Al-Qur’an yang bersifat shahih li kulli zaman wa makan ini selaras dengan adanya program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang hadir untuk mengkaji dan mengungkap maksud serta keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an yang tak semua orang mengerti.
Pada tahun 1296 H/1879
M di sebuah desa bernama Marsi yaitu sebuah daerah di Tunisia bagian utara
lahirlah seorang mufassir yang masyhur dengan kitab tafsirnya yang berjudul
At-Tahrir Wat Tanwir yaitu Syekh Muhammad Thahir Ibnu 'Asyur.[2]
Kitab ini dianggap sebagai ensiklopedi kitab tafsir, sebagaimana yang
disampaikan oleh Syeikh Salim Abu ‘Ashi, bahwasanya “kitab Tafsir karya Ibnu
‘Asyur adalah kitab tafsir terbesar dan terlengkap — atau sebuah ensiklopedi
tafsir. Oleh karena itu, kitab ini harus menjadi pegangan para pelajar ilmuilmu
keislaman masa kini dalam belajar dan memahami al-Qur'an.”
Kitab tafsir al-Tahrir
wa al-Tanwir nyatanya merupakan salah satu kitab tafsir yang penting untuk
dikaji oleh para pengkaji tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Selain itu, asumsi
dasar penafsiran serta pedoman penafsiran yang digagas oleh Ibnu 'Asyur dalam kitab
tafsirnya pun bisa menjadi pijakan ulama-ulama kontemporer dalam menulis karya
tafsir. Di dalam kitabnya Ibnu 'Asyur banyak memuat berbagai macam pembahasan,
mulai dari bahasa, fikih, filsafat, dan lain-lain.[3]
Biografi Ibnu Asyur
Ibnu Asyur memiliki
nama lengkap Muhammad at Thahir Ibnu Muhammad bin Muhammad at Thahir bin
Muhammad bin Syekh Muhammad as Syadzili bin Abdul Qadir bin Muhammad bin Ashur.
Ibunya bernama Fathimah binti Syeikh al-Wazir Muhammad al-‘Aziz Bin Muhammad
al-Ḥabib Bin Muhammad aṭ-Ṭayyib Bin Muhammad Bin Muhammad Bu’atur dan terus
bersambung hingga ‘Abdul Kafi Bu’atur. Ibunya merupakan putri Muhammad alAziz
seorang alim yang diangkat menjadi Wazir Agung pertama di masa penjajahan
Perancis. Dengan demikian pada diri Muhammad aṭ-Ṭāhir Bin ‘Āsyūr terhimpun
darah ulama dari ayahnya dan bangsawan dari ibunya. Muhammad al-Thahir ibn
Asyur dikenal dengan Ibn ‘Asyur[4]. Ia
lahir di Mursi pada Jumadil Awal tahun 1296 H atau pada September tahun 1879 M[5].
Ibnu Asyur tumbuh dalam keluarga yang mencintai ilmu. Sejak kecil ia dididik
oleh kakeknya yang merupakan salah seorang Syaikh di Bu’atur. Dari kakeknya,
Ibn ‘Asyur memperoleh berbagai ilmu agama, seperti hadits dan balaghah. Di
antara karya yang dipelajarinya adalah kitab karya al Bukhari dan kitab Miftah
karya al Sakakiy. Kakeknya juga mengajarkan berbagai buku sastra, kata-kata
hikmah, dan badi’ seperti buku sastra karya al Bahtariy. Ia memiliki keluarga
yang hidup dengan nuansa ilmiah. Ia juga seorang yang jenius dan cinta kepada
ilmu. Kejeniusannya sudah nampak sejak ia kecil. Pada usia enam tahun ia sudah
belajar di masjid Sayyidi al Mujawar di Tunisia dan mulai menghafal dan
mempelajari al-Qur’an kepada Syeikh Muhammad al-Khiyariy. Pada tahun 1310 H
dalam usia yang masih relatif muda yaitu 14 tahun Ibn ‘Asyur melanjutkan
pendidikannya ke Universitas al-Jami’ah al-Zaitunah. Cita-cita dan harapan
keluarganya akhirnya terwujud,setelah selesai mengenyam pendidikan di
al-Zaitunah, Ia mengabdi dan mendapatkan berbagai kedudukan di bidang agama
yang didasari oleh risalah amanah yang mesti dia emban dalam menjalankan
misinya6.
Karir
Intelektual Ibnu Asyur
Belajar di Universitas al-Zaitunah nampaknya
belum memenuhi kehausannya dalam menuntut ilmu. Di waktu luangnya, ia juga
membaca buku-buku tafsir seperti al-Milal
wa alNihal, menghafal hadist-hadist,
syair-syair Arab, dan berbagai macam buku Sejarah, dan lainlain. Menelusuri
jejak kehidupan intelektual dari Ibnu Asyur bisa dilakukan dengan melihat
karya-karya beliau, baik dalam bentuk kitab, makalah ilmiah, dll. Setelah
menimba ilmu di alZaitunnah, beliau diangkat menjadi guru pada tahun 1320 H/
1903 M di al-Zaitunnah tempat ia belajar dulu. Karirnya terus meningkat dalam
bidang pengajaran sehingga ia terpilih menjadi tenaga pengampu di sekolah
Ashidiqiah pada tahun 1321 H/ 1904 M. Berikutnya pada tahun 1326 H/ 1909 M ia
diangkat menjadi anggota bidang akademis di sekolah yang sama. Selain itu,
sebagai penghargaan atas kepakarannya dalam bidang ilmu keislaman dan Bahasa
Arab pada tahun 1940 Ibnu Asyur diangkat sebagai salah satu anggota Lembaga
Bahasa Arab di Kairo dan anggota koresponden Lembaga ilmiah di Damaskus di
tahun 1955[6].
Karya
Ibnu Asyur
Dengan Latar belakang
keluarga dan lingkungan yang mencintai ilmu, sebagian besar waktu Ibnu Asyur
dihabiskan untuk mengajar dan menulis buku sehingga ia melahirkan banyak karya.
Tulisan-tulisan Ibn ‘Asyur ini banyak muncul dalam majalah yang terbitkan oleh
alJami’ah al-Zaitunah. Di antara karya-karya Ibn ‘Asyur adalah8:
a. Bidang Ilmu Syar’iyah
1) Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
2) Maqashid Syariah al-Islamiyyah
3) Kasyfu al-Mughtha min al-Ma’aniy wa al-Alfazh al-Waqi’ah fiy
al-Muwatha’
4) Al-Nazhru al-Fasih ‘Inda Madhayiq al-Anzhar fiy al-Jami’
al-Shahih
5) Al-Taudhih wa al-Tashhih
6) Al-Waqfu wa Atsaruhu
b. Bidang ilmu Bahasa Arab dan Sastranya
1) Ushul al-Insya’ wa al-Khithabah
2) Fawaid al-Amaliy al-Tunisiyah ‘Ala faraid al-La’iy
al-Hamasiyah 3) Mujiz
al-Balaghah.
4) Revisi kumpulan syair Basyar.
5) Syarhu Muqaddimah al-Mazruqiy.
6) Kumpulan dan syarahan syair karya al-Nabighah.
c. Bidang pemikiran Islam dan bidang-bidang lainnya
1) Ushul al-Nizham al-Ijtima’iy fiy al-Islam
2) Alaisa al-Subhu bi Qarib
3) Ushul al-Taqaddum wa al-Madinah fiy al-Islam
4) Naqdu ‘ilmi li Kitab al-Islam wa Ushul al-Islam
Latar Belakang penulisan kitab dan wafatnya Ibnu Asyur
Sebelum
karyanya ini hadir, Ibn Asyur sejatinya sudah sejak lama bercita-cita untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Beliau ingin menjelaskan kepada masyarakat apa yang akan
membawa mereka kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat, menjelaskan kebenaran,
akhlak mulia, kandungan balaghah yang dimiliki al-Qur’an, ilmu-ilmu syari’at,
serta pendapat-pendapat para mufasir terhadap makna ungkapan Al-Qur’an.
Cita-cita ini sudah diungkapkannya kepada para sahabatnya sembari meminta
pertimbangan tentang cita-citanya itu. Demikianlah, kemudian Ibn ‘Asyur
menguatkan keinginannya-nya untuk menafsirkan al-Qur’an, dan meminta
pertolongan dari Allah semoga dalam ijtihadnya ini ia terhindar dari kesalahan[7].
Selama penulisan tafsir
ini, kondisi sosial politik di Tunisia mengalami dinamika peristiwa dan
peralihan besar dimana Tunisia berusaha untuk merdeka dari penjajah. Sementara
Gerakan reformasi dan pembaharuan tersebut dipelopori oleh Muhammad Abduh dari Mesir
(1849/1905). Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh juga merambat mempengaruhi
intelektual di Tunisia, dan termasuk didalamnya adalah Ibnu Asyur[8].
Saat itu Muhammad Abduh menghimbau umat Islam untuk melakukan pembaharuan di
bidang Pendidikan. Kemudian Ibnu Asyur merespon himbauan tersebut dan bergerak
mereformasi pendidikan dan menyampaikan di berbagai seminar. Selain melakukan
pembaharuan dibidang pendidikan, Ibnu Asyur juga terjun dalam gerakan reformasi
dimana hasilnya adalah dibangunnya cabangcabang Azzaitunah di berbagai kota di
Tunisia. Kualitas pendidikannya ditingkatkan juga dengan menambahkan ilmu-ilmu
syari’ah, seperti kimia, matematika, filsafat, sejarah, dan bahasa
Inggris.
Kemudian, dalam kitab
inilah ia menumpahkan gagasan pemikirannya tentang penafsiran Al-Qur’an yang
belum disebutkan oleh ulama sebelumnya dan juga menyikapi persoalan tentang
perbedaan pendapat ulama terdahulu. Agaknya, beliau memang menginginkan ajaran agama
Islam (Al-Qur’an) itu berkembang luas di antara masyarakat itu sendiri. Ibn
Asyur mulai menuliskan tafsir pada 1342 H/ 1923 M setelah beliau naik jabatan
dari qadhi menjadi mufti. Kitab ini
berisi tafsir 30 juz, ditulis dalam 15 jilid kitab dan diterbitkann secara
lengkap di Tunisia pada tahun 1969 dan beliau wafat di Tunisia pada hari Ahad,
12 Rajab 1393 H/ 12 Oktiber 1973 M di usia 94 tahun. Dengan menuliskan kitab
ini, beliau menanamkan harapan supaya kitab tersebut memberi pengaruh kepada
masyarakat, baik dari segi akhlak, pemahaman agama, dan wawasan yang luas.
Sistematika Penulisan
Tafsir Al-Tahrir wa
Al-Tanwir karya Ibnu Asyur ini berjumlah dua belas jilid dan memuat seluruh
penafsiran Al-Qur’an mulai dari surat al-Fatihah sampai surat An-Nas yang
terbagi ke dalam tiga puluh juz. Satu jilid bisa memuat beberapa juz sesaui
dengan ketebalan kitab yang variatif. Ibnu ‘Asyur dalam menulis karyanya banyak
merujuk kitab-kitab tafsir klasik, seperti Al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari,
Al-Muharrar Al-Wajiz karya Ibnu ‘Athiyyah, Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin
Al-Razi, Tafsir Al-Baidlawi, tafsir Al-Alusi, serta komentar al-Tayyi’,
al-Qazwini, al-Qutub, dan al-Taftizani terhadap Tafsir Al-Kasysyaf dan juga
tafsir-tafsir lainnnya.[9] Yang
paling banyak dikutip dalam tafsir ini ialah tafsir AlKasysyaf karya
Al-Zamakhsyari, meskipun Ibnu ‘Asyur tidak sepenuhnya satu pendapat dengan apa
yang dikemukakan al-Zamakhsyari dalam kitabnya. Oleh karena itu, di dalam
tafsir ini banyak sekali dijumpai penjelasan-penjelasan dari sisi linguistiknya
yang merujuk pada tafsir Al-Kasysyaf.
Melalui karyanya, Syekh
Ibnu ‘Asyur berusaha menempatkan diri sebagai penengah (bersikap moderat)
terhadap perbedaan para ulama yang pada satu waktu sepaham dengan ulama
lainnya, tetapi pada satu waktu lain berbeda pendapat. Dalam muqaddimah pada kitab al-Tahrir wa
al-Tanwir, Ibnu Asyur mengungkapkan, “Dalam tafsir yang saya tulis ini, saya
fokuskan untuk mengungkap setiap I'jazul Qur’an, kelembutan (sisi balaghah)
bahasa Arab yang terkandung dalam untaian ayat al-Qur’an, dan menjelaskan
uslub-uslub (gaya bahasa) dalam penggunaannya. Serta saya pun menjelaskan
hubungan ketersambungan antara satu ayat
dengan ayat yang lainnya”.[10] Hal
itu pun selaras dengan komentar Gamal al-Banna, menurut beliau, salah satu
keistimewaan tafsir Tahrir wa Tanwir
terlihat dari muqaddimahnya. Untuk itu diberikan gambaran secara global terkait
muqaddimah.
1. Berbicara tafsir, takwil, dan posisi tafsir sebagai ilmu.
2. Tentang alat bantu ilmu tafsir.
3. Tentang keabsahan tafsir tanpa penukilan (yaitu murni dengan
logika) dan penafsiran berdasarkan nalar.
4. Tentang penjelasan seorang mufasir itu sendiri.
5. Tentang konteks turunnya ayat al-qur’an (asbab al-nuzul).
6. Tentang aneka ragam bacaan (qira’at).
7. entang qasas Al-Qur’an (kisah-kisah Al-Qur’an).
8. Tentang nama, jumlah ayat, jumlah surat, dan susunan surat.
9. Tentang makna-makna yang dikandung oleh kalimat-kalimat dalam
Al-Qur’an.
10. Tentang kemukjizatan Al-Qur’an dari aspek kebahasaannya.
Sistematika penulisan tafsir al-Tahrir wa at-Tanwir yaitu dimulai
dengan menjelaskan nama surah dan nama-nama lain jika ada, menjelaskan
keutamaannya, menjelaskan Makkiyyah atau Madaniyyah ayat, jumlah ayat dan
lain-lain. Kemudian menjelaskan kandungan surah secara global dalam poin-poin
yang berbeda-beda sesuai dengan tema dan masalah yang dibahas dan sesuai dengan
susunannya dalam Al-Qur’an. Kemudian langkah akhir adalah menjelaskan kandungan
ayat demi ayat atau beberapa ayat yang memiliki masalah atau tema yang sama,
secara rinci. Dimulai dari pemaknaan kosa kata dengan I’rob dan pemaparan I’jaz
lughohnya dan bila perlu meminta penjelasan dari syair-syair arab Jahiliyah
sebagai penguat kebahasaannya.[11]
Beliau menjelaskan hubungan antara satu ayat
dengan ayat lainnya, terutama antara satu ayat dengan ayat sebelum dan
sesudahnya. Sebagaimana Al-Qur’an telah didesain dengan sangat luar biasa,
memiliki susunan yang unik namun tetap memiliki ketersambungan antara satu ayat
dengan ayat lain. Tidak melewatkan satu surat pun dalam Al-Qur’an kecuali
berusaha menjelaskan secara lengkap setiap maksud yang terkandung di dalamnya
secara utuh. Tidak sebatas menjelaskan makna setiap katadan kalimatnya saja
secara parsial, melainkan
merangkai kembali makna tiap kata dan
kalimat yang telah diurai terpisah menjadi satu tujuan atau maksud yang diusung
oleh setiap ayat maupun surah Al-Qur’an. [12]
Sumber Penafsiran
Mengetahui sumber penafsiran karya tafsir
sangat penting artinya. Sebagaimana ini digunakan untuk mengetahui kapasitas
dari tafsir itu sendiri. Dalam hal ini, Ibnu Asyur lebih mendominasi pada bi al-ra’yi daripada bi al ma’tsur
karena beliau tidak begitu sering menjelaskan ayat dan hadist Nabi. Artinya ia
lebih sering menjelaskan ijtihad dari dirinya sendiri sepanjang hal tersebut
dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
Hal
ini, dapat dibuktikan dengan melihat kitab Al-Tahrir wa at-Tanwir langsung.
Ibnu Asyur dalam muqaddimah kitabnya, di bawah tema sahnya tafsir tanpa bi al-Ma’tsur dan makna Tafsir bi al-Ra’yi, mengajak
pembaca untuk berdialog seraya meyakinkan mereka bahwa ijtihad untuk
menafsirkan ayat dibolehkan, selama memiliki dalil yang shahih dan dalam hal itu Ibnu Asyur berpendapat bahwa ijma’ umat
dalam penafsiran Al-Qur’an bisa dianggap sebagai al-atsar[13].
Lebih jauh, menurutnya jika ijtihad dalam
menafsirkan Al-Qur’an itu dilarang, tentu penafsiran menjadi sangat ringkas,
hanya dalam beberapa lembar saja[14].
Dalam hal ini, menurut al-Dzahabi jika ada atsar
(hadist) yang menegaskan bahwa menafsirkan Al-Qur’an semata hanya
mengandalkan logika maka tindakan tersebut adalah tindakan tercela, dan
pendapat tersebut juga disetujui oleh Ibnu Asyur.
Metode, dan Corak Penafsiran
Metode penafsiran yang digunakan Ibnu
Asyur adalah metode Tahlili dengan kecenderungan tafsir bi al-ra’yi[15].
Dikatakan menggunakan metode tahlili karena Ibnu Asyur menguraikan ayat
demiayat dalam tafsirnya sesuai urutan yang tertera dalam mushaf. Kemudian Ibnu
asyur menjelaskan kata per kata dengn sangat detail mengenai makna kata,
kedudukan, uslub bahasa Arabnya, sertaaspek-aspek lainnya yang sangat luas.
Misalnya keetika menjelaksan lafadz alhamdulillah dalam surat Al-Fatihah, ia
menghabuskan empat belas halaman dengn penjelasannya yang sangat rinci dan
meluas.[16]
Selanjutnya dikatakan sebagai tafsir bir-ra’yo
karena Ibnu Asyhur menjelaskan uraian tafsirnya banyak menggunakan logika yakni
logika kebahasaan. Selain itu, secara eksplisit Ibnu Asyhur mengatakan bahwa
dalam menulis tafsirnya ia ingin mengungkapkan isi kebhalagahan Al-Qur’an[17].
Adapun corak dari kitab tafsir At-Thahrir wa At-Tanwir ini adalah Adabi
Ijtima’I, yakni kitab tafsir yang mengungkapkan ketinggian kebahasaan Al-Qur’an
serta mendialogkan dengan realitas sosial kemasyarakatan.
Pandangan para Ulama pada masanya
Ibnu ‘Asyhur merupakan
pemimpin para mufti, beliau disebut Syaikh al-Imām, beliau seorang ‘Alim dan
guru di bidang Tafsīr dan Balaghāh di Universitas al-Zaituniyyah, beliau
seorang Qadiy yaitu guru yang agung dan mulia, beliau juga sebagai Majami’
al-Lughah al‘Arabiyyah. Ibnu ‘Asyhur juga dikenal sebagai pusat (Qutb)
pembaharuan pendidikan dan bersosial pada masanya.[18] Berbagai
keistimewaan dari seorang mufti Tunisia itupun tak luput dari beberapa
pandangan ‘ulama lain pada zaman itu. Berikut beberapa pendapat ‘ulama tentang
seorang mufasir dan mufti Ibnu ‘Asyhur:
1. Syaikh Muhammad al-Kadr Husain sebagai teman Ibnu ‘Asyhur dalam
belajar dan berjuang, menuturkan bahwa Ibnu ‘Asyhur memiliki kefasihan ucapan,
luas ketenanganya, istimewa ilmunya, kuat pikirannya, bersih hatinya, luas
pengetahuanya dalam sastra Arab dan yang paling indah adalah ketakjubanya
terhadap budi pekertinya tidak lebih sedikit dari kepandaianya dalam ilmu.
2. Al-‘Alamah Muhammad al-Basyr al-Ibrahim berkomentar bahwa Ibnu
‘Asyhur adalah seorang alim diantara para ‘Ulama yang di perhitungkan dalam
sejarah karena keagunganya, Ibnu ‘Asyhur adalah Imam yang berilmu seperti
lautan, bisa mandiri dalam beristidlal[19].
3. Dr. Al-Habib bin al-Kaijah menilai bahwa ibnu ‘Asyhur adalah
salah satu keistimewaan dunia ini dan yang terakhir saya lihat, tidak ada yang
lain darinya di Afrika atau seperempat di Maroko atau Negara bagian Tinur
bahkan belahan dunia Islam, usahanya
dalam menyelesaikan karya tafsirnya tanpa
jenuh dan menulis karya-karya lain sejauh masa mudanya sampai wafat.[20]
4. Respons atau komentar salah satu ulama, Gamal al-Banna yang
mempunyai kitab tafsir al-Qur’an al-Karim
baina al-Qudama’ wa Muhaditsin, menjelaskan pandangan beliau terkait
penafsiran zaman dahulu dan belakangan ini. Menurut Gamal al-Banna, salah satu
keistimewaan tafsir Tahrir wa Tanwir
terlihat dari muqaddimahnya. Dalam muqaddimah, penulis memberikan wawasan
kepada pembaca mengenai dasar-dasar penafsiran, bagaimana seorang penafsir,
penafsir berinteraksi dengan kosa kata, mufasir harus memahami betul struktur
bahasa dan lain sebagainya.
Kelebihan dan Kekurangan
Dalam penafsiran Al-Qur’an tentunya ada yang
namanya kelebihan dan kekurangan dalam menulis sebuah kitab tafsir. Begitu juga
Ibnu Asyhur dalam menulis kitab Tafsir At-Tharir wa At-Tanwir ada beberapa
kelebihan beserta kekurangan dalam kitab[21]. Di
antara kelebihan Kitab Tafsīr al-Taḥrīr
wa al-Tanwīr adalah bahasan dari kata-kata al-Qur’an yang sangat luas dan
terperinci. Pembahasan di dalamnya disesuaikan dengan pokok bahasan yang ada
dalam al-Qur’an. Apabila ayat tersebut berhubungan dengan ilmu fiqih, maka Ibnu
‘Asyūr menjelaskan permasalahan fiqih beserta perbincangan ulama mengenainya.
Ibnu ‘Asyūr dalam membahas masalah fiqih biasanya menguraikan semua pendapat
ulama’ dan kemudian memilih yang paling kuat berdasarkan dalil yang ia ajukan.
Selain itu, tafsir ini memiliki kelebihan dalam hal pembahasan tentang
keindahan susunan bahasa al-Qur’an. Ibnu ‘Asyūr juga seringkali mengaitkan
bahasannya dengan masalah akhlak. Hal ini menjadikan tafsir ini sebagai pedoman
bagi manusia dalam berakhlak baik
dengan Tuhan, manusia, serta makhluk hidup di sekitar kita.
Sedangkan kekurangan
dari karya tafsir ini sama dengan karya tafsir dengan metode taḥliliy lainnya, yakni terkesan
bertele-tele. Penjelasannya terlalu melebar sehingga poin yang ingin
disampaikan kadang sulit ditangkap. Kitab ini sangat cocok untuk kalangan yang
sudah memiliki ilmu pengetahuan yang cukup memadai untuk keperluan akademis.
Untuk masyarakat awam, kitab ini akan terasa sulit dipahami dan tidak praktis
karena penjelasannya terlalu luas. Kekurangan lain dari tafsir karya Ibnu
‘Asyūr adalah banyak kutipan-kutipan hadis
yang tidak disertai dengan penyebutan
kualitas hadis sehingga hadis-hadis yang dijadikan rujukan masih perlu dilihat
kembali apakah hadis tersebut berkedudukan shaḥīḥ
atau dla’īf dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu
Asyur adalah kitab tafsir yang dihasilkan oleh seorang ulama kelahiran Tunisia
yang berkeinginan kuat untuk menjelaskan setiap persoalan yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Ibnu Asyur menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan mengkajinya dari
berbagai aspek seperti munasabah, penjelasan makna kebahasaan dengan
sistematika penjelasan ayatnya mengikuti urutan yang terdapat dalam mushaf
dengan model penafsiran yang digunakan adalah metode tahliliy.
Adapun penafsiran yang dikemukakan biasanya
Ibnu Asyur banyak bersumber dari analisis kebahasaan dan penjelasan ilmiah, dan
tidak terlalu sering menjelaskan ayat dan hadist Nabi sehingga dapat dikatakan
bahwa sumber penafsirannya mendominasi pada bi
al-ra’yi.
Sedangkan corak yang digunakan adalah corak lughowi.
Daftar Pustaka
Halim, Abd., Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Karya
Ibnu ‘Asyur Dan Kontribusinya Terhadap
Keilmuan Tafsir Kontemporer, Jurnal Syahadah Vol II No
II, Oktober 2014
Daraini , Faizatut, Kajian Ayat-Ayat Nasionalisme dalam
At-Thahrir wa At-Tanwir. 2019
Sutisna, Neneng
Hasanah, dkk. 2021 Panorama Maqashid Syari’ah. Bandung :
CV. Media Sains Indonesia.
Jani Arni, Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir Karya Muhammad Al-Tahrir ibn Asyur. Vol. 17 No.
1 Jurnal Ushuluddin, 2011.
Ibnu Asyur, Nazariyah al-Maqasid Indaal-Thahir ibn Asyur,
Mesir. Dar al-Fikr, t.th
Ibnu ‘Asyur, Muhammad al-Thahir, Tafsir al-Tahrir wa
al-Tanwir, Tunisia: Dar Shuhnun li al-
Nasyr wa al-Tauzi’, 1997.Nasyr wa al-Tauzi’, 1997
Ibn al-Khaujah,
Muhammad al-Jaib, Syeikh al-Islam al-Imam al-Akbar Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur, Beirut: Dar Muassasah Manbu’ li
al-Tauzi’, 2004.
Faizatut Daraini.
Nasionalisme dalam Perspektif Ibnu ‘Asyur (Kajian Ayat-ayat Nasionalisme dalam Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir). Skripsi
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel
Surabaya. 2019. 38. Yang mengutip dari Ibnu ‘Asyur, Kasyf al-Mughtiy, min
alMa’aniy wa al-Alfaz al-Waqi’ah fi al-Muwatta’, (Kairo: Dar al-Salam, 2006),
153.
Ika Nur Hasanah. Mengenal Kitab At-Tahrir wat Tanwir,
Ensiklopedi Tafsir karya Bin Asyur. Yang
ditulis pada Senin, 14 Maret 2022, pada https://nu.or.id/tafsir/mengenal-kitab-at- tahrir-wat-tanwir-ensiklopedi-tafsir-karya-bin-asyur-14gcv
Musyrif bin Ahmad
al-Zuhainy,’Asar al-Dilalat al-Lugawiyyah fi al-Tafsir ‘Indalibni ‘Ᾱsyūr, Baeirut, Muasash al-Rayyan, 2002, 21.
Riwayat Hidup dan
Penafsiran Ibnu ‘Asyur Terhadap Ayat-ayat Penciptaan Manusia. Skripsi UIN Walisongo Semarang.
Dwi Nur Adella.
Mengenal Tfsir Al-Tahrir Wa Al-Tanwir Karya Ibnu ‘Asyur. Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains
Al-Ishlah (STIQSI).
[1] Ika Nur Hasanah. Mengenal Kitab At-Tahrir wat Tanwir,
Ensiklopedi Tafsir karya Bin Asyur. Yang ditulis pada Senin, 14 Maret 2022,
pada https://nu.or.id/tafsir/mengenal-kitab-at-tahrir-wat-tanwir-ensiklopedi-tafsir-karyabin-asyur-14gcv
[2] Faizatut Daraini. Nasionalisme dalam Perspektif Ibnu ‘Asyur
(Kajian Ayat-ayat Nasionalisme dalam Tafsir AtTahrir wa At-Tanwir). Skripsi
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. 2019. 38. Yang mengutip
dari Ibnu ‘Asyur, Kasyf al-Mughtiy, min al-Ma’aniy wa al-Alfaz al-Waqi’ah fi
al-Muwatta’, (Kairo: Dar al-Salam, 2006), 153.
[3] Ika Nur Hasanah. Mengenal Kitab At-Tahrir wat Tanwir,
Ensiklopedi Tafsir karya Bin Asyur...
[4] Dr. Sutisna, MA, dkk. “Panorama Maqashid Syari’ah”. h.
119
[5] Muhammad al-Jaib ibn
al-Khaujah [selanjutnya disebut Ibn al-Khaujah], Syeikh al-Islam al-Imam
al-Akbar
Muhammad
al-Thahir Ibn ‘Asyur, (Beirut: Dar Muassasah Manbu’ li al-Tauzi’, 2004) Jilid
1, h. 153-154 6 Mani’ Abd al-Halim Mahmud,op,cit, h. 314
[6] Ibnu Asyur, Nazariyah al-Maqasid Indaal-Thahir ibn
Asyur, h. 89 8 Ibn al-Kaujah, op. cit., h. 315 - 424
[7] Muhammad al-Thahir ibnu
‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar Shuhnun li al-Nasyr wa
alTauzi’, 1997), Juz 1, h. 5-6
[8]
Ibnu Asyur, Jam al Jami’ al-A’dhzim, h.
50
[9]
Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa ..., juz 1, 5
[10] Ika Nur Hasanah. Mengenal Kitab At-Tahrir wat Tanwir,
Ensiklopedi Tafsir karya Bin Asyur...
[11] Dwi Nur Adella. Mengenal
Tfsir Al-Tahrir Wa Al-Tanwir Karya Ibnu ‘Asyur. Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu
Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI). https://tanwir.id/mengenal-tafsir-al-tahrir-wa-al-tanwir-karya-ibnuasyur/ diakses
pada Kamis, 28 September 2023.
[12] Ika Nur Hasanah. Mengenal Kitab At-Tahrir wat Tanwir,
Ensiklopedi Tafsir karya Bin Asyur...
[13] Ibnu ‘Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, jilid 1, h. 25
[14] Ibid., h. 28
[15] Faizatut Daraini, Kajian Ayat-Ayat Nasionalisme dalam
At-Thahrir wa At-Tanwir, h.46.
[16]
Ibnu ‘Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir,…h
132-166
[17] Ibid 5.
[18] Musyrif bin Ahmad
al-Zuhainy,’Asar al-Dilalat al-Lugawiyyah fi al-Tafsir ‘Indalibni ‘Ᾱsyūr,
Baeirut, Muasash al-Rayyan, 2002, 21
[19] Istidlal secara umum
berarti pengambilan dalil, baik menggunakan dalil Qur`an, as-Sunnah, maupun
alMaslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq yakni Qur`an, as-Sunnah,
Ijma‟ dan Qiyas, atau metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-Shahabi, al-‘Urf,
dan Syar`u Man Qablana, , istihsan, istihlah maupun sad al-dzariah. Dikutip
pada tulisan Umar Muhaimin. “Metode Istidlal dan istishab (Formulasi Metodologi
Ijtihad). Jurnal YUDISIA. Vol. 8, No.
2, Desember 2017. 333.
[20]
Tidak diketahui penulisnya. Riwayat Hidup dan Penafsiran Ibnu ‘Asyur Terhadap
Ayat-ayat Penciptaan Manusia. Skripsi UIN Walisongo Semarang. 38
[21] Abd. Halim, Kitab Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir Karya Ibnu ‘Asyur Dan Kontribusinya Terhadap Keilmuan
Tafsir Kontemporer, Jurnal Syahadah Vol II No II, Oktober 2014, H. 28.
0 Komentar