PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Ajaran moral itu yang menjadi landasan hidup manusia di dunia. Al-Qur’an juga menjadi suatu fundamen yang kokoh, kuat dan tak berubah bagi semua prinsipprinsip dasar yang diperlukan manusia.
Al-Qur’an tidak mengkhususkan pembicaraannya hanya kepada suatu bangsa seperti bangsa Arab saja, ataupun suatu kelompok seperti kaum muslimin saja, melainkan kepada seluruh umat manusia.Penafsiran Al-Qur’an adalah suatu hasil
karya yang dihasilkan oleh manusia melalui ilmu-ilmu terkait yang membahas
tentang hal ihwal Al-Qur’an, dari segi indikasi akan apa yang dimaksud oleh
Allah. Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dirumuskan oleh para ulama,
maka tafsir adalah ‚suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia
untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Perjalanan ilmu tafsir itu sendiri telah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri yang mempunyai otoritas penafsiran Al-Qur’an. Selanjutnya, sepeninggal Nabi penafsiran dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, ulama, dan para pemikir Islam lainnya. Dari perjalanan tafsir di atas ini menunjukan bahwa ketidakberhentiannya terus berlanjut, termasuk di dalamnya respon para mufassir tentang prinsip-prinsip berpolitik dalam Al-Quran.
PEMBAHASAN
PENGERTIAN POLITIK
Kata politik berasalah dari bahasa
Yunani “polis” yang artinya negarakota. Negara kota yang ada pada zaman
kejayaan bangsa Yunani, orang saling berinteraksi antara satu sama lain untuk
mencapai tahap kesejahteraan dalam menjalani roda kehidupan. Sebab itu, manusia
mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha
untuk meraih kesejahteraan pribadi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada
dalam masyarakat maupun sekitarnya. Atau mereka akan mencoba mempengaruhi orang
lain agar menerima pendapar atau pandangannya, maka mereka akan sibuk serta
mengikuti suatu kegiaatan yang kita namai sebagai Politik[1]
Kata politik berasal dari kata Politic
(Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata
asal tersebut berarti acting or judging
wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus
dan Bahasa Yunani (Greek) politicos
yang berarti relating to a citizen.
Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city
‚"kota"[2].
Politic
kemudian dipahami dalam Bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: (1) Segala
urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain. (2) Tipu muslihat atau
kelicikan. (3) Nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politi. Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai ‚segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain. Juga dalam arti kebijakan, cara bertindak dalam
menghadapi atau menangani satu masalah. Istilah, ‚politik pertama kali dikenal
melalui buku Plato yang berjudul Politeia yang juga dikenal dengan Republik.
Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul Politiea. Kedua karya ini dipandang
sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut
dapat diketahui bahwa, politik merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep
pengaturan masyarakat, sebab yang dibahas dalam buku tersebut adalah soal-soal
yang berkenaan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud
sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik dan benar. Dengan
demikian, dalam konsep tersebut terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang
menjalankan aktivitas pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang
berkepentingan, kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan
masyarakat, dan cita-cita yang hendak dicapai.
Dalam pandangan para pemikir Islam
kontemporer, ilmu politik modern tidaklah universal, dan bisa dikatakan
bersifat spesifik. Hal ini karena dalam pemikirannya tidak memikirkan masalah
etis fundamental terutama moral agama. Yang lebih ironis lagi, ketika
memperhatikan kontribusi pemikiran dan artikulasi para penulis Islam pada teori
politik Islam. Kebanyakan karya-karya kontemporer yang ditulis oleh para
penulis Islam berbentuk doktrin politik, bukan teori politik, ataupun falsafah
politik. Pemahaman mengenai politik tersebut merupakan sebuah upaya untuk
mempengaruhi orang lain agar menerima padangan atau pendapatnya, maka mereka
akan sibuk dan mengikuti segala permintaan yang mempengaruhinya untuk
kepentingan-kepentingan tertentu.
BIOGRAFI, KARYA, dan TAFSIR AYAT PERSPEKTIF
NADIRSYAH HOSEN
1. Biografi Nadirsyah Husain
Di Australia dan New Zaeland, Nadirsyah
Husain adalah seorang Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) NU (Nahdlatul
Ulama’). Ia lahir pada tanggal 8 Desember 1973 di
Negara Indonesia. Sejak S-1, S-2, hingga S-3 Nadirsyah
Husain menempuh pendidikan formal dalam dua bidang yang berbeda, yaitu pada
bidang Ilmu Syariah dan Ilmu Hukum. Pemegang dua gelar Ph.D ini memilih umtuk
berkiprah di Australia, hingga meraih posisi Associate Professor di Fakultas Hukum University of Wollong. Namun
pada akhirnya pada 2015 ia pindah ke Monash University karena “dibajak”. Monash
Law School adalah salah satu Fakultas Hukum terbaik di dunia. Disana beliau
mengajar Hukum Tata Negara Australia, Pengantar Hukum Islam, dan Hukum Asia
Tenggara.
Warga NU biasa menyapa Nadirsyah Husain
dengan sebutan Gus Nadir. Beliau adalah putra bungsu dari seorang ulama besar
ahli fiqih dan fatwa yang bernama almarhum Prof. K.H. Ibrahim Husain. Prof.
K.H. Ibrahim Husain juga merupakan pendiri dan rekor pertama PTIQ atau
Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), serta pada
tahun 19802000 beliau menjadi ketua MUI/Ketua Komisi Fatwa.
Gus Nadir pernah berguru kepada
almarhum K.H Makki Rafi’I untuk belajar ilmu pada bidang tafsir, fiqih, dan
ushul fiqih. Beliau juga pernah berguru kepada Prof. Dr. K.H Ali Mustafa
Ya’qub, Kyai Makki dan Kyai Ali Mustafa untuk belajar bahasa Arab dan ilmu
hadits, mereka merupakan alumni dari pesantren Tebuireng, maka sanad dari Gus
Nadir menyambung sampai Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Ketika Gus Nadir
melakukan Sabbatical Leave dari
kampus tempat dia bekerja padatahun 2012, beliau memilih meneruskar studynya di
Mesir dan menyempatkan waktunya untuk berziarah ke makam para awliya.
Latar belakang pendidikan formal dan
nonformal Gus Nadir menjadikannya ahli dalam berbagai hal yaitu pada kajian
klasik-modern, hukum islam, dan hukum umum. Beliau juga pernah menjadi dosen
dikampus kelas dunia dan pada saat itu juga beliau ikut mengasuh Ma’had Aly
Pesantren Raudhatul Muhibbin di Caringin, Bogor. Selain itu beliau juga sering
diundang sebagai pembicara di berbagai acara seminar internasional dan beliau
juga rutin mengurusi majlis khataman Al-Qur’an setiap bulannya. Maka dari itu
tak heran lagi jika beliau menjadi orang Indonesia pertama dan bahkan
satu-satunya yang diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum, Australia.[3]
2. Karya-Karya Nadirsyah Husain
Berikut karya dari Nadirsyah Husain dan
ada beberapa karyanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, antara lain:
1. Mari Bicara Iman.
(Zaman, Jakarta)
2. Ashabul Kahfi Melek 3
Abad: Ketika Neurosains dan Kalbu Menjelajah AlQur’an. (Naura Book
Publishing)
3. Islam Q dan A: Dari Hukum
Makanan Tanpa Label Halal Hingga Memilih
Madzhab yang Cocok. (Naura Book, Jakarta)
4. Tafsir Al-Qur’an di
Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci di Era Media Sosial. (Mizan,
Jakarta)
5. “Human Rights, Politics
and Corruption in Indonesia: A Critical Reflection on the post Soeharto Era”,
(Republic of Letters Publishing, Dordrecht, The Netherlands, 2010)
6. “Shart’a and Constituonal
Reform in Indonesia” (Institute of Southeast Asian Student, Singapore,
2007)
7. Bersama Ann Black and Hosein Esmaili yang berjudul “Modern Perspectives on Islamic Law”
(Edward Elgar, Uk, 2013 dan 2015).
8. Mengedit bersama Joseph Liow 4 jilid buku tebal “Islam in Southeas Asia”, 4 volumes,
(Routlege, London, 2010)
9. Mengedit bersama Richard Mohr buku “Law and Religion in Public Life: The Contemporary Debate”
(Rouutlege, London, 2011 dan 2013).
3. Tafsir ayat Perspektif Nadirsyah Husain
Pertama, mengenai
penafsiran kata “Awliya” dalam surah
Al-Maidah ayat 51, yang berbunyi :
يٰآٰيَهَُّا الَّذِيْنَ اٰمَنوُْا لََ
تتَخَِّذوُا الْيهَُوْدَ وَالنصَّٰرٰٰٓى اوَْلِياَۤءَ ۘ بعَْضُهُمْ اوَْلِياَۤءُ
بعَْ ٍۗض وَ مَنْ يتَّوََلهَُّمْ ِّمِنْكُمْ فاَِنهَّٗ
مِنْهُمْ ٍۗ انَِّ اللَّّٰٰ لََ يهَْدِى
الْقوَْمَ الظّٰلِمِ يْنَ
“Hai orang-orang bariman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya-mu, sebagian mereka
adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi awliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang zalim.”
Kata awliya' dalam Surat Al-Maidah ayat
51, yang dijadikan alasan pelarangan pengangkatan pemimpin non-Muslim perlu
ditelaah kembali. Mereka yang membantah hal ini bersandar pada terjemahan
Kementerian Agama, yang menafsirkan kata awliya' sebagai pemimpin. Merujuk pada
penjelasan Asbabun Nuzul Tafsir Ibnu Katsir, Nadirsyah Husain menemukan bahwa
kata awliya tidak berarti pemimpin. Namun, sebagai teman sejawat, beraliansi
dan bersekutu dengan non muslim. Penjelasan tafsir Ibnu Katsir ayat 51 Asbabun
Nuzul Surat Al-Maidah sebagai berikut:
“Para ulama berbeda pendapat dalam
menafsirkan sebab-sebab munculnya ayat-ayat yang agung ini. As-Saddi
menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan tentang dua orang laki-laki. Salah satu
dari mereka berkata kepada yang lain setelah perang Uhud: 'Saya pasti akan
pergi ke Yahudi ini, kemudian berlindung padanya dan masuk agama Yahudi
bersamanya, mungkin saya akan berguna jika sesuatu terjadi atau sesuatu'.
Sedangkan yang lainnya berkata: “Aku akan mendatangi orang yang beragama
Nasrani di negeri Syam, kemudian berlindung padanya dan masuk Nasrani
bersamanya.” Maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut.”
Di sisi lain, Nadirsyah Hosen mengutip
pendapat Ibnu Taimiyah yang pada dasarnya mengatakan bahwa semangat Islam
adalah keadilan sedangkan lawannya adalah kezaliman. Jika ada orang yang bisa
berlaku adil meski bukan dari kelompok Islam, kita harus tetap mendukungnya.
Sedangkan jika ada orang yang zalim dan berbuat zalim, meskipun dia dari
golongan muslim, jangan dukung dia. Karena Allah tidak menolong hamba-hambanya
yang berbuat zalim, sekalipun mereka muslim.
Kedua,
penjelasan tentang surah An-Nisa ayat 108 yang dikaitkan dengan KPU (Komisi
Pemilihan Umum), yang berbunyi :
يَّسْتخَْفوُْنَ مِنَ
الناَّسِ وَلََ يَسْتخَْفوُْنَ مِنَ اللِّّٰٰ وَهُوَ مَعَهُمْ اذِْ يبُ
ِّيَتِوُْنَ مَا لََ يَرْضٰى مِنَ الْقوَْلِ ٍۗ
وَكَانَ اللُّّٰٰ بِمَا يعَْمَلوُْنَ مُحِيْطًا
Artinya :
“Mereka dapat
bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah.
Karena Allah beserta mereka ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan
rahasia yang tidak di ridhai Nya. Dan Allah Maha meliputi terhadap apa yang
mereka kerjakan”.
Ayat-ayat ini adalah karena konspirasi
yang dilakukan oleh Thu'mah dan kaumnya terhadap Yahudi Zaid bin Samin. Thu'mah
mempercayakan perisai pamannya kepada Zaid bin Samin. Namun ketika paman
Thu'mah (Qatadah) kehilangan tamengnya, Thu'mah malah menuding Zaid bin Salman
lah yang mencuri tamengnya.
Karena pihak yang memiliki urusan
tersebut adalah seorang Muslim melawan Zaid bin Salman yang seorang Yahudi,
maka masyarakat Thu'mah berbondong-bondong mendukung Thu'mah dalam urusan Zaid
bin Salman. Dan mereka berencana untuk mendukung Thu'mah dalam kasusnya dengan
Zaid bin Salman mengadu kepada Nabi Muhammad. Atas dorongan dan penjelasan dari
Thu'mah dan orang-orangnya, dia hampir menyelesaikan pekerjaan ini. Namun, ayat
itu mengungkap konspirasi Thu'mah dan kaumnya melawan Zaid bin Salman yang
tidak bersalah.
Jelas bahwa ayat ini mengacu pada
pembelaan Al-Qur'an terhadap Zaid bin Salman, seorang Yahudi yang tidak
bersalah (yang dituduh mencuri) tetapi dijebak oleh konspirasi jahat Thu'mah
dan penduduk Muslimnya. Jadi ayat di atas tidak ada sangkut pautnya dengan
konteks keputusan pencoblosan yang dipublikasikan tengah malam saat Pemilu
2019. Nadirsyah Hosen juga menegaskan, tidak boleh asal menyalin ayat Alquran
untuk memuaskan nafsunya dalam berpolitik.
TAFSIR POLITIK NADIRSYAH HOSEN KONTEKS
KEINDONESIAAN A. Metodologi Tafsir Politik Nadirsyah Hosen
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an,
mufassir biasanya menggunakan metodologi tertentu sesuai dengan konteks sosial.
Pemilihan metode dalam bidang tafsir tergantung pada kecenderungan dan cara
pandang mufassir sesuai dengan keadaan lingkungan sosialnya dan juga tergantung
pada latar belakang pendidikan mufassir itu sendiri.
1. Sistematika Tafsir Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosen, sebagai mufassir
kontemporer, menggunakan metode tertentu dalam karya tafsirnya yang sesuai
dengan konteks sosial dan keilmuannya. Maka dapat diklasifikasikan bahwa
sistematika penyusunan tafsir pada akun media sosial dan buku tafsir media
sosial Nadirsyah Hosen adalah sistem Tartib Maudhu'i. Sebagai kerangka metode
Maudhu'i'i, Nadirsyah Hosen mengumpulkan beberapa ayat yang berkaitan dengan
tafsirnya, memahami konteks turunnya ayat tersebut, dan memahami perbedaan yang
paling masuk akal antara satu ayat dengan ayat lainnya.
2. Sumber Penafsiran
Beliau mengambil beberapa sumber
sebagai model dan sebagai dasar interpretasi sebuah kalimat dari Alquran.
Tafsir Nadirsyah juga ada di jejaring sosial dari bukunya “Tafsir AlQur’an di
Medsos”. Dari Al-Qur'an, Hadis, Sahabat dan Tabi'in dan Ulama Tafsir klasik
sebelumnya. Seperti ayat atau hadits yang berhubungan Politik seperti An-Nisa
ayat 59, AlMaidah ayat 51 dan seterusnya. Dan dia mengambil referensi dari
berbagai tafsir Ulama seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah, Al-Qurthubi,
Al-Munir, Sayyid Tanthawi dll.[4]
3. Metode Penafsiran
Nadirsyah Hosen menafsirkan ayat-ayat
politik menggunakan metode tematik dan bercorak Adabi-Ijtima'i. Terkait cara
ini, Nadirsyah ikut campur tafsir Al-Qur’an tidak berasal dari koridor Ulum
Al-Qur’an. Koridor terdiri dari:
1.
Menjelaskan dan
mengeluarkan makna ayat dengan Al-Qur’an, hadist Nabi, sahabat dan
tabi’in.
2.
Menjelaskan konteks
turunnya ayat dan sirah nabawiyah serta tarikh khulafaur rasyidin (sejarah para
khalifah).
3.
Menjelaskan korelasi serta
muhasabah antar ayat.
4.
Menjelaskan alasan/dasar
hukum (‘Illat).
5.
Menjelaskan makna ayat
secara tematik.
6.
Mengutip beberapa pendapat
dari berbagai kitab klasik maupun kontemporer.
7.
Memberikan ikhtisar
(catatan singkat) setiap diakhir penjelasan.
Penjelasan Ulum ayat Al-Qur’an dari
Tafsir Nadirsyah di atas dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan prosedur
tafsir maudhu'i sering dianggap oleh masyarakat umum terbatas pada aspek teks
Al-Qur'an. Namun, dia tidak melakukannya menggunakan metode hermeneutik secara
eksplisit dalam penafsiran ayat politik ini sehingga Anda tidak perlu
mengisolasi teks konteks sekitarnya bahkan memicu kemunculannya. Kendala
metodologi lebih baik Menambahkan pisau analitik ke interpretasi, interpretasi
dan perlakuan terhadap teks dalam bentuk hermeneutika.[5]
Kaitan antara interpretasi dan
hermeneutika (secara umum) memunculkan makna ayat tersebut sesuai dengan
konteks sosial, teologis dan politik. Seperti penafsiran surah Al-Maidah ayat
51 yang berbunyi:
يٰٰٓاايَُّهَا الذَِّيْنَ اٰمَنوُْا لََ تتَخَِّذوُا
الْيَهُوْدَ وَالنصَّٰرٰٰٓى اوَْلِياَۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اوَْلِياَۤءُ بَعْ ٍۗض وَ
مَنْ
يتَّوََلَّهُمْ ِّمِنْكُمْ
فاَِنهَّٗ مِنْهُمْ ٍۗ انَِّ اللَّّٰٰ لََ يَهْدِى الْقوَْمَ الظّٰلِمِيْنَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu);
mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang
menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.
Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.[6]
Nadirsyah Hosen
dalam menafsirkan ayat tersebut juga menggunakan ayat lain untuk menemukan dan
memunculkan makna dari surah Al-Maidah ayat 51 tersebut. Ia mengutip dari
pendapat Ibnu Katsir yang memberi penjelasan bahwa adanya larangan meminta
perlindungan, bersekutu dengan orang-orang kafir. Untuk lebih memahamkan
penjelasan ayat tersebut, Nadirsyah Hosen juga menambahkan dengan ayat lain
berupa surah An-Nisa ayat 144 yang berbunyi :
يٰآٰيَُّهَا الذَِّيْنَ اٰمَنوُْا لََ
تتَخَِّذوُا الْكٰفِرِيْنَ اوَْلِياَۤءَ مِنْ دوُْنِ الْمُؤْمِنيِْنَ ۚ اتَرُِيْدوُْنَ انَْ تجَْعَلوُْا لِِلِّّٰ
عَليَْكُمْ سُلْطٰناً
مُّبيِْناً
Artinya : “Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orangorang kafir sebagai
pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang
jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?”.
Ketika ayat ini
muncul, dia menjelaskannya tafsir surah An-Nisa ayat 144 mengacu pada larangan mengambil
muslim sebagai awliya (sekutu, teman dekat). Nadirsyah Hosen mencoba
menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 mengambil ayat 144 surat An-Nisa pendapat
tentang tafsir Ibnu Katsir menjelaskan apa mitra atau teman dekat berarti
sekutu dan untuk berteman dengan orang-orang Muslim yang berangkat. Apa konteks
ayat tersebut itu jatuh ketika umat Islam menderita kekalahan yang mendalam
Perang Uhud Jadi beberapa tertarik untuk bersama baik Yahudi maupun Nasrani.[7]
Sebaliknya, ketika
menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 beliau juga menambahkan pendapat beberapa
ulama yang mumpuni dalam bidang tafsir.Pendapat ini untuk mengkonfirmasi
interpretasi Nadirsyah Hosen tentang ayat tersebut. Ada beberapa pendapat
tentang ahli tafsir sebagai sumber antara lain:
Tafsir Al-Baidhawi
“Jangan bergantung kepada mereka dan berakrab-akrab dengan
intim”.[8]
Tafsir fi Zilalil Qur’an
“Ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu makna Allah
melarang orang-orang yang beriman melakukan ini antara mereka, Yahudi dan
Nasrani. Sesungguhnya yang dimaksud dengan kata ini adalah saling menolong dan
memberikan loyalitas (kesetiaan) kepada mereka”.9
Tafsir Al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas
“Menjadikan mereka awliya’ dalam hal meminta pertolongan
dan bantuan”. [9]
Selain dari pendapat
beberapa ulama tafsir yang memberikan penjelasan lebih jelas dan lugas, bahkan
beliau menjelaskan kronologi sirah nabawiyah dan sejarah penerapan ayatayat
pada masa Khulafaur Rasyidin. Hubungan sejarah masa Khulafaur Rashidin sangat membantu
pemahaman bagi umat Islam secara rinci. Mengapa beliau mengambil sumber tarikh
Khulafur Rasyidin disini?. Karena menurut Nadirsyah Hosen, Khulafaur Rasyidin
(Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin 'Affan dan Ali bin Abi Thalib) adalah
orang-orang yang paling dekat dengan Nabi Muhammad. Sehingga dalam memahami
makna ayat teks dan dalam konteksnya mereka tidak diragukan lagi sudah pasti
benar.[10]
Sejarah Khulafaur
Rasyidin dalam ayat ini jatuh pada masa khalifah kedua adalah
Umar bin Khathab. Kemudian khalifah Umar meminta laporan
berkala kepada Abu Musa AlAsy'ar, yang menjabat sebagai Gubernur Basra, Irak.
Dikisahkan bahwa Abu Musa mengangkat seorang Nasrani sebagai katib
(sekretaris). Seorang sekretaris anonim bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa
sebagai gubernur. Abu Musa membawa sekretarisnya ke kota Madinah untuk bertemu
kepada Khalifah Umar. Dia sangat terkejut dengan hasil pekerjaan sekretaris Abu
Musa sampai dia menyuruhnya masuk dan membacakan laporan yang dibuatnya. Akan
tetapi
Abu Musa mengatakan kepada Umar “tidak bisa orang ini masuk
ke masjid Nabawi” Umar pun bertanya kepada Abu Musa “mengapa? Apakah dia sedang
junub?”. “bukan, dia Nasrani” jawab Abu Musa. Umar langsung membentak dan
menepuk paha Abu Musa serta mengatakan “Usir dia!”. Kemudian beliau membacakan
surah Al Maidah ayat 51. Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh kitab ;
Tafsir Ar-Razi, Tafsir Bahrul Muhith, Al-Lubab fi Ulumul Kitab dan
Tafsir Al Naisaburi ada kelanjutan dialog; Abu Musa berkata
“tidak akan sempurna urusan yang ada di Basrah, kecuali dibantu orang ini”.
Umar yang sudah murka menjawab dengan singkat “Mati sajalah orang itu,
Wassalam”.12
Hubungan antara
konteks kemarahan Khalifah Umar dengan surah Al-Maidah ayat 51 adalah jawaban
dari ketergantungan Abu Musa terhadap orang non muslim untuk posisi yang sangat
baik dan strategis yaitu penguasa baitul mal yang bertugas mencatat keuangan
seperti zakat, dan jizyah (pajak) di Baitul mal. Ketergantungan Abu Musa ini
tampak ketika Abu Musa yang tidak bisa menjelaskan catatan pengeluaran yang
dibuat oleh sekretarisnya tetapi memerintahkan sekretarisnya untuk
mendampinginya.
Dan Nadirsyah Hosen
pun menjelaskan soal ‘illat larangan Umar bin Khathab dalam kasus Abu Musa yang
ketergantungan pada bawahan yang diberi posisi strategis tentang catatan
zakat-jizyah yang masuk/keluar dan potensi kebocorannya rahasia negara yang
sedang memperluas daerah dakwah.
Terakhir, beliau juga mengungkapkan pendapat catatan singkat di akhir
interpretasinya, seperti yang disebutkan penulis Al-Asas fi Tafsir Al-Qur'an bahwa
syarat dan konteks khalifah Umar bin Khathab saat itu berbeda dengan keadaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia hari ini. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa
bangsa ini memiliki kesulitan yang sama seperti pada masa Khalifah Umar.
4. Corak Penafsiran
Melihat hasil
penafsiran Nadirsyah Hosen tentang ayat politik yang beredar di media sosial,
cenderung dimaknai yang mengarah ke topik pemecahan masalah umat. Jadi
interpretasi penafsiran Nadirsyah Hosen dapat diklasifikasikan dalam corak
Adabi Ijtima'i, yaitu corak penafsiran yang menggunakan makna dari sudut
pandang kontekstual sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan
pemahaman Nadirsyah Hosen terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan
politik, beliau mencoba memahami dan menekankan masalah terutama di bidang
politik di masyarakat. Nadirsyah Hosen mencobanya menunjukkan pemahaman tentang
pentingnya komunitas sortir atau pilah-pilih semua informasi, terutama di media
sosial terkait dengan politisasi tafsir. Beliau mencoba menafsirkan ulang dan
mengoreksi makna tafsir ayatayat politik di jejaring sosial. Sehingga Al-Qur'an
dapat dihayati sebagai pedoman hidup yang dinamis bukan anarkis.[11]
B. Kriteria Pemimpin Perspektik Nadirsyah
Hosen
Kata kepemimpinan
merupakan kata yang tidak asing lagi bagi kita. Kepemimpinan itu sendiri sering
dikaitkan dengan isu-isu politik. Dalam Islam sendiri kata kepemimpinan disebut
ulil amri. Seringkali menggunakan istilah tersebut dalam percakapan sehari-hari
di masyarakat. Hampir seluruh masyarakat muslim Indonesia mengetahui dan
memiliki pandangan yang berbeda tentang makna tersebut.
Kriteria pemimpin dalam konteks
ke-indonesiaan, beliau Nadirsyah Hosen mempunyai pandangan tersendiri mengenai
kepemimpinan di Indonesia.14 Mengambil dari beberapa pendapat
mufassir yang merujuk Q.S An-Nisa’ ayat 59, yang berbunyi:
يٰٰٓايَُّهَا الذَِّيْنَ اٰمَنوُْٰٓا اطَِيْعوُا
اللَّّٰٰ وَاطَِيْعوُا الرَّ سُوْلَ
وَاوُلِى الَْ مَْرِ مِنْكُمْۚ فاَِنْ
تنَاَزَعْتمُْ فيِْ شَيْ ء فَرُدوُّْهُ اِلىَ اللِّّٰٰ وَالرَّسُوْلِ انِْ
كُنْتمُْ تؤُْمِنوُْنَ بِ الِلِّّٰ وَ
الْيوَْمِ الَْٰ خِ ٍۗرِ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّ احَْسَنُ تأَوِْيْلًً
ࣖ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah
Allah dan Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian, jika mau berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an), dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”15
Dijelaskan dalam
Kitab Tafsir Tabari Arti ulil amri dalam ayat tersebut adalah Ahlul ilmī Wal
fiqh (Mereka yang ahli ilmu dan pengetahuan akan fiqih). Beberapa ulama lainnya
mengatakan bahwa kata ulil amri adalah sahabat Rasulullah. Yang lain juga
mengatakan bahwa ulil amri sendiri berarti Abu Bakar dan Umar. Imam al-Mawardi
menyebutkan ada empat makna dalam kitab tafsirnya arti ulil amri dalam Q.S
An-Nisa ayat 59. Pertama-tama ulil amri berarti umarā (pemimpin yang artinya
adalah pemimpin urusan dunia). kedua, ulil amri berarti peneliti dan para
fuqaha'. Ketiga, pendapat dari mujahid yang mengatakan makna ulil amri adalah
sahabat-sahabat Rasulullah. Pendapat yang keempat, berasal dari Ikrimah yang
lebih menyempitkan makna ulil amri hanya pada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar
dan Umar.[12]
Nadirsyah Hosen
mengatakan dalam memaknai ulil amri dalam ayat tersebut memang beragam dan
tergantung konteks seorang mufasir dalam menafsirkan ayat tersebut. Namun,
beliau lenih menekankan pada kata “taat” di ayat tersebut. Kata taat ulil amri
menurut beliau tidak dapat disamakan dengan taat kita kepada Allah dan
Rasul-Nya. Artinya taat ulil amri berhubungan dengan cara kepemimpinannya,
apabila kepemimpinannya bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka
sangat tidak dibenarkan untuk patuh pada mereka.17
Nadirsyah Hosen
mengutip 3 tokoh ulama besar mengenai syarat/ketentuan menjadi seorang pemimpin
yg baik bagi rakyatnya.
a. Al-Maragi
Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyah dijelaskan beberapa
syarat menjadi pemimpin yaitu:
1. Rasa keadilan (‘adalah)
2. Pengetahuan (‘ilm)
3. Sehat pendengaran, pengelihatan, dan pembicaraan
4. Sehat tubuh, tidak cacat/yang dapat menghambat pelaksanaan
tugas.
5. Berwawasan luas dalam hal administrasi negara.
6. Penya keberanian untuk melindungi wilayah Islam dan melaksanakan
jihad.
7. Punya garis keturunan Quraisy.[13]
b. Al-Ghazali
Karya beliau kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan 10
persyaratan menjadi khalifah:
1. Baligh
2. Berakal
3. Merdeka
4. Lelaki
5. Keturunan Quraisy
6. Sehat panca indera
7. Keberanian untuk perang
8. Punya kompetensi
9. Punya pengetahuan
10. Wara (hati-hati)[14]
c. Ibnu Khaldun
Beliau ini menuliskan 5 syarat penting
menjadi pemimpin dalam almuqoddimah kitabnya:
1. Berilmu
2. Adil
3. Kompetensi
4. Sehat panca indra
5. Memiliki sifat suku Quraisy
Pendapat tiga ulama
besar tentang syarat untuk menjadi pemimpin di atas, Nadirsyah Hosen,
mengatakan tiga pendapat itu pada waktu yang berbeda jadi memiliki perkembangan
dan perubahan ketentuan apapun. Jadi pasti pada setiap masa mengalami perubahan
perkembangan secara ekonomi, budaya dan agama. Karena itu, sangat mungkin akan
terjadi perubahan dan perkembangan syarat menjadi seorang pemimpin. Menurut
Nadirsyah Hosen, boleh memilih pendapat salah satu dari mereka, asalkan tetap
berpegang teguh pada keadilan serta amanah dalam menjalankan tugas sebagai
seorang pemimpin.[15]
C. Relevansi Tafsir Politik Nadirsyah Hosen
Dalam konteks
ke-Indonesiaan, Nadirsyah Hosen berpartisipasi dalam menyikapi kekuasaan
politik di negara ini. Beliau menggunakan media sosial untuk menafsirkan
ayatayat yang berhubungan dengan kekuasaan. Terkadang dia memberi lebih kritik
konstruktif terhadap interpretasi politik yang dirasakan dari ayat-ayat
tersebut kurang tepat dengan kondisi saat ini.
Beliau lebih
menekankan kritik terhadap sistem kekuasaan, yang dianggap berbahaya atau
merugikan masyarakat Indonesia. Ditambah dengan politisasi agama (Islam) yang
menyebabkan kekacauan besar baik secara sosial maupun politik dalam agama itu
sendiri. Seperti kritik tafsir Q.S Al-Maidah ayat 51, ayat 138-139 Q.S An-Nisa’
mengenai Pilkada dan Q.S An-Nisa' 108 tentang KPU, dan ketiga-tiganya menjadi
trending topik di media
sosial.[16]
a. Penafsiran Q.S Al-Maidah ayat 51 terkait kata “Awliya”
Kritik oleh
Nadirsyah Hosen di tafsir ayat ini di jejaring sosial, diinterpretasikan kurang
sesuai dengan konteks kekinian. Bahkan, hasil interpretasinya cenderung
berpihak pada satu kubu dan melontarkan ujaran kebencian terhadap kelompok
lain. Karena itu sebagai penafsir modern, beliau mencoba untuk menafsirkan
kembali ayat tersebut sesuai dengan konteks sosialpolitik zaman sekarang.
Ditambah pendapat
Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah akan membantu negara dalam hal ini
benar meskipun mereka kafir dan tidak akan membantu negara yang zalim sekalipun
itu seorang muslim. Pendapat ini merupakan perspektif baru bagi Nadirsyah yang
menurutnya sebenarnya merujuk pada makna ayat politik, tapi sama sekali tidak
berhubungan dengan pemimpin seorang muslim. Penafsiran ini hanya digunakan
untuk mempolitisasi agama sebagai dasar referendum.[17]
b. Penafsiran Q.S An-Nisa’ ayat 138-139 terkait dengan Pilkada
Menafsirkan ayat
ini, Nadirsyah mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara ayat ini dan
kejadiannya Pilkada. Mereka yang mengaitkannya menurut beliau hanya
mempergunakan ayat tersebut sebagai panah para pemimpin agama selain Islam.
Karena menurutnya negara dalam segala hal memiliki hak untuk melestarikannya
umat Islam. Jadi ayat ini, siapa lagi yang mengerti masyarakat sebagai ayat
kepemimpinan Islam yang digunakan oleh untuk mendapatkan suara sebanyak
mungkin. Menurutnya, pelatihan dan pendidikan tentang makna dan konten masih
diperlukan isi Al-Qur'an menurut tafsir para ulama yang cakap dan paham
konteksnya, bukan hanya logika atau bahkan untuk kepentingan politik praktis.
Dan fakta bahwa bisa membedakan yang mana interpretasi yang sesuai dengan
aturan dan interpretasi yang tidak sesuai aturan.
PENUTUP
Kesimpulan
Kata politik
berasalah dari bahasa Yunani “polis” yang artinya negarakota. Negara kota yang
ada pada zaman kejayaan bangsa Yunani, orang saling berinteraksi antara satu
sama lain untuk mencapai tahap kesejahteraan dalam menjalani roda kehidupan.
Politic kemudian dipahami dalam Bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: (1)
Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain. (2) Tipu muslihat atau
kelicikan. (3) Nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politi. Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai ‚segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain. Dalam pandangan para pemikir Islam kontemporer, ilmu
politik modern tidaklah universal, dan bisa dikatakan bersifat spesifik. Hal
ini karena dalam pemikirannya tidak memikirkan masalah etis fundamental
terutama moral agama.
Ketika menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan subjek politik dalam konteks sosial
masyarakat Indonesia, Dalam tafsirnya, Nadirsyah Hosen menggunakan sistem
Tartib Maudhu'i yang sumber tafsirnya dari Al-Quran, Hadits, sejarah para
sahabat dan tabi'in dan tafsir ulama sebelumnya. Nadirsyah Hosen juga cenderung
memakai metode tafsir tematik (maudhu'i) dan bercorak adabi ijtima'i.
Menurut tafsir
Nadirsyah Hosen, kriteria seorang pemimpin adalah cakap, bertindak adil, andal
dan bertanggung jawab. Dalam beberapa buku tafsir klasik yang dimaksud oleh
Nadirsyah Hosen tidak mengatakan bahwa menjadi muslim bukanlah syarat yang
paling utama untuk menjadi pemimpin.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Kemenag, Q.S Al-Maidah/5
Al-Qur’an Kemenag, Q.S. An-Nisa’/4.
Amin, Muhammad, “Kontribusi Tafsir
Kontemporer dalam Menjawab Persoalan Ummat,” Fakultas Ushuluddin IAIN
Ar-Raniry, Jurnal Substantia.
Bakry, Hasbullah, Sistematik
Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1981).
Hosen, Nadirsyah, “Tafsir Al-Qur’an di Medsos” (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2020)
Hosen, Nadirsyah, Islam Yes Khilafah No
(Jilid 2), (Yoyakarta: Suka Press, 2020), 17.
Hosen, Nadirsyah, Islam
Yes Khilafah No (Yoyakarta: Suka Press, 2018).
Iqbal, Muhammad, “Metode Penafsiran
Al-Qur’an M.Quraish Shihab”, Jurnal
Tsaqafah, 6 (Oktober 2010)
Irwanto, Edi, “Tafsir
Ayat-Ayat Politik (Studi Kritik Penafsiran Makan Awliya’, Kewajiban Menegakan Hukum Allahdan Ulil Amri, dalam Buku
tafsir AlQur’an di Medsos Karya Nadirsyah Hosen)”, (Skripsi, Semarang: UIN
Semarang, 2018).
Junaedi, Wahyullah, Pandangan
Nadirsyah Hosen Tentang Makna Kata Awliya Dalam Qs. AlMaidah 51 (Studi Analisis
Dalam Perspektif Hukum Islam), Tesis, Makassar: Universitas Islam Negeri
Alauddin, 2019.
Munir Salim, Abdul Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik
dalam Al-Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
[1]
Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat,
(Jakarta: Wijaya, 1981), 9.
[2] Abdul Munir Salim. Fiqh
Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. (Jakarta: Raja
GrafindoPersada, 2002) h. 34
[3] Edi Irwanto, “Tafsir
Ayat-ayat Politik (Studi Kritik Penafsiran makna Awliya, Kewajiban Menegakkan Hukum Allah dan Ulil Amri dalam Buku
Tafsir Al-Qur’an di Medsos Karya Nadirsyah Hosen), Skripsi, 2018
[4] Muhammad Amin, “Kontribusi
Tafsir Kontemporer dalam Menjawab Persoalan Ummat,” Fakultas Ushuluddin IAIN
Ar-Raniry, Jurnal Substantia, 15
[5] Edi Irwanto. “Tafsir
Ayat-Ayat Politik (Studi Kritik Penafsiran Makan Awliya’, Kewajiban Menegakan Hukum Allah dan Ulil Amri, dalam Buku
tafsir Al-Qur’an di Medsos Karya Nadirsyah Hosen)”. Skripsi. Yogyakarta: UIN
Walisongo, 2018), 63-64.
[6]
Al-Qur’an Kemenag, Q.S. Al-Maidah/5:51.
[7] Wahyullah Junaedi,
Pandangan Nadirsyah Hosen Tentang Makna Kata Awliya Dalam Qs. Al-Maidah 51
(Studi Analisis Dalam Perspektif Hukum Islam), Tesis, Makassar: Universitas
Islam Negeri Alauddin, 2019, 46
[8] Nadirsyah Hosen, Tafsir
Al-Qur’an Di Medsos......, 100. 9 Ibid, 100
[9]
Ibid, 101.
[10] Nadirsyah Hosen, Tafsir
Al-Qur’an Di Medsos (Yogyakarta: Bintang Pustaka, 2020), 98 12 Ibid,
106-107
[11] Muhammad Iqbal, “Metode
Penafsiran Al-Qur’an M.Quraish Shihab”, Jurnal
Tsaqafah, 6 (Oktober 2010), 264. 14 Nadirsyah Hosen, Tafsir
Al-Qur’an Di Medsos (Yogyakarta: Bintang Pustaka, 2020), 134 15
Al-Qur’an Kemenag, Q.S. An-Nisa’/4:59.
[12]
Nadirsyah Hosen, Islam Yes Khilafah
No (Yoyakarta: Suka Press, 2018), 14 17 Ibid, 14-15.
[13]
Ibid, 22
[14]
Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an Di Medsos....., 136
[15]
Nadirsyah Hosen, Islam Yes Khilafah No.........., 25-26
[16]
Nadirsyah Hosen, Islam Yes Khilafah No (Jilid 2), (Yoyakarta: Suka Press,
2020), 17.
[17]
Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an Di Medsos.....,100
0 Komentar