TIPOLOGI PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

 


Pembahasan

Kata tipologi terdiri atas type yaitu berasal dari kata typos (bahasa Yunani), yang bermakna impresi, gambaran, bentuk, jenis atau karakter suatu objek sedangkan logy adalah ilmu yang mempelajari tentang sesuatu, Sehingga tipologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang impresi, gambaran, bentuk, jenis atau karakter dari suatu objek.[1]

Pemikiran Islam kontemporer secara morfologi kata pemikiran adalah kata jadian yang berakar dari kata “pikir” yang berarti pendayagunaan akal untuk mempertimbangkan dan atau memperhatikan. Kata kontemporer secara leksikal berarti pada masa atau semasa/sezaman atau pada waktu yang sama.[2] Pemikiran Islam kontemporer umumnya ditandai dengan lahirnya suatu kesadaran baru atas keberadaan tradisi di satu sisi dan keberadaan modernitas di sisi yang lain, serta bagaimana sebaiknya membaca keduanya.[3]

Jika disiplin ilmu Islam umumnya yang kita kenal bersifat normatif, seperti mengkaji fiqih, ilmu kalam, ilmu mantik, tasawuf. Maka pada disiplin ilmu Islam kontemporer tidak hanya konsen terhadap hal tersebut, akan tetapi lebih kepada menghadapi problematika yang lebih global, seperti permasalahan feminisme, gender, pluralisme, politik. 

Contoh dari seorang pemikir Islam kontemporer Fazlur Rahman yang berpendapat tentang hukum potong tangan bagi pencuri, di era modern, memotong tangan selain dari hukum

Islam  adalah melanggar hak asasi manusia. Maka dari itu telah terjadi pergeseran makna dari memotong tangan dengan hukum yang lain yang secara substansi hampir sama dengan hukum memotong tangan. Jika memotong tangan bertujuan untuk memutus kemampuan mencuri maka bisa diganti dengan penjara atau denda yang besar. Kesimpulannya jika menggunakan metode Fazlur Rahman maka bisa dikatakan bahwa hukuman potong tangan bisa diganti dengan hukukman lain seperti penjara atau denda, yang menjadi ide moral adanya hukum ini adalah agar si pencuri jera dan memutus kekuatan untuk mencuri. Karena jika ditinjau dari sio-historis, keadaan Arab pada zaman nabi sangat jauh berbeda dengan keadaan zaman sekarang.

 Dalam buku Tipologi Pemikiran Islam karya A. Khudhori soleh M.Ag menyatakan bahwa terdapat 5 tren besar dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer :

1.      Fundamentalistik

Kelompok pemikir yang sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai satusatunya alternatif bagi kebangkitan umat dan manusia. Mereka ini dikenal sangat commited dengan aspek religius budaya Islam. Mereka menganggap Islam telah cukup, mencangkup tatanan sosial, politik, ekonomi sehingga tidak butuh metode maupun teori-teori dari Barat. Hal utama yang mereka lakukan adalah menghidupkan Islam kepada sumber asli yaitu AlQur’an dan Sunah dalam kehidupan modern. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan tersebut, antara lain, Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, al-Maududi, Said Hawa, Anwar Jundi dan Ziauddin Sardar, juga tokoh seperti Abu Bakar Ba`asyir, Ja`far Umar Thalib, Habib Habsyi, di tanah air. 

Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam iala pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam. Literalisme kaum ini tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional dan intelektual.[4]

 

2.      Tradisionalistik (salaf)

Kelompok pemikiran ini yang berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi kelompok ini, seluruh persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama pendahulu, sehingga tugas kita sekarang hanya menyatakan kembali apa yang pernah dikerjakan mereka, atau paling banter menganalogkan pada pendapatpendapatnya.

 Namun demikian, berbeda dengan kaum fundamental yang sama sekali menolak modernitas dan membatasi tradisi hanya pada khulafa’ al-rasyidin yang empat, kelompok tradisional justru melebarkan tradisi sampai pada seluruh salaf al-shalih dan tidak menolak pencapaikan modernitas, karena apa yang dihasilkan oleh modernitas, sains dan teknologi, bagi mereka, tidak lebih dari apa yang pernah dicapai umat Islam pada masa kejayaan dahulu. Sedemikian, sehingga mereka masih mau “mengadopsi” peradaban luar, tapi dengan syarat bahwa semua itu harus diislamkan lebih dahulu. Karena itu, garapan mereka khususnya dikalangan sarjananya adalah islamisasi segala aspek kehidupan. Mulai dari masalah etika sampai ilmu pengetahuan dan landasan epistemologinya yang akan diserap harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan umat Islam adalah islami. 

 

3.      Refotmistik

Kelompok pemikiran ini yang berusaha merekontruk ulang warisan-warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Menurut kelompok ini, umat Islam sesungguhnya telah mempunyai budaya dan tradisi yang bagus dan mapan. Namun, tradisitradisi tersebut harus dibangun kembali secara baru dengan karangka modern dan prasyarat rasional agar bisa tetap survaif dan diterima dalam kehidupan modern. 

Karena itu, kelompok ini berbeda dengan kalangan tradisional yang tetap menjaga dan melanggengkan tradisi masa lalu seperti apa adanya. Kecenderungan pemikiran ini, antara lain, dapat dijumpai pada pemikirpemikir reformis seperti Hasan Hanafi, Asghar Engineer, Bint al-Syathi, Amina Wadud, M. Imarah, M. Khalafallah dan Hasan Nawab.

 

4.      Post-tradisionalistik

Kelompok pemikiran ini yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Kelompok ini, pada satu segi, tidak berbeda dengan kelompok kedua, reformistik, yaitu bahwa keduanya sama-sama mengakui bahwa warisan tradisi Islam sendiri tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan difahami sesuai standar modernitas. Namun, bagi post-tradisionalistik, relevansi tradisi Islam tersebut tidak cukup dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif melainkan harus lebih dari itu, yakni dekonstruktif. Inilah perbedaan utama diantara keduanya. Bagi kaum post-tra, seluruh bangunan pemikiran Islam klasik harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisa terhadapnya. Tujuannya, agar segala yang dianggap absolut berubah menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi histories.

 

5.      Modernistik

Kelompok pemikiran ini yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis. Menurut kelompok ini, agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman, sehingga ia harus dibuang dan ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal-soal kemasyarakatan dan keagamaan, penolakan terhadap sikap jumui (kebekuan berfikir) dan taqlid. Yang masuk dalam kelompok ini umumnya adalah para tokoh muslim yang banyak mengkaji dan dipengaruhi pemikiran Maxisme (aspek intelektualitasnya dan bukan idiologinya), seperti Kassim Ahmad, Thayyib Tayzini, Abd Allah Arwi, Fuad Zakaria, Zaki Nadjib Mahmud, dan Qunstantine Zurayq.[5]

 

Daftar Pustaka

Hasri, “ Studi Kritis Pemikiran Pemikir Islam Kontemporer”, Journal od Islamic Education Management, ( Vol. 1 No. 1, hlm 38 )

Ibrahim, “Pemikiraan Islam Kontemporer ( Studi Kritis terhadap Pemikiran Harun Nasution), Jurnal Aqidah, (Vol.2 No.2 , 2016)

Muslih, Mohammad, “Pemikiran Islam Kontemporer antara Mode Pemikiran dan Model

Bacaan”, Program Pascasarjana ISID Gontor (Vol. 8, No. 2, Oktober 2012)

Soleh, A.Khudori, Tipologi Pemikiran Islam Kontemorer, (Yogyakarta: Jendela, 2003)

Suharjanto, Gatot, “Keterkaitan Tipologi dengan Fungsi dan Bentuk : Studi Kasus Bangunan Masjid”, ComTech, (Vol.4 No. 2 Desember 2013)

 

 



[1] Gatot Suharjanto, “Keterkaitan Tipologi dengan Fungsi dan Bentuk : Studi Kasus Bangunan Masjid”, ComTech, (Vol.4 No. 2 Desember 2013).

[2] Ibrahim, “Pemikiraan Islam Kontemporer ( Studi Kritis terhadap Pemikiran Harun Nasution), Jurnal Aqidah, (Vol.2 No.2 , 2016).

[3] Mohammad Muslih, “Pemikiran Islam Kontemporer antara Mode Pemikiran dan Model Bacaan”, Program Pascasarjana ISID Gontor (Vol. 8, No. 2, Oktober 2012).

[4] Hasri, “ Studi Kritis Pemikiran Pemikir Islam Kontemporer”, Journal od Islamic Education Management, ( Vol. 1 No. 1, hlm 38 ).

[5] A.Khudori Soleh, Tipologi Pemikiran Islam Kontemorer, (Yogyakarta: Jendela, 2003).

Posting Komentar

0 Komentar