwani, dan KH. M. A. Ulil Albab Arwani. KH. Arwani memulai pendidikannya pada usia 7 tahun di Madrasah Mu‟awanatul Muslimin pada tahun 1912, selain itu beliau juga belajar Quran kepada K.

Syiraj dan belajar kitab-kitab kuning kepada KH. Asnawi. Setamat dari Madrasah Mu‟awanatul Muslimin, beliau melanjutkan studinya di Madrasah Mabaul Ulum Solo. Beliau memperdalam ilmu kitab kuningnya dan ilmu Qurannya kepada Kiai Abu Su‟ud. Setelah itu, beliau melanjutkan ke pondok Pesantren Tebuireng selama empat tahun mulai 1926-1930, yang saat itu masih diasuh oleh KH. Hasyim Asy‟ari. Di pesantren tersebut beliau mulai mempelajari

 

qiroah sab‟ah dengan memakai kitab Sirojal Qori karangan Abdul Wasim Ali bin Usman bin Muhammad bin Ahmad Hasan Al-Qashoh al-Uzari yang merupakan komentar atas kitab Asy syatibi. Setelah dari Tebuireng, beliau melanjutkan pendidikannya di Krapyak Yogyakarta kepada KH. Munawwir. Di tempat tersebut beliau mulai menghafal Quran 30 juz hanya dalam waktu 2 tahun. Setelah itu dilanjutkan mempelajari qiroah sab‟ah selama 9 tahun secara praktik. Setelah dari Krapyak, beliau masih belajar lagi kepada KH. Sirojudin Undaan Kudus dan Kepada KH. Mansur Popongan Klaten untuk belajar tariqah. Selama menimba ilmu, belia dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut dan sopan santun. KH. Memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan qiroat di Indonesia, yaitu melalui karyanya yang berjudul faidh al barakaat fi sab‟I al-qiraat (yang dijadikan rujukan bagi hamper semua pesantren dalam mempelajari qiraat) dan melalui implementasi pengajara.n qiroat di Pondok Pesantren yang beliau dirikan yaitu Yanbu‟ul Quran. Beliau wafat pada tanggal 25 Rabiul Akhir tahun 1415 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober tahun 1994 M dalam usia 92 tahun.

4. KH Muhammad Syafî Hadzami

M. Syafi`i Hadzami atau yang lebih dikenal dengan Mu‟allim Syafi‟i Hadzami lahir pada tanggal 12 Ramadhan, 1349 H. Bertepatan dengan 31 Januari 1931 M. Di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Beliau adalah anak pertama dari Pasangan Bapak Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. Ayah Syafi‟i adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal dari daerah Citeureup Bogor. Ayahnya bekerja di perusahaan minyak asing daerah Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian setelah Syafi‟i lahir, ayahnya pulang ke kampung halaman dan tidak pernah kembali lagi bekerja di perusahaan minyak asing. Ayahnya kemudian bekerja sebagai penarik bendi.

Pada tahun 1933 M. Muhammad Syafi‟i tinggal bersama kakek Husin di Batutulis XIII,Pecenongan. Syafi‟i mulai diajak oleh kakeknya untuk mengaji dan membaca ditempat kakeknya mengajar. Kakeknya juga selalu mengajak Syafi‟i kecil untuk salat berjamaah. Syafi‟i kecil juga belajar mengaji kepada teman-leman kakeknya, seperti Kyai Abdul Fatah dan Bapak Sholihin selaku pengajar ngaji di tempat kakeknya mengajar. Hingga saat ini, musala tersebut diberi nama Raudhatus Sholihin. Selama masa hidupnya, KH. M. Syafi`i pernah menjabat sebagai Ketua Umum MUI DKI Jakarta selama dua periode dan rajin mengeluarkan fatwa. KH. M. Syafi`i merupakan sebagian kecil dari ulama yang cukup produktif menulis di bidang qira`at, ushul fiqih, dan fiqih dimana karya-karya beliau diakui kualitasnya sampai ke negeri tetangga.nSullamul`Arsy fi Qira`at Warsy.

Risalah ini selesai disusunnya pada tanggal 24 Dzulqa`dah tahun 1376H (1956M) pada saat ia berusia 25 tahun. Risalah setebal 40 halaman ini berisi tentang kaidah-kaidah khusus pembacaan Al-Qur`an menurut Syekh Warasy yang terdiri atas satu mukadimah, sepuluh mathlab (pokok pembicaraan), dan satu khatimah (penutup). Kitab Sullam al-„Arsy fî Qira`at Warsy karya K.H. Muhammad Syafî Hadzami merupakan kitab pertama yang fokus membahas Qira`at Imam Nafi‟ Riwayat Warsy yang dihasilkan oleh ulama Indonesia dan tentunya merupakan kitab pertama yang berisi Khilâf al- Kalimah dan Farsy al-Huruf disertai keterangan kaidah-kaidah Qira`at Riwayat Warsy setelah ayat disebutkan. 

K.H. Muhammad Syafi‟i Hadzami merupakan ulama yang bukan hanya pakar dalam ilmu Fikih, tetapi juga Ilmu Qira`at, sekaligus peduli dengan kemurnian bacaan Al- Qur`an dan sangat menekankan pentingnya musyâfahah dalam mempelajari cara baca Al-Qur`an meliputi Tajwid dan ragam Qira`atnya. Sistematika kitab Sullam al-„Arsy fî Qira`at Warsy adalah menjelaskan kiadah-kaidah ushul Qira`at Riwayat Warsy, kemudian menuliskan Khilâf alKalimah dan Farsy al-Hurufnya. Kemudian ayat tersebut dikupas sisi Qira`atnya dengan menyebutkan kaidah-kaidah Qira`at Riwayat Warsy yang berhubungan dengan ayat tersebut. Jika ada kaidah yang telah disebutkan sebelumnya maka kaidah tersebut tidak disebutkan lagi. Kontribusi Sullam al „Arsy fî Qira`at Warsy memiliki dua dimensi. Yang pertama kontribusi dalam menambah khazanah keilmuan dalam bidang Qira`at khususnya Qira`at Imam Nafi‟ Riwayat Warsy yang disajikan lengkap meliputi kaidah-kaidah Qira`atnya sekaligus Khilâf alKalimah dan Farsy al-Hurufnya. Yang kedua adalah kontribusi dalam mempermudah orang untuk mempelajari dan memahami Qira`at Imam Nafi‟ Riwayat Warsy.

5. KH. Ahsin Sakho

Nama lengkap beliau adalah Ahsin Sakho Muhammad, beliau adalah seorang pakar bidang qira‟at dan ulum al-Qur‟an, lahir pada 21 Februari 1956 di Arjawinangun, Cirebon. Beliau merupakan putra dari KH. Muhammad dan Nyai Umi Salamah. Beliau merupakan seorang Kyai sekaligus akademisi yang dikenal mempunyai kepribadian santun, tenang dan ramah. Sejak kecil beliau telah menunjukkan bakatnya dibidang ilmu-ilmu Alquran. Sewaktu duduk di kelas IV SD beliau telah hafal 3 juz Alquran. Beliaumenyelesaikan pendidikan dasarnya di SD dan SMP Arjawinangun. Dasar-dasar ilmu agama beliau pelajari di pesantren milik keluarganya. Pada tahun 1970 M. Beliau melanjutkan pendidikannya di pesantren Lirboyo, Kediri, sambil belajar di SMU Kediri selama tiga tahun, di pesantren Lirboyo beliau m belajar ilmu fiqh, dan ilmu alat seperti nahwu, sharaf dan lain-lannya.[5]

Diwaktu lain beliau juga pernah mengaji tabarruk pada KH. Umar Abdul Mannan di Solo sambil menyetorkan hafalan Alqurannya, beliau mengaji dalam waktu yang singkat, tidak sampai dua bulan, akan tetapi meski singkat KH. Ahsin Sakho Muhammad sudah mendapatkan sanad dari KH. Umar. Pada tahun 1973 sampai tahun 1976 Beliau melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Selain itu Beliau juga sempat belajar kepada KH. Arwani (Kudus). Tetapi ketika baru berjalan dua bulan beliau diminta pulang oleh orang tuanya untuk mempersiapkan keberangkatan ke Haramain. Pada tahun 977 beliau mulai kuliah di Fakultas Kulliyatul Qur‟an wa Dirasah Islamiyyah, Universitas Al-Islamiyyah di Madinah. Setelah menyelesaikan jenjang kesarjanaannya beliau kemudian melanjutkan program pasca sarjananya di universitas yang sama mengambil konsentrasi Tafsir dan Ilmu Alquran dan selesai pada tahun 1987 dengan tesis berjudul Sejarah Perkembangan Ulum alQur‟an.

Selepas itu beliau melanjutkan ke jenjang doktoral, pada tahun 1989 beliau meraih gelar doktor dengan yudisium Mumtaz Syaraful Ula (summa cumlaude), dengan disertasi Tahqiq (menulis dan meneliti kembali) Kitab al-Tarqib wa al-Bayan fi ma‟rifah Syawadz al-Qur‟an, karya ash-Shafrawi. Hampir 12 tahun Beliau berada di Al-Jami‟ah Al Islamiyyah untuk menimba ilmu. Adapun riwayat perjalanan intelektual KH. Ahsin Sakho Muhammad dalam qira‟at sab‟ah adalah sebagai berikut: Talaqqi qira‟at sab‟ah surat al-Fatihah dan al-Baqarah dengan thariq syathibiyyah kepada Dr. Muhammad bin Salim Muhaisin.

Talaqqi qira‟at sab‟ah dari surat Ali Imrân sampai surat an-Nas dengan thariq Syathibiyyah kepada Dr. Abdul Rafi‟Ridwan dan Dr. Mahmud Ibnu Abdul Khaliq Jadu dan Dr. Abdul Razaq Ibnu „Ali. Talaqqi qira‟at tsalatsah (qira‟at „asyrah) dengan thariq al Durrah alMadiyyah Ibnu Jazari kepada Dr. Abdul Fattah Abdl Ghani al Qadhi. Dengan demikian, jika melihat jejak perjalanan beliau dalam mencari ilmu, maka kapasitas keilmuan dan reputasinya sebagai tokoh qira‟at di Indonesia tidak diragukan lagi karena beliau telah berguru langsung kepada tokoh-tokoh ahli qira‟at yang masyhur di era modern dan mendapatkan izin untuk mengajarkannya.

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qira’ah masuk ke Indonesia adalah melalui pedagang Persia, karena letak geografis Persia yang lebih dekat dengan kawasan Kufah sebagai tempat lahirnya qira’at Ashim, maka orang orang-orang Persia dianggap memiliki ruang lebih besar sebagai ulamaulama yang membawa qira’at Ashim riwayat Hafsh di wilayah Nusantara. Dalam khazanah qira’at di Indonesia, terdapat tokoh-tokoh ilmu qira’at kontemporer di Indonesia, misalnya adalah Syekh Mahfudz At-Tarmasi, KH. Muhammad Moenawir, KH. M. Arwani Amin Said, K.H. Muhammad Syafî Hadzami, dan KH. Ahsin Sakho.

B. Saran

Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Namun penulis tetap berharap apa yang telah ditulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Fathul Amin. “Sejarah Qira‟at Imam „Ashim di Nusantara”. Tadris (13) 1, 2019

Hussin, Hayati Binti, Abdul Rahim, dkk. Penyusunan Ilmu Qira‟at Oleh Ulama Nusantara.

Khotib, Ahmad. 2015. Eksistensi Qira’ah Sab’ah di Indonesia.

Nadhiroh, Alfi. 2020. Kontribusi K.H. M. Syafi’I Hadzami dalam Ilmu Qira’at di 

Indonesia. Skripsi.

Shofaussamawati. “Peran KH. Muhammad Arwani dalam Pengembangan Ilmu Qira’at  di Indonesia”. Hermeneutik (11) 1. 2017



[1] Fathul Amin. “Sejarah Qir’at Imam „Ashim di Nusantara”. Tadris (13) 1, 2019

[2] Hussin, Hayati Binti, Abdul Rahim, dkk. Penyusunan Ilmu Qira‟at Oleh Ulama Nusantara.

[3] Khotib, Ahmad. 2015. Eksistensi Qira’ah Sab’ah di Indonesia.

[4] Nadhiroh, Alfi. 2020. Kontribusi K.H. M. Syafi’I Hadzami dalam Ilmu Qira’at di Indonesia. Skripsi.

[5] Shofaussamawati. “Peran KH. Muhammad Arwani dalam Pengembangan Ilmu Qira’at di Indonesia”. Hermeneutik (11) 1. 2017

Posting Komentar

0 Komentar