AMM DAN KHASSS
Makalah ini dibuat untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu: Siti Robikah, M.Ag
Disusun Oleh:
AKMAL HIBBAN AURORA
53020210107
HAFI FAHRU ROZI 53020210115
PRODI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan berkatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “amm
dan khasss” ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam kami haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan ke zaman
terang benderang.
Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih kepada Ibu Siti Robikah selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Tafsir yang telah memberikan bimbingan kepada kami. Dan juga terimakasih kepada
rekan-rekan yang telah ikut memberikan partisipasi dan dukungannya kepada kami.
Kami berharap semoga makalah yang
kami susun ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada para pembaca.
Dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, oleh karena itu kami berharap
pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun kepada kami
demi kesempurnaan makalah yang kami susun, agar kedepannya bisa menjadi lebih
baik.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Salatiga, 19 September 2021
Penulis
DAFTAR ISI
C. Perbedaan
Antara Lafazh Umum yang Bermakna Khusus dengan Lafazh Umum yang Dikhususkan
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam bahasan
ushul fiqh, bahasa
Arab adalah salah satu ilmu pendukung
yang sangat penting dalam rangka menggali
dan memahami hukum syara’ yang bersumber dari al- Quran dan
Sunnah Rasul.Hal ini sangatlah
logis, mengingat nash-nash
hukum Islam adalah nash-nash yang memakai bahasa Arab. Karena itu, seorang
yang akan memahami nash dan menggali hukum yang terkandung di dalamnya harus menguasai bahasa
Arab. Lebih jauh lagi
ia harus memahami
detil-detil idiom (ibarat)
dalam bahasa Arab, menguasai gaya bahasa yang menggunakan ta’bir hakiki pada kondisi tertentu dan menggunakan ta’bir majaz pada kondisi yang lain, menggunakan ta’bir lafaz ‘am pada kondisi
tertentu dan lafaz Khass pada kondisi
lainnya, demikian juga dengan lafaz muthlaq
dan muqayyad.
Kesemuanya ini, hanya dapat dimengerti dengan menyimak makna lafaz yang dikandungnya.Berpedoman
dari latar belakang di atas, maka pembahasan artikel ini
difokuskan pada aspek cakupan lafaz
yaitu: pertama, segi cakupan lafaz terhadap
bagian satuan yang termasuk di dalamnya,
dalam hal ini ‘am dan Khass; kedua, dari segi sifat yang ditentukannya yaitu muthlaq dan muqayyad, dan hal-hal berkaitan
dengan keduanya.
Untuk mengetahui konsep ‘am dan Khass yang menjadi
kajian dalam pembahasan ini, maka di
bawah ini akan dikemukakan pengertian
‘am dan Khass serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
Tulisan ini, diharapkan dapat menguraikan beberapa
permasalahan- permasalahan yang dikemukakan di atas, dengan menggunakan metode pendekatan yang bersifat deskriptif, dan analisis
perbandingan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan Amm?
2.
Apa saja bentuk lafadz Amm?
3.
Apa saja macam-macam Amm?
4.
Apa perbedaan amm yang bermakna khusus dan yang
dikhususkan?
5.
Apa yang dimaksud dengan Khasss?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Memahami yang dimaksud dengan Amm
2.
Mengetahui apa saja bentuk lafadz Amm
3.
Mengetahui apa saja macam-macam Amm
4.
Mengetahui perbedaan amm yang bermakna khusus dan
yang dikhususkan
5.
Memahami apa yang dimaksud dengan Khasss
BAB II PEMBAHASAN
A.
amm
‘Amm dalam pengertian
kebahasaan berarti menyeluruh. Dalam pandangan Ulama Ushul
Fiqih, yang dimaksud dengan istilah ‘Amm adalah kata yang
memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh, sesuai dengan pengertian
kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain [1]. ‘Amm adalah lafaz yang menghabiskan atau
mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan [2]. Para ulama
membagi ‘Amm menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Al-‘Am
al-Istighraqy
Yakni yang mencakup segala
sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya.
Misalnya, ketentuan tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk
melaksanakan ‘iddah (masa tunggu) selama tiga quru’ (suci/haid).
Ketentuan ini berlaku untuk segala jenis perceraian, kecuali jika ada petunjuk
lain yang mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya kata an-Nas/manusia dalam
firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي
خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١
Artinya: “Wahai
(seluruh) manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa (terhindar dari aneka bencana).” (QS.
al-Baqarah: 21)
1.
Al-‘Am
al-Majmu’iy
Yakni yang tidak mencakup
keseluruhan bagian-bagiannya satu demi satu, tetapi secara umum saja. Misalnya
kewajiban mempercayai nabi-nabi yang diutus Allah. Jumlah mereka banyak, namun
dua puluh lima nabi yang disebut nama-namanya dalam al-Qur’an sudah dinilai
cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali itu.
2.
Al-‘Am
al-Badaly
Yakni yang diwakili oleh
seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafazh itu. Misalnya, perintah
untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang saja dari siapa pun yang
berstatus fakir miskin, sudah cukup.
A. Bentuk Lafadz ‘Amm
Ulama
ushul merinci perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai memiliki makna
umum, dan mereka membatasinya sebagai berikut:
1. Kata “kullu”, apakah ia
menjadi permulaan kalimat ataupun muncul sebagai keterangan.
2. Semua kata penghubung, asma’
al-maushul (relative pronoun)
3. Kata ayy, ma, dan man (mana/apa/siapa
saja), baik sebagai kata syarat, kata tanya, maupun sebagai kata penghubung.
4. Kata jama’ yang di-ma’rifat-kan,
baik dengan memakai partikel alif-lam (al...) ataupun
dengan kasus idhafah (possessive)
5. Kata benda kategorial (isim jins) yang di-ma’rifat-kan
baik dengan kasus idhafah maupun dengan partikel alif-lam (al...)
6. Kata benda tak tertentu (indefinite/nakirah)
dalam konteks larangan, negasi, dan syarat (kondisional) dan dalam konteks
pemberian anugerah.
Untuk lebih
memperjelas penjelasan di atas, berikut diberikan contoh-contoh yang jelas
dalam bentuk-bentuk lafadz ‘Am, yaitu:
1.
Lafadz kullun dan jami’un seperti
firman Allah dalam surat Ali Imran: 185 dan surat al-Baqarah: 29.
كُلُّ
نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ
Artinya: “Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati.”
هُوَ
ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
Artinya: “Dialah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.
2. Isim-isim
yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah), seperti al-ladzi,
al-latii, al-ladziina, al-laatii, dan dzuu. Contohnya
seperti firman Allah dalam surat An-Nisa: 10.
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ
ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya”.
3. Lafadz ma dan man yang
mendapat jaminan balasan, seperti tersebut dalam firman Allah surat al-Baqarah:
272, dan surat An-Nisa: 123.
وَمَا
تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٢
Artinya: “Dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu
melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang
kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu
sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”.
مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ
Artinya: “Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”.
4. Lafadz ayyun yang
terdapat dalam suatu kalimat yang bersifat syarat (syarth). Seperti
firman Allah dalam surat al-Isra’: 110.
أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ
ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
Artinya: “Dengan nama yang
mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang
terbaik)”.
5. Isim
yang berbentuk jamak yang diawali alif dan lam. Seperti
dalam firman Allah surat al-Maidah: 42.
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢
Artinya: “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang adil”.
6.
Isim yang dinisbatkan
(mudhaf), seperti firman Allah dalam surat Ibrahim: 34.
وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ
Artinya: “Dan jika kamu menghitung
nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya”.
7.
Amr (perintah) dengan
bentuk jamak (plural), seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah: 43.
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ
وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku´lah beserta orang-orang yang ruku´”.[3]
B. Macam-macam ‘Amm
‘Amm terbagi atas tiga macam, yaitu:
1. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al-‘amm
al-baqi ‘ala ‘umumih)
Qadi Jalaluddin al-Balqini mengatakan, ‘amm
seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satupun lafadz ‘amm kecuali di
dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi mengatakan, ‘amm demikian banyak terdapat al-Qur’an. Ia
mengajukan beberapa contoh, antara lain:
وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ ١٧٦
Artinya: “Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa: 176)
وَلَا يَظۡلِمُ رَبُّكَ أَحَدٗا ٤٩
Artinya: “Dan Tuhanmu tidak
menganiaya seorang juapun". (QS. Al-Kahfi: 49)
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ
Artinya: “Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu”. (QS. An-Nisa: 23)
2.
Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm
al-murad bihi al-khusus)
Misalnya firman Allah dalam surat Ali Imran: 39.
فَنَادَتۡهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٞ
يُصَلِّي فِي ٱلۡمِحۡرَابِ ...
Artinya: “Kemudian Malaikat memanggil
Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab”.Yang
memanggil Zakariya di sini adalah Malaikat Jibril. [4]
3.
‘Am yang mendapat pengkhususan
(al-‘ammu al-Makhshushu)
Contohnya seperti firman Allah dalam surat Ali Imran: 97.
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ
Artinya: “Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
Manusia pada nash ini adalah umum.
Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut akal tidak termasuk
anak-anak dan orang gila.
Contoh lain, firman Allah dalam surat
At-Taubah: 120.
مَا كَانَ لِأَهۡلِ ٱلۡمَدِينَةِ وَمَنۡ حَوۡلَهُم
مِّنَ ٱلۡأَعۡرَابِ أَن يَتَخَلَّفُواْ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ ...
Artinya: “Tidaklah
sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab
Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah
(berperang)”.
Penduduk
Madinah dan orang-orang Arab Badui yang tersebut dalam nash ini adalah lafadz
‘am. Kedua lafadz ini khusus orang yang berkuasa yaitu orang yang memiliki
kesanggupan berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Salam.
‘Am di sini maksudnya khusus dan tidak mengandung unsur-unsur umum.
C.
Perbedaan Antara Lafazh Umum
yang Bermakna Khusus dengan Lafazh Umum yang Dikhususkan
Perbedaan
antara lafazh umum yang bermakna khusus (al-‘am al-murod bihil khushush)
dengan lafazh umum yang dikhususkan (al-‘am al-makhshush) dapat dilihat
dari berbagai sisi, antara lain:
1.Yang pertama (al-‘am
al-murod bihil khushush), tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan
atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafazh
maupun dari hukumnya. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk
menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi cakupan makna
lafazh, tidak dari segi hukumnya. Maka lafazh “an-nas” dalam firman
Allah, “alladzina qala lahum an-nas,” meskipun bermakna umum tetapi yang
dimaksud oleh lafazh dan hukumnya adalah hanya satu orang. Adapun lafazh “an-nas”
dalam ayat “Wa lillahi ‘alan-nasi hijjul baiti,” maka ia adalah lafazh
umum tetapi yang dimaksud adalah semua individu yang bisa dicakup oleh lafazh.
Meskipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu saja di antara mereka
secara khusus.
2.Yang pertama (al’am al-murad
bihil khushush) dapat dipastikan mengandung majaz, karena
ia telah beralih dari makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian
satuan-satuannya saja. Sedang yang kedua, menurut pendapat yang
lebih shahih adalah hakikat.
3. Qarinah (ciri)
bagi yang pertama pada umumnya bersifat rasional (‘aqliyah)
dan tidak pernah terpisah, sedang ciri bagi yang kedua bersifat
hanya lafzhiyah dan terkadang terpisah. [5]
D. Khass
Khass adalah
lafazh yang tidak dapat digunakan mengikutsertakan banyak satuannya. Firman
Allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai dengan kelahiran
anaknya, merupakan lafazh yang khusus untuk wanita yang demikian itu halnya,
tidak mencakup selainnya.[6] Upaya
pengkhususan disebut takhshish dan sesuatu yang mengkhususkan
dinamakan dengan al-mukhassshish. Mukhassshish terbagi menjadi dua,
yaitu pertama, mukhassshish yang tidak dapat berdiri sendiri dan maknanya
berhubungan dengan sebelumnya, disebut dengan muttashil (bersambung).
Mukhtashshish muttasil terbagi dalam lima macam:
1. Istitsna (pengecualian)
Contohnya, firman Allah dalam surat an-Nur: 4-5
وَٱلَّذِينَ
يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ
فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ
وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ ...
Artinya: “Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang
yang bertaubat ...”.
Perhatikanlah
kalimat illal ladzina tabu pada ayat tersebut. Kalimat itu
merupakan sambungan dari kalimat sebelumnya dan sekaligus menjadi pengkhusus
dengan bentuk pengecualian.
2. Shifat (sifat)
Contohnya pada firman Allah dalam surat an-Nisa:
23:
... وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن
نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم
بِهِنَّ ...
Artinya: “(Diharamkan
atas kamu mengawini) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri.”
Kalimat al-lati
dakhaltum bihinna, merupakan sifat terhadap nisa’ikum.
Dengan demikian, maka makna ayat tersebut bahwasannya perempuan-perempuan yang
menjadi anak tiri dan menjadi pemeliharaan dari seorang laki-laki (bapak tiri)
adalah haram dikawini oleh bapak tirinya itu, jika ibu dari perempuan-perempuan
itu telah dicampuri, tapi bila belum dicampuri, maka perempuan itu halal
dikawini olehnya.
3. Syarth (syarat)
Contohnya pada firman Allah dalam surat
al-Baqarah: 180:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ
إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
Artinya: “Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
Kalimat in
taraka khairan (jika meninggalkan harta yang banyak) adalah merupakan
syarat dalam wasiat yang dimaksud.
4. Ghayah (batas)
Contohnya pada firman Allah dalam surat
al-Baqarah: 196:
... وَلَا تَحۡلِقُواْ رُءُوسَكُمۡ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ
ٱلۡهَدۡيُ مَحِلَّهُۥ...
Artinya: “Dan
jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya.”
Kalimat hatta
yublighal hadyu mahillahu merupakan batas awal bagi pelaksanaan ibadah
mencukur rambut.
5. Badalul ba’dhi minal kulli (mengganti
sebagian dari keseluruhannya)
Contohnya pada firman Allah dalam surat Ali
‘Imran: 97:
... وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ
ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗا ...
Artinya: “Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan kepadanya (Baitullah)”
Kedua,
mukhtashshish yang berada di tempat lain, disebut munfashil (terpisah)
[7].
Bentuk mukhtashshish munfasil bermacam-macam, yaitu:
1. Yang di-takhshish oleh al-Qur’an,
contoh:
a. وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖ...
Artinya: “Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...” (QS.
al-Baqarah: 228)
Ayat ini di-takhshish oleh ayat:
... إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ
مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ
تَعۡتَدُّونَهَا ...
Artinya:
“... apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah ...” (QS. al-Ahzab: 49)
Dan
di-takhshish oleh ayat:
... وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ
حَمۡلَهُنَّ ...
Artinya: “...
dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya...” (QS. ath-Thalaq: 4)
b. حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ
وَٱلدَّمُ ...
Artinya: “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah...”. (QS. al-Maidah: 3)
Keharaman
memakan bangkai di atas di-takhshish oleh bangkai ikan pada ayat:
أُحِلَّ لَكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَحۡرِ وَطَعَامُهُۥ
مَتَٰعٗا لَّكُمۡ وَلِلسَّيَّارَةِ ...
Artinya: “Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan...”. (QS.
al-Maidah: 96)
Sedangkan
keharaman memakan darah di-takhshish oleh darah yang keras (hati)
pada ayat:
... أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ...
Artinya: “...
atau darah yang mengalir ...”. (QS. al-An’am: 145)
c. ... وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا
فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيًۡٔا ...
Artinya: “...
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun...”. (QS. an-Nisa: 20)
Ayat
ini di-takhshish oleh ayat:
... فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ
بِهِۦ ...
Artinya: “...
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya...”. (QS. al-Baqarah: 229)
d. ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ
وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ ...
Artinya: “Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera...”. (QS. an-Nur: 2)
Ayat
ini di-takhshish oleh ayat:
... فَإِذَآ أُحۡصِنَّ فَإِنۡ أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ
فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِ ...
Artinya: “...maka
atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami...”. (QS. an-Nisa: 25)
...فَٱنكِحُواْ
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ...
Artinya: “...
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ...”. (QS.
an-Nisa: 3)
2. Yang di-takhshish oleh
hadis, contoh:
a. ... وَأَحَلَّ
ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ...
Artinya: “...
padahal Allah telah menghalalkan jual beli ...”. (QS. al-Baqarah: 275)
Ayat
ini di-takhshish oleh macam-macam jual beli yang rusak yang banyak
dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi.
b. ... وَحَرَّمَ
ٱلرِّبَوٰاْ...
Artinya: “...dan mengharamkan riba...”. (QS.
al-Baqarah : 275)
Ayat
ini di-takhshish oleh pinjaman-pinjaman tak berbunga yang telah
dijelaskan oleh hadis.
c.
Ayat-ayat tentang saling memberi dan menerima warisan di-takhshish oleh
pembunuh dan perbedaan agama sebagaimana dijelaskan oleh hadis.
d.
Keharaman bangkai di-takhshish oleh bangkai belalang yang telah
dijelaskan oleh hadis
e.
Ayat tentang “tiga quru” di-takhshish oleh di antaranya ketentuan
iddah bagi wanita hamba sahaya (al-amat)
f.
Air yang suci pada surat al-Furqan: 48 di-takhshish oleh air yang
berubah (baik warna, bau, atau rasa) yang telah dijelaskan oleh hadis.
g.
Ketentuan hukum potong tangan bagi pencuri di-takhshish oleh
pencuri yang mengambil harta yang bernilai di bawah seperempat dinar.
3. Yang di-takhshish oleh ijma’,
seperti ayat mawarits di-takhshish oleh ketentuan ijma’ bahwa
seorang hamba sahaya tidak dapat menerima warisan, sebagaimana yang telah diutarakan
oleh Makkiyyun.
4. Yang di-takhshish oleh
qiyas, seperti ayat tentang perzinaan:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ
مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖ ...
Artinya: “Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera...”. (QS. an-Nur: 2)
Hamba
sahaya pria diberi kekhususan karena diqiyaskan pada hamba sahaya wanita yang
dijelaskan oleh ayat:
... فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ
ٱلۡعَذَابِ ...
Artinya: “...maka
atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami...”. (QS. an-Nisa: 25)
Keterangan
ini juga disampaikan oleh Makkiyyun.[8]
6.
Akal
(mentakhshshish al-Kitab dengan akal)
Contohnya
pada firman Allah dalam surat ar-Ra’du: 16:
... ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖ ...
Artinya: “Allah
adalah pencipta segala sesuatu.”
Akal
kita menetapkan bahwa Dia bukan Pencipta bagi Dzat-Nya sendiri. Mentakhshish
dengan akal ini bukanlah berarti memenangkan dalil akal daripada dalil syar’i
tetapi merupakan upaya mengkompromikan keduanya, dikarenakan tidak adanya
kemungkinan untuk menggunakan dalil syara’ tadi menurut keumumannya lantaran
adanya pencegah yang mutlak (mani’un qath’iyyun), yakni logika.
7.
Indera
Apabila
datang dalil syara’ dengan bersifat umum, sementara menurut indera bahwa yang
dimaksud dengan umum itu adalah sebagian satuannya, maka indera tersebut telah
berfungsi sebagai mukhassshish (pengkhusus) terhadap keumuman itu. Contohnya
pada firman Allah dalam surat an-Naml: 23:
إِنِّي وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ
مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِيمٞ
Artinya: “Sesungguhnya
Aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
Di
dalam ayat di atas, dilukiskan bahwa wanita tersebut dianugerahi segala
sesuatu, tetapi indera kita menetapkan bahwa wanita itu tidak diberi segala
sesuatu yang menjadi milik Nabi Sulaiman as.
8.
Siyaq
Siyaq adalah keterangan yang mendahului
suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya pada firman Allah dalam surat
al-A’raf: 163:
وَسَۡٔلۡهُمۡ عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلَّتِي كَانَتۡ
حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ ...
Artinya: “Dan
tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ?”
Dalam
ayat tersebut dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang keadaan desa.
Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksudkan dengan desa itu adalah
penduduknya.
Mekanisme
Ke-khushush-an
Jika mekanisme keumuman didasarkan pada beberapa
perangkat kebahasaan maka masih terdapat beberapa perangkat kebahasaan lain
yang dapat mengalihkan yang umum menjadi yang khusus, makna umum teks menjadi
khusus. “ke-khushush-an” secara bahasa terangkum dalam salah
satu dari dua hal, seperti yang dikatakan oleh ahli fiqh: pertama, kata
dengan format umum, namun maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan
kata tersebut, tetapi maknanya khusus. Kedua, kata yang
menurut bentuk dan maknanya ‘amm, tetapi hukum (pesan) yang ada
dalam teks tidak tepat diterapkan pada acuannya (kata tersebut). [9]
Bentuk-bentuk lafadz khusus
terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Isim ‘alam, baik manusia seperti, Muhammad, Nuh,
atau nama bagi benda seperti tuffahah, misymisy, nama bagi
buah yang terkenal, seperti buah zaitun, buah tin, dan lain sebagainya.
2. Isim yang di ma’rifatkan dengan al
lil ‘ahdi, seperti perkataan ja-a ar-rajuulu, dan kita
maksudkan terhadap seorang lelaki tertentu yang diketahui antara kita dan
diantara orang yang diajak bicara.
3. Menentukan isim dengan menunjuknya, seperti
perkataan dzalika, al-qadim, atau hadza al-jalisu.
4. Bilangan yang dibatasi, meskipun lebih banyak dari
dua, seperti tsalatsun atau khamsun. [10]
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Amm ialah
lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk di
dalamnya, dan memiliki ciri-ciri tertentu. Sedangkan Khass lafaz yang menunjukkan arti tunggal, baik menunjuk jenis,
macam, nama, atau isim jumlah yang pasti, dan menutup kemungkinan yang lainnya.
Namun terlepas dari ketentuan-ketentuan tersebut bisa saja ada lafas umum,
tetapi yang dimaksud adalah khusus. Demikian juga sebaliknya, bisa saja ada
lafaz khusus tetapi yang dimaksud adalah umum, tentu dengan melihat kesesuaian konteks
pembicaraannya.
Pengamalan tuntutan lafaz amm wajib, kecuali ada dalil yang
menunjuk selainnya. Dan apabila ada lafaz amm
karena sebab khusus, maka wajib mengamalkan keumumannya.
Apabila amm dan Khass datang
bersamaan, maka yang amm di takhshîsh oleh yang Khass. Tetapi jika amm datang kemudian, menurut hanafiyah, Khass dinasakh oleh yang Amm
B.
SARAN
Demikianlah makalah yang kami susun pada kesempatan kali ini.
Karena
kami hanyalah manusia biasa yang syarat akan kekhilafan
– kekhilafan. Oleh karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan.Semoga apa
yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam mendalami ilmu usul
fiqih dan kami minta maaf yang sebesar – besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Makalah Mahasiswa : 'Am dan khas
(Makalah Ulumul Qur'an) (akulahakuhadifreedom.blogspot.com)
1.M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 179
2.Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Qur’an, Penj. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2011, h. 312
3. Miftah Faridl dan Agus
Syihabudin, Al-Qur’an Sumber, h. 175-178
4. Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu, h. 317
5. Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Penj.
Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 277-278.
6.M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 183
7. Miftah
Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang
Pertama, Bandung: Pustaka, 1989, h. 179-182
8.Muhammad
bin Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an, Penj.
Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 182-188
10 ‘Atha bin Khalil, Ushul
Fiqih, Penj. Yasin as-Siba’I, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003,
h.297.
[1] M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 179
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, Penj. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011, h.
312
[3]
Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an
Sumber, h. 175-178
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu, h. 317
[5]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an, Penj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005, h. 277-278
[6] M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, h. 183
[7] Miftah Faridl
dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung:
Pustaka, 1989, h. 179-182
[8] Muhammad bin
Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an, Penj.
Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 182-188
[9] Ibid’, h.
258
[10] Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Penj.
Yasin as-Siba’I, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003, h.297.
0 Komentar